Pengukuran Kinerja
Manajemen dan Kompensasi
Pengukuran kinerja merupakan salah satu kegiatan rutin perusahaan yang
dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi kinerjanya dalam suatu periode
tertentu. Namun yang seringkali dijumpai, perusahaan hanya melakukan pengukuran
kinerja pada aspek finansial saja, dimana selama perusahaan bisa menghasilkan profit,
maka dianggap kinerja perusahaan sudah baik. Oleh karena itu perIu dirancang
ulang suatu sistem pengukuran kinerja yang memperhatikan aspek finansial dan
non-finansial.
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan
suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak
terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan
stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan
(Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas, seperti
halnya akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan
mekanisme akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat
indikator kinerja dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward
and punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran
kinerja yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous,
cost-effective, dan simple(Accounts Commission for Scotland,
1998) serta berfungsi sebagai sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat
masalah yang memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut
(Jackson, 1995).
Kartu skor berimbang (bahasa
Inggris: balanced scorecard, BSC)
adalah suatu konsep untuk mengukur apakah aktivitas-aktivitas operasional
suatu perusahaan dalam
skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal visi dan
strategi. BSC pertama kali dikembangkan dan digunakan pada perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Dengan tidak berfokus hanya pada berfokus pada hasil finansial
melainkan juga masalah manusia, BSC membantu memberikan pandangan yang lebih
menyeluruh pada suatu perusahaan yang pada gilirannya akan membantu organisasi
untuk bertindak sesuai tujuan jangka panjangnya. Sistem manajemen strategismembantu manajer untuk berfokus pada ukuran kinerja sambil menyeimbangkan sasaran finansial dengan perspektif pelanggan, proses,
dan karyawan.
Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi konsep-konsep
di atas seperti value for money, NPM, dan best value meliputi
sistem pengukuran kinerja. Scorecard sektor publik berbeda
dengan scorecard sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus
pada pelayanan masyarakat bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders,
lebih berfokus pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh keadaan
politik, dan mempunyai stakeholders yang lebih beragam dibandingkan
dengan sektor swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang
mencerminkan lingkungan kompetitif dan strategi yang
digunakan. Scorecard berfokus pada strategi yang diterapkan bukan pada
pengendalian penerapan scorecard (Hoque, 2002), meskipun pengawasan
terhadap scorecard perlu dilakukan mengingat fokus strategi terus
berubah seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Accounts
Commission for Scotland, 1998).
Kompensasi adalah seluruh imbalan yang diterima karyawan atas hasil kerja
karyawan tersebut pada organisasi. Kompensasi bisa berupa fisik maupun non
fisik dan harus dihitung dan diberikan kepada karyawan sesuai dengan
pengorbanan yang telah diberikannya kepada organisasi / perusahaan tempat ia
bekerja.
Perusahaan dalam memberikan kompensasi kepada para pekerja terlebih
dahulu melakukan penghitungan kinerja dengan membuat sistem penilaian kinerja
yang adil. Sistem tersebut umumnya berisi kriteria penilaian setiap pegawai
yang ada misalnya mulai dari jumlah pekerjaan yang bisa diselesaikan, kecepatan
kerja, komunikasi dengan pekerja lain, perilaku, pengetahuan atas pekerjaan,
dan lain sebagainya.
A.
Latar Belakang
Cita-cita dari sistem ukuran kinerja adalah untuk mengimplementasikan
strategi. Dalam menetapkan sistem semacam itu, manajemen senior memilih
ukuran-ukuran yang paling mewakili strategi perusahaan. Ukuran-ukuran ini dapat
dilihat sebagai faktor keberhasilan penting (critical success factors) masa
kini dan masa depan; jika ukuran-ukuran ini membaik, berarti perusahaan telah
mengimplementasikan strateginya. Keberhasilan strategi bergantung pada
kekuatannya. Sistem ukuran kinerja hanyalah merupakan suatu mekanisme yang
memperbaiki kemungkinan bahwa organisasi tersebut akan mengimplementasikan
strateginya dengan berhasil.
Setiap organisasi memiliki cita-cita. Suatu peranan penting dari sistem
pengendalian manajemen adalah untuk memotivasi para anggota organisasi untuk
mencapai cita-cita tersebut. Untuk itu para manajer hendaknya mencari
keselarasan cita-cita, beberapa caranya adalah dengan fokus pada mekanisme
insentif dan sistem kompensasi serta fungsinya dalam mempengaruhi perilaku
karyawan.
B. Pengertian Pengukuran Kinerja
Pengukuran
kinerja adalah proses di mana organisasi menetapkan parameter hasil untuk
dicapai oleh program, investasi, dan akusisi
yang dilakukan.
Proses pengukuran kinerja
seringkali membutuhkan
penggunaan bukti
statistik untuk menentukan tingkat kemajuan suatu organisasi
dalam meraih tujuannya. Tujuan mendasar di
balik dilakukannya pengukuran adalah untuk meningkatkan kinerja
secara umum. Pengukuran Kinerja juga merupakan hasil dari suatu penilaian yang
sistematik dan didasarkan
pada kelompok indicator kinerja kegiatan
yang berupa indikator-indikator masukan,keluaran,
hasil, manfaat, dan dampak.
Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan
tujuan yang telah ditetapkan.
Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
Pengukuran kinerja juga digunakan untuk
menilai pencapaian tujuan dan sasaran (James Whittaker, 1993) Sedangkan menurut
Junaedi (2002 : 380-381) “Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan
mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui
hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun
proses”. Artinya, setiap kegiatan perusahaan harus dapat diukur dan dinyatakan
keterkaitannya dengan pencapaian arah perusahaan di masa yang akan datang yang
dinyatakan dalam misi dan visi perusahaan.
Dari definisi diatas dapat
disimpulkan
bahwa
system
pengukuran
kinerja
adalah suatu sistem
yang bertujuan untuk membantu manajer perusahaan menilai pencapaian suatu
strategi melalui alat ukur keuangan
dan non keuangan.
Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan
sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan
suatu rencana dan
titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian
- penyesuaian
atas aktivitas
perencanaan dan pengendalian.
C. Prinsip Pengukuran Kinerja
Dalam
pengukuran kinerja terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu :
a.
Seluruh aktivitas kerja yang
signifikan harus diukur.
b.
Pekerjaan yang tidak diukur atau dinilai tidak dapat dikelola karena darinya tidak
ada informasi yang bersifat obyektif untuk menentukan nilainya.
c.
Kerja yang tak diukur sebaiknya
diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
d.
Keluaran kinerja yang diharapkan
harus ditetapkan untuk seluruh kerja yang diukur.
e.
Hasil keluaran menyediakan dasar
untuk menetapkan akuntabilitas hasil alih-alih sekedar mengetahui tingkat
usaha.
f.
Mendefinisikan kinerja dalam artian hasil kerja semacam apa
yang diinginkan adalah cara manajer dan pengawas untuk membuat
penugasan kerja operasional.
g.
Pelaporan kinerja dan analisis
variansi harus dilakukan secara periodik.
h.
Pelaporan yang
kerap memungkinkan adanya tindakan korektif
yang segera dan tepat waktu.
i.
Tindakan korektif yang tepat waktu
begitu dibutuhkan untuk manajemen kendali yang efektif
D. Variabel Kinerja
Secara umum, variable kinerja koperasi yang diukur untuk
melihat perkembangan / pertumbuhan
(growth) koperasi di Indonesia terdiri dari kelembagaan
(jumlah koperasi perprovinsi, jumlah koperasi
perjenis/kelompok koperasi, jumlah koperasi
aktif dan nonaktif), keanggotaan, volume usaha, permodalan, asset,
dan sisa hasil usaha.
Variabel-variable tersebut pada dasarnya belumlah dapat mencerminkan secara
tepat untuk dipakai melihat peranan atau pangsa (share) koperasi terhadap
pembangunan ekonomi nasional. Demikian pula dampak dari koperasi (cooperative
effect) terhadap peningkatan kesejahteraan anggota atau masyarakat belum
tercermin dari variabel-variabel yang disajikan.
E. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja tidak terjadi dengan sendirinya. Dengan kata lain, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kinerja. Adapun
faktor-faktor tersebut menurut Armstrong (1998 : 16-17) adalah sebagai berikut
:
1)
Faktor individu (personal
factors). Faktor individu berkaitan dengan keahlian,
motivasi, komitmen, dll.
2)
Faktor kepemimpinan (leadership
factors). Faktor kepemimpinan berkaitan dengan kualitas dukungan dan pengarahan
yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua kelompok kerja.
3)
Faktor kelompok / rekan kerja
(team factors). Faktor
kelompok / rekan kerja berkaitan dengan
kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja.
4)
Faktor sistem (system factors).
Faktor system berkaitan dengan system / metode kerja yang ada dan fasilitas
yang disediakan oleh organisasi.
5)
Faktor situasi
(contextual/situational factors). Faktor situasi berkaitan dengan tekanan dan
perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal.
Dari uraian yang disampaikan oleh Armstrong, terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja seorang pegawai. Faktor-faktor ini perlu mendapat
perhatian serius dari pimpinan organisasi jika pegawai diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang optimal. Motivasi kerja dan kemampuan kerja
merupakan dimensi yang cukup penting dalam penentuan kinerja. Motivasi sebagai
sebuah dorongan dalam diri pegawai akan menentukan kinerja yang dihasilkan.
Begitu juga dengan kemampuan kerja pegawai, dimana mampu tidaknya karyawan
dalam melaksanakan tugas akan berpengaruh terhadap kinerja yang dihasilkan.
Semakin tinggi kemampuan yang dimiliki karyawan semakin menentukan kinerja yang
dihasilkan.
F.
Ukuran Kinerja
Pengukuran kinerja merupakan salah satu kegiatan rutin perusahaan yang
dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi kinerjanya dalam suatu periode
tertentu. Namun yang seringkali dijumpai, perusahaan hanya melakukan pengukuran
kinerja pada aspek finansial saja, dimana selama perusahaan bisa menghasilkan
profit, maka dianggap kinerja perusahaan sudah baik. Oleh karena itu perIu
dirancang ulang suatu sistem pengukuran kinerja yang memperhatikan aspek
finansial dan non-finansial. Metode yang digunakan adalah Metode Performance
Prism yang mampu mengukur kinerja perusahaan secara lebih terintegrasi yaitu
dengan melihat 5 sudut pandang suatu perusahaan dari sisi kepuasan dan
kontribusi stakeholder, strategi, proses, serta kemampuan yang dimiliki oleh
perusahaan.
G.
Sistem Pengukuran Kinerja
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan
suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak
terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan stabilitas
politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan (Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas, seperti
halnya akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan
mekanisme akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat
indikator kinerja dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward
and punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran
kinerja yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous,
cost-effective, dan simple(Accounts Commission for Scotland,
1998) serta berfungsi sebagai sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat
masalah yang memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut
(Jackson, 1995).
Fokus pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk, proses, dan
orang (pegawai dan masyarakat) yang dibandingkan dengan standar yang ditetapkan
dengan wajar (benchmarking) yang dapat berupa anggaran atau target, atau
adanya pembanding dari luar (Hoque, 2002). Hasil pembandingan digunakan untuk
mengambil keputusan mengenai kemajuan daerah, perlunya mengambil tindakan
alternatif, perlunya mengubah rencana dan target yang sudah ditetapkan apabila
terjadi perubahan lingkungan.
Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi,
pemborosan, dan sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar organisasi
sektor publik memperhatikan value for money yang
mempertimbangkan input, output, danoutcome secara
bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for money, efisiensi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi (efisiensi 1), dan efisiensi
teknis atau manajerial (efisiensi 2). Efisiensi alokasi terkait dengan
kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat
kapasitas optimal. Efisiensi teknis terkait dengan kemampuan mendayagunakan
sumber daya input pada tingkat output tertentu
(dapat dilihat pada Gambar 1). Kedua efisiensi tersebut merupakan alat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat apabila dilaksanakan atas pertimbangan
keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat (Mardiasmo, 2002a).
Kampanye implementasi konsep value for money pada
organisasi sektor publik perlu gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya
tuntutan akuntabilitas publik dan pelaksanaan good governance.
Implementasi konsep tersebut diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor
publik dan memperbaiki kinerja sektor publik dengan meningkatkan efektivitas
layanan publik, meningkatkan mutu layanan publik, menurunkan biaya layanan
publik karena hilangnya inefisiensi, dan meningkatkan kesadaran akan penggunaan
uang publik (public costs awareness).
H.
Balance Scorecard
Kartu skor berimbang (bahasa
Inggris: balanced scorecard, BSC)
adalah suatu konsep untuk mengukur apakah aktivitas-aktivitas operasional
suatu perusahaan dalam
skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal visi
dan strategi. BSC pertama kali dikembangkan dan digunakan pada perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Dengan tidak berfokus hanya pada berfokus pada hasil finansial
melainkan juga masalah manusia, BSC membantu memberikan pandangan yang lebih
menyeluruh pada suatu perusahaan yang pada gilirannya akan membantu organisasi
untuk bertindak sesuai tujuan jangka panjangnya. Sistem manajemen strategismembantu manajer untuk berfokus pada ukuran kinerja sambil menyeimbangkan sasaran finansial dengan perspektif pelanggan, proses,
dan karyawan.
Pada tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mulai mempublikasikan kartu skor berimbang melalui rangkaian
artikel-artikel jurnal dan buku The Balanced Scorecard pada
tahun 1996. Sejak
diperkenalkannya konsep aslinya, BSC telah menjadi lahan subur untuk
pengembangan teori dan penelitian, dan banyak praktisi yang telah menyimpang
dari artikel asli Kaplan dan Norton. Kaplan dan Norton sendiri melakukan
tinjauan ulang terhadap konsep ini satu dasawarsa kemudian berdasarkan
pengalaman penerapan yang mereka lakukan.
Balanced Scorecard membantu organisasi untuk menghadapi dua masalah
fundamental: mengukur performa organisasi secara efektif dan
mengimplementasikan strategi dengan sukses. Secara tradisional, pengukuran
terhadap bisnis berkisar pada aspek finansial, yang kemudian banyak mendatangkan
kritik. Ukuran finansial tidaklah konsisten dengan lingkungan bisnis saat ini,
punya daya prediktif yang lemah, mengakibatkan munculnya silo fungsional,
menghambat cara berpikir jangka panjang, dan tidak lantas bisa relevan bagi
kebanyakan level organisasi. Mengimplementasikan strategi secara efektif
menjadi permasalahan tersendiri. Setidaknya terdapat empat pembatas
implementasi strategi di organisasi: pembatas visi, pembatas orang, pembatas
sumberdaya, dan pembatas manajemen.
Balanced Scorecard memberi organisasi elemen yang dibutuhkan untuk
berpindah dari paradigma ‘melulu finansial’ menuju model baru yang mana hasil
Scorecard menjadi titik awal untuk me-review, mempertanyakan, dan belajar
tentang strategi yang dipunya. Balanced Scorecard akan menerjemahkan visi dan
strategi ke dalam serangkaian ukuran koheren dalam empat perspektif yang
berimbang. Kita akan dengan cepat bisa dapatkan informasi untuk dipertimbangkan
lebih dari sekedar ukuran finansial.
Konsep keseimbangan dalam Balanced Scorecard terkait pada tiga area
berikut :
1)
Keseimbangan antara
indikator keberhasilan finansial dan non finansial. Balanced Scorecard sendiri
awalnya dibuat untuk mengatasi kekuranghandalan ukuran performa finansial
dengan menyeimbangkannya dengan pemicu lain untuk performa yang mengacu ke masa
depan. Ini adalah masih terus menjadi prinsip dari sistem Balanced Scorecard
ini.
2)
Keseimbangan antara
konstituen internal dan eksternal dari organisasi. Shareholder dan pelanggan
merepresentasikan konstituen eksternal dalam Balanced Scorecard, sementara
karyawan dan proses internal merepresentasikan konstituen internal. Balanced
Scorecard berusaha menyeimbangkan kebutuhan kedua grup yang tak jarang menjadi
kontradiktif satu sama lain untuk bisa secara efektif mengimplementasikan
strategi.
3)
Keseimbangan antara
indikator performa lag dan lead. Indikator lag secara umum merepresentasikan
performa masa lalu. Contohnya semisal saja kepuasan pelanggan atau revenue.
Meskipun ukuran tersebut pada umumnya cukup obyektif dan bisa diakses dengan
mudah, namun mereka semua punya daya prediktif yang lemah. Sementara itu
indikator lead adalah pemicu performa yang membawa pada pencapaian indikator
lag. Indikator ini biasanya berbentuk ukuran atas proses dan aktivitas.
Pengiriman tepat waktu, semisal, bisa merepresentasikan indikator lead untuk
ukuran lag kepuasan pelanggan. Suatu scorecard harus berisi campuran/paduan
antara indikator lag dan lead. Indikator lag yang tanpa disertai oleh ukuran
lead tidak akan mengkomunikasikan bagaimana target akan diraih. Sebaliknya,
indikator lead tanpa ukuran lag akan menghasilkan perkembangan jangka pendek
namun tidak tampak bagaimana perkembangan tersebut berdampak pada peningkatan
benefit bagi pelanggan dan juga shareholder.
I.
Public Sector Scorecard
Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi konsep-konsep
di atas seperti value for money, NPM, dan best value meliputi
sistem pengukuran kinerja. Scorecard sektor publik berbeda
dengan scorecard sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus
pada pelayanan masyarakat bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders,
lebih berfokus pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh
keadaan politik, dan mempunyai stakeholders yang lebih beragam
dibandingkan dengan sektor swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang
mencerminkan lingkungan kompetitif dan strategi yang
digunakan. Scorecard berfokus pada strategi yang diterapkan bukan
pada pengendalian penerapan scorecard (Hoque, 2002), meskipun
pengawasan terhadap scorecard perlu dilakukan mengingat fokus
strategi terus berubah seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi
masyarakat (Accounts Commission for Scotland, 1998).
Pengukuran kinerja dilakukan dengan mempertimbangkan empat perspektif
BSCyaitu perspektif financial, customer, internal
business dan learning and growth(Kaplan and Norton, 1992 dalam
Quinlivan, 2000) secara proporsional. Dengan demikian, pemerintah seharusnya
tidak hanya diukur dengan kinerja keuangan, tetapi juga kinerjanya dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat secara ekonomis, efisien, dan tepat sasaran.
J.
Kompensasi Manajemen
Kompensasi adalah seluruh imbalan yang diterima karyawan atas hasil kerja
karyawan tersebut pada organisasi. Kompensasi bisa berupa fisik maupun non
fisik dan harus dihitung dan diberikan kepada karyawan sesuai dengan
pengorbanan yang telah diberikannya kepada organisasi / perusahaan tempat ia
bekerja.
Perusahaan dalam memberikan kompensasi kepada para pekerja terlebih
dahulu melakukan penghitungan kinerja dengan membuat sistem penilaian kinerja
yang adil. Sistem tersebut umumnya berisi kriteria penilaian setiap pegawai
yang ada misalnya mulai dari jumlah pekerjaan yang bisa diselesaikan, kecepatan
kerja, komunikasi dengan pekerja lain, perilaku, pengetahuan atas pekerjaan, dan
lain sebainya.
Para karyawan mungkin akan menghitung-hitung kinerja dan pengorbanan
dirinya dengan kompensasi yang diterima. Apabila karyawan merasa tidak puas
dengan kompensasi yang didapat, maka dia dapat mencoba mencari pekerjaan lain
yang memberi kompensasi lebih baik. Hal itu cukup berbahaya bagi perusahaan
apabila pesaing merekrut / membajak karyawan yang merasa tidak puas tersebut
karena dapat membocorkan rahasia perusahaan / organisasi.
Kompensasi yang baik akan memberi beberapa efek positif pada organisasi /
perusahaan sebagai berikut di bawah ini :
1)
Mendapatkan
karyawan berkualitas baik
2)
Memacu
pekerja untuk bekerja lebih giat dan meraih prestasi gemilang
3)
Memikat
pelamar kerja berkualitas dari lowongan kerja yang ada
4)
Mudah
dalam pelaksanaan dalam administrasi maupun aspek hukumnya
5)
Memiliki
keunggulan lebih dari pesaing / kompetitor
Macam-Macam / Jenis-Jenis Kompensasi Yang Diberikan Pada Karyawan :
1.
Imbalan Ektrinsik
a.
Imbalan
ektrinsik yang berbentuk uang antara lain misalnya :
·
Gaji
·
Upah
·
Honor
·
Bonus
·
Komisi
·
Insentif
·
Upah, dll
b.
Imbalan
ektrinsik yang bentuknya sebagai benefit / tunjangan pelengkap contohnya
seperti :
·
Uang cuti
·
Uang makan
·
Uang
transportasi / antar jemput
·
Asuransi
·
Jamsostek
/ jaminan sosial tenaga kerja
·
Uang
pensiun
·
RekreasI
·
Beasiswa
melanjutkan kuliah, dsb
2.
Imbalan Intrinsik
Imbalan dalam bentuk intrinsik yang tidak berbentuk fisik dan hanya dapat
dirasakan berupa kelangsungan pekerjaan, jenjang karir yang jelas, kondisi
lingkungan kerja, pekerjaan yang menarik, dan lain-lain.
Salah satu fungsi MSDM adalah Kompensasi. Kompensasi adalah bagian dari
manajemen. Sistem kompensasi yang baik dapat memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap keberhasilan bisnis. Kompensasi merupakan sesuatu yang
diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan.
Kompensasi juga merupakan biaya utama atas keahlian atau pekerjaan dan
kesetiaan dalam bisnis.
Suatu organisasi akan selalu berusaha untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Namun hal ini harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan
organisasi, baik di dalam dan di luar organisasi. Pengaturan kompensasi
merupakan faktor penting untuk menarik dan mempertahankan tenaga kerja.
Kompensasi dapat berbentuk Finansial dan Non-Finansial.
Sikula di dalam Martoyo (2003) mengatakan In the employment world, financial rewards are the compensation resources provided to employees for the return of their services. The terms Remuneration”, wage and salary. Also are used to describe this financial between employers and employees. A remuneration is a reward, payment or reembursement for services rendered. Most forms of remuneration are financial, although these reembursements on occasion also may be non-financial in nature.
Sikula di dalam Martoyo (2003) mengatakan In the employment world, financial rewards are the compensation resources provided to employees for the return of their services. The terms Remuneration”, wage and salary. Also are used to describe this financial between employers and employees. A remuneration is a reward, payment or reembursement for services rendered. Most forms of remuneration are financial, although these reembursements on occasion also may be non-financial in nature.
Dari pernyataan di atas artinya kompensasi atau juga disebut dengan
remuneration dapat saja berbentuk financial dan nonfinansial yang pada intinya
adalah penghargaan atas jasa seorang pegawai pada organisasinya.
Komponen-komponen kompensasi: Upah, Gaji, Insentif, dan fringe benefit.
Selanjutnya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kompensasi
(Martoyo:2003) :
1)
Kebenaran
dan keadilan; pemberian kompensasi disesuaikan dengan kemampuan, kecakapanm
pendidikan dan jasa yang telah ditunjukkan kepada organisasi. Dengan demikian
setiap pegawai dapat merasakan bahwa organisasi telah menghargai jasanya.
2)
Dana
organisasi; suatu organisai dalam memberikan kompensasi kepada pegawainya harus
disesuaikan dengan kemampuan dana yang dimiliki oleh organisasi tersebut.
Olehkarena itu organisasi harus dapat menghimpun dana sebanyak mungkin melalui
prestasi kerja yang ditunjukkan oleh para pegawai. Sehingga dengan prestasi
yang terus meningkat maka organisasi akan mendapatkan banyak keuntungan.
3)
Serikat
Karyawan; serikat karyawan merupakan symbol kekuatan karyawan dalam menuntut
perbaikan nasib, yang perlu mendapatkan perhatian. Serikat karyawan yang ada
pada suatu organisasi akan berfungsi sebgai alat kontrol dalam penetapan
kompensasi.
4)
Produktifitas
kerja; semakin tingginya tingkat produktifitas seorang pegawai maka hal ini
akan menjadi pertimbangan bagi organisasi untuk memberikan kompensasi. Karena
produktifitas merupakan salah satu indikator prestasi kerja pegawai.
5)
Biaya
hidup; organisasi juga harus memperhatikan biaya hidup karyawan beserta
keluarganya. Artinya perlu adanya penyesuaian pemberian kompensasi dengan biaya
hidup. Namun demikian ini merupakan hal yang cukup sulit untuk menentukan biaya
hidup seseorang. Ini disebabkan oleh sifatnya sangat relative, oleh karena itu
perlu sangat sulit untuk menentukan hidup yang layak tersebut.
6)
Pemerintah;
selaku pengayom masyarakat perlu ikut campur dalam penentuan kompensasi bagai
seorang pekerja. Pemerintah harus membuat peraturan dan perundang-undangan
untuk dlaam menentukan kompensasi.
Keadilan di
dalam organisasi
Keadilan di dalam manajemen kompensasi dikenal dengan istilah equity
theory. Organisasi memberikan kompensasi kepada pegawainya adalah dengan tujuan
untuk memotivasi pegawainya agar dapat bekerja lebih baik. Organisasi tidak
hanya harus memiliki system yang wajar dan adil, tetapi lebih dari pada itu
system tersebut harus dijelaskan kepada pegawainya. Adapun keadilan di dalam
manajemen kompensasi yaitu; External Equity dan Internal Equity.
External Equity adalah yang berhubungan dengan gaji yang mereka terima
serupa dengan pasar tenaga kerja di mana mereka bekerja. External Equity ini
adalah membandingkan pegawai yang serupa diantara organisasi yang sebanding.
Dua syarat untuk membandingkan yang harus dipenuhi 1) pegawai yang dibandingkan
harus sama dan serup, 2) organisasi yang diurvey sebaiknya serupa,baik dari
ukuran, bidang, misi, sektor.
Internal Equity adalah keseimbangan antara masukan yang dibawa individu
dalam sebuah sistem kepegawaian dengan hasil yang dicapai. Masukan pegawai
dapat berupa; pengalaman, pendidikan, keahlian, upaya & waktu kerja.
Sedangkan keluaran berupa; gaji, tunjangan, pengakuan, dan imbalan. Internal
Equity juga berarti tingkat gaji yang patut/pantas dengan nilai pegawai
internal bgai suatu organisasi. Intinya adalah system kepegawaian di dalam
suatu organisasi.
Tujuan manajemen Kompensasi secara umum tujuan kompensasi adalah untuk membantu perusahaan mencapai tujuan keberhasilan strategi perusahaan dan menjamin terciptanya keadilan internal dan eksternal.
Tujuan
manajemen Kompensasi :
1)
Memperoleh SDM yang berkualitas
2)
Mempertahankan
Karyawan yang ada
3)
Menjamin
Keadilan
4)
Penghargaan
terhadap perilaku yang diinginkan
5)
Penghargaan
terhadap perilaku yang diinginkan
6)
Mengendalikan
Biaya
7)
Mengikuti
aturan hukum
8)
Memfasilitasi
Pengertian
9)
Meningkatkan
Efisiensi Administrasi
Sistem Kompensasi sebaiknya dilakukan sebagai berikut :
1)
Bersaing
(competitive)
2)
Mengakui
karyawan sebagai “Income Producing Assets”
3)
Jangan
terpengaruh oleh praktek akuntansi yang menganggap gaji dan upah sebagai “liabilities”
4)
Kompensasi
harus mendukung manajemen produktivitas
5)
“Payroll Cost” harus dikelola dan dikaitkan
dengan keberhasilan bisnis
6)
Diketahui
perincian pembayaran kempensasi sebagai:- Direct cost - Opportunity cost :
profit sharing- Investment Return: insentive bagi karyawan yang melebihi
standar
- Cost Reduction Spending: pembayaran “Performance Award” yang lebih rendah dari “Performance Improvement”
- Cost Reduction Spending: pembayaran “Performance Award” yang lebih rendah dari “Performance Improvement”
Dalam membahas masalah insentif, tidak terlepas dari masalah kompensasi.
Kompensasi yang berarti penghargaan/ganjaran ternyata tidak sekedar berbentuk
pemberian upah/gaji sebagai akibat dari pengangkatannya menjadi tenaga kerja
sebuah organisasi perusahaan. Penghargaan atau ganjaran sebagai kompensasi
dibedakan jenis-jenisnya sebagai berikut :
1)
Kompensasi Langsung
Kompensasi langsung adalah
penghargaan/ganjaran yang disebut gaji atau upah, yang dibayar secara tetap
berdasarkan tenggang waktu yang tetap. Sejalan dengan pengertian itu, upah atau
gaji diartikan juga sebagai pembayaran dalam bentuk uang tunai atau berupa
natura yang diperoleh pekerja untuk pelaksanaan pekerjaannya.
Upah diartikan juga sebagai harga untuk jasa-jasa yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedang Dewan Penelitian Pengupahan Nasional, mengartikan upah ialah suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Upah diartikan juga sebagai harga untuk jasa-jasa yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedang Dewan Penelitian Pengupahan Nasional, mengartikan upah ialah suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
2)
Kompensasi Tidak Langsung
Kompensasi tidak langsung
adalah pemberian bagian keuntungan/manfaat lainnya bagi para pekerja di luar
gaji atau upah tetap, dapat berupa uang atau barang. Misalnya: THR,
Tunjangan Natal dan lain-lain. Dengan kata lain kompensasi tidak langsung
adalah program pemberian penghargaan/ ganjaran dengan variasi yang luas,
sebagai pemberian bagian keuntungan organisasi/perusahaan. Disamping contoh di
atas dalam variasi yang luas itu maka dapat pula berupa jaminan kesehatan,
liburan, cuti, dan lain-lain.
3)
Insentif
Insentif adalah
penghargaan/ganjaran yang diberikan untuk memotivasi para pekerja agar
produktivitas kerjanya tinggi, sifatnya tidak tetap atau sewaktu-waktu. Oleh
karena itu insentif sebagai bagian dari keuntungan terutama sekali diberikan
pada pekerja yang bekerja secara baik atau yang berprestasi. Misalnya dalam
bentuk pemberian bonus. Di samping itu insentif dapat pula diberikan dalam
bentuk barang.
Dari pengertian di atas, insentif merupakan salah satu jenis ganjaran
yang diberikan oleh organisasi/perusahaan terhadap pekerja. Terdapat suatu
perbedaan antara upah dan insentif, dua terminology ini pada intinya adalah
pemberian suatu imbalan terhadap pegawai atas jasa yang telah diberikannya.
Namun secara khusus terdapat perbedaannya yakni upah lebih bersifat umum dan
penentuannya berdasarkan suatu norma yang berlaku umum dalam dunia ketenagakerjaan.
Sedangkan insentif lebih bersifat khusus, oleh karena pemberiannya selalu
dikaitkan dengan prestasi kerja yang telah dicapai oleh seorang pegawai. Dengan
kata lain insentif merupakan upah tambahan terhadap pegawai yang telah mencapai
suatu prestasi kerja tertentu.
Insentif tidak terbatas pada pemberian imbalan berupa uang, oleh karena terdapat pula upah yang bersifat intangible apakah dalam bentuk promosi, kesempatan untuk mengikuti pendidikan tertentu, atau penghargaan lain yang pada intinya sebagai imbalan terhadap prestasi yang telah dicapai oleh seorang pegawai.
Tujuan
insentif adalah sebagai reward terhadap pegawai yang
telah mencapai suatu prestasi tertentu sesuai dengan standar kinerja, sehingga
tercermin adanya suatu keadilan dalam memperlakukan pegawai yang berprestasi,
di samping sebagai alat motivasi pegawai.
Mengacu pada variabel insentif, sistem insentif berfungsi dalam memotivasi pekerja agar terus-menerus berusaha memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi kewajiban/tanggung jawabnya. Sistem Insentif ini merupakan tambahan bagi upah gaji dasar yang diberikan sewaktu-waktu, dengan membedakan antara pekerja yang berprestasi dengan yang tidak kurang berprestasi dalam melaksanakan pekerjaan/tugas-tugasnya.
Mengacu pada variabel insentif, sistem insentif berfungsi dalam memotivasi pekerja agar terus-menerus berusaha memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi kewajiban/tanggung jawabnya. Sistem Insentif ini merupakan tambahan bagi upah gaji dasar yang diberikan sewaktu-waktu, dengan membedakan antara pekerja yang berprestasi dengan yang tidak kurang berprestasi dalam melaksanakan pekerjaan/tugas-tugasnya.
Dengan demikian, akan terjadi persaingan yang sehat dalam berprestasi, sehingga timbul motivasi kerja berdasarkan pemberian insentif tersebut. Dalam konteks itu berarti, organisasi/perusahaan perlu menghindari pemberian insentif yang tanpa alasan atau dengan alasan yang tidak ada hubungannya dalam upaya pemberian motivasi agar pekerja dapat bekerja lebih baik lagi. Berdasarkan kenyataan itu dalam memberikan insentif sebagai usaha memotivasi kerja, hendaknya diikuti prinsip-prinsip pokok, yaitu insentif diberikan hanya kepada pekerja yang produktif, promosikan pekerja sebagai insentif non finansial/non material, atas dasar produktivitasnya dalam bekerja.
Dari uraian-uraian di atas dapat diartikan, bahwa insentif yang diberikan
harus dapat mendorong pekerja untuk melaksanakan tugasnya secara baik, yang
memang mungkin dilaksanakannya. Apabila sesuatu yang diharapkan dalam bekerja
tidak mungkin dilaksanakan, maka insentif tidak akan berfungsi untuk memotivasi
pekerja. Namun dalam kenyataannya, dapat saja terjadi bahwa jumlah insentif
yang kurang sesuai dengan intensitas dan sifat pekerjaan, jenis insentif yang
sangat terbatas sedangkan jenis dan sifat pekerjaan terus berkembang dan
manfaat insentif yang dirasakan kurang bermakna bagi tuntutan para pegawai,
menyebabkan kebijakan pemberian insentif kurang efektif.
Dari paparan di atas berarti pula faktor insentif dapat menjadi faktor
dominan dan besar pengaruhnya terhadap produktivitas kerja pegawai negeri
sipil. Pengaruh ini tercakup dalam dimensi makna insentif.
REFERENSI :
1.
Robert
N. Anthony & Vijay Govindarajan , Management Control System, 12th
Edition, McGraw-Hill, Boston, 2007.
2.
Abdul
Halim, Achmad Tjahjono, Muh. Fakhri Husein, Sistem Pengendalian Manajemen,
UPP AMP YPKN Yogyakarta, Cetakan Kedua 2003
3.
Sofyan
Syafri H., Sistem Pengawasan
Manajemen, Penerbit Quantum, Jakarta, 2001.
4.
Arief
Suadi, Sistem Pengendalian Manajemen, BPFE, Yogyakarta, 1999.
5.
Agus
Maulana, Sistem Pengendalian Manajemen, Penerbit ERLANGGA, Jakarta, 1997
6.
Robert N.Anthony Vijay Govindarajan.Management
Control System, penerbit Salemba Empat,2005.
7.
Anthony, Robert N. The Management
Control Function. Boston: Harvard Business School Press, 1989.
8.
Kaplan, Robert, dan David Norton.
Balanced Scorecard. Boston: Harvard Business School Press, 1996.
9.
Anthony, Robert. N dan Vijay
Govindarajan . 2005 . Management
Control System . Jakarta :
Salemba Empat
10.
Nafarin, Muhammad . 2000 . Penganggaran Perusahaan . Jakarta : Salemba Empat
SUMBER LAIN :
http://mohamad-khaidir.blogspot.co.id/2013/07/makalah-ukuran-kinerja-kompensasi.html
http://keepcopying.blogspot.co.id/2014/01/analisis-laporan-kinerja-keuangan.html
http://icangmanisa.blogspot.co.id/2011/06/penyusunan-anggaran-dalam-matkul-sistem.html
http://citramincyza.blogspot.co.id/2012/04/sistem-pengendalian-manajemenperencanaa.html
https://indraonank.wordpress.com/2011/10/13/sistem-pengendalian-manajemen-pusat-tanggung-jawab-pusat-pendapatan-dan-beban/
http://sukman21.blogspot.co.id/2015/06/makalah-penentuan-harga-transfer.html
http://fransiscasn.blogspot.co.id/2012/04/pengukuran-dan-pengendalian-asset-bab-7.html
http://fransiscasn.blogspot.co.id/2012/04/pengukuran-dan-pengendalian-asset-bab-7.html
http://bagus-ahmad.blogspot.co.id/2016/01/sistem-pengendalian-manajamen.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar