Konsep
Kinerja Koperasi Dan Memilih Metode Pengukuran Kinerja Koperasi Yang Tepat
Dalam sebuah
sistem pengendalian manajemen yang baik dapat membantu dalam proses pembuatan
keputusan dam memotivasi setiap individu dalam sebuah organisasi agar melakukan
keseluruhan konsep yang telah ditentukan. Sistem pengendalian manajemen adalah
suatu proses yang menjamin bahwa sumber-sumber diperoleh dan digunakan dengan
efektif dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, dengan kata lain
pengendalian manajemen dapat diartikan sebagai proses untuk menjamin bahwa
sumber manusia, fisik dan teknologi dialokasikan agar mencapai tujuan
organisasi secara menyeluruh.
Pengendalian
manajemen berhubungan dengan arah kegiatan manajemen sesuai dengan garis besar
pedoman yang sudah ditentukan dalam proses perencanaan strategi. Sistem
pengendalian manajemen meramalkan besarnya penjualan dan biaya untuk tiap level
aktifitas, anggaran, evaluasi kinerja dan motivasi karyawan.
Dalam era
globalisasi saat ini perkembangan industri dan perekonomian harus diimbangi
oleh kinerja karyawan yang baik sehingga dapat tercipta dan tercapainya
tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Salah satu persoalan penting dalam
pengelolaan sumber daya manusia (pegawai) dalam organisasi adalah mengukur
kinerja pegawai. Pengukuran kinerja dikatakan penting mengingat melalui
pengukuran kinerja dapat diketahui seberapa tepat pegawai telah menjalankan
fungsinya. Ketepatan pegawai dalam menjalankan fungsinya akan sangat
berpengaruh terhadap pencapaian kinerja organisasi secara keseluruhan. Selain
itu, hasil pengukuran kinerja pegawai akan memberikan informasi penting dalam
proses pengembangan pegawai.
Menurut Junaedi ( 2002 : 380-381) “Pengukuran
kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan
dalam arah pencapaian misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk,
jasa, ataupun proses”. Artinya, setiap kegiatan perusahaan harus dapat diukur
dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah perusahaan di masa yang
akan datang yang dinyatakan dalam misi dan visi perusahaan.
Namun,
sering terjadi pengukuran dilakukan secara tidak tepat. Ketidaktepatan ini
dapat disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang menyebabkan
ketidaktepatan pengukuran kinerja diantaranya adalah ketidakjelasan makna
kinerja yang diimplementasikan, ketidapahaman pegawai mengenai kinerja yang
diharapkan, ketidakakuratan instrumen pengukuran kinerja, dan ketidakpedulian
pimpinan organisasi dalam pengelolaan kinerja.
A. Latar Belakang
Memasuki
millennium ketiga, pada saat persaingan dunia usaha semakin mengglobal dan
sarat dengan persaingan yang maha hebat, maka mau tidak mau, setiap para pelaku
ekonomi tak terkecuali koperasi, bila ingin terus bertumbuh, harus
memiliki daya saing yang berkelanjutan (sustainable competitivie advantage).
Pada kasus koperasi di Indonesia, terdapat banyak pihak yang memprihatinkan
kemampuan badan usaha ini dalam memenuhi tuntutan arus globalisasi tersebut.
Apabila koperasi tidak segera dan terus-menerus melakukan reposisi dirinya
sebagai salah satu pelaku ekonomi yang mendapat dukungan konstitusi, maka tidak
mustahil koperasi akan terus tertinggal dan lambat laun akan terabaikan.
Kekhawatiran
tersebut tentunya didasari oleh suatu analisis kondisi nyata koperasi yang ada
di lapangan dan nilai-nilai dasar koperasi yang melekat pada diri koperasi itu
sendiri. Nilai-nilai dasar seperti kekeluargaan, kesetiakawanan (solidaritas)
keadilan, gotong-royong, demokrasi, dan kebersamaan dipandang kurang dapat lagi
dijadikan sebagai factor kekuatan (strengths) bagi koperasi dalam memasuki
pasar global. Nilai-nilai dasar koperasi tersebut dianggap kurang dapat
merespons dan mengadopsi setiapt perubahan lingkungan strategis yang terjadi
dengan cepat. Di sisi permintaan pasar tanpa mengorbankan efisiensi dan
efektivitas usaha, serta melakukan aksi perbaikan sesuai dengan perubahan
lingkungannya.
Dalam hal
ini perlu adanya pengevaluasian kinerja koperasi yang didasari dengan asas
koperasi pada unmumnya. Pada dasarnya untuk mengetahui perkembangan kinerja
koperasi adalah dengan mengetahui variable-variabel koperasi yang akan kita
bahas dalam bab selanjutnya.
B. Definisi
Kinerja Koperasi
Koperasi
adalah badan usaha yang beranggotakan orang-perorangan atau badan hukum
koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Tujuan Koperasi
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Koperasi Nomor 25 tahun 1992 adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Koperasi juga diharapkan
dapat berperan serta dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan
masyarakat, memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan
ketahanan perekonomian nasional, serta berusaha untuk mewujudkan dan
mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama atas asas
kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Kinerja
diartikan sebagai hasil dari usaha seseorang yang dicapai dengan adanya
kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Berdasarkan S.K Menteri
Keuangan RI No.740/KMK.00/1989, kinerja adalah prestasi yang dicapai dalam
suatu periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan.
Kinerja
menjadi ukuran prestasi yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dapat
dilakukan. Oleh karena itu, istilah kinerja perusahaan kerap kali disamakan
dengan kondisi keuangan perusahaan yang dengan pengukuranpengukuran keuangan
mampu memberikan hasil yang memuaskan setidak-tidaknya bagi pemilik saham
perusahaan itu maupun bagi karyawannya. (Munawir, 2002:73).
C. Pengukuran
dan Penilaian Kinerja
Pengukuran
kinerja adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu
organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar, dan
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Mulyadi, 2001:416). Penilaian
kinerja menurut Yuwono (2002), adalah tindakan penilaian yang dilakukan
terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada dalam organisasi.
Sedangkan Zamkhani (1990) mendefinisikan penilaian kinerja sebagai berikut,
penilaian kinerja merupakan salah satu komponen dasar dari manajemen kinerja.
Ukuran kinerja didesain untuk menilai seberapa baik aktivitas dan dapat
mengidentifikasi apakah telah dilakukan perbaikan yang berkesinambungan (Hansen
& Mowen, 1995: 375).
D. Tujuan dari
penilaian kinerja
Tujuan pokok
dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam usaha untuk
mencapai sasaran organisasi dan mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan
agar membuahkan tindakan dan hasil seperti yang diinginkan (Mulyadi, 2001:416).
Standar perilaku tersebut bisa berupa kebijakan manajemen ataupun rencana
formal yang nantinya dituangkan dalam anggaran yang ditetapkan oleh perusahaan.
Penilaian kinerja tersebut dilakukan untuk menilai perilaku yang tidak semestinya
dilakukan dan untuk merangsang timbulnya perilaku yang semestinya dilakukan.
Rangsangan timbulnya perilaku yang semestinya dapat dilakukan dengan memberikanreward atas
hasil kinerja yang baik. Penilaian kinerja dapat dilaksanakan oleh pihak
manajemen perusahaan sendiri (intern) atau pihak luar (ekstern). Sistem
pengukuran kinerja mempunyai peranan penting dalam fungsi-fungsi manajemen
organisasi seperti pengendalian mamajemen, manajemen aktivitas, dan sistem
motivasi (Atkinson Antony A, 1995:235). Sistem pengukuran kinerja
berperan pula dalam usaha-usaha pencapaian keselarasan tujuan (goal
congruence) dalam konteks wewenang dan tanggung jawab. Pengembangan lebih
lanjut dalam manajemen berbasis aktivitas, pengukuran kinerja dirancang untuk
mengurangi kegiatan yang tidak mempunyai nilai tambah dan mengoptimalkan
kegiatan yang mempunyai nilai tambah. Pengukuran kinerja merupakan salah satu
faktor yang penting untuk menilai keberhasilan perusahaan, penilaian kinerja
juga sebagai dasar untuk menentukan sistem imbalan dalam perusahaan, misalnya
penentuan tingkat gaji karyawan maupunreward yang layak. Seorang
manajer juga bisa menggunakan penilaian kinerja perusahaan sebagai evaluasi
kerja dari periode yang lalu (Hansen & Mowen, 1995:386-387).
E. Proses
Pengukuran kinerja
Proses
pengukuran kinerja dilaksanakan dalam dua tahap utama, yaitu tahap persiapan dan tahap penilaian (Mulyadi, 2001: 418),
1.
Tahap persiapan terdiri dari tiga
tahap rinci, yaitu :
a. Tanggung jawab yang jelas
Penentuan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang
bertanggung jawab,Perbaikan kinerja harus diawali dengan penetapan garis batas
tanggung jawab yang jelas bagi manajer yang akan dinilai kinerjanya. Batas
tanggung jawab yang jelas ini dipakai sebagai dasar untuk menetapkan sasaran
atau standar yang harus dicapai oleh manajer yang akan diukur kinerjanya. Tiga
hal yang berkaitan dengan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang
bertanggung jawab, yaitu kriteria penetapan tanggung jawab, tipe pusat
pertanggungjawaban, karakteristik pusat pertanggungjawaban.
b. Penetapan kriteria yang dipakai
untuk mengukur kinerja
Penetapan kriteria
kinerja manajer perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara
lain :
1)
Dapat diukur atau tidaknya kriteria,
2)
Rentang waktu sumber daya dan biaya,
3)
Bobot yang diperhitungkan atas
kriteria,
4)
Tipe kriteria yang digunakan dan
aspek yang ditimbulkan.
c.
Melakukan
kinerja bagian atas aktivitas sesungguhnya
Pengukuran kinerja sesungguhnya Langkah berikutnya
dalam pengukuran kinerja adalah melakukan kinerja bagian atas aktivitas sesungguhnya,
yang menjadi daerah wewenang manajer tersebut. Pengukuran kinerja tampak
obyektif dan merupakan kegiatan yang rutin, namun seringkali memicu timbulnya
perilaku yang tidak semestinya ataupun menyimpang yaitu perataan (smoothing),
pencondongan (biasing), permainan (gaming), penonjolan dan
pelanggaran aturan (focusing and illegal act).
2.
Tahap Penilaian terdiri dari tiga
tahap rinci (Mulyadi,2001:424)
a. Pembandingan kinerja sesungguhnya
dengan sasaran
Pembandingan kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah
ditetapkan sebelumnya, penilaian kinerja tersebut dijelaskan, hasil pengukuran
kinerja secara periodik kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah
ditetapkan sebelumnya.
b. Identifikasi penyebab timbulnya
penyimpangan kinerja
Penentuan penyebab timbulnya penyimpangan kinerja
sesungguhnya dari yang ditetapkan dalam standar, Penyimpangan kinerja
sesungguhnya dari sasaran yang telah ditetapkan perlu dianalisis untuk
menentukan penyebab terjadinya penyimpangan, sehingga dapat direncanakan
tindakan untuk mengatasinya.
c. Proses Controling kinerja
Penegakan perilaku yang diinginkan dan tindakan yang
digunakan untuk mencegah perilaku yang tidak dinginkan Tahap terakhir dalam
pengukuran kinerja adalah tindakan koreksi untuk menegakkan perilaku yang
dinginkan dan mencegah terulangnya tindakan/perilaku yang tidak diinginkan.
Penilaian kinerja ditujukan untuk menegakkan perilaku tertentu dalam pencapaian
sasaran yang telah ditetapkan.
Sayangnya,
cita-cita yang mulia tersebut belum termanifestasi dalam tataran praktis.
Beberapa penyimpangan, disadari atau tidak disadari, justru sering dilakukan
oleh para pengurus dan pengelola yang semestinya membangun dan mengembangkan
koperasi. Berbagai kebijakan dan prosedur formal didesaian dengan sangat
birokratik sehingga justru mengurangi kinerja. Sebagai akibatnya, masyarakat
yang menjadi anggota koperasi menjadi apatis dan menilai keberadaan koperasi
tidak menolong kesulitan mereka.
Pengurus
diberi amanah (trusteeship) oleh para anggota untuk mengelola koperasi sehingga
tercapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Mereka bertanggung jawab
melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai
dengan keputusan Rapat Anggota. Dengan begitu, pengurus koperasi dituntut
mempunyai kemampuan dan keterampilan manajerial yang memadai. Selain itu,
mereka juga harus mempunyai sense of public
service, yaitu kesadaran untuk memberikan layanan masyarakat yang dilandasi
oleh rasa pengabdian yang mendalam. Sebagai salah satu perangkat koperasi,
pengurus ibarat nahkoda kapal yang harus piawai dalam menghadapai badai
sehingga membuat para penumpang merasa aman sampai di tempat tujuan. Namun
demikian, harapan tersebut nampaknya saat ini masih belum terwujud. Hal ini
paling tidak bisa dilihat dari menurunnya rata-rata tingkat kinerja koperasi
yang ada di Indonesia. Volume usaha koperasi pada tahun 1998 dengan jumlah
koperasi sebanyak 52.458 unit mencapai Rp.19.543 milyar, selanjutnya pada tahun
2000 dengan jumlah koperasi lebih dari 100.000 unit, volume usaha koperasi
justru menurun menjadi Rp.14.643 milyar. Memang penurunan volume usaha ini
bukan semata-mata disebabkan oleh pengurus koperasi dan tidak semua pengurus
koperasi mempunyai kinerja yang rendah. Namun, setidaknya hal ini menjadi
pemicu untuk mengkaji ulang dan media pembelajaran dalam rangka perbaikan
kinerja masa datang.
F. Pengevaluasian
kinerja
Evaluasi kinerja dapat digunakan untuk menekan perilaku yang tidak
semestinya dan untuk merangsang serta menegakkan perilaku yang semestinya
diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta pemberian
penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik.
Dengan adanya evaluasi kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang
obyektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi yang disumbangkan
masing-masing pusat pertanggungjawaban kepada perusahaan secara keseluruhan.
Semua ini diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan pada masing-masing
bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Menurut Mulyadi penilaian/evalusi kinerja dapat dimanfaatkan oleh manajemen
untuk :
1)
Mengelola
operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan
secara maksimum.
2)
Membantu
pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawannya seperti promosi,
pemberhentian, mutasi.
3)
Mengidentifikasi
kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria
seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
4)
Menyediakan
umpan balik bagi karyawan mengeai bagaimana atasan mereka menilai kinerja
mereka.
5)
Menyediakan suatu
dasar bagi distribusi penghargaan.
Penilaian
melalui pendekatan kualitatif dilakukan dengan menilai aspek permodalan, kualitas
aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, likuiditas, sedangkan
kuantitatif dilakukan dengan melakukan analisa dan pengujian atas
komponen yang tidak dapat dikuantifikasikan tetapi mempunyai pengaruh yang
material terhadap tingkat kesehatan KSP/USP.
Penilaian
dilakukan dengan menggunakan sistem nilai kredit atau reward system yang
dinyatakan dalam angka dengan nilai kredit 0 sampai dengan 100 pada setiap
aspek yang dinilai
Bobot penilaian terhadap aspek dan
komponen tersebut ditetapkan sebagai berikut :
No.
|
Aspek yang
Dinilai
|
K o m p o
n e n
|
Bobot %
|
|
1
|
Permodalan
|
20
|
||
A) Rasio Modal Sendiri terhadap
Total Asset
|
10
|
|||
B) Rasio Modal Sendiri
terhadap Pinjaman diberikan yang beresiko
|
10
|
|||
2
|
Kualitas Aktiva
|
30
|
||
Produktif
|
A) Rasio Volume Pinjaman
pada Anggaran terhadap Total Volume Pinjaman Diberikan
|
10
|
||
B) Rasio Resiko Pinjaman Bermasalah
terhadap Pinjaman Diberikan
|
10
|
|||
C) Rasio Cadangan Resiko
terhadap Resiko Pinjaman Bermasalah
|
10
|
|||
3
|
Manajemen
|
25
|
||
A) Permodalan
|
5
|
|||
B) Aktiva
|
5
|
|||
C) Pengelolaan
|
5
|
|||
D) Rentabilitas
|
5
|
|||
E) Likuiditas
|
5
|
|||
4
|
Rentabilitas
|
15
|
||
A) Rasio SHU sebelum
Pajak terhadap Pendapatan Operasional
|
5
|
|||
B) Rasio SHU sebelum
Pajak terhadap Total Asset
|
5
|
|||
C) Rasio Beban
Operasional terhadap Pendapatan Operasional
|
5
|
|||
5
|
Likuiditas
|
Rasio Pinjaman yang Diberikan terhadap Dana yang
Diterima
|
10
|
1.
Evaluasi Kinerja Melalui Pembobotan
Aspek Dan Komponen Penilaian.
a.
Permodalan
Untuk
memperoleh rasio antara modal sendiri terhadap total asset ditetapkan sbb :
1)
untuk rasio
permodalan lebih kecil atau sama dengan 0 diberikan nilai kredit 0.
2)
untuk setiap kenaikan rasio modal 1%
mulai dari 0% nilai kredit ditambah 5 dengan maksimum nilai 100.
3)
nilai kredit dikalikan bobot sebesar
10% diperoleh skor permodalan.
Contoh
perhitungan sebagai berikut :
Rasio modal
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
0
|
0
|
10
|
0
|
5
|
25
|
10
|
2.5
|
10
|
50
|
10
|
5.0
|
15
|
75
|
10
|
7.5
|
20
|
100
|
10
|
10.0
|
Untuk
memperoleh rasio modal sendiri
terhadap pinjaman diberikan yang berisiko, ditetapkan sebagai berikut :
1)
untuk rasio permodalan lebih kecil atau sama dengan 0 diberikan nilai
kredit 0.
2)
untuk setiap kenaikan rasio 1% mulai
dari 0% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
3)
nilai kredit dikalikan bobot sebesar
10% diperoleh skor permodalan.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio modal
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
0
|
0
|
10
|
0
|
10
|
10
|
10
|
1.0
|
20
|
20
|
10
|
2.0
|
30
|
30
|
10
|
3.0
|
40
|
40
|
10
|
4.0
|
50
|
50
|
10
|
5.0
|
60
|
60
|
10
|
6.0
|
70
|
70
|
10
|
7.0
|
80
|
80
|
10
|
8.0
|
90
|
90
|
10
|
9.0
|
100
|
100
|
10
|
10.0
|
2.
Kualitas Aktiva Tetap
Penilaian
terhadap kualitas aktiva produktif didasarkan pada 3 (tiga) rasio, yaitu rasio
antara volume pinjaman kepada anggota terhadap total volume pinjaman diberikan
rasio antara rasio pinjaman bermasalah dengan pinjaman yang diberikan dan rasio
antara cadangan risiko dengan piniaman bermasalah.
a.
Pinjaman Bermasalah, terdiri dari :
Pinjaman
Kurang Lancar
Pinjaman
digolongkan kurang lancar apabila memenuhi kriteria di bawah ini :
1) Pengembangan pinjaman dilakukan
dengan angsuran yaitu :
a) Terdapat tunggakan angsuran pokok
sebagai berikut :
§
Tunggakan melampaui 1 (satu) bulan
dan belum melampaui 2 (dua) bulan bagi pinjaman dengan masa angsuran kurang
dari 1 (satu) bulan; atau
§
Melampaui 3 (tiga) bulan dan belum
melampaui 6 (enam) bulan bagi pinjaman yang masa angsurannya ditetapkan bulanan,
2 (dua) bulan atau 3 bulan; atau
§
Melampaui 6 (enam) bulan tetapi
belum melampaui 12 (dua belas) bulan bagi pinjaman yang masa angsurannya
ditetapkan 6 (enam) bulan atau Iebih; atau
b) Terdapat tunggakan bunga sebagai
berikut :
§
Tunggakan melampaui 1 (satu) bulan
tetapi belum melampaui 3 (tiga) bulan bagi pinjaman dengan masa angsuran kurang
dari 1 (satu) bulan; atau
§
Melampaui 3 (tiga) bulan, tetapi
belum melampaui 6 (enam) bulan bagi pinjaman yang masa angsurannya Iebih dari 1
(satu) bulan.
2) Pengembalian pinjaman tanpa angsuran
yaitu :
§
Pinjaman belum jatuh tempo, terdapat
tunggakan bunga yang melampaui 3 (tiga) bulan tetapi belum melampaui 6 (enam)
bulan.
§
Pinjaman telah jatuh tempo dan belum
dibayar tetapi belum melampaui 3 (tiga) bulan.
b.
Pinjaman Yang Diragukan
Pinjaman
digolongkan diragukan apabila pinjaman yang bersangkutan tidak memenuhi
kriteria kurang lancar tetapi berdasarkan penilaian dapat disimpulkan bahwa :
1)
Pinjaman masih dapat diselamatkan
dan agunannya bernilai sekurang-kurangnya 75% dari hutang peminjam termasuk
bunganya; atau
2)
Pinjaman tidak dapat diselamatkan
tetapi agunannya masih bernilai sekurang-kurangnya 100% dari hutang peminjam.
c.
Pinjaman Yang Macet
Pinjaman
digolongkan macet apabila :
1)
Tidak memenuhi kriteria kurang
lancar dan diragukan atau
2)
Memenuhi kriteria diragukan tetapi
dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) bulan sejak digolongkan diragukan belum
ada pelunasan atau usaha penyelamatan pinjaman;
3)
Pinjaman tersebut penyelesaiannya
telah diserahkan kepada Pengadilan Negeri atau telah diajukan penggantian ganti
rugi kepada perusahaan asuransi kredit.
Untuk
mengukur rasio antara volume pinjaman kepada anggota terhadap total volume pinjaman
diberikan ditetapkan sebagai berikut :
1)
Untuk rasio sama dengan atau lebih
besar 60 % diberikan nilai kredit 100;
2)
Untuk rasio Iebih kecil 60 %
diberikan nilai kredit 0;
3)
Nilai kredit dikalikan bobot 10 %
diperoleh skor.
Contoh
perhitungan sebagai berikut :
Rasio
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
> 60
|
100
|
10
|
10
|
<>
|
0
|
10
|
0
|
Untuk
memperoleh rasio antara risiko pinjaman bermasalah terhadap pinjaman
yang diberikan, ditetapkan sebagai berikut :
1)
menghitung perkiraan besarnya risiko
pinjaman bermasalah yaitu sebesar jumlah dari :
-
50% dari pinjaman diberikan yang
kurang lancar.
-
75% dari pinjaman diberikan yang
diragukan.
-
100% dari pinjaman diberikan yang
macet.
2)
hasil penjumlahan tersebut dibagi
dengan pinjaman yang diberikan.
3)
Perhitungan penilaian
-
Untuk rasio 50% atau Iebih diberi
nilai kredit 0.
-
Untuk penurunan rasio 1% nilai
kredit ditambah 2 dengan maksimum nilai 100.
-
Nilai dikalikan dengan bobot 10%
diperoleh skor.
Contoh
perhitungan sebagai berikut :
Rasio
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
> 50
|
0
|
10
|
0
|
45
|
10
|
10
|
1.0
|
40
|
20
|
10
|
2.0
|
30
|
40
|
10
|
4.0
|
20
|
60
|
10
|
6.0
|
10
|
80
|
10
|
8.0
|
0
|
100
|
10
|
10.0
|
Rasio cadangan risiko terhadap risiko pinjaman bermasalah dihitung
dengan cara penilaian, sebagai berikut :
a)
untuk rasio 0%
tidak mempunyai cadangan penghapusan diberi nilai 0.
b)
untuk setiap kenaikan 1% mulai dari
0%, maka nilai kredit tersebut ditambah sampai dengan maksimum 100.
c)
nilai dikalikan
bobot sebesar 10% diperoleh skor .
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
0
|
0
|
10
|
0
|
10
|
10
|
10
|
1.0
|
20
|
20
|
10
|
2.0
|
30
|
30
|
10
|
3.0
|
40
|
40
|
10
|
4.0
|
50
|
50
|
10
|
5.0
|
60
|
60
|
10
|
6.0
|
Rasio
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
70
|
70
|
10
|
7.0
|
80
|
80
|
10
|
8.0
|
90
|
90
|
10
|
9.0
|
100
|
100
|
10
|
10.0
|
3.
Penilaian Manajemen
Penilaian
manajemen meliputi beberapa komponen yaituPermodalan, Kualitas Aktiva
Produktif, Pengelolaan, Rentabilitas dan Likuiditas ;
Perhitungan
nilai kredit didasarkan kepada hasil penilaian atas jawaban pertanyaan
manajemen sebanyak 25 (dua puluh lima).
Selanjutnya
dilakukan kuantifikasi dengan cara memberi nilai kredit sebesar 4 (empat)
tempat setiap aspek yang dinilai positif nilai kredit dikalikan bobot sebesar
25% diperoleh skor manajemen.
Contoh
perhitungan sebagai berikut :
Positif
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
1
|
4
|
25
|
1,0
|
5
|
20
|
25
|
5,0
|
10
|
40
|
25
|
10,0
|
15
|
60
|
25
|
15,0
|
20
|
80
|
25
|
20,0
|
25
|
100
|
25
|
25,0
|
4.
Penilaian Retabilitas
Penilaian
kuantitatif terhadap rentabilitas didasarkan pada 3 (tiga) rasio SHU sebelum
pajak terhadap pendapatan operasional. SHU sebelum dikenakan pajak terhadap
total asset tersebut dan rasio beban operasional terhadap pendapatan
operasional.
Cara
perhitungan rasio SHU sebelum dikenakan pajak terhadap
pendapatan operasional
ditetapkan sebagai berikut :
a.
Untuk rasio 0% atau negatif diberi
nilai kredit 0.
b.
Untuk setiap kenaikan rasio 1% mulai
dari 0% nilai kredit ditambah 20 dengan maksimum nilai 100.
c.
Nilai kredit dikalikan dengan bobot
sebesar 5% diperoleh skor.
Contoh
perhitungan sebagai berikut :
Rasio
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
0
|
0
|
5
|
0
|
1
|
20
|
5
|
1.0
|
2
|
40
|
5
|
2.0
|
3
|
60
|
5
|
3.0
|
4
|
80
|
5
|
4.0
|
5
|
100
|
5
|
5.0
|
Perhitungan
nilai rasio SHU sebelum dikenakan pajak terhadap total
asset ditetapkan sebagai berikut :
a.
Untuk rasio 0 atau negatif diberi nilai kredit 0.
b.
Untuk setiap kenaikan rasio SHU 1%
mulai dari 0% nilai kredit ditambah 10 sampai dengan maksimum 100.
c.
Nilai kredit dikalikan dengan bobot
sebesar 5% diperoleh skor.
Contoh
perhitungan sebagai berikut :
Rasio
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
0
|
0
|
5
|
0
|
1
|
10
|
5
|
0.5
|
2
|
20
|
5
|
1.0
|
3
|
30
|
5
|
1.5
|
4
|
40
|
5
|
2.0
|
5
|
50
|
5
|
2.5
|
6
|
60
|
5
|
3.0
|
7
|
70
|
5
|
3.5
|
8
|
80
|
5
|
4.0
|
9
|
90
|
5
|
4.5
|
10
|
90
|
5
|
5.0
|
Perhitungan nilai kredit dari rasio
beban operasional terhadap pendapatan operasional dalam periode satu tahun buku, ditetapkan
sebagai berikut :
a.
Untuk rasio 100 % atau lebih diberi
nilai kredit 0.
b.
Untuk setiap penurunan rasio sebesar
1% mulai dari 100%
nilai kredit ditambah 10 sampai dengan maksimum 100.
nilai kredit ditambah 10 sampai dengan maksimum 100.
c.
Nilai kredit dikalikan dengan bobot
sebesar 5% diperoleh skor.
Contoh
perhitungan sebagai berikut :
Rasio
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
100
|
0
|
5
|
0
|
99
|
10
|
5
|
0.5
|
98
|
20
|
5
|
1.0
|
97
|
30
|
5
|
1.5
|
96
|
40
|
5
|
2.0
|
95
|
50
|
5
|
2.5
|
94
|
60
|
5
|
3.0
|
93
|
70
|
5
|
3.5
|
92
|
80
|
5
|
4.0
|
91
|
90
|
5
|
4.5
|
90
|
100
|
5
|
5.0
|
5.
Penilaian Likuiditas
Penilaian
kuantitatif terhadap likuiditas didasarkan rasio antara pinjaman yang diberikan
terhadap dana yang diterima.
Dana yang
diterima terdiri dari :
a.
Modal sendiri;
b.
Modal pinjaman;
c.
Modal penyertaan;
d.
Simpanan anggota (Tabungan Koperasi
dan Simpanan Berjangka)
Cara
perhitungan nilai kredit dari likuiditas dilakukan sebagai berikut :
a.
Untuk rasio 90 % atau lebih, diberi
nilai kredit 0;
b.
Untuk rasio dibawah 90 % diberi
nilai kredit 100;
c.
Nilai kredit dikalikan bobot sebesar
10 % diperoleh skor likuiditas.
Contoh
perhitungan sebagai berikut :
Rasio modal
(dinilai dalam %)
|
Nilai Kredit
|
Bobot
(dinilai dalam %)
|
Skor
|
> 90
|
0
|
10
|
0
|
<>
|
100
|
10
|
10.0
|
G. Penetapan
Hasil Evaluasi Kinerja Penilaian Kesehatan Koperasi
Berdasarkan
hasil perhitungan penilaian terhadap 5 komponen sebagaimana dimaksud pada angka
1 s/d 5, diperoleh skor secara keseluruhan. Skor dimaksud dipergunakan untuk
menetapkan predikat tingkat kesehatan KSP/USP yang dibagi dalam 4 (empat)
golongan yaitu sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat.
Penetapan
predikat tingkat kesehatan KSP/USP tersebut adalah sebagai berikut :
SKOR
|
PREDIKAT
|
81 - 100
|
SEHAT
|
66 - <>
|
CUKUP SEHAT
|
51 - <>
|
KURANG SEHAT
|
0 - <>
|
TIDAK SEHA
|
H. Faktor Lain
Yang Mempengaruhi Penilaian Koperasi
Meskipun
kuantifikasi dari komponen-komponen penilaian tingkat kesehatan menghasilkan
skor tertentu, masih perlu dianalisa dan diuji lebih lanjut dengan komponen
lain yang tidak termasuk dalam komponen penilaian dan atau tidak dapat
dikuantifikasikan. Apabila dalam analisa dan pengujian lebih lanjut terdapat
inkonsistensi atau ada pengaruh secara materiil terhadap tingkat kesehatan KSP
dan USP maka hasil dari penilaian yang telah dikuantifikasikan tersebut perlu
dilakukan penyesuaian sehingga dapat mencerminkan tingkat kesehatan yang
sebenarnya.
Penyesuaian
dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Koreksi Penilaian
Faktor-faktor
yang dapat menurunkan satu tingkat kesehatan KSP dan USP antara lain :
a.
pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan intern maupun ekstern.
b.
salah pembukuan tertunda pembukuan.
c.
pemberian pinjaman yang tidak sesuai
dengan prosedur.
d.
tidak menyampaikan laporan tahunan
atau laporan berkala 3 kali berturut-turut.
e.
mempunyai volume pinjaman diatas Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) tetapi tidak diaudit oleh akuntan publik.
f.
manajer USP belum diberikan wewenang
penuh untuk mengelola usaha.
2. Kesalahan fatal
Faktor-faktor
yang dapat menurunkan tingkat kesehatan KSP dan USP langsung menjadi tidak
sehat antara lain :
a.
adanya persediaan intern yang
diperkirakan akan menimbulkan kesulitan dalam koperasi yang bersangkutan.
b.
adanya campur tangan pihak diluar
koperasi atau kerjasama yang tidak wajar sehingga prinsip Koperasi tidak dilaksanakan
dengan baik.
c.
rekayasa pembukuan atau window
dressing dalam pembukuan sehingga mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap
koperasi.
d.
melakukan kegiatan usaha koperasi
tanpa membukukan dalam koperasinya.
I. Penyebab Penurunan
Kinerja Koperasi
Jika
dicermati, ada beberapa kemungkinan penyebab penurunan kinerja pengurus
koperasi.. Pertama, masih kuatnya budaya nepostisme yang secara tidak
sadar diyakini sebagai wujud azas kekeluargaan. Nepotisme ini mengakibatkan
pengangkatan, pemilihan dan pemberian amanah kepada pengurus dan atau pegawai
kurang mempertimbangkan kompetensi sehingga kapabilitas mereka rendah. Kedua,
belum adanya performance measure (ukuran prestasi) para pengurus koperasi
secara jelas. Jika tidak dirumuskan ukuran dan standar prestasi yang jelas,
bagaimana bisa diketahui bahwa si pengurus berhasil dan gagal. Ketiga, masih
rendahnya profesionalisme dan spesialisasi tugas. Dengan alasan efisiensi
tenaga kerja, sering seorang pengurus koperasi harus merangkap pekerjaan
sehingga justru semua pekerjaan tidak ada yang diselesaikan secara optimal.
Keempat, lambannya proses adopsi dan adaptasi teknologi maju. Ketertinggalan
sebagian koperasi dalam menerapkan teknologi maju menyebabkan kegiatan operasi
tidak efisien, tidak produktif dan sistem informasi kurang relevan.
Untuk
memperbaiki kinerja pengurus koperasi dibutuhkan beberapa upaya kongkrit.
1.
Penegakan disiplin harus
dilaksanakan secara maksimal. Hal ini salah satunya ditandai dengan kejelasan
akan sanksi dan punishment atas kesalahan yang diperbuat oleh oknum pengurus
koperasi. Hendaknya disadari bahwa pengurus koperasi, baik secara bersama-sama,
maupun sendiri-sendiri, berkewajiban menanggung kerugian yang diderita
koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kelalaiannya,
dan apabila dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi
Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan. Semua aktivitas pengurus yang telah
diberi amanah mengelola koperasi (agent) harus dipertanggungjawabkan di depan
para anggota sebagai pihak pemberi amanah (principal). Rapat Anggota Tahunan
(RAT) harus dijadikan wahana evaluasi hasil kinerja tahunan para pengurus
koperasi sebagai wujud akuntabilitas. Namun, gagasan tersebut mungkin terlalu
ideal jika hubungan pengurus dengan anggota bukan merupakan hubungan
agent dengan principal. Meskipun Koperasi berazas kekeluargaan,
pertanggungjawaban para pengurus tidak bisa ditempuh secara “kekeluargaan”
dengan memberikan toleransi yang tinggi atas penyimpangan yang dilakukan
pengurus. Mekanisme reward and punishment terhadap pengurus harus diperbaiki
dengan berlandaskan pada anggaran dasar dan kriteria kinerja yang jelas.
2.
Birokrasi yang berbelit-belit
seharusnya dipangkas. Prosedur dan tatacara perizinan, pelaporan maupun
pertanggungjawaban, baik secara teknis maupun administratif yang terlalu
panjang sering justru mematikan kreatifitas usaha sehingga menurunkan kinerja.
Bila kreativitas usaha dihambat oleh kepentingan birokrasi, maka besar
kemungkinan koperasi tersebut sulit untuk bisa berkembang. Eksistensi sebuah
koperasi juga membutuhkan dukungan dan partisipasi aktif seluruh
anggota. Jangan sampai mereka hanya namanya saja yang tercantum
sebagai anggota, tetapi tidak pernah berpartisipasi karena rumitnya prosedur
baku koperasi. Bureaucracy reengineering semestinya segera dilakukan dalam
rangka memicu peningkatan kinerja para pengurus dan atau pegawai koperasi.
3.
Menumbuhkan budaya berdasarkan Misi.
Mengubah koperasi yang digerakkan oleh peraturan dan birokrasi menjadi koperasi
yang digerakkan oleh misi. Cita-cita mulia dari pendirian sebuah koperasi yaitu
membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya serta untuk meningkatkan kesejahteraan
ekonomi dan sosialnya, harus diterjemahkan secara kongkrit dalam bentuk budaya
organisasi. Budaya yang terbentuk sering menyimpang dari misi sebuah koperasi
karena sebagian pengurus berusaha hanya meningkatkan kesejahteraan kelompoknya
dan bukan kesejahteraan anggota lainnya apalagi masyarakat. Pola pikir
(mindset) pengurus seperti ini berorientasi jangka pendek dan secara organisasi
merugikan koperasi itu sendiri.
4.
koperasi berorientasi pada anggota
dan masyarakat. Pertanggungjawaban pengurus pada saat RAT mestinya bukan
sekedar untuk memenuhi kepentingan birokrasi tetapi penilaian terhadap seberapa
berhasil para pengurus memenuhi kebutuhan dan harapan anggota atau masyarakat
selain anggota koperasi. Pada umumnya pengurus koperasi salah dalam
mengidentifikasikan variabel apa saja yang harus dipertanggungjawabkan pada
saat RAT. Orientasi pengurus adalah bagaimana agar laporan
pertanggungjawabannya dapat diterima oleh sebagian besar anggota koperasi
meskipun dalam jangka panjang kemungkinan bisa mengurangi daya saing ekternal.
Dalam kondisi seperti ini, pengurus akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan
birokrasi, sedangkan pada masyarakat dan bisnis, mereka seringkali tidak care.
Selayaknya, pengurus koperasi mengidentifikasikan siapa pelanggan yang
sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti pengurus tidak
bertanggungjawab pada anggota, tetapi sebaliknya, mereka menciptakan sistem
pertanggungjawaban ganda (dual accountability): kepada anggota dan kepada
masyarakat atau pelanggan lain yang secara langsung maupun tidak langsung
membutuhkan jasa koperasi.
5.
Berorientasi pada mekanisme pasar.
Koperasi harus mengembangkan prinsip-prinsip perusahaan dan pasar secara
maksimal. Penerimaan pegawai harus mengikuti seleksi ketat sesuai kemampuannya
masing-masing sehingga bisa direkrut karyawan yang benar-benar kompeten
dan trampil secara professional. Mekanisme administratif (sistem prosedur dan
pemaksaan) yang umumnya masih kental diterapkan pada lingkungan koperasi harus
segera diganti dengan mekanisme pasar (sistem insentif) yang cukup fleksibel
mengikuti dinamika pasar.
6.
Penerapan teknologi maju.
Computerized system terbukti mampu meningkatkan kinerja operasional suatu usaha
sehingga koperasi tidak bisa menghindar dari kondisi dinamis seperti ini.
Pelatihan dan pemberdayaan pengurus serta pegawai harus dilakukan secara terus
menerus agar mereka tidak gagap teknologi. Kompetisi harus menjadi sarana untuk
memicu inovasi para pengurus untuk eksis dan selalu berkembang.
J. Sisa Hasil
Usaha (SHU)
1. Pengertian Sisa Hasil Usaha (SHU)
Ditinjau dari aspek ekonomi manajerial, Sisa
Hasil Usaha (SHU) koperasi adalah selisih dari seluruh pemasukan atau
penerimaan total (total revenue [TU]) dengan biaya-biaya atau biaya
total (total cost [TC]) dalam satu tahun buku.
Sedangkan dari aspek legalistik, pengertian SHU menurut UU No. 25/1992, tentang Perkoperasian, Bab IX, pasal 45 adalah sebagai berikut :
1)
SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun
buku dikurangi dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak
dalam tahun buku yang bersangkutan.
2)
SHU setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding
jasa usaha yang dilakukan masing-masing anggota koperasi, serta digunakan untuk
keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan koperasi, sesuai keputusan
Rapat Anggota.
3)
Besarnya pemupukan modal dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
Perlu diketahui bahwa penetapan besarnya pembagian
kepada para anggota dan jenis serta jumlahnya untuk keperluan lain, ditetapkan
oleh Rapat Anggota sesuai dengan AD/ART Koperasi. Dalam hal ini, jasa usaha
mencakup transaksi usaha dan partisipasi modal.
Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka besarnya SHU yang diterima oleh setiap angota akan berbeda, tergantung besarnya partisipasi modal dan transaksi anggota terhadap pembentukan pendapatan koperasi. Dalam pengertian ini juga dijelaskan bahwa ada hubungan linear antara transaksi usaha anggota dan koperasinya dalam perolehan SHU. Artinya, semakin besar transaksi (usaha dan modal) anggota dengan koperasinya, maka semakin besar SHU yang akan diterima. Hal ini berbeda dengan perusahaan swasta, dimana deviden yang diperoleh pemilik saham adalah proporsional, sesuai dengan besarnya modal yang dimiliki. Hal ini merupakan salah satu pembeda koperasi dengan badan usaha lainnya.
Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka besarnya SHU yang diterima oleh setiap angota akan berbeda, tergantung besarnya partisipasi modal dan transaksi anggota terhadap pembentukan pendapatan koperasi. Dalam pengertian ini juga dijelaskan bahwa ada hubungan linear antara transaksi usaha anggota dan koperasinya dalam perolehan SHU. Artinya, semakin besar transaksi (usaha dan modal) anggota dengan koperasinya, maka semakin besar SHU yang akan diterima. Hal ini berbeda dengan perusahaan swasta, dimana deviden yang diperoleh pemilik saham adalah proporsional, sesuai dengan besarnya modal yang dimiliki. Hal ini merupakan salah satu pembeda koperasi dengan badan usaha lainnya.
2. Informasi Dasar Sisa Hasil Usaha (SHU)
Penghitungan SHU bagian anggota dapat dilakukan
bila beberapa informasi dasar diketahui sebagai berikut :
1)
SHU Total Koperasi pada satu tahun buku
2)
Bagian (persentase) SHU anggota
3)
Total simpanan seluruh anggota
4)
Total seluruh transaksi usaha (volume usaha atau omzet) yang bersumber dari
anggota
5)
Jumlah simpanan per anggota
6)
Omzet atau volume usaha per anggota
7)
Bagian (persentase) SHU untuk simpanan anggota
8)
Bagian (persentase) SHU untuk transaksi usaha anggota
3. Rumus Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU)
Acuan dasar untuk membagi SHU adalah
prinsip-prinsip dasar koperasi yang menyebutkan bahwa pembagian SHU dilakukan
secara adil sebanding denagn besarnya jasa usaha masing-masing anggota. Untuk
koperasi Indonesia, dasar hukumnya adalah pasal 5 ayat 1 ; UU No. 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian yang dalam penjelasannya mengatakan bahwa “pembagian
SHU kepada anggota dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki
seseorang dalam koperasi, tetapi juga berdasarkan perimbangan jasa usaha
anggota terhadap koperasi. Ketentuan ini merupakan perwujudan kekeluargaan dan
keadilan”.
Dengan demikian, SHU koperasi yang diterima oleh anggota bersumber dari 2 kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota sendiri, yaitu :
Dengan demikian, SHU koperasi yang diterima oleh anggota bersumber dari 2 kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota sendiri, yaitu :
a. SHU atas jasa modal
Pembagian ini juga sekaligus mencerminkan
anggota sebagai pemilik ataupun investor, karena jasa atas modalnya (simpanan)
tetap diterima dari koperasinya sepanjang koperasi tersebut menghasilkan SHU
pada tahun buku yang bersangkutan.
b. SHU atas jasa usaha
Jasa ini menegaskan bahwa anggota koperasi
selain pemilik juga sebagai pemakai atau pelanggan. Secara umum SHU Koperasi
dibagi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pada Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga
Koperasi sebagai berikut :
1)
Cadangan koperasi
2)
Jasa anggota
3)
Dana pengurus
4)
Dana karyawan
5)
Dana pendidikan
6)
Dana sosial
7)
Dana untuk pembangunan lingkungan
Tentunya tidak semua komponen di atas harus
diadopsi koperasi dalam membagi SHU-nya. Hal ini sangat tergantung dari
keputusan anggota yang ditetapkan dalam rapat anggota.
Untuk mempermudah pemahaman rumus pembagian SHU
koperasi, berikut ini disajikan salah satu kasus pembagian SHU di salah satu
koperasi (selanjutnya disebut Koperasi A).
K. Prinsip-Prinsip Pembagian Sisa Hasil
Usaha (SHU) Koperasi
Telah diuraikan pada teori koperasi bahwa anggota berfungsi ganda yaitu sebagai pemilik (owner) dan sekaligus pelanggan (customer). Sebagai pemilik, seorang enggota berkewajiban melakukan investasi. Dengan demikian, sebagai investor, anggota berhak menerima hasil investasinya. Di sisi lain, sebagai pelanggan, seorang anggota berkewajiban berpartisipasi dalam setiap transaksi bisnis di koperasinya. Seiring dengan prinsip-prinsip koperasi, maka anggota berhak menerima sebagian keuntungan yang diperoleh koperasinya.
Agar tercermin asas keadilan, demokrasi, transparansi, dan sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip pembagian SHU sebagai berikut :
1)
SHU yang dibagi adalah bersumber dari anggota.
2)
SHU anggota adalah jasa dari modal da transaksi usaha yang dilakukan
anggota sendiri.
3)
Pembagian SHU anggota dilakukan secara transparan.
4)
SHU anggota dibayar secara tunai.
L. Pembagian SHU per Anggota
Untuk memperjelas pemahaman tentang penerapan rumus SHU per anggota dan prinsip-prinsip pembagian SHU seperti diuraikan di atas, di bawah ini disajikan data Koperasi A, yang datanya sudah diperbaharui dan disederhanakan.
1)
Perhitungan SHU (Laba/Rugi) Koperasi A Tahun Buku 1998 (Rp 000)
2)
Sumber SHU
Catatan :
Data ini dapat diperoleh bila koperasi melakukan
pembukuan transaksi anggota dan non anggota. Apabila hal tersebut tidak dilakukan,
maka mustahil koperasi dapat melakukan pembagian SHU yang transparan,
demokratis, dan adil. Dan itu semua adalah biaya, yang kelihatannya kurang
efisien tetapi harus dilakukan oleh koperasi sebagai badan usaha yang dibatasi
dengan prinsip-prinsip koperasi.
3)
Pembagian SHU menurut Pasal 15, AD/ART Koperasi A
4)
Jumlah Anggota, Simpanan dan Volume Usaha Koperasi
5)
Kompilasi Data Simpanan, Transaksi Usaha, dan SHU Per Anggota (dalam
ribuan)
REFERENSI :
1. Ropke,
J. 2000. Ekonomi Koperasi, Teori dan Manajemen. Diterjemahkan oleh Hj. Sri
Djatnika S. Arifin. SE. M.Si. Penerbit Salemba Empat
2. Hendar
dan Kusnadi. 1999. Ekonomi Koperasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
3. Baswir,
R. 2000. Koperasi Indonesia BPFE Yogyakarta.
4. UU
Nomor 17 tahun 2012 terntang Perkoperasian
5. UU
Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
6.
Peraturan Pemerintah RI No 44 tahun 1997 tentang Kemitraan
Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2005), Pengembangan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Jakarta.
Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2005), Pengembangan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Jakarta.
7.
Firmansyah, 2001. Dinamika Usaha Kecil dan Menengah.
LIPI. Jakarta.
8.
Hendar, kusnadi 2005 Ekonomi Koperasi. Jakarta:
Fakultas Ekonomi
9.
Drs. Sitio Arifin,M.Sc.,Ir.Tamba Halomoan, M.B.A,2001.Koperasi
Teori dan Praktek.Jakarta : Erlangg
10.
Pristiyanto Blog EVALUASI KINERJA KOPERASI
SIMPAN PINJAM BERDASARKAN PENILAIAN KESEHATAN KOPERASI.htm
11.
SISA HASIL USAHA (SHU) & PRINSIP-PRINSIP
KOPERASI Ekonomi - AndaiKata.com.htm
SUMBER LAIN :
http://serewax.blogspot.co.id/2014/03/kinerja-koperasi-dan-shu.html
http://www.pibi-ikopin.com/index.php/artikel-bisnis/91-kewirakoperasian
https://sukasukadwi.wordpress.com/2014/01/03/kewirakoperasian/
http://chankeabiee.blogspot.co.id/2011/02/wirausaha-koperasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar