Kebijakan Pemerintah dalam Memperdayakan UMKM dan
Koperasi di Indonesia
Pada modul saya kali ini, saya sangat tertarik sekali untuk membahas
mengenai Perkembangan UMKM dan koperasi di Indonesia yang mana saat ini
menunjukkan kinerja yang positif. Perkembangan usaha koperasi yang ditunjukkan
dari aspek-aspek modal, volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU) juga
menunjukkan kinerja yang terus meningkat. Di samping itu juga saya melihat
Kinerja UMKM secara umum cukup bervariasi dari tahun ke tahun.Kontribusi PDB
UMKM mengalami tren penurunan, Rendahnya produktivitas menjadi kendala bagi
UMKM untuk berkembang dan mencapai skala ekonomi yang semakin besar. Namun
terlepas dari produktivitas yang rendah, UMKM memiliki dayatahan yang lebih
baik terhadap krisis, yang terbentuk karena struktur organisasi dan tenaga
kerja UMKM yang lebih fleksibel dalam menyesuaikan dengan perubahan pasar. Daya
tahan dan fleksibilitas ini menjadikan UMKM digunakan oleh sebagian besar
masyarakat sebagai sumber utama penghidupan.
Berdasarkan yang telah saya baca dari salah satu sumber bahwa tingkat
produktivitas dan kebutuhan untuk meningkatkan populasi usaha kecil dan
menengah, maka peningkatan produktivitas usaha mikro dijadikan sebagai target
pemberdayaan UMKM ke depan. Perbaikan kapasitas dan produktivitas usaha mikro
dapat dilakukan melalui penguatan aset, keterampilan dan keterhubungannya
dengan jaringan usaha dan pemasaran dalam satu system bisnis yang mapan.
Peningkatan kapasitas usaha mikro juga diharapkan dapat meningkatan pendapatan
masyarakat secara umum yang selanjutnya akan berkontribusi pada pengurangan
angka kemiskinan. Peran usaha kecil dan menengah juga perlu ditingkatkan dalam
memperkuat basis produksi di dalam negeri, dan partisipasi di pasar ekspor dan
investasi.
Dalam lima tahun ke depan yaitu 2015-2019, pemberdayaan koperasi danUMKM
akan dilaksanakan melalui berbagai kebijakan untuk meningkatkan daya saing
koperasi dan UMKM. Kebijakan-kebijakan tersebut mencakup upaya-upayapeningkatan
kapasitas dan kinerja usaha koperasi dan UMKM, penguatan danperluasan peran
sistem pendukung usaha, dan peningkatan dukungan iklim usaha. Hal ini sejalan
dengan tiga tataran pemberdayaan koperasi dan UMKM dimana pada tataran makro,
kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM mencakup perbaikan lingkungan usaha
yang diperlukan untuk mendukung perkembangan koperasi dan UMKM. Beberapa isu
lingkungan usaha di antaranya berkaitan dengan peraturan, persaingan usaha,
biaya transaksi, formalisasi usaha, serta peran pemerintah, swasta dan
masyarakat.
Kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM pada tataran mesomencakup
peningkatan sistem pendukung usaha yang mencakup lembaga atau sistem yang
menyediakan dukungan bagi peningkatan akses koperasi dan UMKM ke sumber daya
produktif dalam rangka perluasan usaha dan perbaikan kinerja. Sumber daya
produktif mencakup bahan baku, modal, tenaga kerja terampil, informasidan
teknologi. Perluasan usaha mencakup peningkatan tata laksana kelembagaan,
peningkatan kapasitas dan perluasan jangkauan pasar. Sementaraitu kebijakan
pemberdayaan koperasi dan UMKM pada tataran mikro mencakup peningkatan kualitas
kelembagaan koperasi dan UMKM serta perbaikan kapasitas dan kualitas sumber
daya manusia (SDM) baik dari aspek kewirausahaan, maupun kemampuan teknis,
manajeman dan pemasaran.
Ketiga tataran kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM tersebut
telahmenjadi acuan rencana kerja Kementerian Koperasi dan UKM dalam periode
2000-2004, 2004-2009 dan 2010-2014. Hasilnya menunjukkan masih banyak perbaikan
yang perlu dilakukan untuk mewujudkan koperasi dan UMKM yang memiki usaha yang
berkelanjutan, mandiri dan berdaya saing. Perkembangan koperasi dan UMKM juga
masih membutuhkan dukungan kebijakan yang membantu koperasi dan UMKM dalam
merespon perubahan pasar dan perekonomian yang dinamis. Koperasi dan UMKM juga
perlu diperkuat sehingga mampu berkontribusi pada perbaikan struktur pelaku
usaha nasional menjadi lebih kokoh dan seimbang, baik dalam skala usaha, strata
maupun sektoral.
Menurut
Tulus Tambunan (2002) seperti yang dikutip oleh Choirul Djamhari
(2004: 522), “Di Indonesia kebijakan terhadap UKM lebih
sering dikaitkan dengan upaya pemerintah mengurangi pengangguran, memerangi
kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Karena itu pengembanganUKM sering
dianggap secara tidak langsung sebagai kebijakan penciptaan kesempatan kerja,
atau kebijakan redistribusi pendapatan”. Jadi, di Indonesia kebijakan UKM masih
berorientasi kepada sosial daripada pasar atau persaingan sehingga kebijakan
yang diambil belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijakan ekonomi makro.
Berdasarkan
beberapa pendapat dan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam menjamin
pengembangan UKM dapat disimpulkan bahwa dalam rangka
memberdayaan UKMdpat
ditempuh meliputi :
1)
Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM
dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional yang meliputi
: Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan
dana; Persaingan; Prasarana; Informasi; Kemitraan; Perijinan; Perlindungan;
2)
Pembinaan dan pengembangan usaha
kecil di tingkat nasional meliputi : Produksi; Pemasaran; Sumber daya manusia;
Teknologi;
3)
Fasilitasi akses penjaminan dalam
penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi : kredit
perbankan; penjaminan lembaga bukan bank; Modal ventura; pinjaman
dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; hibah; jenis pembiayaan lain.
Kebijakan Pemerintah dalam Memperdayakan UMKM dan
Koperasi di Indonesia
Pertumbuhan
ekonomi nasional sangat ditentukan oleh dinamika perekonomian daerah, sedangkan
perekonomian daerah pada umumnya ditopang oleh kegiatan ekonomi berskala kecil
dan menengah. Unit usaha yang masuk dalam kategori Usaha Mikro,Kecil dan
Menengah (UMKM) merupakan urat nadi perekonomian daerah dan nasional. Sektor
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan usaha yang tangguh di tengah
krisis ekonomi. Saat ini sekitar 99% pelaku
ekonomi mayoritas adalah pelaku usaha UMKM yang terus tumbuh secara
signifikan dan menjadi sektor usaha yang mampu menjadi penopang stabilitas
perekonomian nasional. Peranan pemerintah sebagai salah
satu prasyarat keberhasilan dalam pengembangan UMKM dengan melakukan berbagai
terobosan untuk meningkatkan kinerja UMKM sehingga dapat menghasilkan
produk-produk yang berdaya saing tinggi. Mengingat sebagian
besar penduduk Indonesia adalah pelaku usaha kecil
yang harus diperhatikan secara serius dan berkesinambungan , memiliki peluang yang
besar untuk mengembangkan produk - produk yang berorientasi pada ekspor .
Pemerintah perlu mengambil langkah – langkah strategis guna mendukung
pertumbuhan dan perkembangan UMKM agar tidak hanya menjadi pelaku didalam
negeri sendiri namun dapat pula melangkah maju pada tingkat regional terutama
dalam menghadapi Pasar Bebas ASEAN.
A.
Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
:
Pengertian UMKM
1.
Usaha
Mikro adalah usaha produktif milik
orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha
Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Mikro
memiliki kriteria asset maksimal sebesar 50 juta dan omzet sebesar 300 juta.
2.
Usaha
Kecil adalah usaha ekonomi produktif
yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Usaha Kecil memiliki kriteria
asset sebesar 50 juta sampai dengan 500 juta dan omzet sebesar 300 juta
sampai dengan 2,5 miliar.
3.
Usaha
Menengah adalah usaha ekonomi produktif
yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau
hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha
Menengah memiliki kriteria asset sebesar 500 juta sampai dengan 10 miliar dan
omzet sebesar 2,5 miliar sampai dengan 50 miliar.
Terdapat beberapa acuan definisi yang digunakan berbagai instansi di
Indonesia, yaitu :
1.
UU No.9 tahun 1995 tentang mengatur kriteria
usaha kecil berdasarkan nilai aset tetap (di luar tanah dan bangunan) paling
besar Rp 200 juta dengan omzet per tahun maksimal Rp 1 milyar. Sementara itu
berdasarkan Inpres No.10 tahun 1999 tentang usaha menengah, batasan aset tetap
(di luar tanah dan bangunan) untuk usaha menengah adalah Rp 200 juta hingga Rp
10 milyar.
2.
Kementerian Koperasi dan UKM menggolongkan
suatu usaha sebagai usaha kecil jika memiliki omset kurang dari Rp 1 milyar per
tahun. Untuk usaha menengah batasannya adalah usaha yang memiliki omset antara
Rp 1 sampai dengan Rp 50 milyar per tahun.
3.
Departemen
Perindustrian dan Perdagangan menetapkan
bahwa industri kecil dan menengah adalah industri yang memiliki nilai investasi
sampai dengan Rp 5 milyar. Sementara itu usaha kecil di bidang perdagangan dan
industri juga dikategorikan sebagai usaha yang memiliki aset tetap kurang dari
Rp 200 juta dan omzet per tahun kurang dari Rp 1 milyar (sesuai UU no.9 tahun
1995)
4.
Bank Indonesia menggolongkan usaha kecil dengan merujuk pada UU no 9/1995, sedangkan
untuk usaha menengah BI menentukan sendiri kriteria aset tetapnya dengan
besaran yang dibedakan antara industri manufaktur (Rp 200 juta s/d Rp 5 miliar)
dan non manufaktur (Rp 200 – 60 juta).
5.
Badan Pusat
Statistik (BPS) menggolongkan suatu usaha
berdasarkan jumlah tenaga kerja. Usaha mikro adalah usaha yang memiliki pekerja
1-5 orang. Usaha kecil adalah usaha yang memiliki pekerja 6-19
orang. Usaha menengah memiliki pekerja 20-99 orang dan usaha besar memiliki
pekerja sekurang-kurangnya 100 orang.
Menurut
Sri Winarni (2006) Pada umumnya, usaha kecil mempunyai ciri antara
lain sebagai berikut (1) Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum
berbadan hukum perusahaan, (2) Aspek legalitas usaha lemah, (3) Struktur
organisasi bersifat sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku, (4)
Kebanyakan tidak mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan pemisahan
antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan, (5) Kualitas manajemen
rendah dan jarang yang memiliki rencana usaha, (6) Sumber utama modal usaha
adalah modal pribadi, (7) Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas, (7) Pemilik
memiliki ikatan batin yang kuat dengan perusahaan, sehingga seluruh kewajiban
perusahaan juga menjadi kewajiban pemilik.
Usaha Mikro,
Kecil,dan Menengah (UMKM) telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Sejarah membuktikan, ketika terjadi krisis moneter di tahun 1998 banyak usaha
besar yang tumbang karena dihantam krisis tersebut, namun UMKM tetap eksis dan
menopang kelanjutan perekonomian Indonesia. Tercatat, 96% UMKM di Indonesia
tetap bertahan dari goncangan krisis. Hal yang sama juga terjadi di tahun
2008-2009. Ketika krisis datang dan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan
ekonomi, UMKM lagi-lagi menjadi juru selamat ekonomi Indonesia.
Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah juga berperan dalam memperluas lapangan kerja dan
memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan
dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional.
Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya
mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 % dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah
air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Sementara itu,
kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen.
Angka tersebut terus meningkat seiring dengan pertumbuhan UMKM dari
tahun ke tahun.
Meski
demikian, UMKM juga masih memiliki beberapa kendala antara lain dalam hal
produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi,
permodalan, serta iklim usaha. Dalam pertemuan APEC 2013, Menkop dan UMKM
Syarif Hasan mengungkapkan 3 kendala yang dihadapi oleh pelaku UMKM yakni
permodalan, teknologi, dan pemasaran. Agar kendala tersebut tidak berlanjut,
perlu dilakukan upaya pemberdayaan UMKM.
Dalam rangka
pemberdayaan UMKM, keterlibatan stakeholder sangat menentukan
keberhasilannya. Sejauh ini keterlibatan stakeholder UMKM
antara lain terdiri dari instansi pemerintah, lembaga pendidikan, LSM,
koperasi, perbankan dan asosiasi usaha. Menurut Karsidi dan Irianto (2005)
keterlibatan yang ada masih bersikap sendiri-sendiri dan kurang intergratif
antara stakeholder satu dengan yang lain.
Sejatinya pemberdayaan
UMKM merupakan gerakan sinergis antar berbagai pihak. Namun pemerintah tetap
memegang peranan terbesar dalam upaya pemberdayaan tersebut.
Keterlibatan pemerintah dalam memberdayakan
UMKM telah diatur jelas dalam UU No. 20
tahun 2008 tentang UMKM. Undang-Undang ini memuat tentang
ketentuan umum, asas, prinsip dan tujuan
pemberdayaan, kriteria, penumbuhan iklim
usaha, pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, kemitraan, dan koordinasi
pemberdayaan, sanksi administratif dan ketentuan pidana.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah mampu membuktikan eksistensinya
dalam perekonomian di Indonesia. Ketika badai krisis moneter melanda Indonesia
di tahun 1998, banyak investor dan pengusaha besar yang mengalihkan modalnya ke
negara-negara lain, sehingga perekonomian Indonesia dikala itu semakin
terpuruk. Usaha kecil dan sektor riil mampu bertahan dan menopang roda
perekonomian bangsa Indonesia. Undang-undang yang mengatur tentang seluk-beluk
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. Dalam undang-undang tersebut
dijelaskan bahwa sebuah perusahaan yang digolongkan sebagai UMKM adalah perusahaan
kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh sekelompok
kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu. Rinciannya sebagai
berikut :
1)
Usaha produktif
yang kekayaannya sampai 50 juta rupiah dengan pendapatan sampai 300 juta rupiah
per tahun digolongkan sebagai Usaha Mikro.
2)
Usaha produktif
yang nilai kekayaan usahanya antara 50 juta hingga 500 juta rupiah dengan total
penghasilan sekitar 300 juta hingga 2,5 milyar rupiah per tahun dikategorikan
sebagai Usaha Kecil.
3)
Sedangkan Usaha
Menengah merupakan usaha produktif yang memiliki kekayaan (modal) 500 juta
hingga 10 milyar rupiah dengan jumlah pendapatan pertahun berkisar 2,5 – 50
milyar rupiah.
4)
Menurut Bank Dunia,
UMKM dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu Usaha Mikro (jumlah karyawan
10 orang), Usaha Kecil (jumlah karyawan 30 orang) dan Usaha Menengah/Medium
(jumlah karyawan hingga 300 orang). Dalam perspektif usaha, UMKM
diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu:
5)
UKM sektor informal
atau dikenal dengan istilah Livelihood Activities, contohnya pedagang kaki lima
dan warteg.
6)
UKM Mikro atau
Micro Enterprise adalah para UKM dengan kemampuan sifat pengerajin namun tidak
memiliki jiwa kewirausahaan dalam mengembangkan usahanya.
7)
Usaha Kecil Dinamis
(Small Dynamic Enterprise) adalah kelompok UKM yang mampu berwirausaha
dengan menjalin kerjasama (menerima pekerjaan subkontrak) dan ekspor.
8)
Fast Moving
Enterprise adalah UKM-UKM yang mempunyai kewirausahaan yang cakap dan telah
siap untuk bertranformasi menjadi usaha besar.
Secara umum, usaha kecil memiliki ciri-ciri: manajemen berdiri sendiri,
modal disediakan sendiri, daerah pemasarannya lokal, aset perusahaannya kecil,
dan jumlah karyawan yang dipekerjakan terbatas. Asas pelaksanaan UMKM
adalah kebersamaan, ekonomi yang demokratis, kemandirian, keseimbangan
kemajuan, berkelanjutan, efesiensi keadilan, serta kesatuan ekonomi
nasional. UMKM mendapat perhatian dan keistimewaan yang
diamanatkan oleh undang-undang, antara lain: bantuan kredit usaha dengan
bunga rendah, kemudahan persyaratan izin usaha, bantuan pengembangan usaha dari
lembaga pemerintah, beberapa kemudahan lainnya.
B. Perkembangan
dan Pemberdayaan UMKM di Indonesia
Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM) yang mengalami peningkatan yang sangat menggembirakan
dikarenakan berhasil menyumbangkan 57% dari PDB (di dukung oleh data BPS tahun
2006 - 2010) dimana UMKM meningkat bukan hanya dari segi kuantitas melainkan
tenaga kerja, modal serta asset mereka. UMKM juga dikatakan usaha ekonomi
produktif yang cukup kuat, sekalipun terjadi gejolak atau krisis mereka tidak
terkena dampak yang begitu menyedihkan. Hal tersebut dikarena prinsip
kemandirian yang dimiliki yang artinya mereka memiliki modal sendiri dan tidak
terlalu bergantung pada lembaga lain sehingga membuat mereka kokoh hingga saat
ini dan menjadi katup perekonomian negara.
Pencapaian
yang sangat menggembirakn bagi UMKM kita tidak didapat hanya dengan sekali
mengedipkan mata. Banyak tantangan yang mereka harus lalui dan banyak masalah
yang harus mereka selesaikan baik secara modal, tenaga kerja, kegiatan produksi
dan hal lainnya. Sehingga apabila terdapat UMKM yang tidak siap dan tak mampu
menghindari atau mengatasi gejolak yang datang maka tidak mustahil akan ada
juga UMKM yang kolaps.
Berdasarkan
masalah-maslah yang dialami oleh koperasi dan UMKM di Indonesia penulis
menganalisis dan memiliki strategi penyelesaian masalah-masalah tersebut yang
mereka alami agar tak terulang kembali dan terus meningkat baik secara
kuantitas maupun kualitas. Strategi yang penulis sarankan, baik bagi pemerintah
khususnya Menteri Koperasi dan UMKM, anggota serta pengurus koperasi di seluruh
Indonesia dan para owner UMKM di seluruh Indonesia untuk agar memiliki komitmen
yang kuat untuk meningkatkan perekonomian Indonesia melalui cara-cara berikut,
diantaranya :
1)
Penyediaan modal dan akses kepada
sumber dan lembaga keuangan. Ditambah dengan pemberian kemudahan (bukan
berbelit-belit) dalam mengurus administrasi untuk mendapatkan modal dari
lembaga keuangan. Dapat juga melalui pengefektifan dan pengefisienan program
Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah disediakan oleh pemerintah sebelumnya.
2)
Meningkatkan kualitas dan kapasitas
kompetensi SDM. Melalui pendidikan dan pelatihan baik dilakukan oleh pemerintah
maupun oleh koperasi atau UMKM itu sendiri. Selain itu, untuk meningkatkan
kualitas SDM, mereka perlu “dibangunkan” kembali mengapa mereka berada di
koperasi, orang yang masih konsisten berusaha mengembalikan mindset orang
yang tidak aktif agar mereka mau berorganisasi khususnya koperasi
berdasarkan asas dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
3)
Meningkatkan kemampuan pemasaran
UMKM. Pemberian pendidikan mengenai pemasaran atau dengan cara membuka/merekrut
tenaga profesional yang ahli dalam hal pemasaran.
4)
Meningkatkan akses informasi usaha
bagi UMKM.
5)
Menjalin kemitraan yang saling
menguntungkan antar pelaku usaha (UMKM, Usaha Besar dan BUMN).
6)
Melakukan/membuat program goes to
goal, yaitu langsung ke tujuan atau sasaran. Dilakukan dengan cara memberikan
bantuan baik modal, konsep, dan hal-hal yang dibutuhkan oleh koperasi dan UMKM
atau dengan membidik para individu yang memiliki jiwa enterpreneur dengan tetap
adanya prinsip prudensial dan adanya manager investasi (meminjam istilah
perbankan syariah dimana nasabah yang telah diberi pinjaman tetap terus
mendapat pengawasn atau layanan prima dalam pengolahan dana yang ). Selama ini
banyak orang ahli dalam bidang UMKM mengadakan seminar-seminar demi
meningkatnya kualitas dan kuantitas dari UMKM, namun “efek” yang ada dari
seminar tersebut tidaklah lama, hanya bertahan sebentar, untuk itu lebih baik
mereka mencari langsung terjun ke lapangan untuk mencari orang-orang yang
benar-benar serius di UMKMK dan jika dilihat potensi usahanya bagus segera
dipinjami dana dalam rangka mengembangkan usahanya.
Sejatinya
perkembangan UMKM di Indonesia cukup baik, jika ditinjau dari segi jumlah unit
usaha maupun jumlah tenaga kerja yang diserap oleh UMKM dalam rangka mengurangi
pengangguran. Data BPS (1994) menunjukkan jumlah pengusaha kecil telah mencapai
34,316 juta orang yang meliputi 15,635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa
menggunakan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang
menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha
kecil yang memiliki tenaga kerja tetap.
Berdasarkan
data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai
42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air.
UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja,
yaitu sebesar 99,6 persen. Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen.
Angka
tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. berikut akan disajikan tabel
mengenai perkembangan UMKM dari tahun 2006-2010.
Tahun
|
Jumlah UMKM
|
Jumlah Tenaga Kerja
|
2006
|
49.021.803 unit
|
87.909.598 orang
|
2007
|
50.145.800 unit
|
90.491.930 orang
|
2008
|
51.409.612 unit
|
94.024.278 orang
|
2009
|
52.764.603 unit
|
96.211.332 orang
|
2010
|
53.823.732 unit
|
99.401.775 orang
|
(Sumber :
Kemenkop dan UMKM)
Dari tabel
diatas dapat kita ambil kesimpulan jika pada periode 2006-2010 merupakan masa
pertumbuhan yang bagus bagi UMKM. Selama periode tersebut UMKM bertambah sebanyak 4.801.929
unit atau sebesar 9,80%. Penyerapan tenaga kerja oleh UMKM juga mengalami
peningkatan yang cukup pesat. Selama 5 tahun, tercatat ada peningkatan jumlah
tenaga kerja UMKM sebanyak 11.492.177 atau 13,07%.
Potensi
lainnya dapat dilihat dan kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB menurut
harga berlaku, yang sesuai data BPS tahun 2008 mencapai Rp.2.609,4 trilyun.
Dengan jumlah tersebut berarti bahwa 55,56% dan PDB nasional yang totalnya
mencapai Rp.4.696,5 trilyun bersandar pada produktivitas UMKM. Jumlah tersebut
terus meningkat. Data tahun 2009 menyebutkan bahwa UMKM berkontribusi sebesar
56,53% terhadap pembentukan PDB menurut harga berlaku. Angka tersebut menjadi
57,12% di tahun 2010.
Berikut akan
disajikan tabel kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB atas dasar harga
berlaku periode 2006-2010.
Tahun
|
Kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB atas harga
berlaku
|
Jumlah kontribusi UMKM terhadap PDB atas harga
berlaku
|
2006
|
56,23%
|
1.783,4 trilyun
|
2007
|
56,28%
|
2.107,8 trilyun
|
2008
|
55,56%
|
2.609,4 trilyun
|
2009
|
56,53%
|
2.993,1 trilyun
|
2010
|
57,12%
|
3.466,3 trilyun
|
(Sumber:
Kemenkop dan UMKM)
Di sisi
lain, kontribusi UMKM dalam ekspor non migas mencapai sekitar Rp.183 trilyun.
Setidaknya UMKM telah menjadi penguat ekspor non migas hingga 20,17% dan total
ekspor non migas sebesar Rp.910,9 trilyun. Angka tersebut menurun ketika di
tahun 2009 jumlahnya menjadi 162,2 trilyun, namun meningkat lagi menjadi 175,8
trilyun di tahun berikutnya. Walaupun angkanya fluktuaktif, peran UMKM dalam
ekspor ini merupakan bukti kemampuan dan daya saing produk UMKM di pasar
persaingan bebas, sekaligus merupakan potensi yang perlu terus dipelihara untuk
menjaga kesinambungan perdagangan internasional.
Sedangkan
dilihat dan nilai investasi (pembentukan modal tetap bruto) UMKM menurut harga
berlaku tahun 2008 mencapai Rp.640 trilyun atau sebesar 52,89% dan total nilai
investasi nasional yang mencapai sebesar Rp.1.210 trilyun. Dengan tingkat
investasi tersebut, dibandingkan dengan usaha besar, maka pengembangan UMKM
hanya membutuhkan tingkat investasi yang lebih rendah, dengan konsekuensi akan
memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan ekonomi nasional.
Pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan bagian integral dalam
pembangunan nasional.yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur. Dalam pembangunan bidang ekonomi secara eksplisit UUD 1945 menekankan
implementasi azas kekeluargaan (pasal 33 ayat 1) dan penyelenggaraan
perekonomian nasional yang berdasar atas demokrasi ekonomi (pasal 33 ayat 4).
Dalam hal
ini pemberdayaan UMKM, berkaitan langsung dengan kehidupan dan peningkatan
kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat Indonesia (pro poor). Selain
itu, potensi dan peran strategisnya telah terbukti menjadi penopang kekuatan
dan pertumbuhan ekonomi nasional (pro growth). Keberadaan UMKM
yang dominan sebagai pelaku ekonomi nasional juga merupakan subyek vital dalam
pembangunan, khususnya dalam rangka perluasan kesempatan berusaha bagi
wirausaha baru dan penyerapan tenaga kerja serta menekan angka
pengangguran (pro job).
Berdasarkan
data diatas, sangat terlihat bahwa UMKM merupakan kekuatan dalam pelaksanaan
ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, keberadaan UMKM harus dilindungi dan
diberdayakan pemerintah. Dalam UU No.20/2008 tentang UMKM, didefinisikan bahwa
pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia
Usaha, dan Masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan
pengembangan usaha terhadap UMKM sehingga mampu tumbuh dan berkembang
menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.
Iklim Usaha
adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui
penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek
kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh pemihakan,
kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
Pengembangan
adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha,
dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui
pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan bantuan perkuatan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah. Pemberdayaan UMKM diselenggarakan sebagai kesatuan dan pembangunan
perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Dengan
dilandasi dengan asas kekeluargaan, upaya pemberdayaan UMKM merupakan bagian
dari perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional untuk kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia.
Asas
Kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh UMKM dan Dunia Usaha
secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Asas Efisiensi adalah asas yang mendasari pelaksanaan pemberdayaan UMKM dengan
mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha
yang adil, kondusif, dan berdaya saing.
Asas
Berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses
pembangunan melalui pemberdayaan UMKM yang dilakukan secara berkesinambungan
sehingga terbentuk perekonomian yang tangguh dan mandiri. Asas Berwawasan
Lingkungan adalah asas pemberdayaan UMKM yang dilakukan dengan tetap
memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
Asas Kemandirian adalah usaha pemberdayaan UMKM yang dilakukan dengan tetap
menjaga dan mengedepankan potensi, kemampuan, dan kemandirian UMKM
Prinsip
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20 tahun 2008) adalah :
1)
Penumbuhan kemandirian, kebersamaan,
dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan
prakarsa sendiri;
2)
Perwujudan kebijakan publik yang
transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
3)
Pengembangan usaha berbasis potensi
daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah;
4)
Peningkatan daya saing Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah; dan
5)
Penyelenggaraan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Sesuai
dengan UU No.20 tahun 2008, pemberdayaan UMKM bertujuan :
1)
Mewujudkan struktur perekonomian
nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
2)
Menumbuhkan dan mengembangkan
kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan
mandiri; dan
3)
Meningkatkan peran Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja,
pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari
kemiskinan.
Sijabat,
peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM dalam Sudrajat
mengatakan upaya pemberdayaan UMKM bukanlah suatu komitmen kebijakan jangka
pendek, tetapi merupakan proses politik jangka panjang. Dalam upaya mendorong
percepatan proses pemberdayaan UMKM selama era reformasi juga terlihat sudah
cukup banyak isu politik yang seharusnya dapat mempercepat (akselerasi) proses
pemberdayaan koperasi dan UKM. Disinilah mungkin letak pokok permasalahannya.
Kalangan UMKM serta para pemangku kepentingan (stakeholders) dituntut
berkemampuan memberikan keyakinan kepada para pengambil keputusan agar lebih
berpihak kepada pembangunan kelompok masyarakat banyak tersebut.
Belum
efektifnya isu-isu politik yang berkembang selama era reformasi mengindikasikan
bahwa proses komunikasi politik sendiri belum berjalan baik. Sesungguhnya
komunikasi politik yang efektif diharapkan dapat dibangun dan ditumbuhkan oleh
para eksponen yang bergerak dalam pemberdayaan UMKM. Dengan kondisi yang masih
seperti sekarang jangan diharapkan akan ada tenggang rasa dari para pengusaha
besar kepada pengusaha kecil. Belajar dari pengalaman masa lalu untuk bermitra
antara pengusaha kecil dan pengusaha besar harus dipaksa dan diikat dengan peraturan
formal, begitupun belum dapat berjalan dengan efektif.
Lebih lanjut
Sijabat mengatakan pemberdayaan UMKM tidak terlepas dari konsepsi dasar
pembangunan yang menjadi medium penumbuhan UMKM. Merancang konsepsi dasar
pemberdyaan UMKM adalah membangun sistem yang mampu mengeliminir semua masalah
yang menyangkut keberhasilan usaha UMKM. Salah satu aspek yang sangat
menentukan keberhasilan UMKM adalah iklim usaha. Aspek itu sendiri terkait erat
dengan kemampuan sistem yang di bangun, sedangkan sistem yang dibangun terkait
dengan banyak pelaku (aktor) dan banyak variable (faktor) yang berpengaruh
nyata serta bersifat jangka panjang (multies years). Oleh karena
sifatnya tersebut maka faktor-faktor ini sulit diukur keberhasilannya sebagai
buah karya suatu instansi atau suatu rezim pemerintahan. Oleh sebab itu
kondusifitas dari setiap faktor tersebut harus ditumbuhkan dan terus
diperbaiki. Untuk mengetahui kondisi dari setiap faktor dan para pelaku yang
berperan didalamnya perlu dilakukan evaluasi setiap waktu, setiap tempat dan
setiap sektor kegiatan usaha UMKM.
Menurut
Suarja (2007) dalam Sudrajat mengungkapkan pemberdayaan Koperasi dan
UMKM dilakukan melalui :
1)
Revitalisasi peran koperasi dan
perkuatan posisi UMKM dalam sistem perkonomian nasional
2)
Revitalisasi koperasi dan perkuatan
UMKM dilakukan dengan memperbaiki akses UMKM terhadap permodalan, tekologi,
informasi dan pasar serta memperbaiki iklim usaha;
3)
Mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya pembangunan
4)
Mengembangkan potensi sumberdaya
lokal.
C. Hambatan
dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia
Meskipun
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah menunjukkan peranannya dalam
perekonomian nasional, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sebagai usaha yang ruang lingkup
usahanya dan anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan
kemampuan manajerial yang juga terbatas, UMKM sangat rentan terhadap
masalah-masalah perekonomian.
Perlu
digaris bawahi bahwa lebih dan 51 juta usaha yang ada, atau lebih dan 99,9%
pelaku usaha adalah Usaha Mikro dan Kecil, dengan skala usaha yang sulit
berkembang karena tidak mencapai skala usaha yang ekonomis. Dengan badan usaha
perorangan, kebanyakan usaha dikelola secara tertutup, dengan Legalitas usaha
dan administrasi kelembagaan yang sangat tidak memadai. Upaya pemberdayaan UMKM
makin rumit karena jumlah dan jangkauan UMKM demikian banyak dan luas, terlebih
bagi daerah tertinggal, terisolir dan perbatasan.
Kuncoro
(2000) mengungkapkan ada beberapa kendala yang dialami oleh UMKM dalam
menjalankan usahanya. Kendala tersebut berupa tingkat kemampuan, ketrampilan,
keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan.
Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan
pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih
spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah: Pertama,
kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua,
kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur
terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan
manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama
antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang
kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan
yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta
kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Kuncoro juga
mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi dalam
dua kategori: Pertama, bagi PK dengan omset kurang dari Rp 50 juta umumnya
tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya.
Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan “aman” sudah cukup. Mereka
umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya
modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja.
Bisa dipahami bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD)
amat membantu modal kerja mereka.
Kedua, bagi
PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang dihadapi
jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi
usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil
UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis ini adalah
(Kuncoro, 1997): (1) Masalah belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan
manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan; (2) Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan
untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan
PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi
syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun
perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4)
Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh
perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah
memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam
mendapatkan bahan baku, bahan baku berkulaitas rendah, dan tingginya harga
bahan baku; (6) Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi
yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar
dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga
kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.
Hasil
penelitian Schiffer-Weder (2001) dalam Rizali secara keseluruhan juga
memperkuat persepsi bahwa UKM menghadapi hambatan berusaha yang lebih besar
daripada UB. Bila dilihat dari persentasi jawaban responden, secara umum
hambatan utama dalam berusaha adalah sumber pembiayaan.
Sekitar 39%
responden UKM menyatakan pembiayaan sebagai hambatan utama dalam berusaha,
sedangkan responden Usaha Besar (UB) yang menyatakan pembiayaan sebagai sumber
hambatan utama usaha sekitar 28%. Ini mengindikasikan bahwa UKM memang lebih
sulit memperoleh kredit dari sektor keuangan formal dibandingkan dengan UB.
Berbeda
dengan UKM, pengelola UB memandang ketidakstabilan kebijakan pemerintah sebagai
hambatan utama dalam berusaha, demikianlah pendapat 30% responden dari UB.
Tiga faktor
selanjutnya yang menghambat dunia usaha adalah inflasi (35% responden),
ketidakstabilan kebijakan (34%), dan pajak dan peraturan pemerintah (33,5%).
Yang menarik sekitar 37% UKM menganggap aspek perpajakan dan peraturan
pemerintah sebagai hambatan utama berusaha dibandingkan dengan hanya 21% UB.
Hal ini
mengindikasikan bahwa UB lebih mudah menghindari pajak, misalnya, dengan
mengalihkan dan melaporkan keuntungannya ke daerah yang tingkat pajaknya lebih
rendah. Responden memandang nilai tukar (28%), korupsi (28%), kejahatan jalanan
(27%), dan kejahatan teroganisir (24,5%) sebagai faktor lain yang menghambat
kegiatan usaha.
Bila dilihat
tingkat rata-rata intensitas hambatan yang dirasakan, pajak dan peraturan
pemerintah (skor 2,95 dalam skala 4) dianggap sebagai hambatan yang paling umum
dihadapi oleh UKM. Pembiayaan (skor 2,87), inflasi (skor ? 2,8), dan
ketidakpastian kebijakan (skor ? 2,8) adalah tiga faktor lain yang punya
intensitas gangguan tinggi bagi UKM.
Sedangkan UB
melihat ketidaksatabilan kebijakan (skor 2,7) sebagai masalah utama. Masalah
selanjutnya adalah pajak dan peraturan (skor 2,6), dan inflasi (skor 2,6).
Sedangkan pembiayaan (skor 2,6) berada pada posisi ke empat.
Baik secara
persentase persepsi responden dan intensitas, UKM ternyata memang menghadapi
masalah lebih besar daripada UB. Menarik diperhatikan bahwa dari persentase
persepsi responden dan skor intensitas, UB melihat ketidakpastian kebijakan
sebagai hambatan usaha utama.
Ini
menunjukkan bahwa usaha besar memang menjadi target utama kebijakan pemerintah,
sedangkan UKM terabaikan. Akibatnya, semakin tidak pasti kebijakan pemerintah
semakin besar dampaknya pada UB. Sedangkan para wirausahawan UKM, karena
terabaikan dari kebijakan, sudah terbiasa dengan ketidakpastian dan menjadi
lebih fleksibel menghadapi ketidakpastian dunia usaha.
Badan Pusat
Statistik (2003) di dalam Sri Winarni (2006) mengidentifikasikan
permasalahan umum yang dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2)
Kesulitan dalam pemasaran, (3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan
baku, (5) Kurang teknis produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial
kurang, (7) Kurang pengetahuan manajemen keuangan, dan (8) Iklim
usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan).
Hasil
penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS (2003) di dalam Sri
Winarni (2006) menginformasikan bahwa UKM yang mengalami kesulitan usaha 72,47
%, sisanya 27,53 % tidak ada masalah. Dari 72,47 % yang
mengalami kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah
(1) Permodalan 51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4)
Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93
%.
Persentase
kesulitan yang dominan dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan
permodalan (51.09%). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam
mengatasi kesulitan permodalannya diketahui sebanyak 17,50 % UKM menambah
modalnya dengan meminjam ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke
bank tetapi ke lembaga Non bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP),
perorangan, keluarga, modal ventura, lainnya.
Sedangkan
permasalahan yang dihadapi UMKM dalam mendapatkan kredit modal usaha
antara lain adalah (1) Prosedur pengajuan yang sulit 30,30 %,
(2) Tidak berminat 25,34 %, (3) Pelaku UMKM Tidak punya agunan 19,28 %, (4)
UMKM yang tidak tahu prosedur 14,33 %, (5) Suku bunga tinggi 8,82
%, (6) Proposal ditolak (1,93 %).
Penerapan
Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 diyakini juga akan berdampak negatif
terhadap keberlangsungan UMKM. Aturan tersebut memuat mengenai pajak
penghasilan sebesar 1% bagi UMKM yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8
milyar dalam 1 tahun.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan beberapa hambatan yang dialami oleh UMKM. Hambatan
tersebut berupa :
1)
Kurangnya modal yang dimiliki oleh
UMKM
2)
Akses terhadap modal yang sulit
dijangkau
3)
Pengelolaan yang kurang profesional
4)
Kesulitan dalam persaingan usaha
yang pesat
5)
Rendahnya tingkat inovasi pelaku
UMKM
6)
Kebijakan pemerintah yang kurang pro
UMKM
7)
Bahan baku sukar diperoleh
8)
Pasar yang cepat berubah selera
sehingga pemasaran menjadi sulit
D. Peran
Pemerintah dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia.
Semenjak
Indonesia merdeka, pemerintah berusaha mencetak pengusaha-pengusaha baru untuk
merobohkan sistem ekonomi kolonial dan diganti dengan ekonomi kerakyatan.
Beberapa program disusun oleh pemerintah Orde Lama. Di masa demokrasi liberal,
dikenal Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan
impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi
impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada
perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha
pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha
non-pribumi.
Gagal dengan
Program Benteng, pemerintah mengenalkan program baru yakni sistem ekonomi
Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina (baba) dan
pengusaha pribumi (ali). Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan
latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan
lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan
baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan
alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Di masa Orde
Baru, pengembangan UMKM terus berlanjut. Pemerintah Orba membuat UU No.9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil guna memberdayakan usaha kecil. UU ini berisi XI bab
dan 38 pasal dan mengatur pelaksanan permberdayaan UMKM di Indonesia.
Sehubungan
dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang semakin dinamis dan global,
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang hanya mengatur Usaha
Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia dapat
memperoleh jaminan kepastian dan keadilan usaha. UU tersebut diganti dengan UU
No.20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam UU tersebut, disebutkan peran pemerintah
untuk memberdayakan UMKM.
Terkait
dengan urusan pemerintahan, setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan (Pasal 4 ayat1). Kementerian Koperasi dan UKM RI
merupakan Kementerian di kelompok ketiga yaitu urusan pemerintahan dalam rangka
penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (Pasal 4 ayat 2,
huruf C), berkaitan dengan urusan pemerintahan bidang Koperasi, Usaha Kecil dan
Menengah (Pasal 5 ayat 3).
Undang-Undang
telah memberi amanat terhadap pemerintah untuk mengembangkan UMKM. Dalam UU
No.20 Tahun 2008 tentang UMKM disebutkan peran pemerintah antara lain :
1)
Bersama Pemerintah Daerah
melaksanakan pengawasan dan pengendalian kesempatan berusaha (Pasal 13).
2)
Bersama Pemerintah Daerah
melaksanakan kegiatan promosi dagang (Pasal 14, ayat2).
3)
Bersama Pemerintah Daerah
memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang produksi dan pengolahan,
pemasaran, sumber daya manusia, dan desain dan teknologi (Pasal 16 ayat 1).
4)
Menyusun Peraturan Pemerintah
mengenai tata cara pengembangan, prioritas, intensitas, dan jangka waktu
pengembangan usaha dimaksud (Pasal 16 ayat 3).
5)
Bersama dengan Pemerintah Daerah
menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil (Pasal 2l). Dalam hal ini
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha dapat memberikan hibah,
mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang
sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil(Pasal 2l ayat4).
6)
Memberikan insentif datam bentuk
kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana, dan bentuk
insentif lainnya yang sesual dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil
(Pasal 21 ayat 5).
7)
Meningkatkan sumber pembiayaan Usaha
Mikro dan Usaha Kecil (Pasal 22).
8)
Bersama Pemerintah Daerah,
meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan (Pasal 23
ayat 1).
9)
Bersama dengan Pemerintah Daerah
melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan
(Pasal 24).
10) Bersama
Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan
menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai,
memperkuat, dan menguntungkan (Pasal 25 ayat 1). Kemitraan antar Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan
pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan teknologi (Pasal 25
ayat 2).
11) Menteri
Koperasi dan UKM dan Menteri teknis lain mengatur pemberian insentif kepada
Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga
kerja, pengunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (Pasal 25 ayat 3).
12) Menteri Koperasi
dan UKM dapat membentuk lembaga koordinasi kemitraan usaha nasional dan daerah
untuk memantau pelaksanaan kemitraan (Pasal 34).
13) Melarang
Usaha Besar memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah
sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan (Pasal 35).
14) Melarang
Usaha Menengah memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil
mitra usahanya(Pasal 35).
15) Menteri
Koperasi dan UKM melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (Pasal 38 ayat 1).
16) Mengatur dan
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pemberian sanksi
administratif pelaggaran UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (Pasal 39 ayat 3).
Sehubungan
dengan amanat Undang-Undang, pemerintah melaksanakan berbagai program yang
bertujuan untuk memberdayakan UMKM. Program tersebut antara lain adalah program
Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) dan pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Gerakan
Kewirausahaan Nasional bertujuan memiliki tujuan sebagai berikut :
1)
Meningkatkan semangat dan jiwa
kewirausahaan bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menjadi wirausaha
yang mandiri handal dan tangguh, serta memiliki daya saing.
2)
Memotivasi agar tumbuh wirausaha
baru kreatif, inovatif dan berwawasan global.
3)
Mampu melakukan interaksi melalui
tukar menukar informasi dan peningkatan kerjasama di segala sektor.
4)
Meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan berwirausaha khusus bagi wirausaha baru.
5)
Mendorong tumbuh dan berkembangnya
usaha koperasi dan UMKM yang dilakukan oleh para pelaku wirausaha.
6)
Mengekspose dan memberikan inspirasi
atas keberhasilan wirausaha dari dalam dan luar negeri dan diharapkan dapat
mendorong tumbuh dan berkembangnya wirausaha baru.
Sedangkan
KUR yang dilaksanakan sejak tahun 2007 dan bekerja sama dengan bank
nasional penyalur KUR sebanyak 7 bank yaitu Bank Nasional Indonesia
(BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN),
Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI
Syariah).
Hasil
pelaksanaan pada tahun 2012 yaitu penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar
Rp.34,2 triliun untuk lebih dari 1,9 juta debitur, dengan rata-rata
kredit/pembiayaan sebesar Rp.17,5 juta. Volume penyaluran KUR tersebut telah
melampaui target tahun 2012 sebesar Rp.30 triliun. Tingkat non-performing loan
(NPL) KUR pada tahun 2012 cukup rendah yaitu 3,6 persen. Sebagian besar KUR
disalurkan ke sektor perdagangan (37,5 persen), sektor pertanian dan perikanan
(17,1 persen), dan sektor perdagangan terintegrasi dengan sektor hulu (14,2
persen).
Realisasi
sebaran KUR dari tahun 2007 sampai 2013 menyebutkan bahwa Bank BRI adalah
penyalur KUR terbesar dengan total plafond mencapai Rp. 79,9 triliun. Selain
sektor ritel BRI juga menyalurkan KUR di sektor mikro yang masing-masing
plafondnya sebesar Rp. 16,03 triliun dan Rp. 63,9 triliun, debiturnya 94.710
UMK dan 8.650.164 UMK, rata-rata kredit Rp. 169,3 juta/debitur dan Rp. 7,4
juta/debitur, serta NPL penyaluran masing-masing 3,4% dan 1,9%. Menduduki
peringkat kedua yaitu Bank Bank Mandiri dengan total plafond sebesar
Rp. 12,6 triliun, debiturnya sebanyak 250.032 UMK, dengan rata-rata kredit Rp.
50,4 juta/debitur serta nilai NPL sebesar 4,3%. Di urutan ketiga adalah
BNI dengan total plafond sebesar Rp. 12,11 triliun, debiturnya sebanyak 184.805
UMK, dengan rata-rata kredit Rp. 65,5 juta/debitur serta nilai NPL sebesar
4,1%.
Selanjutnya
berturut-turut yaitu BTN dengan plafond Rp. 4,1 triliun, BSM dengan plafond Rp.
3,4 triliun, Bank Bukopin dengan plafond 1,75 triliun dan BNI Syariah dengan
plafond Rp. 142.876 miliar. Secara keseluruhan, nilaiNon Performing Loan (NPL)
penyaluran KUR oleh bank pelaksana ini masih dibawah 5% yaitu sebesar 3,4%.
Bank BTN merupakan Bank Pelaksana dengan nilai NPL terbesar dalam penyaluran
KUR yaitu sebesar 9,5% dan BRI Mikro dengan NPL terkecil yaitu 1,9%. Diharapkan
pada periode-periode berikutnya nilai NPL pada bank yang masih di atas 5% bisa
turun sehingga penyalurannya lebih tepat sasaran.
Pada tahun
2012, pemerintah juga melakukan pendampingan bagi 27.520 calon debitur KUR dan
sosialisasi KUR di 33 provinsi. Melalui program tersebut diharapkan
penerima KUR dapat mempergunakan KUR untuk pengembangan usaha dan membuat UMKM
menjadi lebih berdaya karena tambahan modal tersebut.
E. Strategi
Pemberdayaan UMKM di Indonesia mengahadapi Pasar Bebas ASEAN
Belum
kokohnya fundamental perekonomian Indonesia saat ini, mendorong pemerintah
untuk terus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor ini
mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan memberi peluang bagi UMKM untuk
berkembang dan bersaing dengan perusahaan yang lebih cenderung menggunakan
modal besar (capital intensive). Eksistensi UMKM memang tidak dapat
diragukan lagi karena terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak
ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga menghadapi
banyak sekali permasalahan, yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia
yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi
(Sudaryanto dan Hanim, 2002). Kendala lain yang dihadapi UMKM adalah
keterkaitan dengan prospek usaha yang kurang jelas serta perencanaan, visi dan
misi yang belum mantap. Hal ini terjadi karena umumnya UMKM bersifat income
gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri sebagai
berikut: merupakan usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih
relatif sederhana, kurang memiliki akses permodalan (bankable), dan
tidak ada pemisahan modal usaha dengan kebutuhan pribadi.
Pemberdayaan
UMKM di tengah arus globalisasi dan tingginya persaingan membuat UMKM harus
mampu mengadapai tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan
jasa, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan area
pemasaran. Hal ini perlu dilakukan untuk menambah nilai jual UMKM itu sendiri,
utamanya agar dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian membanjiri
sentra industri dan manufaktur di Indonesia, mengingat UMKM adalah sektor
ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia (Sudaryanto, 2011).
Pada tahun
2011 UMKM mampu berandil besar terhadap penerimaan negara dengan menyumbang
61,9 persen pemasukan produk domestik bruto (PDB) melalui pembayaran pajak,
yang diuraikan sebagai berikut : sektor usaha mikro menyumbang 36,28 persen
PDB, sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor usaha menengah 14,7 persen
melalui pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha besar hanya menyumbang
38,1 persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011).
Sebagian
besar (hampir 99 persen), UMKM di Indonesia adalah usaha mikro di sektor
informal dan pada umumnya menggunakan bahan baku lokal dengan pasar lokal.
Itulah sebabnya tidak terpengaruh secara langsung oleh krisis global.
Laporan World Economic Forum (WEF) 2010 menempatkan pasar
Indonesia pada ranking ke-15. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai pasar
yang potensial bagi negara lain. Potensi ini yang belum dimanfaatkan oleh UMKM
secara maksimal.
Perkembangan
UMKM di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan sehingga menyebabkan
lemahnya daya saing terhadap produk impor. Persoalan utama yang dihadapi UMKM,
antara lain keterbatasan infrastruktur dan akses pemerintah terkait dengan
perizinan dan birokrasi serta tingginya tingkat pungutan. Dengan segala
persoalan yang ada, potensi UMKM yang besar itu menjadi terhambat. Meskipun
UMKM dikatakan mampu bertahan dari adanya krisis global namun pada kenyataannya
permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat banyak dan lebih berat. Hal itu
dikarenakan selain dipengaruhi secara tidak langsung krisis global tadi, UMKM
harus pula menghadapi persoalan domestik yang tidak kunjung terselesaikan
seperti masalah upah buruh, ketenagakerjaan dan pungutan liar, korupsi dan
lain-lain.
Permasalahan
lain yang dihadapi UMKM, yaitu adanya liberalisasi perdagangan, seperti pemberlakuan
ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) yang secara efektif telah berlaku tahun
2010. Di sisi lain, Pemerintah telah menyepakati perjanjian kerja sama ACFTA
ataupun perjanjian lainnya, namun tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu
kesiapan UMKM agar mampu bersaing. Sebagai contoh kesiapan kualitas produk,
harga yang kurang bersaing, kesiapan pasar dan kurang jelasnya peta produk
impor sehingga positioning persaingan lebih jelas. Kondisi ini
akan lebih berat dihadapi UMKM Indonesia pada saat diberlakukannya ASEAN
Community yang direncanakan tahun 2015. Apabila kondisi ini dibiarkan,
UMKM yang disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting pada akhirnya akan
bangkrut juga. Oleh karena itu, dalam upaya memperkuat UMKM sebagai fundamental
ekonomi nasional, perlu kiranya diciptakan iklim investasi domestik yang
kondusif dalam upaya penguatan pasar dalam negeri agar UMKM dapat menjadi
penyangga (buffer) perekonomian nasional.
Masalah lain
yang dihadapi dan sekaligus menjadi kelemahan UMKM adalah kurangnya akses
informasi, khususnya informasi pasar (Ishak, 2005). Hal tersebut menjadi
kendala dalam hal memasarkan produk-produknya, karena dengan terbatasnya akses
informasi pasar yang mengakibatkan rendahnya orientasi pasar dan lemahnya daya
saing di tingkat global. Miskinnya informasi mengenai pasar tersebut,
menjadikan UMKM tidak dapat mengarahkan pengembangan usahanya secara jelas dan
fokus, sehingga perkembangannya mengalami stagnasi.
Kemampuan
UMKM dalam menghadapi terpaan arus persaingan global memang perlu dipikirkan
lebih lanjut agar tetap mampu bertahan demi kestabilan perekonomian Indonesia.
Selain itu faktor sumber daya manusia di dalamnya juga memiliki andil
tersendiri. Strategi pengembangan UMKM untuk tetap bertahan dapat dilakukan
dengan peningkatan daya saing dan pengembangan sumber daya manusianya agar
memiliki nilai dan mampu bertahan menghadapi pasar ACFTA, diantaranya melalui
penyaluran perkreditan (KUR), penyediaan akses informasi pemasaran, pelatihan
lembaga keuangan mikro melalui capacity building, dan
pengembangan information technology (IT).
Demikian
juga upaya-upaya lainnya dapat dilakukan melalui kampanye cinta produk dalam
negeri serta memberikan suntikan pendanaan pada lembaga keuangan mikro.
Keuangan mikro telah menjadi suatu wacana global yang diyakini oleh banyak
pihak menjadi metode untuk mengatasi kemiskinan (ref). Berbagai lembaga
multilateral dan bilateral mengembangkan keuangan mikro dalam berbagai program kerjasama.
Pemerintah di beberapa negara berkembang juga telah mencoba mengembangkan
keuangan mikro pada berbagai program pembangunan. Lembaga swadaya masyarakat
juga tidak ketinggalan untuk turut berperan dalam aplikasi keuangan mikro
(Prabowo dan Wardoyo, 2003).
F. Diera Pemerintahan Presiden Joko
Widodo
Di era kepemimpinan presiden Joko Widodo, dia mencanangkan sebuah Nawa
Cita, ada juga ni sembilan agenda prioritas Presiden , namun dari Sembilan
agenda presiden tersebut adatiga Nawa Cita menjadi prioritas Kementerian
Koperasi dan UKM dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam periode
2015-2019, yaitu:
Agenda ke-2 :
Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tatakelola pemerintahan
yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya yangmencakup upaya-upaya yang
diarahkan antara lain untuk :
1)
Mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang transparan, meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan
instansi Pemerintah Pusat, membuat laporan kinerja, dan membuka akses informasi
publik.
2)
Menjalankan agenda reformasi publik
dengan restrukturisasi kelembagaan, perbaikan kualitas pelayanan publik,
meningkatkan kompetensi aparatur, memperkuat monitoring dan supervise atas
kinerja pelayanan publik.
3)
Membuka ruang partisipasi publik
dalam pengambilan kebijakan publik.
Agenda ke-6 :
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional
sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia
lainnya yang mencakup upaya-upaya yang diarahkan antaralain untuk :
1)
Membangun pasar tradisional sebanyak
5.000 pasar tradisional di seluruhIndonesia dan memodernisasikan pasar
tradisional yang telah ada.
2)
Membangun sejumlah Science dan Techno
Park di daerah-daerah.
3)
Meningkatkan daya saing dengan
memanfaatkan potensi yang belumtergarap dengan baik tetapi memberi peluang
besar untuk meningkatkanakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, yakni,
industri manufaktur,industri pangan, sektor maritim, dan pariwisata.
Agenda ke-7 :
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik yang mencakup upaya-upaya yangdiarahkan antara lain untuk :
Mewujudkan kedaulatan pangan melalui pendirian Bank Petani dan UMKM
Berdasarkan Visi dan Misi Presiden, Norma dan Dimensi Pembangunan, serta Nawa
Cita, maka disusun Tujuan Kementerian Koperasi dan UKM yaitu:Mewujudkan
Koperasi dan UMKM yang berdaya saing dan berkontribusi pada peningkatan
perekonomian nasional dankesejahteraan rakyat berlandaskan semangat wirausaha,
kemandirian koperasi dan keterpaduan.
Jadi arah kebijakan tersebut akan dijabarkan lebih lanjut menjadi
kebijakan-kebijakan bidang, dimana kebijakan di bidang Koperasi dan UMKM pada
tahun 2015-2019 diarahkan untuk meningkatkan daya saing Koperasi dan UMKM
sehingga mampu tumbuh menjadi usaha yang berkelanjutan dengan skala yang lebih
besar dalam rangka mendukung kemandirian perekonomian nasional. Dan setelah ini
arah kebijakan tersebut akan kita laksanakan melalui lima strategi sebagai berikut
:
1. Peningkatan Kualitas
Sumber Daya Manusia
Jadi dalam strategi ini kita bisa menguatkan sektor-sektor wirausaha dengan
melakukaan penataan dan pengembangan dibidang lembaga kependidikan , bisa juga
ni kita harus lebih mengembangkan suatu pelatihan-pelatihan dan pendampingan
dalam mendorong dukungan untuk menaikkan kualitas perorangan yang akan memulai
berwirausaha. Perlu juga menyediakan dan mendukung ketersediaan alat khususnya
bagi wanita yang berbasis teknologi guna mampu bersaing dalam hal penataan dan
persaingan usaha secara global.
2. Peningkatan Akses
Pembiayaan Dan Perluasan Skema Pembiayaan
Melalui pengembangan lembaga pembiayaan/bank Koperasi dan UMKM, serta
optimalisasi sumber pembiayaan non-bank, integrasi sistem informasi debitur
UMKM dari lembaga pembiayaan bank dan non-bank dan advokasi pembiayaan bagi
Koperasi dan UMKM.
3. Peningkatan Nilai
Tambah Produk Dan Jangkauan Pemasaran
Melalui perluasan penerapan teknologi tepat guna diversifikasi
produkberbasis rantai nilai dan keunggulan lokal peningkatan
penerapanstandardisasi produk (Standar Nasional Indonesia/SNI, HaKI),
sertifikasi (halal, keamanan pangan dan obat) dan integrasi fasilitasi
pemasaran dan sistem distribusi baik domestik maupun ekspor;
4. Penguatan Kelembagaan
Usaha
Melalui kemitraan investasi berbasisketerkaitan usaha (backward-forward
linkages dan peningkatan perankoperasi dalam penguatan sistem bisnis
pertanian dan perikanan, dan sentra industri kecil di kawasan industri
5. Kemudahan, Kepastian
Dan Perlindungan Usaha
Melalui harmonisasi perizinan sektoral dan daerah, pengurangan jenis, biaya
dan waktu pengurusan perizinan, penyusunan rancangan undang-undang tentang
Perkoperasian, peningkatan efektivitas penegakan regulasi persainganusaha yang
sehat, dan peningkatan sinergi dan kerja sama pemangku kepentingan (publik,
swasta dan masyarakat) yang didukung sistem terpadu yang berbasis data Koperasi
dan UMKM secara sektoral danwilayah.
Arah kebijakan, strategi dan berbagai langkah strategis untuk menaikkan
kelas UMKM tersebut juga dilengkapi dengan Norma Standar Operasional
Kementerian Koperasi dan UKM dalam pelaksanaan program dan kegiatan sebagai
berikut :
1.
Dalam pelaksanaan tugas pokok dan
fungsinya, seluruh jajaran Kementerian Koperasi dan UKM harus memperhatikan
azas ketaatandengan mengacu pada peraturan perundangan yang ada.
2.
Kinerja diukur dengan pencapaian
Sasaran Strategis yaitu:
a.
Meningkatnya kontribusi UMKM dalam
perekonomian melaluipengembangan komoditas berbasis koperasi/sentra di
sektor-sektorunggulan;
b.
Meningkatnya daya saing koperasi dan
UMKM;
c.
Meningkatnya wirausaha baru dengan
usaha yang layak danberkelanjutan; dan
d.
Meningkatnya kualitas kelembagaan
dan usaha koperasi, sertapenerapan praktek berkoperasi yang baik oleh
masyarakat.
3.
Penguatan koperasi dan UMKM difokuskan
pada peningkatan kinerja dandaya saing koperasi dan UMKM di sektor-sektor utama
yang menjadi prioritas Presiden melalui Nawa Cita;
4.
Seluruh upaya pencapaian sasaran
kinerja melalui program, kegiatan, maupun output harus
dilaksanakan melalui keterpaduan dan kerjasama antar unit dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan monev yang didukung kelengkapan data dan informasi
koperasi dan UMKM;
5.
Pelaksanaan program dan kegiatan
harus mencakup keseimbangan antara pemihakan dan pembangunan kemandirian
koperasi dan UMKM, serta bersifat inklusif yang memperhatikan akses dan
kesempatan yang sama antar kelompok pendapatan, antar gender, antar wilayah,
dan keberpihakan kepada kelompok/golongan yang kurang mampu.
6.
Pelaksanaan program dan kegiatan
didukung kemitraan dan kerjasama strategis dengan Kementerian/ Lembaga/ Daerah
serta organisasi masyarakat, organisasi/lembaga profesi, pelaku usaha, serta
kerjasama bilateral dan multilateral yang didasarkan pada prinsip kesetaraan
dan saling melengkapi; dan
7.
Kementerian Koperasi dan UKM
mendorong profesionalisme pelayanan publik dengan mengembangkan unit-unit
pelayanan yang dapat mandiri,memberikan kontribusi pada Penerimaan Negara Bukan
Pajak, dan secaralangsung melayani kebutuhan masyarakat.
Itulah kurang lebihnya yang mungkin bisa kita lihat berbagai kebijakan yang
telah atau diambil oleh pemerintah untuk memperdayakan ukm & koperasi yang
ada di Indonesia. Pemerintah melalui berbagai elemen seperti Departemen
Koperasi, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, BUMN juga institusi
keuangan lainnya baik bank maupun nonbank, telah melakukan berbagai upaya untuk
mewujudkan UKM& koperasi agar dapat menjadi tangguh dan
mandiri serta dapat berkembang untuk mewujudkan perekonomian nasional yang
kukuh. Berbagai dukungan diwujudkan melalui kebijakan maupun pengadaan
fasilitas dan stimulus lain. Selain itu, banyak dukungan atau bantuan yang
diperlukan dengan upaya tersebut, misalnya saja ni, bantuan berupa pengadaan
alat produksi, pengadaan barang fisik lainnya juga diperlukan adanya sebuah
metode, mekanisme dan prosedur yang memadai, tepat guna, dan aplikatif serta
mengarah pada kesesuaian pelaksanaan usaha dan upaya pengembangan dengan
kemampuan masyarakat sebagai elemen pelaku usaha dalam suatu sistem
perekonomian yang berbasis masyarakat, yaitu dalam bentuk UMKM &
KOPERASI.
G.
Penutup
UMKM sebagai
tulang punggung perekonomian Indonesia telah terbukti mampu menjaga stabilitas
ekonomi disaat krisis terjadi. Keberadaan UMKM di Indonesia yang jumlahnya
mencapai 99,99% dari total usaha di Indonesia telah menyerap 97,30% tenaga
kerja di Indonesia. Keberadaan UMKM juga memberikan kontribusi sebesar 57,12%
terhadap produk domestik bruto (PDB).
Namun UMKM
juga memiliki berbagai hambatan dalam hal pengelolaan usahanya. Masalah utama
yang dihadapi oleh UMKM adalah permodalan. Menyusul masalah lain adalah
pengelolaan yang kurang profesional, kesulitan dalam persaingan usaha yang
pesat, rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM, kebijakan pemerintah yang kurang
pro UMKM, bahan baku sukar diperoleh, pasar yang cepat berubah selera sehingga
pemasaran menjadi sulit.
Untuk
mengatasi hambatan tersebut, peran pemerintah sangat diharapkan. Undang-Undang
telah memberi amanat kepada pemerintah untuk mengembangkan dan memberdayakan
UMKM. Sinergi antra pemerintah pusat dan daerah juga harus
diperhatikan guna menumbuhkembangkan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku
UMKM.
Beberapa
program telah dilakukan pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-Undang.
Program GKN dan pemberian KUR mencadi contoh peran pemerintah dalam upaya untuk
menghasilkan UMKM yang berdaya dan mampu bersaing dengan usaha lain.
REFERENSI :
1.
Ropke, J. 2000. Ekonomi Koperasi, Teori
dan Manajemen. Diterjemahkan oleh Hj. Sri Djatnika S. Arifin. SE. M.Si.
Penerbit Salemba Empat
2.
Hendar dan Kusnadi. 1999. Ekonomi
Koperasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
3.
Baswir, R. 2000. Koperasi Indonesia BPFE
Yogyakarta.
4.
UU Nomor 17 tahun 2012 terntang
Perkoperasian
5.
UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil, Dan Menengah
6.
Peraturan Pemerintah RI No 44 tahun 1997 tentang Kemitraan
Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2005), Pengembangan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Jakarta.
Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2005), Pengembangan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Jakarta.
7.
Firmansyah, 2001. Dinamika Usaha Kecil dan Menengah.
LIPI. Jakarta.
8.
Hendar, kusnadi 2005 Ekonomi Koperasi. Jakarta:
Fakultas Ekonomi
9.
Kementerian UMKM dan Koperasi, Rencana Strategis
2009-201
10.
Kementerian UMKM dan Koperasi, Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2014 Bidang Pemberdayaan UMKM dan Koperasi.
SUMBER LAIN :
http://www.pibi-ikopin.com/index.php/artikel-bisnis/91-kewirakoperasian
http://yohkandjoek.blogspot.co.id/2014/10/peranan-pemerintah-dalam-pemberdayaan.html
https://sukasukadwi.wordpress.com/2014/01/03/kewirakoperasian/
http://chankeabiee.blogspot.co.id/2011/02/wirausaha-koperasi.html
http://studyandlearningnow.blogspot.com/2013/01/pengertian-umkm-dan-koperasi.html
https://sarahnilaayu.wordpress.com/2016/10/18/kebijakan-pemerintah-dalam-memperdayakan-umkm-dan-koperasi-di-indonesia/
http://www.pendidikanekonomi.com/2012/12/kebijakan-pemerintah-terhadap-ukm.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar