Selasa, 14 Maret 2017

EKONOMI SKALA UMKM & KOPERASI - KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MEMPERDAYAKAN UMKM DAN KOPERASI DI INDONESIA


Kebijakan Pemerintah dalam Memperdayakan UMKM dan Koperasi di Indonesia

Pada modul saya kali ini, saya sangat tertarik sekali untuk membahas mengenai Perkembangan UMKM dan koperasi di Indonesia yang mana  saat ini menunjukkan kinerja yang positif. Perkembangan usaha koperasi yang ditunjukkan dari aspek-aspek modal, volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU) juga menunjukkan kinerja yang terus meningkat. Di samping itu juga saya melihat Kinerja UMKM secara umum cukup bervariasi dari tahun ke tahun.Kontribusi PDB UMKM mengalami tren penurunan, Rendahnya produktivitas menjadi kendala bagi UMKM untuk berkembang dan mencapai skala ekonomi yang semakin besar. Namun terlepas dari produktivitas yang rendah, UMKM memiliki dayatahan yang lebih baik terhadap krisis, yang terbentuk karena struktur organisasi dan tenaga kerja UMKM yang lebih fleksibel dalam menyesuaikan dengan perubahan pasar. Daya tahan dan fleksibilitas ini menjadikan UMKM digunakan oleh sebagian besar masyarakat sebagai sumber utama penghidupan.

Berdasarkan yang telah saya baca dari salah satu sumber bahwa tingkat produktivitas dan kebutuhan untuk meningkatkan populasi usaha kecil dan menengah, maka peningkatan produktivitas usaha mikro dijadikan sebagai target pemberdayaan UMKM ke depan. Perbaikan kapasitas dan produktivitas usaha mikro dapat dilakukan melalui penguatan aset, keterampilan dan keterhubungannya dengan jaringan usaha dan pemasaran dalam satu system bisnis yang mapan. Peningkatan kapasitas usaha mikro juga diharapkan dapat meningkatan pendapatan masyarakat secara umum yang selanjutnya akan berkontribusi pada pengurangan angka kemiskinan. Peran usaha kecil dan menengah juga perlu ditingkatkan dalam memperkuat basis produksi di dalam negeri, dan partisipasi di pasar ekspor dan investasi.

Dalam lima tahun ke depan yaitu 2015-2019, pemberdayaan koperasi danUMKM akan dilaksanakan melalui berbagai kebijakan untuk meningkatkan daya saing koperasi dan UMKM. Kebijakan-kebijakan tersebut mencakup upaya-upayapeningkatan kapasitas dan kinerja usaha koperasi dan UMKM, penguatan danperluasan peran sistem pendukung usaha, dan peningkatan dukungan iklim usaha. Hal ini sejalan dengan tiga tataran pemberdayaan koperasi dan UMKM dimana pada tataran makro, kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM mencakup perbaikan lingkungan usaha yang diperlukan untuk mendukung perkembangan koperasi dan UMKM. Beberapa isu lingkungan usaha di antaranya berkaitan dengan peraturan, persaingan usaha, biaya transaksi, formalisasi usaha, serta peran pemerintah, swasta dan masyarakat.

Kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM pada tataran mesomencakup peningkatan sistem pendukung usaha yang mencakup lembaga atau sistem yang menyediakan dukungan bagi peningkatan akses koperasi dan UMKM ke sumber daya produktif dalam rangka perluasan usaha dan perbaikan kinerja. Sumber daya produktif mencakup bahan baku, modal, tenaga kerja terampil, informasidan teknologi. Perluasan usaha mencakup peningkatan tata laksana kelembagaan, peningkatan kapasitas dan perluasan jangkauan pasar. Sementaraitu kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM pada tataran mikro mencakup peningkatan kualitas kelembagaan koperasi dan UMKM serta perbaikan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) baik dari aspek kewirausahaan, maupun kemampuan teknis, manajeman dan pemasaran.

Ketiga tataran kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM tersebut telahmenjadi acuan rencana kerja Kementerian Koperasi dan UKM dalam periode 2000-2004, 2004-2009 dan 2010-2014. Hasilnya menunjukkan masih banyak perbaikan yang perlu dilakukan untuk mewujudkan koperasi dan UMKM yang memiki usaha yang berkelanjutan, mandiri dan berdaya saing. Perkembangan koperasi dan UMKM juga masih membutuhkan dukungan kebijakan yang membantu koperasi dan UMKM dalam merespon perubahan pasar dan perekonomian yang dinamis. Koperasi dan UMKM juga perlu diperkuat sehingga mampu berkontribusi pada perbaikan struktur pelaku usaha nasional menjadi lebih kokoh dan seimbang, baik dalam skala usaha, strata maupun sektoral.

Menurut Tulus Tambunan (2002) seperti yang dikutip oleh Choirul Djamhari (2004: 522), “Di Indonesia kebijakan terhadap UKM lebih sering dikaitkan dengan upaya pemerintah mengurangi pengangguran, memerangi kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Karena itu pengembanganUKM sering dianggap secara tidak langsung sebagai kebijakan penciptaan kesempatan kerja, atau kebijakan redistribusi pendapatan”. Jadi, di Indonesia kebijakan UKM masih berorientasi kepada sosial daripada pasar atau persaingan sehingga kebijakan yang diambil belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijakan ekonomi makro.

Berdasarkan beberapa pendapat dan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam menjamin pengembangan UKM dapat disimpulkan bahwa dalam rangka memberdayaan UKMdpat ditempuh meliputi :
1)      Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional yang meliputi : Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana; Persaingan; Prasarana; Informasi; Kemitraan; Perijinan; Perlindungan;
2)      Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi : Produksi; Pemasaran; Sumber daya manusia; Teknologi;
3)      Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi  UKM di tingkat nasional meliputi : kredit perbankan; penjaminan lembaga bukan bank; Modal ventura; pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; hibah; jenis pembiayaan lain.


Kebijakan Pemerintah dalam Memperdayakan UMKM dan Koperasi di Indonesia

Pertumbuhan ekonomi nasional sangat ditentukan oleh dinamika perekonomian daerah, sedangkan perekonomian daerah pada umumnya ditopang oleh kegiatan ekonomi berskala kecil dan menengah. Unit usaha yang masuk dalam kategori Usaha Mikro,Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan urat nadi perekonomian daerah dan nasional. Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan usaha yang tangguh di tengah krisis ekonomi.  Saat ini sekitar  99%  pelaku ekonomi mayoritas adalah pelaku usaha UMKM  yang terus tumbuh secara signifikan dan menjadi sektor usaha yang mampu menjadi penopang stabilitas perekonomian nasional.  Peranan pemerintah  sebagai salah satu prasyarat keberhasilan dalam pengembangan UMKM dengan melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan kinerja UMKM sehingga dapat menghasilkan produk-produk yang berdaya saing tinggi.  Mengingat sebagian besar  penduduk  Indonesia adalah pelaku usaha kecil yang harus diperhatikan secara serius dan berkesinambungan , memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan produk - produk yang berorientasi pada ekspor . Pemerintah perlu mengambil langkah – langkah strategis guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan UMKM agar tidak hanya menjadi pelaku didalam negeri sendiri namun dapat pula melangkah maju pada tingkat regional terutama dalam menghadapi Pasar Bebas ASEAN.

A.    Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) :

Pengertian UMKM
1.      Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur  dalam Undang-Undang ini. Usaha Mikro memiliki kriteria asset maksimal sebesar 50 juta dan omzet sebesar 300 juta.
2.      Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Usaha Kecil memiliki kriteria asset sebesar 50 juta sampai dengan 500 juta dan omzet sebesar 300 juta sampai dengan 2,5 miliar.
3.      Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Menengah memiliki kriteria asset sebesar 500 juta sampai dengan 10 miliar dan omzet sebesar 2,5 miliar sampai dengan 50 miliar.

Terdapat beberapa acuan definisi yang digunakan berbagai instansi di Indonesia, yaitu :
1.      UU No.9 tahun 1995 tentang mengatur kriteria usaha kecil berdasarkan nilai aset tetap (di luar tanah dan bangunan) paling besar Rp 200 juta dengan omzet per tahun maksimal Rp 1 milyar. Sementara itu berdasarkan Inpres No.10 tahun 1999 tentang usaha menengah, batasan aset tetap (di luar tanah dan bangunan) untuk usaha menengah adalah Rp 200 juta hingga Rp 10 milyar.
2.      Kementerian Koperasi dan UKM menggolongkan suatu usaha sebagai usaha kecil jika memiliki omset kurang dari Rp 1 milyar per tahun. Untuk usaha menengah batasannya adalah usaha yang memiliki omset antara Rp 1 sampai dengan Rp 50 milyar per tahun.
3.      Departemen Perindustrian dan Perdagangan menetapkan bahwa industri kecil dan menengah adalah industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp 5 milyar. Sementara itu usaha kecil di bidang perdagangan dan industri juga dikategorikan sebagai usaha yang memiliki aset tetap kurang dari Rp 200 juta dan omzet per tahun kurang dari Rp 1 milyar (sesuai UU no.9 tahun 1995)
4.      Bank Indonesia menggolongkan usaha kecil dengan merujuk pada UU no 9/1995, sedangkan untuk usaha menengah BI menentukan sendiri kriteria aset tetapnya dengan besaran yang dibedakan antara industri manufaktur (Rp 200 juta s/d Rp 5 miliar) dan non manufaktur (Rp 200 – 60 juta).
5.      Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan suatu usaha berdasarkan jumlah tenaga kerja. Usaha mikro adalah usaha yang memiliki pekerja 1-5 orang.  Usaha kecil adalah usaha yang memiliki pekerja 6-19 orang. Usaha menengah memiliki pekerja 20-99 orang dan usaha besar memiliki pekerja sekurang-kurangnya 100 orang.

Menurut  Sri Winarni (2006)  Pada umumnya, usaha kecil mempunyai ciri antara lain sebagai berikut (1)  Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum berbadan hukum perusahaan, (2) Aspek legalitas usaha lemah, (3) Struktur organisasi bersifat sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku, (4) Kebanyakan tidak mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan, (5) Kualitas manajemen rendah dan jarang yang memiliki rencana usaha, (6) Sumber utama modal usaha adalah modal pribadi, (7)  Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas, (7) Pemilik memiliki ikatan batin yang kuat dengan perusahaan, sehingga seluruh kewajiban perusahaan juga menjadi kewajiban pemilik.

Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah (UMKM) telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Sejarah membuktikan, ketika terjadi krisis moneter di tahun 1998 banyak usaha besar yang tumbang karena dihantam krisis tersebut, namun UMKM tetap eksis dan menopang kelanjutan perekonomian Indonesia. Tercatat, 96% UMKM di Indonesia tetap bertahan dari goncangan krisis. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2008-2009. Ketika krisis datang dan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, UMKM lagi-lagi menjadi juru selamat ekonomi Indonesia.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga berperan dalam memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 % dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar  99,6 persen.  Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen. Angka  tersebut terus meningkat seiring dengan pertumbuhan UMKM dari tahun ke tahun.

Meski demikian, UMKM juga masih memiliki beberapa kendala antara lain dalam hal produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi, permodalan, serta iklim usaha. Dalam pertemuan APEC 2013, Menkop dan UMKM Syarif Hasan mengungkapkan 3 kendala yang dihadapi oleh pelaku UMKM yakni permodalan, teknologi, dan pemasaran. Agar kendala tersebut tidak berlanjut, perlu dilakukan upaya pemberdayaan UMKM.

Dalam rangka pemberdayaan UMKM, keterlibatan stakeholder sangat menentukan keberhasilannya.  Sejauh ini keterlibatan stakeholder UMKM antara lain terdiri dari instansi pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, koperasi, perbankan dan asosiasi usaha. Menurut Karsidi dan Irianto (2005) keterlibatan yang ada masih bersikap sendiri-sendiri dan kurang intergratif antara stakeholder satu dengan yang lain.

Sejatinya  pemberdayaan UMKM merupakan gerakan sinergis antar berbagai pihak. Namun pemerintah tetap memegang peranan terbesar dalam upaya pemberdayaan tersebut. Keterlibatan  pemerintah  dalam  memberdayakan UMKM telah diatur jelas dalam UU No. 20 tahun  2008  tentang UMKM. Undang-Undang ini memuat tentang ketentuan umum,  asas,  prinsip dan tujuan pemberdayaan,  kriteria,  penumbuhan  iklim usaha, pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, kemitraan, dan koordinasi pemberdayaan, sanksi administratif dan ketentuan pidana.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah mampu membuktikan eksistensinya dalam perekonomian di Indonesia. Ketika badai krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1998, banyak investor dan pengusaha besar yang mengalihkan modalnya ke negara-negara lain, sehingga perekonomian Indonesia dikala itu semakin terpuruk. Usaha kecil dan sektor riil mampu bertahan dan menopang roda perekonomian bangsa Indonesia. Undang-undang yang mengatur tentang seluk-beluk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah Undang-Undang Nomor  20 Tahun 2008. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sebuah perusahaan yang digolongkan sebagai UMKM adalah perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu. Rinciannya sebagai berikut :
1)      Usaha produktif yang kekayaannya sampai 50 juta rupiah dengan pendapatan sampai 300 juta rupiah per tahun digolongkan sebagai Usaha Mikro.
2)      Usaha produktif yang nilai kekayaan usahanya antara 50 juta hingga 500 juta rupiah dengan total penghasilan sekitar 300 juta hingga 2,5 milyar rupiah per tahun dikategorikan sebagai Usaha Kecil.
3)      Sedangkan Usaha Menengah merupakan usaha produktif yang memiliki kekayaan (modal) 500 juta hingga 10 milyar rupiah dengan jumlah pendapatan pertahun berkisar 2,5 – 50 milyar rupiah.
4)      Menurut Bank Dunia, UMKM dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu Usaha Mikro (jumlah karyawan 10 orang), Usaha Kecil (jumlah karyawan 30 orang) dan Usaha Menengah/Medium (jumlah karyawan hingga 300 orang). Dalam perspektif usaha, UMKM diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu:
5)      UKM sektor informal atau dikenal dengan istilah Livelihood Activities, contohnya pedagang kaki lima dan warteg.
6)      UKM Mikro atau Micro Enterprise adalah para UKM dengan kemampuan sifat pengerajin namun tidak memiliki jiwa kewirausahaan dalam mengembangkan usahanya.
7)      Usaha Kecil Dinamis (Small Dynamic Enterprise)  adalah kelompok UKM yang mampu berwirausaha dengan menjalin kerjasama (menerima pekerjaan subkontrak) dan ekspor.
8)      Fast Moving Enterprise adalah UKM-UKM yang mempunyai kewirausahaan yang cakap dan telah siap untuk bertranformasi menjadi usaha besar.

Secara umum, usaha kecil memiliki ciri-ciri: manajemen berdiri sendiri, modal disediakan sendiri, daerah pemasarannya lokal, aset perusahaannya kecil, dan jumlah karyawan yang dipekerjakan terbatas. Asas pelaksanaan UMKM adalah kebersamaan, ekonomi yang demokratis, kemandirian, keseimbangan kemajuan, berkelanjutan, efesiensi keadilan, serta kesatuan ekonomi nasional. UMKM mendapat perhatian dan keistimewaan yang diamanatkan oleh undang-undang, antara lain: bantuan kredit usaha dengan bunga rendah, kemudahan persyaratan izin usaha, bantuan pengembangan usaha dari lembaga pemerintah, beberapa kemudahan lainnya.


B.     Perkembangan dan Pemberdayaan UMKM di Indonesia

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang mengalami peningkatan yang sangat menggembirakan dikarenakan berhasil menyumbangkan 57% dari PDB (di dukung oleh data BPS tahun 2006 - 2010) dimana UMKM meningkat bukan hanya dari segi kuantitas melainkan tenaga kerja, modal serta asset mereka. UMKM juga dikatakan usaha ekonomi produktif yang cukup kuat, sekalipun terjadi gejolak atau krisis mereka tidak terkena dampak yang begitu menyedihkan. Hal tersebut dikarena prinsip kemandirian yang dimiliki yang artinya mereka memiliki modal sendiri dan tidak terlalu bergantung pada lembaga lain sehingga membuat mereka kokoh hingga saat ini dan menjadi katup perekonomian negara.
Pencapaian yang sangat menggembirakn bagi UMKM kita tidak didapat hanya dengan sekali mengedipkan mata. Banyak tantangan yang mereka harus lalui dan banyak masalah yang harus mereka selesaikan baik secara modal, tenaga kerja, kegiatan produksi dan hal lainnya. Sehingga apabila terdapat UMKM yang tidak siap dan tak mampu menghindari atau mengatasi gejolak yang datang maka tidak mustahil akan ada juga UMKM yang kolaps.

Berdasarkan masalah-maslah yang dialami oleh koperasi dan UMKM di Indonesia penulis menganalisis dan memiliki strategi penyelesaian masalah-masalah tersebut yang mereka alami agar tak terulang kembali dan terus meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Strategi yang penulis sarankan, baik bagi pemerintah khususnya Menteri Koperasi dan UMKM, anggota serta pengurus koperasi di seluruh Indonesia dan para owner UMKM di seluruh Indonesia untuk agar memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan perekonomian Indonesia melalui cara-cara berikut, diantaranya :
1)      Penyediaan modal dan akses kepada sumber dan lembaga keuangan. Ditambah dengan pemberian kemudahan (bukan berbelit-belit) dalam mengurus administrasi untuk mendapatkan modal dari lembaga keuangan. Dapat juga melalui pengefektifan dan pengefisienan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah disediakan oleh pemerintah sebelumnya.
2)      Meningkatkan kualitas dan kapasitas kompetensi SDM. Melalui pendidikan dan pelatihan baik dilakukan oleh pemerintah maupun oleh koperasi atau UMKM itu sendiri. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas SDM, mereka perlu “dibangunkan” kembali mengapa mereka berada di koperasi, orang yang masih konsisten berusaha mengembalikan mindset orang yang  tidak aktif agar mereka mau berorganisasi khususnya koperasi berdasarkan asas dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
3)      Meningkatkan kemampuan pemasaran UMKM. Pemberian pendidikan mengenai pemasaran atau dengan cara membuka/merekrut tenaga profesional yang ahli dalam hal pemasaran.
4)      Meningkatkan akses informasi usaha bagi UMKM.
5)      Menjalin kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku usaha (UMKM, Usaha Besar dan BUMN).
6)      Melakukan/membuat program goes to goal, yaitu langsung ke tujuan atau sasaran. Dilakukan dengan cara memberikan bantuan baik modal, konsep, dan hal-hal yang dibutuhkan oleh koperasi dan UMKM atau dengan membidik para individu yang memiliki jiwa enterpreneur dengan tetap adanya prinsip prudensial dan adanya manager investasi (meminjam istilah perbankan syariah dimana nasabah yang telah diberi pinjaman tetap terus mendapat pengawasn atau layanan prima dalam pengolahan dana yang ). Selama ini banyak orang ahli dalam bidang UMKM mengadakan seminar-seminar demi meningkatnya kualitas dan kuantitas dari UMKM, namun “efek” yang ada dari seminar tersebut tidaklah lama, hanya bertahan sebentar, untuk itu lebih baik mereka mencari langsung terjun ke lapangan untuk mencari orang-orang yang benar-benar serius di UMKMK dan jika dilihat potensi usahanya bagus segera dipinjami dana dalam rangka mengembangkan usahanya.

Sejatinya perkembangan UMKM di Indonesia cukup baik, jika ditinjau dari segi jumlah unit usaha maupun jumlah tenaga kerja yang diserap oleh UMKM dalam rangka mengurangi pengangguran. Data BPS (1994) menunjukkan jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang meliputi 15,635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja tetap.

Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen.

Angka tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. berikut akan disajikan tabel mengenai perkembangan UMKM dari tahun 2006-2010.

Tahun
Jumlah UMKM
Jumlah Tenaga Kerja
2006
49.021.803 unit
87.909.598 orang
2007
50.145.800 unit
90.491.930 orang
2008
51.409.612 unit
94.024.278 orang
2009
52.764.603 unit
96.211.332 orang
2010
53.823.732 unit
99.401.775 orang
(Sumber : Kemenkop dan UMKM)

Dari tabel diatas dapat kita ambil kesimpulan jika pada periode 2006-2010 merupakan masa pertumbuhan yang bagus bagi UMKM. Selama periode tersebut UMKM bertambah sebanyak 4.801.929 unit atau sebesar 9,80%. Penyerapan tenaga kerja oleh UMKM juga mengalami peningkatan yang cukup pesat. Selama 5 tahun, tercatat ada peningkatan jumlah tenaga kerja UMKM sebanyak 11.492.177 atau 13,07%.

Potensi lainnya dapat dilihat dan kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB menurut harga berlaku, yang sesuai data BPS tahun 2008 mencapai Rp.2.609,4 trilyun. Dengan jumlah tersebut berarti bahwa 55,56% dan PDB nasional yang totalnya mencapai Rp.4.696,5 trilyun bersandar pada produktivitas UMKM. Jumlah tersebut terus meningkat. Data tahun 2009 menyebutkan bahwa UMKM berkontribusi sebesar 56,53% terhadap pembentukan PDB menurut harga berlaku. Angka tersebut menjadi 57,12% di tahun 2010.

Berikut akan disajikan tabel kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB atas dasar harga berlaku periode 2006-2010.

Tahun
Kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB atas harga berlaku
Jumlah kontribusi UMKM terhadap PDB atas harga berlaku
2006
56,23%
1.783,4 trilyun
2007
56,28%
2.107,8 trilyun
2008
55,56%
2.609,4 trilyun
2009
56,53%
2.993,1 trilyun
2010
57,12%
3.466,3 trilyun
(Sumber: Kemenkop dan UMKM)

Di sisi lain, kontribusi UMKM dalam ekspor non migas mencapai sekitar Rp.183 trilyun. Setidaknya UMKM telah menjadi penguat ekspor non migas hingga 20,17% dan total ekspor non migas sebesar Rp.910,9 trilyun. Angka tersebut menurun ketika di tahun 2009 jumlahnya menjadi 162,2 trilyun, namun meningkat lagi menjadi 175,8 trilyun di tahun berikutnya. Walaupun angkanya fluktuaktif, peran UMKM dalam ekspor ini merupakan bukti kemampuan dan daya saing produk UMKM di pasar persaingan bebas, sekaligus merupakan potensi yang perlu terus dipelihara untuk menjaga kesinambungan perdagangan internasional.

Sedangkan dilihat dan nilai investasi (pembentukan modal tetap bruto) UMKM menurut harga berlaku tahun 2008 mencapai Rp.640 trilyun atau sebesar 52,89% dan total nilai investasi nasional yang mencapai sebesar Rp.1.210 trilyun. Dengan tingkat investasi tersebut, dibandingkan dengan usaha besar, maka pengembangan UMKM hanya membutuhkan tingkat investasi yang lebih rendah, dengan konsekuensi akan memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan ekonomi nasional.

Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan bagian integral dalam pembangunan nasional.yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam pembangunan bidang ekonomi secara eksplisit UUD 1945 menekankan implementasi azas kekeluargaan (pasal 33 ayat 1) dan penyelenggaraan perekonomian nasional yang berdasar atas demokrasi ekonomi (pasal 33 ayat 4).

Dalam hal ini pemberdayaan UMKM, berkaitan langsung dengan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat Indonesia (pro poor). Selain itu, potensi dan peran strategisnya telah terbukti menjadi penopang kekuatan dan pertumbuhan ekonomi nasional (pro growth). Keberadaan UMKM yang dominan sebagai pelaku ekonomi nasional juga merupakan subyek vital dalam pembangunan, khususnya dalam rangka perluasan kesempatan berusaha bagi wirausaha baru dan penyerapan tenaga kerja serta menekan angka pengangguran (pro job).

Berdasarkan data diatas, sangat terlihat bahwa UMKM merupakan kekuatan dalam pelaksanaan ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, keberadaan UMKM harus dilindungi dan diberdayakan pemerintah. Dalam UU No.20/2008 tentang UMKM, didefinisikan bahwa pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan Masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap UMKM sehingga  mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.

Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.

Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pemberdayaan UMKM diselenggarakan sebagai kesatuan dan pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.

Dengan dilandasi dengan asas kekeluargaan, upaya pemberdayaan UMKM merupakan bagian dari perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Asas Kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh UMKM dan Dunia Usaha secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Asas Efisiensi adalah asas yang mendasari pelaksanaan pemberdayaan UMKM dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.

Asas Berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui pemberdayaan UMKM yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga terbentuk perekonomian yang tangguh dan mandiri. Asas Berwawasan Lingkungan adalah asas pemberdayaan UMKM yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Asas Kemandirian adalah usaha pemberdayaan UMKM yang dilakukan dengan tetap menjaga dan mengedepankan potensi, kemampuan, dan kemandirian UMKM

Prinsip Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20 tahun 2008) adalah :
1)      Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;
2)      Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
3)      Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
4)      Peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
5)      Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.

Sesuai dengan UU No.20 tahun 2008, pemberdayaan UMKM bertujuan :
1)      Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
2)      Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
3)      Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Sijabat, peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM dalam Sudrajat mengatakan upaya pemberdayaan UMKM bukanlah suatu komitmen kebijakan jangka pendek, tetapi merupakan proses politik jangka panjang. Dalam upaya mendorong percepatan proses pemberdayaan UMKM selama era reformasi juga terlihat sudah cukup banyak isu politik yang seharusnya dapat mempercepat (akselerasi) proses pemberdayaan koperasi dan UKM. Disinilah mungkin letak pokok permasalahannya. Kalangan UMKM serta para pemangku kepentingan (stakeholders) dituntut berkemampuan memberikan keyakinan kepada para pengambil keputusan agar lebih berpihak kepada pembangunan kelompok masyarakat banyak tersebut.

Belum efektifnya isu-isu politik yang berkembang selama era reformasi mengindikasikan bahwa proses komunikasi politik sendiri belum berjalan baik. Sesungguhnya komunikasi politik yang efektif diharapkan dapat dibangun dan ditumbuhkan oleh para eksponen yang bergerak dalam pemberdayaan UMKM. Dengan kondisi yang masih seperti sekarang jangan diharapkan akan ada tenggang rasa dari para pengusaha besar kepada pengusaha kecil. Belajar dari pengalaman masa lalu untuk bermitra antara pengusaha kecil dan pengusaha besar harus dipaksa dan diikat dengan peraturan formal, begitupun belum dapat berjalan dengan efektif.

Lebih lanjut Sijabat mengatakan pemberdayaan UMKM tidak terlepas dari konsepsi dasar pembangunan yang menjadi medium penumbuhan UMKM. Merancang konsepsi dasar pemberdyaan UMKM adalah membangun sistem yang mampu mengeliminir semua masalah yang menyangkut keberhasilan usaha UMKM. Salah satu aspek yang sangat menentukan keberhasilan UMKM adalah iklim usaha. Aspek itu sendiri terkait erat dengan kemampuan sistem yang di bangun, sedangkan sistem yang dibangun terkait dengan banyak pelaku (aktor) dan banyak variable (faktor) yang berpengaruh nyata serta bersifat jangka panjang (multies years). Oleh karena sifatnya tersebut maka faktor-faktor ini sulit diukur keberhasilannya sebagai buah karya suatu instansi atau suatu rezim pemerintahan. Oleh sebab itu kondusifitas dari setiap faktor tersebut harus ditumbuhkan dan terus diperbaiki. Untuk mengetahui kondisi dari setiap faktor dan para pelaku yang berperan didalamnya perlu dilakukan evaluasi setiap waktu, setiap tempat dan setiap sektor kegiatan usaha UMKM.

Menurut Suarja (2007) dalam Sudrajat mengungkapkan  pemberdayaan Koperasi dan UMKM dilakukan melalui :
1)      Revitalisasi peran koperasi dan perkuatan posisi UMKM dalam sistem perkonomian nasional
2)      Revitalisasi koperasi dan perkuatan UMKM dilakukan dengan memperbaiki akses UMKM terhadap permodalan, tekologi, informasi dan pasar serta memperbaiki iklim usaha;
3)      Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan
4)      Mengembangkan potensi sumberdaya lokal.


C.    Hambatan dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia

Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah menunjukkan peranannya dalam perekonomian nasional, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sebagai usaha yang ruang lingkup usahanya dan anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga terbatas, UMKM sangat rentan terhadap masalah-masalah perekonomian.  

Perlu digaris bawahi bahwa lebih dan 51 juta usaha yang ada, atau lebih dan 99,9% pelaku usaha adalah Usaha Mikro dan Kecil, dengan skala usaha yang sulit berkembang karena tidak mencapai skala usaha yang ekonomis. Dengan badan usaha perorangan, kebanyakan usaha dikelola secara tertutup, dengan Legalitas usaha dan administrasi kelembagaan yang sangat tidak memadai. Upaya pemberdayaan UMKM makin rumit karena jumlah dan jangkauan UMKM demikian banyak dan luas, terlebih bagi daerah tertinggal, terisolir dan perbatasan.

Kuncoro (2000) mengungkapkan ada beberapa kendala yang dialami oleh UMKM dalam menjalankan usahanya. Kendala tersebut berupa tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.

Kuncoro juga mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi PK dengan omset kurang dari Rp 50 juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan “aman” sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal kerja mereka.

Kedua, bagi PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis ini adalah (Kuncoro, 1997): (1) Masalah belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan; (2) Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4) Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkulaitas rendah, dan tingginya harga bahan baku; (6) Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.

Hasil penelitian Schiffer-Weder (2001) dalam Rizali secara keseluruhan juga memperkuat persepsi bahwa UKM menghadapi hambatan berusaha yang lebih besar daripada UB. Bila dilihat dari persentasi jawaban responden, secara umum hambatan utama dalam berusaha adalah sumber pembiayaan.

Sekitar 39% responden UKM menyatakan pembiayaan sebagai hambatan utama dalam berusaha, sedangkan responden Usaha Besar (UB) yang menyatakan pembiayaan sebagai sumber hambatan utama usaha sekitar 28%. Ini mengindikasikan bahwa UKM memang lebih sulit memperoleh kredit dari sektor keuangan formal dibandingkan dengan UB.

Berbeda dengan UKM, pengelola UB memandang ketidakstabilan kebijakan pemerintah sebagai hambatan utama dalam berusaha, demikianlah pendapat 30% responden dari UB.
Tiga faktor selanjutnya yang menghambat dunia usaha adalah inflasi (35% responden), ketidakstabilan kebijakan (34%), dan pajak dan peraturan pemerintah (33,5%). Yang menarik sekitar 37% UKM menganggap aspek perpajakan dan peraturan pemerintah sebagai hambatan utama berusaha dibandingkan dengan hanya 21% UB.

Hal ini mengindikasikan bahwa UB lebih mudah menghindari pajak, misalnya, dengan mengalihkan dan melaporkan keuntungannya ke daerah yang tingkat pajaknya lebih rendah. Responden memandang nilai tukar (28%), korupsi (28%), kejahatan jalanan (27%), dan kejahatan teroganisir (24,5%) sebagai faktor lain yang menghambat kegiatan usaha.

Bila dilihat tingkat rata-rata intensitas hambatan yang dirasakan, pajak dan peraturan pemerintah (skor 2,95 dalam skala 4) dianggap sebagai hambatan yang paling umum dihadapi oleh UKM. Pembiayaan (skor 2,87), inflasi (skor ? 2,8), dan ketidakpastian kebijakan (skor ? 2,8) adalah tiga faktor lain yang punya intensitas gangguan tinggi bagi UKM.

Sedangkan UB melihat ketidaksatabilan kebijakan (skor 2,7) sebagai masalah utama. Masalah selanjutnya adalah pajak dan peraturan (skor 2,6), dan inflasi (skor 2,6). Sedangkan pembiayaan (skor 2,6) berada pada posisi ke empat.

Baik secara persentase persepsi responden dan intensitas, UKM ternyata memang menghadapi masalah lebih besar daripada UB. Menarik diperhatikan bahwa dari persentase persepsi responden dan skor intensitas, UB melihat ketidakpastian kebijakan sebagai hambatan usaha utama.

Ini menunjukkan bahwa usaha besar memang menjadi target utama kebijakan pemerintah, sedangkan UKM terabaikan. Akibatnya, semakin tidak pasti kebijakan pemerintah semakin besar dampaknya pada UB. Sedangkan para wirausahawan UKM, karena terabaikan dari kebijakan, sudah terbiasa dengan ketidakpastian dan menjadi lebih fleksibel menghadapi ketidakpastian dunia usaha.

Badan Pusat Statistik (2003) di dalam Sri Winarni (2006)   mengidentifikasikan permasalahan umum yang dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2) Kesulitan dalam pemasaran, (3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku, (5) Kurang teknis produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7) Kurang pengetahuan manajemen keuangan, dan  (8)  Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan).

Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS (2003) di dalam Sri Winarni (2006) menginformasikan bahwa UKM yang mengalami kesulitan usaha 72,47 %,  sisanya 27,53 % tidak ada masalah.  Dari  72,47 % yang mengalami kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan 51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %.

Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan  permodalan  (51.09%).   Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam mengatasi kesulitan permodalannya diketahui sebanyak 17,50 % UKM menambah modalnya dengan meminjam ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke bank tetapi ke lembaga Non bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga, modal ventura, lainnya.

Sedangkan permasalahan yang dihadapi  UMKM dalam mendapatkan kredit modal usaha antara lain adalah (1) Prosedur pengajuan yang  sulit   30,30 %, (2) Tidak berminat 25,34 %, (3) Pelaku UMKM Tidak punya agunan 19,28 %, (4)  UMKM yang tidak tahu prosedur 14,33 %, (5) Suku bunga tinggi  8,82 %, (6)  Proposal ditolak (1,93 %).

Penerapan Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 diyakini juga akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan UMKM. Aturan tersebut memuat mengenai pajak penghasilan sebesar 1% bagi UMKM yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 milyar dalam 1 tahun.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hambatan yang dialami oleh UMKM. Hambatan tersebut berupa :
1)      Kurangnya modal yang dimiliki oleh UMKM
2)      Akses terhadap modal yang sulit dijangkau
3)      Pengelolaan yang kurang profesional
4)      Kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat
5)      Rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM
6)      Kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM
7)      Bahan baku sukar diperoleh
8)      Pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit


D.    Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia.

Semenjak Indonesia merdeka, pemerintah berusaha mencetak pengusaha-pengusaha baru untuk merobohkan sistem ekonomi kolonial dan diganti dengan ekonomi kerakyatan. Beberapa program disusun oleh pemerintah Orde Lama. Di masa demokrasi liberal, dikenal Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.

Gagal dengan Program Benteng, pemerintah mengenalkan program baru yakni sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina (baba) dan pengusaha pribumi (ali). Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Di masa Orde Baru, pengembangan UMKM terus berlanjut. Pemerintah Orba membuat UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil guna memberdayakan usaha kecil. UU ini berisi XI bab dan 38 pasal dan mengatur pelaksanan permberdayaan UMKM di Indonesia.
Sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang semakin dinamis dan global, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang hanya mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia dapat memperoleh jaminan kepastian dan keadilan usaha. UU tersebut diganti dengan UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam UU tersebut, disebutkan peran pemerintah untuk memberdayakan UMKM.

Terkait dengan urusan pemerintahan, setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (Pasal 4 ayat1). Kementerian Koperasi dan UKM RI merupakan Kementerian di kelompok ketiga yaitu urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (Pasal 4 ayat 2, huruf C), berkaitan dengan urusan pemerintahan bidang Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Pasal 5 ayat 3).

Undang-Undang telah memberi amanat terhadap pemerintah untuk mengembangkan UMKM. Dalam UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM disebutkan peran pemerintah antara lain :
1)      Bersama Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan dan pengendalian kesempatan berusaha (Pasal 13).
2)      Bersama Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan promosi dagang (Pasal 14, ayat2).
3)      Bersama Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, dan desain dan teknologi (Pasal 16 ayat 1).
4)      Menyusun Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pengembangan, prioritas, intensitas, dan jangka waktu pengembangan usaha dimaksud (Pasal 16 ayat 3).
5)      Bersama dengan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil (Pasal 2l). Dalam hal ini Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil(Pasal 2l ayat4).
6)      Memberikan insentif datam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesual dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil (Pasal 21 ayat 5).
7)      Meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil (Pasal 22).
8)      Bersama Pemerintah Daerah, meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan (Pasal 23 ayat 1).
9)      Bersama dengan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan (Pasal 24).
10)  Bersama Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan (Pasal 25 ayat 1). Kemitraan antar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan teknologi (Pasal 25 ayat 2).
11)  Menteri Koperasi dan UKM dan Menteri teknis lain mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, pengunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (Pasal 25 ayat 3).
12)  Menteri Koperasi dan UKM dapat membentuk lembaga koordinasi kemitraan usaha nasional dan daerah untuk memantau pelaksanaan kemitraan (Pasal 34).
13)  Melarang Usaha Besar memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan (Pasal 35).
14)  Melarang Usaha Menengah memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil mitra usahanya(Pasal 35).
15)  Menteri Koperasi dan UKM melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Pasal 38 ayat 1).
16)  Mengatur dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pemberian sanksi administratif pelaggaran UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Pasal 39 ayat 3).

Sehubungan dengan amanat Undang-Undang, pemerintah melaksanakan berbagai program yang bertujuan untuk memberdayakan UMKM. Program tersebut antara lain adalah program Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) dan pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Gerakan Kewirausahaan Nasional bertujuan memiliki tujuan sebagai berikut :
1)      Meningkatkan semangat dan jiwa kewirausahaan bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menjadi wirausaha yang mandiri handal dan tangguh, serta memiliki daya saing.
2)      Memotivasi agar tumbuh wirausaha baru kreatif, inovatif dan berwawasan global.
3)      Mampu melakukan interaksi melalui tukar menukar informasi dan peningkatan kerjasama di segala sektor.
4)      Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berwirausaha khusus bagi wirausaha baru.
5)      Mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha koperasi dan UMKM yang dilakukan oleh para pelaku wirausaha.
6)      Mengekspose dan memberikan inspirasi atas keberhasilan wirausaha dari dalam dan luar negeri dan diharapkan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya wirausaha baru.

Sedangkan KUR yang dilaksanakan sejak tahun 2007 dan bekerja sama dengan bank nasional  penyalur KUR sebanyak 7 bank yaitu Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah).

Hasil pelaksanaan pada tahun 2012 yaitu penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp.34,2 triliun untuk lebih dari 1,9 juta debitur, dengan rata-rata kredit/pembiayaan sebesar Rp.17,5 juta. Volume penyaluran KUR tersebut telah melampaui target tahun 2012 sebesar Rp.30 triliun. Tingkat non-performing loan (NPL) KUR pada tahun 2012 cukup rendah yaitu 3,6 persen. Sebagian besar KUR disalurkan ke sektor perdagangan (37,5 persen), sektor pertanian dan perikanan (17,1 persen), dan sektor perdagangan terintegrasi dengan sektor hulu (14,2 persen).

Realisasi sebaran KUR dari tahun 2007 sampai 2013 menyebutkan bahwa Bank BRI adalah penyalur KUR terbesar dengan total plafond mencapai Rp. 79,9 triliun. Selain sektor ritel BRI juga menyalurkan KUR di sektor mikro yang masing-masing plafondnya sebesar Rp. 16,03 triliun dan Rp. 63,9 triliun, debiturnya 94.710 UMK dan 8.650.164 UMK, rata-rata kredit Rp. 169,3 juta/debitur dan Rp. 7,4 juta/debitur, serta NPL penyaluran masing-masing 3,4% dan 1,9%. Menduduki peringkat kedua yaitu Bank Bank Mandiri dengan total plafond sebesar Rp. 12,6 triliun, debiturnya sebanyak 250.032 UMK, dengan rata-rata kredit Rp. 50,4 juta/debitur serta nilai NPL sebesar 4,3%. Di urutan ketiga adalah BNI dengan total plafond sebesar Rp. 12,11 triliun, debiturnya sebanyak 184.805 UMK, dengan rata-rata kredit Rp. 65,5 juta/debitur serta nilai NPL sebesar 4,1%.

Selanjutnya berturut-turut yaitu BTN dengan plafond Rp. 4,1 triliun, BSM dengan plafond Rp. 3,4 triliun, Bank Bukopin dengan plafond 1,75 triliun dan BNI Syariah dengan plafond Rp. 142.876 miliar. Secara keseluruhan, nilaiNon Performing Loan (NPL) penyaluran KUR oleh bank pelaksana ini masih dibawah 5% yaitu sebesar 3,4%. Bank BTN merupakan Bank Pelaksana dengan nilai NPL terbesar dalam penyaluran KUR yaitu sebesar 9,5% dan BRI Mikro dengan NPL terkecil yaitu 1,9%. Diharapkan pada periode-periode berikutnya nilai NPL pada bank yang masih di atas 5% bisa turun sehingga penyalurannya lebih tepat sasaran.

Pada tahun 2012, pemerintah juga melakukan pendampingan bagi 27.520 calon debitur KUR dan sosialisasi KUR di 33 provinsi. Melalui program tersebut diharapkan penerima KUR dapat mempergunakan KUR untuk pengembangan usaha dan membuat UMKM menjadi lebih berdaya karena tambahan modal tersebut.


E.     Strategi Pemberdayaan UMKM di Indonesia mengahadapi Pasar Bebas ASEAN

Belum kokohnya fundamental perekonomian Indonesia saat ini, mendorong pemerintah untuk terus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan memberi peluang bagi UMKM untuk berkembang dan bersaing dengan perusahaan yang lebih cenderung menggunakan modal besar (capital intensive). Eksistensi UMKM memang tidak dapat diragukan lagi karena terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga menghadapi banyak sekali permasalahan, yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi (Sudaryanto dan Hanim, 2002). Kendala lain yang dihadapi UMKM adalah keterkaitan dengan prospek usaha yang kurang jelas serta perencanaan, visi dan misi yang belum mantap. Hal ini terjadi karena umumnya UMKM bersifat income gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: merupakan usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih relatif sederhana, kurang memiliki akses permodalan (bankable), dan tidak ada pemisahan modal usaha dengan kebutuhan pribadi.

Pemberdayaan UMKM di tengah arus globalisasi dan tingginya persaingan membuat UMKM harus mampu mengadapai tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan jasa, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan area pemasaran. Hal ini perlu dilakukan untuk menambah nilai jual UMKM itu sendiri, utamanya agar dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian membanjiri sentra industri dan manufaktur di Indonesia, mengingat UMKM adalah sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia (Sudaryanto, 2011).

Pada tahun 2011 UMKM mampu berandil besar terhadap penerimaan negara dengan menyumbang 61,9 persen pemasukan produk domestik bruto (PDB) melalui pembayaran pajak, yang diuraikan sebagai berikut : sektor usaha mikro menyumbang 36,28 persen PDB, sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor usaha menengah 14,7 persen melalui pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha besar hanya menyumbang 38,1 persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011).

Sebagian besar (hampir 99 persen), UMKM di Indonesia adalah usaha mikro di sektor informal dan pada umumnya menggunakan bahan baku lokal dengan pasar lokal. Itulah sebabnya tidak terpengaruh secara langsung oleh krisis global. Laporan World Economic Forum (WEF) 2010 menempatkan pasar Indonesia pada ranking ke-15. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi negara lain. Potensi ini yang belum dimanfaatkan oleh UMKM secara maksimal.

Perkembangan UMKM di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan sehingga menyebabkan lemahnya daya saing terhadap produk impor. Persoalan utama yang dihadapi UMKM, antara lain keterbatasan infrastruktur dan akses pemerintah terkait dengan perizinan dan birokrasi serta tingginya tingkat pungutan. Dengan segala persoalan yang ada, potensi UMKM yang besar itu menjadi terhambat. Meskipun UMKM dikatakan mampu bertahan dari adanya krisis global namun pada kenyataannya permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat banyak dan lebih berat. Hal itu dikarenakan selain dipengaruhi secara tidak langsung krisis global tadi, UMKM harus pula menghadapi persoalan domestik yang tidak kunjung terselesaikan seperti masalah upah buruh, ketenagakerjaan dan pungutan liar, korupsi dan lain-lain.

Permasalahan lain yang dihadapi UMKM, yaitu adanya liberalisasi perdagangan, seperti pemberlakuan ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) yang secara efektif telah berlaku tahun 2010. Di sisi lain, Pemerintah telah menyepakati perjanjian kerja sama ACFTA ataupun perjanjian lainnya, namun tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu kesiapan UMKM agar mampu bersaing. Sebagai contoh kesiapan kualitas produk, harga yang kurang bersaing, kesiapan pasar dan kurang jelasnya peta produk impor sehingga positioning persaingan lebih jelas. Kondisi ini akan lebih berat dihadapi UMKM Indonesia pada saat diberlakukannya ASEAN Community yang direncanakan tahun 2015. Apabila kondisi ini dibiarkan, UMKM yang disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting pada akhirnya akan bangkrut juga. Oleh karena itu, dalam upaya memperkuat UMKM sebagai fundamental ekonomi nasional, perlu kiranya diciptakan iklim investasi domestik yang kondusif dalam upaya penguatan pasar dalam negeri agar UMKM dapat menjadi penyangga (buffer) perekonomian nasional.

Masalah lain yang dihadapi dan sekaligus menjadi kelemahan UMKM adalah kurangnya akses informasi, khususnya informasi pasar (Ishak, 2005). Hal tersebut menjadi kendala dalam hal memasarkan produk-produknya, karena dengan terbatasnya akses informasi pasar yang mengakibatkan rendahnya orientasi pasar dan lemahnya daya saing di tingkat global. Miskinnya informasi mengenai pasar tersebut, menjadikan UMKM tidak dapat mengarahkan pengembangan usahanya secara jelas dan fokus, sehingga perkembangannya mengalami stagnasi.

Kemampuan UMKM dalam menghadapi terpaan arus persaingan global memang perlu dipikirkan lebih lanjut agar tetap mampu bertahan demi kestabilan perekonomian Indonesia. Selain itu faktor sumber daya manusia di dalamnya juga memiliki andil tersendiri. Strategi pengembangan UMKM untuk tetap bertahan dapat dilakukan dengan peningkatan daya saing dan pengembangan sumber daya manusianya agar memiliki nilai dan mampu bertahan menghadapi pasar ACFTA, diantaranya melalui penyaluran perkreditan (KUR), penyediaan akses informasi pemasaran, pelatihan lembaga keuangan mikro melalui capacity building, dan pengembangan information technology (IT).

Demikian juga upaya-upaya lainnya dapat dilakukan melalui kampanye cinta produk dalam negeri serta memberikan suntikan pendanaan pada lembaga keuangan mikro. Keuangan mikro telah menjadi suatu wacana global yang diyakini oleh banyak pihak menjadi metode untuk mengatasi kemiskinan (ref). Berbagai lembaga multilateral dan bilateral mengembangkan keuangan mikro dalam berbagai program kerjasama. Pemerintah di beberapa negara berkembang juga telah mencoba mengembangkan keuangan mikro pada berbagai program pembangunan. Lembaga swadaya masyarakat juga tidak ketinggalan untuk turut berperan dalam aplikasi keuangan mikro (Prabowo dan Wardoyo, 2003).


F.     Diera Pemerintahan Presiden Joko Widodo

Di era kepemimpinan presiden Joko Widodo, dia mencanangkan sebuah Nawa Cita, ada juga ni sembilan agenda prioritas Presiden , namun dari Sembilan agenda presiden tersebut adatiga Nawa Cita menjadi prioritas Kementerian Koperasi dan UKM dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam periode 2015-2019, yaitu:

Agenda ke-2 :
Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tatakelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya yangmencakup upaya-upaya yang diarahkan antara lain untuk :
1)      Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan, meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan instansi Pemerintah Pusat, membuat laporan kinerja, dan membuka akses informasi publik.
2)      Menjalankan agenda reformasi publik dengan restrukturisasi kelembagaan, perbaikan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kompetensi aparatur, memperkuat monitoring dan supervise atas kinerja pelayanan publik.
3)      Membuka ruang partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan publik.

Agenda ke-6 : 
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya yang mencakup upaya-upaya yang diarahkan antaralain untuk :
1)      Membangun pasar tradisional sebanyak 5.000 pasar tradisional di seluruhIndonesia dan memodernisasikan pasar tradisional yang telah ada.
2)      Membangun sejumlah Science dan Techno Park di daerah-daerah.
3)      Meningkatkan daya saing dengan memanfaatkan potensi yang belumtergarap dengan baik tetapi memberi peluang besar untuk meningkatkanakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, yakni, industri manufaktur,industri pangan, sektor maritim, dan pariwisata.

Agenda ke-7 : 
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik yang mencakup upaya-upaya yangdiarahkan antara lain untuk :
Mewujudkan kedaulatan pangan melalui pendirian Bank Petani dan UMKM Berdasarkan Visi dan Misi Presiden, Norma dan Dimensi Pembangunan, serta Nawa Cita, maka disusun Tujuan Kementerian Koperasi dan UKM yaitu:Mewujudkan Koperasi dan UMKM yang berdaya saing dan berkontribusi pada peningkatan perekonomian nasional dankesejahteraan rakyat berlandaskan semangat wirausaha, kemandirian koperasi dan keterpaduan.

Jadi arah kebijakan tersebut akan dijabarkan lebih lanjut menjadi kebijakan-kebijakan bidang, dimana kebijakan di bidang Koperasi dan UMKM pada tahun 2015-2019 diarahkan untuk meningkatkan daya saing Koperasi dan UMKM sehingga mampu tumbuh menjadi usaha yang berkelanjutan dengan skala yang lebih besar dalam rangka mendukung kemandirian perekonomian nasional. Dan setelah ini arah kebijakan tersebut akan kita laksanakan melalui lima strategi sebagai berikut :

1.      Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Jadi dalam strategi ini kita bisa menguatkan sektor-sektor wirausaha dengan melakukaan penataan dan pengembangan dibidang lembaga kependidikan , bisa juga ni kita harus lebih mengembangkan suatu pelatihan-pelatihan dan pendampingan dalam mendorong dukungan untuk menaikkan kualitas perorangan yang akan memulai berwirausaha. Perlu juga menyediakan dan mendukung ketersediaan alat khususnya bagi wanita yang berbasis teknologi guna mampu bersaing dalam hal penataan dan persaingan usaha secara global.

2.      Peningkatan Akses Pembiayaan Dan Perluasan Skema Pembiayaan
Melalui pengembangan lembaga pembiayaan/bank Koperasi dan UMKM, serta optimalisasi sumber pembiayaan non-bank, integrasi sistem informasi debitur UMKM dari lembaga pembiayaan bank dan non-bank dan advokasi pembiayaan bagi Koperasi dan UMKM.

3.      Peningkatan Nilai Tambah Produk Dan Jangkauan Pemasaran
Melalui perluasan penerapan teknologi tepat guna diversifikasi produkberbasis rantai nilai dan keunggulan lokal peningkatan penerapanstandardisasi produk (Standar Nasional Indonesia/SNI, HaKI), sertifikasi (halal, keamanan pangan dan obat) dan  integrasi fasilitasi pemasaran dan sistem distribusi baik domestik maupun ekspor;

4.      Penguatan Kelembagaan Usaha
Melalui kemitraan investasi berbasisketerkaitan usaha (backward-forward linkages dan peningkatan perankoperasi dalam penguatan sistem bisnis pertanian dan perikanan, dan sentra industri kecil di kawasan industri

5.      Kemudahan, Kepastian Dan Perlindungan Usaha
Melalui harmonisasi perizinan sektoral dan daerah, pengurangan jenis, biaya dan waktu pengurusan perizinan, penyusunan rancangan undang-undang tentang Perkoperasian, peningkatan efektivitas penegakan regulasi persainganusaha yang sehat, dan peningkatan sinergi dan kerja sama pemangku kepentingan (publik, swasta dan masyarakat) yang didukung sistem terpadu yang berbasis data Koperasi dan UMKM secara sektoral danwilayah.



Arah kebijakan, strategi dan berbagai langkah strategis untuk menaikkan kelas UMKM tersebut juga dilengkapi dengan Norma Standar Operasional Kementerian Koperasi dan UKM dalam pelaksanaan program dan kegiatan sebagai berikut :
1.      Dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, seluruh jajaran Kementerian Koperasi dan UKM harus memperhatikan azas ketaatandengan mengacu pada peraturan perundangan yang ada.
2.      Kinerja diukur dengan pencapaian Sasaran Strategis yaitu:
a.       Meningkatnya kontribusi UMKM dalam perekonomian melaluipengembangan komoditas berbasis koperasi/sentra di sektor-sektorunggulan;
b.      Meningkatnya daya saing koperasi dan UMKM;
c.       Meningkatnya wirausaha baru dengan usaha yang layak danberkelanjutan; dan
d.      Meningkatnya kualitas kelembagaan dan usaha koperasi, sertapenerapan praktek berkoperasi yang baik oleh masyarakat.
3.      Penguatan koperasi dan UMKM difokuskan pada peningkatan kinerja dandaya saing koperasi dan UMKM di sektor-sektor utama yang menjadi prioritas Presiden melalui Nawa Cita;
4.      Seluruh upaya pencapaian sasaran kinerja melalui program, kegiatan, maupun output harus dilaksanakan melalui keterpaduan dan kerjasama antar unit dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan monev yang didukung kelengkapan data dan informasi koperasi dan UMKM;
5.      Pelaksanaan program dan kegiatan harus mencakup keseimbangan antara pemihakan dan pembangunan kemandirian koperasi dan UMKM, serta bersifat inklusif yang memperhatikan akses dan kesempatan yang sama antar kelompok pendapatan, antar gender, antar wilayah, dan keberpihakan kepada kelompok/golongan yang kurang mampu.
6.      Pelaksanaan program dan kegiatan didukung kemitraan dan kerjasama strategis dengan Kementerian/ Lembaga/ Daerah serta organisasi masyarakat, organisasi/lembaga profesi, pelaku usaha, serta kerjasama bilateral dan multilateral yang didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling melengkapi; dan
7.      Kementerian Koperasi dan UKM mendorong profesionalisme pelayanan publik dengan mengembangkan unit-unit pelayanan yang dapat mandiri,memberikan kontribusi pada Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan secaralangsung melayani kebutuhan masyarakat.

Itulah kurang lebihnya yang mungkin bisa kita lihat berbagai kebijakan yang telah atau diambil oleh pemerintah untuk memperdayakan ukm & koperasi yang ada di Indonesia.  Pemerintah melalui berbagai elemen seperti Departemen Koperasi, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, BUMN juga institusi keuangan lainnya baik bank maupun nonbank, telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan UKM& koperasi agar dapat menjadi tangguh dan mandiri serta dapat berkembang untuk mewujudkan perekonomian nasional yang kukuh. Berbagai dukungan diwujudkan melalui kebijakan maupun pengadaan fasilitas dan stimulus lain. Selain itu, banyak dukungan atau bantuan yang diperlukan dengan upaya tersebut, misalnya saja ni, bantuan berupa pengadaan alat produksi, pengadaan barang fisik lainnya juga diperlukan adanya sebuah metode, mekanisme dan prosedur yang memadai, tepat guna, dan aplikatif serta mengarah pada kesesuaian pelaksanaan usaha dan upaya pengembangan dengan kemampuan masyarakat sebagai elemen pelaku usaha dalam suatu sistem perekonomian yang berbasis masyarakat, yaitu dalam bentuk UMKM & KOPERASI.


G.    Penutup

UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia telah terbukti mampu menjaga stabilitas ekonomi disaat krisis terjadi. Keberadaan UMKM di Indonesia yang jumlahnya mencapai 99,99% dari total usaha di Indonesia telah menyerap 97,30% tenaga kerja di Indonesia. Keberadaan UMKM juga memberikan kontribusi sebesar 57,12% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Namun UMKM juga memiliki berbagai hambatan dalam hal pengelolaan usahanya. Masalah utama yang dihadapi oleh UMKM adalah permodalan. Menyusul masalah lain adalah pengelolaan yang kurang profesional, kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat, rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM, kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM, bahan baku sukar diperoleh, pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit.

Untuk mengatasi hambatan tersebut, peran pemerintah sangat diharapkan. Undang-Undang telah memberi amanat kepada pemerintah untuk mengembangkan dan memberdayakan UMKM.  Sinergi antra pemerintah pusat dan daerah juga harus diperhatikan guna menumbuhkembangkan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku UMKM.

Beberapa program telah dilakukan pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-Undang. Program GKN dan pemberian KUR mencadi contoh peran pemerintah dalam upaya untuk menghasilkan UMKM yang berdaya dan mampu bersaing dengan usaha lain.

REFERENSI :
1.        Ropke, J. 2000. Ekonomi Koperasi, Teori dan Manajemen. Diterjemahkan oleh Hj. Sri Djatnika S. Arifin. SE. M.Si. Penerbit Salemba Empat
2.        Hendar dan Kusnadi. 1999. Ekonomi Koperasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
3.        Baswir, R. 2000. Koperasi Indonesia BPFE Yogyakarta.
4.        UU Nomor 17 tahun 2012 terntang Perkoperasian
5.        UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
6.        Peraturan Pemerintah RI No 44 tahun 1997 tentang Kemitraan
Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2005), Pengembangan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Jakarta.
7.        Firmansyah, 2001. Dinamika Usaha Kecil dan Menengah. LIPI. Jakarta.
8.        Hendar, kusnadi 2005 Ekonomi Koperasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi
9.        Kementerian UMKM dan Koperasi, Rencana Strategis 2009-201
10.    Kementerian UMKM dan Koperasi, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2014 Bidang Pemberdayaan UMKM dan Koperasi.


SUMBER LAIN :
http://www.pibi-ikopin.com/index.php/artikel-bisnis/91-kewirakoperasian
http://yohkandjoek.blogspot.co.id/2014/10/peranan-pemerintah-dalam-pemberdayaan.html
https://sukasukadwi.wordpress.com/2014/01/03/kewirakoperasian/
http://chankeabiee.blogspot.co.id/2011/02/wirausaha-koperasi.html
http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/m/edef-konten-view-mobile.asp?id=20131231220022813872431
http://studyandlearningnow.blogspot.com/2013/01/pengertian-umkm-dan-koperasi.html
https://sarahnilaayu.wordpress.com/2016/10/18/kebijakan-pemerintah-dalam-memperdayakan-umkm-dan-koperasi-di-indonesia/
http://www.pendidikanekonomi.com/2012/12/kebijakan-pemerintah-terhadap-ukm.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEPEMIMPINAN & PENGAMBILAN KEPUTUSAN

KEPEMIMPINAN & PENGAMBILAN KEPUTUSAN Oleh : Eko Yulianto, ST, MM, MSD (NIDN 0325077407) A. Pendahuluan Pengelolaan suatu bisnis, baik it...