Teknik
sampling dalam pengambilan sampel.
Teknik
pengambilan sampel adalah suatu teknik yang berfungsi untuk
menentukan sampel yang akan digunakan dalam sebuah penelitian biasanya juga di
sebut dengan teknik sampling. Dalam suatu penelitian pengambilan sampel
merupakan hal yang sangat penting dan juga peneliti harus pandai-pandai dalam
melihat bagaimana sampel itu? sehingga hasilnya nanti seminimal mungkin jauh
dari kesalahan. Oke langsung saja simak berikut ini.
Teknik
Pengambilan Sampel
Earl Babbie
(1986) Prijana mengutip (2005) di dalam bukunya yang berjudul “The Practice of
Social Research”, mengatakan “Sampling is the process of selecting
observations” (Sampling merupakan suatu proses seleksi di dalam kegiatan
observasi). Maksud seleksi di sini yaitu proses untuk memperoleh sampel.
Dari pendapat
di atas, maka bisa disimpulkan menjadi dua hal yaitu:
1.
Bahwa sampling adalah suatu
proses untuk memperoleh sampel dari suatu populasi. Sampel di sini harus
benar-benar mencerminkan populasi, maksudnya kesimpulan yang akan diangkat dari
sampel adalah kesimpulan atas populasi.
2.
Masalah yang dihadapi
yaitu tentang bagaimana proses untuk pengambilan sampel, dan juga berapa
banyak unit analisis yang nantinya akan diambil.
Sebagaimana
yang sudah dijelaskan pada sebelumnya, pengambilan sampel yang terdapat pada
sebuah penelitian hanya bisa dilakukan apabila sampel merupakan sebuah
keharusan. Dasar yang dipakai di dalam pengambilan sampel disebabkan oleh
beberapa alasan yang bersifat konstruktif, destruktif, atau juga alasan yang
seperti teknis sehingga sampel merupakan satu-satunya solusi.
A. Populasi
Kata
populasi (population/universe) dalam statistika merujuk pada sekumpulan
individu dengan karakteristik khas yang menjadi perhatian dalam suatu
penelitian (pengamatan). Sugiyono menyatakan (2010: 117) “Populasi adalah
wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya”. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa populasi
bukan hanya orang, namun juga bisa terdiri dari objek dan benda-benda alam
lainnya. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada subjek/ objek yang
dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/ sifat yang melekat pada diri
subjek/ objek tersebut. Selain pengertian di atas, berikut ini beberapa
pengertian populasi dari beberapa ahli.
1)
Sekumpulan objek, orang, atau keadaan yang menjadi
perhatian peneliti dan akan digunakan oleh peneliti untuk menggeneralisasi hasil
penelitiannya (Fraenkel).
2)
Sekumplan objek, orang, atau keadaan yang paling tidak
memiliki satu karakteristik umum yang sama (Furqon).
3)
Populasi atau universe adalah jumlah keseluruhan dari
satuan-satuan atau individu-individu yang karakteristiknya hendak diteliti. Dan
satuan-satuan tersebut dinamakan unit analisis, dan dapat berupa
orang-orang, institusi-institusi, benda-benda, dst. (Djawranto, 1994 :
420).
Misalnya
seorang peneliti ingin melakukan penelitian di suatu sekolah X, maka sekolah X
inilah yang merupakan populasi penelitian. Sekolah X mempunyai sejumlah orang/
subjek dan objek yang lain. Hal ini berarti populasi dalam arti jumlah atau
kuantitas. Tetapi sekolah X tersebut juga mempunyai karakteristik
orang-orangnya, misalnya motivasi belajarnya, kedisiplinan, kepemimpinan, iklim
pembelajaran, dan lain-lain; dan juga memiliki karakteristik objekyang lain,
misalnya tata tertib sekolah, kebijakan sekolah, tata ruang kelas, lulusan yang
dihasilkan dan lain-lain. Yang terakhir ini berarti populasi dalam
artikarakteristik.
Satu orang
pun sebenarnya dapat dijadikan sebagai populasi, karena satu orang itu
mempunyai berbagai karakteristik, misalnya gaya bicaranya, kedisiplinannya,
hobi, cara bergaul, kepemimpinannya, dan lain-lain. Misalnya akan meneliti
gaya kepemimpinan seorang presiden, maka kepemimpinan itu sebagai sampel dari
keseluruhan karakter yang melekat pada presiden tersebut.
Dalam bidang
kedokteran, satu orang sering bertindak sebagai populasi. Darah yang ada pada
setiap orang adalah populasi, kalau akan diteliti, Dokter tidak perlu mengambil
seluruh darah yang ada pada pasien tersebut, namun cukup mengambil beberapa cc
saja. Karena beberapa cc itu sudah dianggap mewakili seluruh darah yang ada.
B. Sampel
Sugiyono
(2010: 118) mengatakan bahwa “Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Jika populasi yang diteliti sangat
besar dan tidak mungkin semua individu/ objek pada populasi tersebut diteliti
satu persatu, maka cukup diambil sampel dari populasi tersebut. Misalnya,
seorang peneliti hendak meneliti tingkat kecerdasan manusia Indonesia. Dengan
jumlah populasi yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa, tentunya tidak mungkin
untuk melakukan penelitian terhadap setiap individu. Sehingga peneliti cukup mengambil
sampel saja.
Banyaknya
pengamatan atau anggota suatu populasi disebut ukuran populasi. Ukuran populasi
ada dua: (1) populasi terhingga (finite population), yaitu ukuran populasi yang
berapa pun besarnya tetapi masih bisa dihitung (cauntable). Misalnya populasi
pegawai suatu perusahaan; (2) populasi tak terhingga (infinite population),
yaitu ukuran populasi yang sudah sedemikian besarnya sehingga sudah tidak bisa
dihitung (uncountable). Misalnya populasi tanaman anggrek di dunia.
1. Syarat Sampel Yang Baik
Secara umum,
sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik
populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa
mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah
masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan sampel adalah hanya orang Banten
saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang
seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua
pertimbangan.
Pertama :
Akurasi atau ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan)
dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam
sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau
kekeliruan adalah populasi.
Cooper dan
Emory (1995) menyebutkan bahwa “there is no systematic variance” yang
maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang disebabkan karena pengaruh
yang diketahui atau tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung mengarah
pada satu titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas
tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di
setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan
semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil secara sistematis
Contoh systematic variance
yang banyak ditulis dalam buku-buku metode penelitian adalah jajak-pendapat
(polling) yang dilakukan oleh Literary Digest (sebuah majalah
yang terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936. (Copper & Emory,
1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan tahun 1932 majalah ini
berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari calon-calon presiden
yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam buku telepon dan dari
daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936 prediksinya salah. Berdasarkan
jajak pendapat, di antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D.
Roosevelt), yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena ternyata
Roosevelt yang terpilih menjadi presiden Amerika.
Setelah
diperiksa secara seksama, ternyata Literary Digest membuat
kesalahan dalam menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel yang
diambil adalah mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya pemilih yang
sebagian besar tidak memiliki telepon dan mobil (kelas rendah) tidak terwakili,
padahal Rosevelt lebih banyak dipilih oleh masyarakat kelas rendah tersebut.
Dari kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan
prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya
jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel
harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua :
Presisi. Kriteria
kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi
mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita dengan
karakteristik populasi. Contoh : Dari 300 pegawai produksi, diambil
sampel 50 orang. Setelah diukur ternyata rata-rata perhari, setiap orang
menghasilkan 50 potong produk “X”. Namun berdasarkan laporan harian, pegawai
bisa menghasilkan produk “X” per harinya rata-rata 58 unit. Artinya di antara
laporan harian yang dihitung berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang
dihasilkan dari sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat
perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin
tinggi tingkat presisi sampel tersebut.
Belum pernah
ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena
itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang
dikenal dengan nama “sampling error” Presisi diukur oleh simpangan baku
(standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang
diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (s), makin tinggi
pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin
bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin
bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ). Dengan
contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan rata-rata di antara populasi dengan
sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang ditariknya ditambah. Katakanlah
dari 50 menjadi 75.
Penentuan
sampel pada dasarnya harus representatif, artinya sampel harus benar-benar
mampu mewakili populasi yang ada. Hal ini disebabkan karena kesimpulan
penelitian yang dilakukan pada sampel pada akhirnya akan digeneralisasikan
kepada populasi. Dengan kata lain apa yang terjadi pada populasi juga harus
berlaku pada populasinya. Misalnya, penelitian untuk mengetahui tingkat kecerdasan
anak-anak Indonesia. Selanjutnya seorang peneliti mengambil sampel anak-anak di
pulau Jawa saja. Hasil penelitian menyebutkan bahwa seluruh anak-anak di Pulau
Jawa cerdas-cerdas. Kemudian ia menyimpulkan bahwa seluruh anak di Indonesia
cerdas-cerdas. Generalisasi seperti ini bisa jadi tidak tepat. Mengapa? Karena
peneliti hanya mengambil sampel dari 1 pulau saja. Padahal belum tentu pulau
Jawa itu mewakili seluruh karakter anak di seluruh Indonesia. Jika peneliti
ingin lebih teliti, maka seharusnya ia mengambil sampel dari beberapa pulau di
Indonesia, barulah sampel tersebut bisa merepresentasikan wilayah di seluruh
Indonesia.
Syarat
representasi ini harus dipenuhi oleh sampel sebagai alat untuk
menggeneralisasikan kesimpulan pada populasi. Oleh karena itu, tentu saja
pemilihan dan penentuan sampel harus benar-benar dipikirkan dan tidak boleh
sembarangan. Sehingga diperlukan cara pengambilan dan penentuan sampel yang
tepat. Cara inilah yang disebut teknik sampling.
2. Prosedur Pemilihan sampel
Agar diperoleh sampel yang representatif peneliti perlu menggunakan
prosedur pemilihan sampel yang sistematis. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1)
Mengidentifikasi populasi target
2)
Memilih kerangka pemilihan sampel
3)
Menentukan metode pemilihan sampel
4)
Merencanakan prosedur penentuan
unit sampel
5)
Menentukan ukuran sampel
6)
Menentukan unit sampel
C. Teknik
Pengambilan Sampel
Earl Babbie
(1986) dikutip Prijana (2005) dalam bukunya The Practice of Social
Research, mengatakan “Sampling is the process of selecting observations”
(Sampling adalah proses seleksi dalam kegiatan observasi). Proses seleksi yang
dimaksud di sini adalah proses untuk mendapatkan sampel.
Berdasarkan
pendapat di atas, maka dapat disampaikan dua hal yaitu: (1) bahwa sampling
adalah proses untuk mendapatkan sampel dari suatu populasi. Di sini sampel
harus benar-benar mencerminkan populasi, artinya kesimpulan yang diangkat dari
sampel merupakan kesimpulan atas populasi. (2) masalah yang dihadapi adalah
tentang bagaimana proses pengambilan sampel, dan berapa banyak unit analisis
yang akan diambil.
Teknik
sampling adalah merupakan cara penentuan dan pengambilan sampel. Terdapat
beberapa teknik sampling yang biasa dilakukan dalam penelitian pendidikan.
Secara garis besar ada dua jenis teknik sampling, yaitu: (1) sampling
probabilitas dan (2) Sampling non-probabilitas.
Sampling
probabilitas diartikan sebagai sampling yang memberikan kesempatan atau peluang
yang sama terhadap tiap-tiap individu pada populasi untuk terpilih menjadi
sampel penelitian. Sedangkan sampling non-probabilitas memiliki pengertian yang
sebaliknya. Pada sampling probabilitas, proses pemilihan sampel dicirikan
dengan adanya randomisasi (pengacakan). Jika ditelaah dari pengertian di atas,
maka proses random (pengacakan) memang harus ada untuk dilakukan. Jika ciri
random ini dihilangkan maka, probabilitas sampling menjadi tidak sempurna.
Apakah kedua
teknik ini (probabilitas maupun non-probabilitas) dapat digabungkan? Menurut
penulis, kedua teknik ini tidak bisa digabungkan dengan alasan kedua teknik ini
secara pengertian dan syarat terjadinya sudah berbeda. Sehingga peneliti yang
melakukan penggabungan bisa dikatakan tidak memahami kedua pengertian teknik
tersebut.
Sampling
Probabilitas
Syarat
pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah
memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling
frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang
berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen
populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang
tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa
perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa
yang terdaftar di perguruan tinggi “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP,
jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi
penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui
jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota,
maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut.
Jika populasinya adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta
wilayah Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu
setiap tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama
lainnya.
Di
samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang
bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja
yang bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel
Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa
dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak.
Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random”
itu sendiri.
Sampling probabilitas meliputi :
1. Simple Random Sampling
Dikatakan
simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari populasinya dilakukan
secara acak tanpa memperhatika strata (tingkatan) yag ada dalam populasi
tersebut. Cara ini dilakukan jika anggota populasi dianggap homogen. Mengapa
harus dipersyaratkan homogen? Karena, jika tiap individu homogen (memiliki
karakter yang sama / hampir sama) maka pengambilan sampel sudah bisa dikatakan
representatif.
Misalnya,
penelitian untuk mengetahui kemampuan matematika anak kelas VIII A SMP N 1
Sembarangan. Karena tiap individu di kelas VIII A dianggap memiliki kemampuan
yang sama (homogen), maka pengambilan sampel bisa dilakukan dengan cara
sederhana saja. Yaitu, membuat gulungan kertas kecil-kecil berisi nama-nama
siswa, lalu diundi. Nama yang keluar akan menjadi sampel penelitian.
Pengambilan
darah pada seorang pasien juga merupakan simple random sampling. Baik diambil
pada lengan kanan, lengan kiri, pantat, atau tempat lainnya, tetap saja darah
itu mewakili seluaruh darah yang ada. Karena darah tersebut bersifat homogen.
2. Proportionate Stratified Random Sampling
Teknik ini
memiliki dua kata kuncinya, yaitu proporsional dan stratified. Proporsional
berarti sebanding dan stratified berarti tingkatan. Sehingga Proportionate
Stratified Random Sampling dapat dijelaskan sebagai teknik yang digunakan jika
populasi mempunyai anggota/ unsur yang tidak homogen dan berstrata secara
proporsional.
Misalnya,
suatu perusahaan memiliki pegawai dengan tingkat pendidikan dan jumlah pegawai
sebagai berikut: S3 sebanyak 30 orang, S2 sebanyak 45 orang, S1 sebanyak 100
orang, SMA sebanyak 250 orang, dan SMK sebanyak 300 orang. Pada kondisi
tersebut, maka secara proporsional harus diambil sampel pada tiap-tiap strata
yang ada.
3. Disproportionate Stratified Random Sampling
Teknik ini
kebalikan dari teknik sebelumnya (Proportionate Stratified Random Sampling).
Perbedaannya hanyalah pada pengambilan sampel yang tidak proporsional saja.
Misalnya,
suatu perusahaan memiliki pegawai dengan tingkat pendidikan dan jumlah pegawai
sebagai berikut: S3 sebanyak 3 orang, S2 sebanyak 4 orang, S1 sebanyak 45
orang, SMA sebanyak 250 orang, dan SMK sebanyak 300 orang. Pada kondisi
tersebut, maka sampel harus diambil pada tiap-tiap strata yang ada. Namun
karena pada pegawai dengan tingkat pendidikan S3 dan S2 yang jumlahnya terlalu
kecil dibanding dengan yang berpendidikan S1, SMA, dan SMK, maka semua pegawai
dengan pendidikan S3 dan S2 semuanya diambil sebagai sampel.
4. Cluster Sampling
Teknik ini
biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus.
Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana
setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A
: laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus,
setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau
heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam
setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula.
Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya,
beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti
bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi
yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster
sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen
saja. Prosedur :
1)
Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus
di atas, elemennya ada 100 departemen.
2)
Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3)
Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
4)
Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample
Teknik ini
dapat juga dilakukan jika tidak memungkinkan untuk meneliti objek yang berada
dalam kelompok-kelompok tertentu dan secara teknis tidak bisa dipisahkan karena
berbagai pertimbangan yang ada.
Misalnya,
penelitian untuk membandingkan seberapa jauh efektivitas penerapan pendekatan
RME dan ekspositori terhadap prestasi belajar matematika siswa di SMP N Tidak
Jelas Namanya. Dalam penelitian ini, peneliti tentu membutuhkan 2 kelompok yang
masing-masing diajar dengan RME dan ekspositori. Dari 5 kelas yang ada di SMP
tersebut, secara acak terpilih kelas VIIA yang diajar RME (Kelas Eksperimen)
dan kleas VIIC yang diajar ekspositori (Kelas Kontrol). Pengambilan dengan cara
demikian dapat disebut sebagai cluster random sampling.
Peneliti
sebenarnya bisa melakukan pengambilan sampel dengan cara berikut ini. Misalnya
tiap kelas terdiri dari 30 siswa, sehingga keseluruhan ada 30 × 5 =
150 siswa. Secara acak dipilih 40 siswa yang diajar RME dan 40 siswa yang
diajar ekspositori. Tentu dari masing-masing 40 siswa yang diajar RME dan
ekspositori tersebut terdiri dari siswa yang berasal dari seluruh kelas yang
ada ( A, B, C, D, dan E). Secara aturan tata tertib pembelajaran sekolah, hal
ini tidak bisa atau sulit dilakukan. Dapatkah menyediakan waktu yang luang
untuk mengajar siswa yang berasal dari seluruh kelas? Pertanyaan inilah yang
sulit dijawab dan dilakukan di tempat penelitian nantinya.
5. Area sampling
Teknik
cluster sampling digunakan untuk menentukan sampel bila objek yang diteliti
atau sumber data sangat luas. Seperti halnya sample berstrata yang
dilakukan apabila ada berbedaan strata, maka kita juga dapat memilih sample
berdasarkan wilayah (area) karena adanya perbedaan karakteristik (ciri) antara
wilayah satu dengan wilayah yang lain. Dengan demikian sample wilayah adalah
teknik sampling yang dilakukan dengan cara mengambil wakil dari setiap wilayah
yang terdapat dalam populasi.
Misal penelitian tentang
tingkat ketrampilan tenaga kerja di Jawa. Karena factor wilayah dapat
mempengaruhi tingkat ketrampilan, missal tenaga kerja di Jakarta lebih trampil
dibanding tenaga kerja di Magelang maka sample harus dipilih dari setiap
wilayah, dalam hal ini wilayah yang dipakai dapat berdasarkan propinsi atau
kota.
6. Statified Cluster Random Sampling
Stratified
Cluster Random Sampling ini merupakan gabungan dari sampling stratified dan
cluster. Langkah awal yang dilakukan adalah mengelompokkan populasi ke dalam
strata (tingkatan) yang berbda-beda. Namun setiap objek dalam tiap stratanya
harus bersifat homogen. Setelah itu dari tiap strata di ambil sampel dengan
teknik cluster.
Misalnya.
Peneliti ingin melakukan penelitian terhadap siswa SMP di Kecamatan Antah
Berantah. Di Kecamatan tersebut ada 40 SMP. Selanjutnya dilakukan stratified
pada SMP tersebut yang dikelompokkan ke dalam SMP dengan peringkat tinggi,
sedang, dan rendah. Kemudian dari masing-masing strata dipilih secara cluster 1
SMP sebagai sampel penelitian.
Sampling non-probabilitas meliputi :
1. Sampling Sistematis
Sampling
sistematis adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan urutan dari anggota
populasi yang telah diberi nomor urut. Misalnya anggota populasi yang terdiri
dari 100 orang. Dari semua anggota itu diberi nomor urut, yatu nomor 1 sampai
100. Selanjutya sampel dapat ditentukan dengan nomor genap saja, kelipatan 3
saja, atau yang lainya.
2. Sampling Kuota
Sampling
kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai
ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan. Sebagai contoh, akan
dilakukan penelitian terhadap 100 siswa yang berasal dari keluarga dengan
pendapatan antara Rp 500.000,00 sampai Rp 1.000.000,00/bulan. Maka peneliti
harus dapat memenuhi jumlah 100 orang tersebut dengan kondisi/ ciri yang telah
ditentukan.
3. Sampling Incidental
Sampling
insidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa
saja yang secara kebetulan/ insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan
sebagai sampel.
4. Purposive Sampling
Sampling
purposif adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Misalnya
ingin melihat kualitas pembelajaran di sekolah RSBI, maka dicari sampel seorang
guru atau kepala sekolah yang mengajar di sekolah RSBI. Sampel ini sangat cocok
digunakan untuk penelitian kualitatif atau penelitian yang tidak melakukan
generalisasi.
5. Sampling Jenuh
Sampling
jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan
sebagai sampel penelitian. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi
relatif kecil, kurang dari 30 orang, atau penelitian yang ingin membuat
generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain dari sampling
jenuh adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel.
6. Snowball Sampling
Snowball
sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil,
kemudian membesar. Ibarat bola salju yang menggelinding lama-lama akan menjadi
besar. Pada penelitiankualitatif, teknik purposive dan snowball banyak
digunakan. Teknik sampling berangkat dari sejumlah sampel (responden) yang
kemudian mereka mengajak para temannya untuk dijadikan sampel dan seterusnya
sehingga jumlah sampel semakin besar seperti bola salju yang menggelinding.
Contohnya: Akan diteliti siapa dalang pengedar Narkoba di SMP Mekarsari, siapa
yang menjadi otak pembunuhan murid di SD Kuasa Mandiri, siapa yang membocorkan
rahasia soal ujian negara, dsb.
D. Ukuran
Sampel
Ukuran
sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting manakala
jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan
analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif,
ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan alah kekayaan
informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka
sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan
dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain
yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat keseragaman, (2) rencana
analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan
Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi,
makin banyak sampel yang harus diambil. Jika rencana analisisnya mendetail
atau rinci maka jumlah sampelnya pun harus banyak. Misalnya di samping ingin
mengetahui sikap konsumen terhadap kebijakan perusahaan, peneliti juga
bermaksud mengetahui hubungan antara sikap dengan tingkat pendidikan. Agar
tujuan ini dapat tercapai maka sampelnya harus terdiri atas berbagai jenjang
pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin sedikit waktu, biaya , dan
tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula sampel yang bisa diperoleh.
Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian haruslah dapat dikelola
dengan baik (manageable).
Misalnya,
jumlah bank yang dijadikan populasi penelitian ada 400 buah. Pertanyaannya
adalah, berapa bank yang harus diambil menjadi sampel agar hasilnya mewakili
populasi?. 30?, 50? 100? 250?. Jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika
ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika
ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran
populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.
Ada pula
yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi,
penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian
perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15
elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
Roscoe
(1975) dalam Uma Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan jumlah
sampel sebagai berikut :
1)
Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen
2)
Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel
(laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel harus 30
3)
Pada penelitian multivariate (termasuk analisis
regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali)
dari jumlah variable yang akan dianalisis.
4)
Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan
pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.
Krejcie dan
Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar yang bisa dipakai untuk
menentukan jumlah sampel sebagai berikut (Lihat Tabel)
Populasi (N)
|
Sampel (n)
|
Populasi (N)
|
Sampel (n)
|
Populasi (N)
|
Sampel (n)
|
10
|
10
|
220
|
140
|
1200
|
291
|
15
|
14
|
230
|
144
|
1300
|
297
|
20
|
19
|
240
|
148
|
1400
|
302
|
25
|
24
|
250
|
152
|
1500
|
306
|
30
|
28
|
260
|
155
|
1600
|
310
|
35
|
32
|
270
|
159
|
1700
|
313
|
40
|
36
|
280
|
162
|
1800
|
317
|
45
|
40
|
290
|
165
|
1900
|
320
|
50
|
44
|
300
|
169
|
2000
|
322
|
55
|
48
|
320
|
175
|
2200
|
327
|
60
|
52
|
340
|
181
|
2400
|
331
|
65
|
56
|
360
|
186
|
2600
|
335
|
70
|
59
|
380
|
191
|
2800
|
338
|
75
|
63
|
400
|
196
|
3000
|
341
|
80
|
66
|
420
|
201
|
3500
|
346
|
85
|
70
|
440
|
205
|
4000
|
351
|
90
|
73
|
460
|
210
|
4500
|
354
|
95
|
76
|
480
|
214
|
5000
|
357
|
100
|
80
|
500
|
217
|
6000
|
361
|
110
|
86
|
550
|
226
|
7000
|
364
|
120
|
92
|
600
|
234
|
8000
|
367
|
130
|
97
|
650
|
242
|
9000
|
368
|
140
|
103
|
700
|
248
|
10000
|
370
|
150
|
108
|
750
|
254
|
15000
|
375
|
160
|
113
|
800
|
260
|
20000
|
377
|
170
|
118
|
850
|
265
|
30000
|
379
|
180
|
123
|
900
|
269
|
40000
|
380
|
190
|
127
|
950
|
274
|
50000
|
381
|
200
|
132
|
1000
|
278
|
75000
|
382
|
210
|
136
|
1100
|
285
|
1000000
|
384
|
Sebagai
informasi lainnya, Champion (1981) mengatakan bahwa sebagian besar uji
statistik selalu menyertakan rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain,
uji-uji statistik yang ada akan sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang
jumlahnya 30 s/d 60 atau dari 120 s/d 250. Bahkan jika sampelnya di atas 500,
tidak direkomendasikan untuk menerapkan uji statistik. (Penjelasan tentang ini
dapat dibaca di Bab 7 dan 8 buku Basic Statistics for Social Research, Second
Edition)
REFERENSI :
Hadeli, Drs. 2006. Metode Penelitian Kependidikan. Padang:
QUANTUM TEACHING.
Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian dengan Statistik.
Jakarta: BUMI AKSARA.
Jeperis. 2013. Jenis-jenis Penelitian Pendidikan. Tersedia
pada(http://jeperis.wordpress.com/2013/04/23/jenis-jenis-penelitian). Diakses pada 18 September 2013.
Kamboja, Amir. 2012. Jenis
Penelitian Menurut Jenis Data dan Analisisnya. Tersedia pada(http://METODE/Jenis Penelitian Menurut Metodenya _
amierkamboja88.html).Diakses pada 18 September 2013.
Malik, Halim. 2011. Penelitian kualitatif. Tersedia
pada(http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/11/penelitian-kualitatif/). Diakses pada 20 September 2013.
Margono, Drs. S. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta:
PT RINEKA CIPTA.
Prasetyo, B & L. M. Jannah. 2005. Metode Penelitian
Kuantitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Samad, Bambang Sudibyo. 2012. Memahami jenis penelitian
berdasarkan fungsinya.Tersedia pada (http://educationesia.blogspot.com/2012/05/memahami-jenis-jenis-penelitian.html). Diakses pada 20 September 2013.
Sugiyono, Prof. Dr. 2009. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan
Kuantitatif Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA.
Sukmadinata, Prof. Dr. 2009. Metode Penelitian Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Uny. 2012. Jenis-jenis Penelitian Pendidikan. Tersedia pada(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/makalah%20PENELITIAN%20PENDIDIKAN1.pdf). Diakses pada 18 September 2013.
Zuriah,Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hadi, Sutrisno, 1978. Metode Research I.
Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM
Setyosari, Punaji. 2010. Metode Penelitian
Pendidikan dan Pengembangan, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Sekaran, Uma. 2006. Metodologi Penelitian
untuk Bisnis (Buku1) (Edisi 4). Jakarta: Salemba Empat
Sukardi. 2009. Metodologi Penelitian
Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi
Hadjar,
I. 1996. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan. PT
RadjaGrafindo,
Jakarta
Karlingger,
Fred N. 2006. Asas-Asas Penelitian Bevavioral. Yogyakarta : UGM
Stoner,
James AF. 1982 Principal of Managemen II Edition. Publisher, Prentice-Hall
Sukardi,
2009. Metodologi penelitian pendidikan: kompetensi dan praktiknya Jakarta : Bumi
Aksara
Nazir,
M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prastowo,
A. 2012, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Arikunto Suharsimi, Prof. Dr. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta : Rineka Cipta, 2010
Sumber Lain :
http://harmajijebuleaji.blogspot.co.id/2014/12/populasi-sampel-dan-teknik-pengambilan.html
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/05/21/landasan-teori-kerangka-pikir-dan-hipotesis/
http://mandala-manik.blogspot.co.id/2010/01/kerangka-pemikiran-dan-hipotesis.html
http://catatansieviy.blogspot.co.id/2013/04/landasan-teori-kerangka-berfikir-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar