Rabu, 08 September 2021

MANAJEMEN OLAHRAGA - PENGARUH KEKUASAAN & POLITIK DALAM LINGKUNGAN MANAJEMEN OLAHRAGA

Lingkungan Organisasi Olahraga




Organisasi Olahraga adalah sekumpulan orang yang menjalin kerja sama dengan membentuk  organisasi  untuk penyelenggaraan olahraga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang  - undangan.          (Pasal 1 Angka 24 UU Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional).

 

Pengertian Organisasi Olahraga

Dalam bidang keolahragaan, maka organisasi yang dibentuk berkaitan dengan kegiatan yang bergerak di bidang olahraga. Organisasi olahraga mempunyai peranan yang sangat penting terhadap kegiatan olahraga. Organisasi sebagai wadah kegiatan olahraga dan menangani semua aktivitas olahraga dalam rangka mencapai prestasi yang maksimal. Organisasi Olahraga berkembang sesuai dengan kebutuhan yang semakin lama semakin luas tujuannya. Suatu organisasi memerlukan aturan-aturan yang harus ditaati oleh semua anggota agar tujuan organisasi tersebut tercapai, maka timbul Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) agar tidak terjadi penyelewengan.

 

Olahraga dan politik bukanlah sesuatu yang baru. Seorang politikus sejati haruslah serentak merupakan simbol kejantanan sportif. Sedangkan bagi kaum sosialis, olahraga adalah manifestasi penting semangat ideal kolektivisme yang rasional dan higienis.

 

Jadi, dari pertalian antara olahraga dan politik atau ideologi, sudah tampak betapa olahraga dalam peradaban modern, bukan lagi sekadar kegiatan yang netral, melainkan kental sekali kandungan multimakna itu, bahkan sudah tidak terlihat makna olahraga itu sendiri setelah semuanya terbaur oleh politik, yang ada hanyalah manipulasi sebuah kepuasan pribadi. Dan dalam perkembangan kemajuan sekarang pengaruh politik cukup besar terhadap pembinaan olahraga, baik pengaruh itu menimbulkan kemajuan atau bahkan kemunduran dalam bidang olahraga.

 

1. Pengaruh Kekuasaan Dalam Manajemen Olahraga

Pengertian Kekuasaan Dalam Manajemen Olahraga

Pengertian kekuasaan dalam organisasi serta pengertian politik dalam organisasi dalam perbincangan seputar organisasi dan manajemen adalah perkembangan paling mutakhir dalam studi-studi organisasi dan manajemen. Tokoh-tokoh seperti James March dan Jeffrey Pfeiffer bertanggung jawab dalam mempopulerkan studi kekuasaan dan politik di dalam organisasi. Tulisan ini akan membahas masalah kekuasaan dan politik di dalam organisasi, bukan kekuasaan dan politik pada struktur kenegaraan yang biasa kita sebut “politik” sehari-hari. Mungkin saja akan banyak konsep yang serupa karena pinjam-meminjam konsep antarbidang ilmu adalah umum.

 
Definisi Kekuasaan dalam Organisasi

Gilbert W. Fairholm mendefinisikan kekuasaan sebagai “... kemampuan individu untuk mencapai tujuannya saat berhubungan dengan orang lain, bahkan ketika dihadapkan pada penolakan mereka.” Fairholm lalu merinci sejumlah gagasan penting dalam penggunaan kekuasaan secara sistematik dengan menakankan bahwa kapasitas personal-lah yang membuat pengguna kekuasaan bisa melakukan persaingan dengan orang lain. 

Kekuasaan adalah gagasan politik yang berkisar pada sejumlah karakteristik. Karakteristik tersebut mengelaborasi kekuasaan selaku alat yang digunakan seseorang, yaitu pemimpin (juga pengikut) gunakan dalam hubungan interpersonalnya. Karakter kekuasaan, menurut Fairholm adalah :

  1. Kekuasaan bersifat sengaja, karena meliputi kehendak, bukan sekadar tindakan acak;
  2. Kekuasaan adalah alat (instrumen), ia adalah alat guna mencapai tujuan;
  3. Kekuasaan bersifat terbatas, ia diukur dan diperbandingkan di aneka situasi atau dideteksi kemunculannya;
  4. Kekuasaan melibatkan kebergantungan, terdapat kebebasan atau faktor kebergantungan-ketidakbergantungan yang melekat pada penggunaan kekuasaan.
  5. Kekuasaan adalah gagasan bertindak, ia bersifat samar dan tidak selalu dimiliki;
  6. Kekuasaan ditentukan dalam istilah hasil, hasil menentukan kekuasaan yang kita miliki;
  7. Kekuasaan bersifat situasional, taktik kekuasaan tertentu efektif di suatu hubungan tertentu, bukan seluruh hubungan; dan
  8. Kekuasaan didasarkan pada oposisi atau perbedaan, partai harus berbeda sebelum mereka bisa menggunakan kekuasaan-nya.

 

Gareth Morgan dalam karya penelitiannya Images of Organization, mendefinisikan kekuasaan sebagai “... medium lewat mana konflik kepentingan diselesaikan ... kekuasaan mempengaruhi siapa dapat apa, kapan dan bagaimana ... kekuasaan melibatkan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki.” 


Stephen P. Robbins mendefinisikan kekuasaan sebagai “... kapasitas bahwa A harus mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh A. Definisi Robbins menyebut suatu “potensi” sehingga kekuasaan bisa jadi ada tetapi tidak dipergunakan. Sebab itu, kekuasaan disebut sebagai “kapasitas” atau “potensi”.

Esensi kekuasaan adalah kendali atas perilaku orang lain. Kekuasaan adalah kekuatan yang kita gunakan agar sesuatu hal terjadi dengan cara disengaja, di mana influence (pengaruh) adalah apa yang kita gunakan saat kita menggunakan kekuasaan. Seorang manajer membiakkan kekuasaan dari aneka sumber, baik dari organisasi yang disebut sebagai “power position” ataupun dari personalitasnya sendiri yang disebut “personal power.”

Baik politik maupun pengaruh (influence) adalah merupakan proses, tindakan, perilaku, di mana kekuasaan yang bersifat potensial ini memiliki media untuk digunakan, direalisasikan.

Richard L. Daft mengidentifikasi bahwa kekuasaan sebagai kekuatan di dalam organisasi sulit untuk dicerap, tidak bisa dilihat, tetapi efeknya dapat dirasakan. Daft kemudian juga menyatakan kekuasaan sebagai kemampuan potensial seseorang (atau departemen) untuk mempengaruhi orang (atau departemen) lain untuk menjalankan perintah atau melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka tolak.


Sumber dan Jenis Kekuasaan

Dari manakah sumber-sumber kekuasaan? Para penulis berbeda pendapat – kendati punya banyak kesamaan satu sama lain – seputar sumber kekuasaan di dalam organisasi. Ada baiknya kita tinjau pendapat Gareth Morgan tentang sumber kekuasaan dalam organisasi, yang menurutnya berasal dari :

  1. Otoritas formal;
  2. Kendali sumber daya langka;
  3. Penggunaan struktur, aturan, dan kebijakan organisasi;
  4. Kendali proses pembuatan keputusan;
  5. Kendali pengetahuan dan informasi’
  6. Kendali batasan (boundary) organisasi;
  7. Kendali teknologi;
  8. Aliansi interpersonal, jaringan, dan kendali atas “organisasi informal”;
  9. Simbolisme dan manajemen makna (filosofi organisasi);
  10. Gender dan manajemen hubungan berbasis gender;
  11. Faktor-faktor struktural yang menentukan tahap-tahap tindakan; dan
  12. Kekuasaan yang telah seorang miliki.


Bagi Morgan, sumber-sumber kekuasaan menyediakan para anggota organisasi sejumlah makna berbeda untuk menggapai kepentingan mereka serta memecahkan sekaligus melestarikan konflik dalam organisasi.


Dalam tanggapannya atas taksonomi jenis kekuasaan French and Raven, Douglas Fairholm mengklasifikasi 10 jenis kekuasaan yang banyak diaplikasikan hingga saat ini, yang menurutnya adalah :

  1. Reward Power, Reward Power adalah kekuasaan yang didasarkan kemampuan seseorang menyediakan keuntungan bagi sesuatu atau orang lain. Kekuasaan mengalir dari individu yang mampu menyediakan reward yang dibutuhkan orang lain. Kemampuan ini memungkinkan pemilik kekuasaan mengendalikan perilaku orang lain dan mencapai hasil yang diharapkan sejauh adanya kebutuhan orang lain tersebut akan reward yang disediakan olehnya. Penggunaan kekuasaan reward biasanya dilakukan oleh orang di tingkatan tertinggi hirarki organisasi. Mereka biasanya punya akses pada material, informasi atau upah psikologis (senyum, perhatian, pujian, kata-kata manis). Manajemen tingkat menengah dan para supervisor juga biasanya memiliki jenis kekuasaan ini. Sebaliknya, pekerja juga dapat menerapkan kekuasaan reward ini kepada atasannya, dengan cara menerapkan energi dan skill yang mereka miliki guna menyelesaikan pekerjaan yang diharapkan seorang manajer. Karena manajer bergantung pada kinerja pekerja, maka pekerja dapat menyetir perilaku manajer agar sesuai keinginan mereka.
  2. Coercive Power, Coercive Power adalah kekuasaan yang didasarkan atas kemampuan seseorang menyediakan dampak hukuman pada target akibat ketidakpatuhannya. Kekuasaan ini terletak pada kemampuan seseroang untuk memerintahkan kepatuhan lewat cara fisik. Seperti reward, kekuasaan jenis ini memungkinkan pemimpin mempengaruhi perilaku orang lain akibat kemampuannya menerapkan hasil yang tidak diinginkan. Ketidakpatuhan atas orang yang punya jenis kekuasaan koersif menghasilkan penerapan hukuman dalam bentuk menahan reward yang diinginkan. Ini merupakan situasi kekuasaan koersif, kekuasaan yang mengikuti model militer.
  3. Expert Power, Expert Power adalah kekuasaan yang didasarkan kemampuan dan pengetahuan khusus yang dimiliki seseorang di mana target atau orang lain kerap menggunakan atau bergantung kepadanya. Orang selalu menghargai kompetensi, dan sebab itu Expert Power merupakan sumber kekuasaan yang penting untuk diterapkan. Kekuasaan mengalir dari orang yang punya skill, pengetahuan, dan kemampuan yang dibutuhkan dan dihargai oleh orang lain. Jika orang merengek agar seorang pekerja mau menggunakan skill yang ia miliki untuk membantu mereka, maka pekerja tersebut punya kekuasaan.
  4. Legitimate Power, Legitimate Power adalah kekuasaan yang didasarkan atas perasaan orang lain bahwa pelaku kekuasaan punya otoritas dan hak untuk mempengaruhi tindakan mereka. Perasaan ini merupakan hasil yang diterima dari organisasi formal atau warisan historis. Kekuasaan hadir pada mereka yang ditunjuk oleh organisasi untuk memberi perintah. Delegasi otoritas melegitimasikan hak seseorang memaksakan kepatuhan pada mereka yang menyatakan wajib untuk mentaati sumber kekuasaan (organisasi). Persepsi legitimasi di benak target kekuasaan bersifat kritis. Baru setelah target ini yakin bahwa pemberi perintah punya hak yang legitimate untuk memerintah sajalah mereka akan patuh.
  5. Identification Power with Other, Hubungan seseorang dengan orang lain yang punya kekuasaan menular pada orang yang berhubungan tersebut. Sebab itu, kekuasaan yang ada merujuk pada penguasa lain. Jenis kekuasaan ini bisa datang lewat hubungan personal seperti sekretaris atau asisten administrasi yang kerap kerja bareng boss eksekutif. Jika orang yang mendekatkan diri dengan kekuasaan tersebut juga meniru gagasan, norma, metode, dan tujuan dari orang berkuasa, kekuasaan orang tersebut akan bertambah.
  6. Critical Power, Pada tingkat lain, seseorang berkuasa hingga derajat mana kontribusi orang tersebut bersifat kritis bagi individu lain atau bagi organisasi. Bilamana orang lain berhasrat pada energi, sumberdaya, dan keahlian seseorang, hingga derajat tersebut pula ia punya kekuasaan atas mereka. Seseorang juga menerapkan kekuasaan sejauh orang tersebut terhubung dengan sumber daya yang mereka kuasai.
  7. Social Organization Power, Sumber kekuasaan lainnya adalah organisasi sosial. Kekuasaan juga diturunkan lewat hubungan terstruktur di mana seseorang mengkombinasikan kekuatan individual mereka guna memenuhi tujuan kelompok. James MacGregor Burns menyatakannya dalam kata-kata “kekuasaan seorang pemimpin mengalir dari kekuasaan pengikut.” Pencapaian tujuan hanya dapat terselenggara ketika satu individu berhasil memobilisasi dan mentransformasi pengikut, yang pada gilirannya mentransformasikan kekuasaan tersebut kepada pemimpin.
  8. Power Using Power, Kekuasaan juga bisa bersumber tatkala seseorang menggunakan kekuasaan-nya. Kekeliruan menerapkan kekuasaan dapat berakibat hilangnya kekuasaan. Sebaliknya, penggunaan kekuasaan cenderung meningkatkan kekuasaan itu sendiri. Persepsi dari orang lain seputar kekeliruan seorang pengguna kekuasaan bisa menghasilkan berkurangnya dukungan. Kekeliruan bertindak atau sering melakukan kekuasaan secara sembrono bisa mengikis kekuasaan dan dukungan dari orang lain yang kita butuhkan agar kekuasaan kita langgeng. Kekuasaan, pada dirinya sendiri, adalah sumber bagi kekuasaan lainnya.
  9. Charismatic Power, Karisma yang digambarkan Max Weber dan Referent Power diidentifikasi menyediakan dasar teoretis bagi dasar kekuasaan. Orang yang punya karisma biasanya punya personalitas menyenangkan, menarik, dan mendorong orang mau mematuhi si pemilik karisma. Orang yang punya kharisma biasanya ada di lingkar tengah klik-klik berpengaruh dan punya akses pada orang-orang berpengaruh di dalam komunitas.
  10. Centrality Power, Penempatan strategis individu ke dalam organisasi juga merupakan sumber kekuasaan. Lokasi fisik di jantung kegiatan atau interaksi dengan orang-orang berkuasa menambah perkembangan dan penggunaan efektif dari kekuasaan. Sentralitas kekuasaan ini penting dalam konteks kekuasaan, baik secara fisik ataupun sosial.


Politik dalam Organisasi

Hingga saat ini, kita telah menjelajahi konsep kekuasaan (power) dalam organisasi. Tibalah kini saatnya kita mengeksplorasi aspek politik di dalam organisasi. Politik dalam organisasi adalah sesuatu yang sulit dihindarkan tatkala organisasi terdiri atas 2 orang atau lebih. Terdapat banyak kepentingan di dalam organisasi, langkanya sumber daya, dan tarik-menarik gagasan. Seluruhnya membuat politik dalam organisasi menjadi konsekuensi logis aktivitas di dalam organisasi.


Bagi Robert Morgan, organisasi serupa dengan sistem politik. Politik di dalam organisasi (organizational politics) dengan memfokuskan perhatian pada tiga konsep yaitu interest (kepentingan), konflik, dan kekuasaan (power). Interest (kepentingan) adalah kecenderungan meraih sasaran, nilai, kehendak, harapan, dan kecenderungan lainnya yang membuat orang bertindak dengan satu cara ketimbang lainnya.



Politik keorganisasian muncul tatkala orang berpikir secara berbeda dan bertindak berbeda.Perbedaan ini menciptakan ketegangan (tension) yang harus diselesaikan lewat cara-cara politik. Cara-cara politik tersebut adalah :

  1. Autocratically (secara otokratik) – > “kita lakukan dengan cara ini.”
  2. Bureaucratically (secara birokratis) – > “kita disarankan melakukan cara ini.”
  3. Technocratically (secara teknokratis) – > “yang terbaik dengan cara ini.”
  4. Democratically (secara demokratis) – > “bagaimana kita melakukannya.”

 

Definisi Politik dan Politik Organisasi

Politik tidak sama dengan kekuasaan dan pengaruh (influence). Ketiganya adalah konsep berbeda dan berdiri sendiri. Power atau kekuasaan mengekspresikan kapasitas individu untuk secara sengaja menimbulkan dampak pada orang lain. Pengaruh (influence) adalah kemampuan membuat orang menuruti kehendak pemberi pengaruh. Politik mendasarkan diri pada kekuasaan (kekuasaan), dan kekuasaan ini tidak terdistribusi secara merata di dalam organisasi.


Sebab itu, siapa pun yang menggenggam kekuasaan di dalam organisasi akan menggunakannya guna mempengaruhi (to influence) orang lain. Dengan kata lain, kekuasaan adalah sumber daya sosial yang ditujukan demi melancarkan pengaruh, yaitu proses sosial, dan keduanya merupakan sokoguru politik.


Politik dapat didefinisikan sebagai kegiatan dimana individu atau kelompok terlibat sedemikian rupa guna memperoleh dan menggunakan kekuasaan untuk mencapai kepentingannya sendiri. Kendati politik punya kans merusak, politik sesungguhnya tidaklah buruk. Faktanya, kendatipun para manajer dan pekerja kerap menolak bahwa politik mempengaruhi kegiatan organisasi, sebuah riset mengindikasikan bahwa politik kantor muncul dan ia punya dampak terukur dalam perilaku organisasi.


Politik adalah penggunaan power (kekuasaan) agar sesuatu tercapai. Ketidakmenentuan dan konflik adalah alamiah dan tidak terelakkan. Politik adalah mekanisme guna mencapai persetujuan. Politik melibatkan diskusi-diskusi informal yang memungkinkan orang mencapai kesepakatan dan membuat keputusan yang mungkin bisa menyelesaikan masalah ataupun tidak.


Douglas Fairholm, setelah menelusuri sejumlah definisi politik organisasi, mengambil sejumlah benang merah definisi politik keorganisasian, yang meliputi :

  1. Tindakan yang diambil oleh individu melalui organisasi;
  2. Setiap pengaruh yang dilakukan seorang aktor terhadap lainnya;
  3. Upaya satu pihak guna mempromosikan kepentingan-diri atas pihak lain dan, lebih lanjut, mengancam kepentingan-diri orang lainnya;
  4. Tindakan-tindakan yang biasanya tidak diberi sanksi oleh organisasi tempatnya terjadi, atau hasil yang dicari tidak diberikan sanksi;
  5. Politik keorganisasian melibatkan sejumlah proses pertukaran dengan hasil yang zero-sum (menang-kalah);
  6. Politik keorganisasian adalah proses yang melibatkan perumusan sasaran politik, strategi pembuatan keputusan, dan taktik; serta
  7. Politik keorganisasian adalah esensi dari kepemimpinan.


Definisi politik dan politik organisasi kiranya saling bersinggungan. Konsep-konsep kekuasaan, influence (pengaruh), resources (sumberdaya), interest (kepentingan), merupakan sejumlah konsep inheren (melekat) di dalam definisi politik maupun politik organisasi. Juga telah dikatakan bahwa politik tidak selalu berarti buruk. Politik adalah media kompetisi gagasan antar sejumlah pihak yang berbeda guna mencapai tujuan masing-masing.

Dalam mengakui keberadaan politik keorganisasian, suatu survey pernah diadakan Gandz and Murray tahun 1980 terhadap 480 orang manajer seputar politik dalam organisasi di Amerika Serikat.


Munculnya Politik dalam Organisasi

Richard L. Daft mengidentifikasi 3 wilayah dimana politik organisasi terangsang untuk muncul. Wilayah-wilayah tersebut adalah : (1) Perubahan Struktural; (2) Suksesi Manajemen; dan (3) Alokasi Sumber Daya.

  1. Perubahan Struktural. Perubahan struktural, misalnya reorganisasi jabatan, langsung menohok ke dalam “jantung” hubungan otoritas dan kekuasaan. Reorganisasi seperti perubahan tugas dan wewenang, juga berdampak atas dasar kekuasaan akibat ketidakmenentuan strategis. Untuk alasan ini, reorganisasi membawa ke arah maraknya kegiatan politik dalam organisasi. Para manajer secara aktif menawar dan menegosiasi guna memelihara wewenang dan kekuasaan yang mereka miliki. Merger dan akuisisi juga kerap membawa kegiatan politik yang eksplosif.
  2. Suksesi Manajemen. Perubahan keorganisasian seperti rekrutmen eksekutif baru, promosi, dan transfer pegawai punya signifikansi politik yang besar, khususnya pada level organisasi puncak dimana ketidakmenentuan demikian tinggi dan jaringan kepercayaan, kerjasama, dan komunikasi di antara eksekutif adalah penting. Keputusan rekrutmen dapat melahirkan ketidakmenentuan, pertentangan wacana, dan ketidaksetujuan. Manajer dapat menggunakan perekrutan dan promosi guna memperkuat jaringan aliansi dan koalisi dengan menempatkan orang-orangnya sendiri dalam posisi kunci.
  3. Alokasi Sumberdaya. Alokasi sumber daya adalah arena politik ketiga. Alokasi sumberdaya memotong seluruh sumberdaya yang dibutuhkan bagi kinerja organisasi, termasuk gaji, anggaran, pekerja, fasilitas kantor, perlengkapan, penggunaan transportasi kantor, dan sebagainya. Sumber daya adalah vital sehingga bahwa ketidaksetujuan untuk memprioritaskan salah satu sumber daya mungkin mengemuka. Dalam konteks ini, proses-proses politik membantu menyelesaikan dilema ini.


Penulis lain seperti Wagner II and Hollenbeck mengidentifikasi sejumlah faktor yang mendorong kegiatan politik di dalam organisasi. Faktor-faktor tersebut adalah : (1) Personalitas Individu; (2) Ketidakmenentuan; (3) Ukuran Organisasi; (4) Level Hirarki; (5) Heterogenitas Anggota; dan (6) Pentingnya Keputusan.

  1. Personalitas Pribadi. Karakteristik kepribadian tertentu memungkinkan orang menunjukkan perilaku politik. Contohnya, orang yang punya kebutuhan kekuasaan (nPow) tinggi dalam istilah Charles McClelland. Orang ini terdorong hasrat politik dari dalam dirinya sendiri guna mencari pengaruh atas orang lain, yang juga memotivasinya untuk menggunakan kekuasaan demi hasil-hasil politik. Riset lain juga menunjukkan orang yang menunjukkan karakteristik Machiavellianisme cenderung mengendalikan orang lain lewat tindak oportunistik dan perilaku yang manipulatif. Mereka cenderung terbuka untuk terlibat dalam politik. Sebagai tambahan, riset mengindikasikan bahwa kesadaran-diri orang tidak sama dengan lainnya untuk terlibat dalam politik kantor karena mereka takut menjadi perhatian publik dan dinilai negatif karena terlibat dalam politik.
  2. Ketidakmenentuan. Ketidakmenentuan menjadi alasan munculnya nuansa politik di dalam organisasi, yang jenis-jenisnya sebagai berikut :
    • Keberatan-keberatan dalam ketersediaan sumberdaya langka atau informasi seputar sumber daya tersebut;
    • Informasi yang beredar bersifat ambigu (tidak jelas) atau lebih dari satu versi;
    • Sasaran, tujuan, peran pekerjaan, atau ukuran kinerja yang tidak didefinisikan secara baik;
    • Ketidakjelasan peraturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan siapa yang harus buat keputusan, bagaimana keputusan dicapai, atau bilamana pembuatan keputusan harus dilakukan;
    • Perubahan reorganiasi, realokasi anggaran, atau modifikasi prosedur dalam aneka bentuknya; dan
    • Pihak yang yang menjadi gantungan (tumpuan harapan/backing) individu atau kelompok memiliki pesaing atau musuh.
  3. Ukuran Organisasi. Politicking lebih sering muncul pada organisasi skala besar ketimbang skala kecil. Adanya orang dalam jumlah besar cenderung menyembunyikan perilaku seseorang, memungkinkan mereka terlibat dalam politik tanpa takut diketahui (konspirasi).
  4. Level Hirarki. Politik juga kerap ditemukan dalam manajer tingkat atas, karena kekuasaan yang dibutuhkan untuk terlibat dalam politik biasanya terkonsentrasi diantara para manajer tingkat atas tersebut.
  5. Heterogenitas Anggota. Anggota dalam organisasi yang heterogen biasanya saling berbagi kepentingan dan nilai yang sedikit dan lebih lanjut mencari sesuatu yang berbeda. Dalam kondisi ini, proses-proses politik cenderung muncul dimana setiap anggota bersaing untuk memutuskan kepentingan siapa yang terpuaskan dan siapa yang tidak.
  6. Pentingnya Keputusan. Keputusan yang sifatnya penting lebih memancing aktivitas politik organisasi ketimbang keputusan yang biasa-biasa saja. Ini diakibatkan sebuah keputusan penting punya dampak besar dalam menarik perhatian para anggota organisasi.

Kemunculan politik dalam organisasi juga dikaitkan dengan adanya perilaku politik di kalangan anggota organisasi. Perilaku tersebut membuka ruang yang besar bagi individu dalam organisasi untuk melibatkan diri dalam politik. Eran Vigoda-Gadot merinci 6 dimensi perilaku politik di diri individu yang mendorong munculnya kegiatan politik, yaitu :

  1. Otonomi Pekerjaan. Semakin independen karyawan dalam melakukan tugas, semakin mahir kemampuannya dalam menerapkan pengaruh untuk tujuan mempromosikan keinginannya;
  2. Masukan Keputusan. Keterlibatan dan kerjasama dalam proses pembuatan keputusan membuat karyawan merasa terhubung dengan organisasi, suatu perasaan tanggung jawab agar ia berfungsi lebih jauh, dan keinginan menanam andil (jasa) guna mempertahankan daya saing organisasi. Lebih jauh lagi, terbuka kesempatan yang mencukupi untuk memunculkan perilaku politik yang berupaya memaksimalkan tujuan personal dan organisasi dan meraih prestasi lewat pemberian pengaruh atas orang lain sehingga mereka akan membantunya dalam merealisasikan tujuan individualnya maupun organisasi.
  3. Kepuasan Kerja. Semakin puas seorang karyawan, semakin ia percaya pada organisasi berikut seluruh proses di dalamnya sehingga keterasingannya dari pekerjaan jauh berkurang. Kepuasan yang ia rasakan di pekerjaan membentuk kepentingannya sendiri yaitu memelihara status quo. Jika kepuasan kurang akan membawa individu bertindak dalam rangka mempengaruhi pihak lain untuk mengubah keputusan-keputusan di dalam organisasi.
  4. Status dan Prestise Pekerjaan. Status dan prestise pekerjaan berhubungan dengan opini politik. Semakin besar keinginan mengekspresikan opini, protes, dan secara aktif mengutarakan ide-ide yang ia sukai. Tatkala pekerja punya status dan prestise profesional yang tinggi ia juga akan menuntut aset-aset yang butuh dukungan dan perlindungan. Ia tidak mengupayakan perubahan besar atas lingkungannya dan menggunakan keahlian politiknya yang tinggi guna memelihara aset-aset pribadinya.
  5. Hubungan Kerja. Hubungan yang dekat antara satu individu dengan individu lainnya di lokasi kerja membawa pada merembeskan pandangan satu sama lain di dalam organisasi, di mana terjadi adaptasi persepsi, sikap dan perilaku politik mereka.
  6. Unionisasi. Serikat pekerja akan memutar gagasan, perilaku dan kebiasaan politik dari tingkat lingkungan kerja hingga sistem politik nasional dan vice versa (demikian sebaliknya). Orang yang cenderung terlibat dan aktif dalam komite pekerja umumnya mahir pula dalam berpolitik.

 

2. Pengaruh Politik Dalam Manajemen Olahraga

Pengertian Politik dan Olahraga

Pengertian Politik, Politik Dalam arti kebijaksanaan (Policy) berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri (negara), sedangkan taia berarti urusan. Dari segi kepentingan penggunaan, kata politik mempunyai arti yang berbeda-beda. Untuk lebih memberikan pengertian arti politik disampaikan beberapa arti politik dari segi kepentingan penggunaan.

 

Pengertian Olahraga, Olahraga merupakan aktivitas yang sangat penting untuk mempertahankan kebugaran seseorang. Olahraga juga merupakan salah satu metode penting untuk mereduksi stress. Olahraga juga merupakan suatu perilaku aktif yang menggiatkan metabolisme dan mempengaruhi fungsi kelenjar di dalam tubuh untuk memproduksi sistem kekebalan tubuh dalam upaya mempertahankan tubuh dari gangguan penyakit serta stress. Oleh karena itu, sangat dianjurkan kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan olahraga secara rutin dan tersetruktur dengan baik dengan kata lain olahraga adalah suatu aktivitas yang dapat menyehatkan diri dari luar maupun dari dalam atau lebih dikenal dengan nama sehat jasmani rohani. Adapun beberapa pendapat atau para pakar yang mendefinisikan tentang olahraga.

 

Kaitan Politik dengan Olahraga

Hubungan politik dengan olahraga, Sejak awal kebangkitan Olympiade modern 1896 di Athena, gerakan Olympiade (Olympic Movement) mencanangkan bahwa Olympiade mengemban misi untuk menyebarluaskan isme, sebuah idealisme yang mengandung pesan perdamaian, kebebasan dan persaudaraan sebagai landasan tatanan dunia baru, termasuk membina manusia menuju kesempurnaan, seperti terkandung dalam motto, citius, altius, fortius.  Tidak dipungkiri, gerakan Olympiade secara nyata berpengaruh kuat terhadap penyebarluasan kultur olahraga, dan sekaligus memberikan arah terhadap tujuan pembinaan, isi kegiatan dan bahkan cara mengorganisasinya.

 

Kelekatan Politik dengan Olahraga, Sejak lama ada usaha untuk menceraikan kegiatan olahraga, terutama Olimpiade, dengan politik. Tapi, upaya itu selalu gagal. Kalau saja dunia mau jujur, sebenarnya keterkaitan antara keduanya sudah terpatri dalam peraturan penyelenggaraan Olimpiade itu sendiri.Ambil saja pengibaran bendera dan pengumandangan lagu kebangsaan negara asal atlet pemenang salah satu cabang olahraga sebagai contoh. Itu saja sudah menunjukkan tentang bagaimana olahraga sudah terpolusi oleh politik. Sejarah telah beberapa kali merekam tentang intervensi politik terhadap ajang yang sebenarnya dimaksudkan untuk memupuk sportivitas dan persahabatan antarnegara dan bangsa ini. Contoh klasik terjadi pada Olimpiade 1936 di Berlin, ketika faham Nazi Jerman tengah berada di puncaknya. Jesse Owens, pelari berkulit hitam AS yang sebelum pesta olahraga itu dibuka sudah dihina media Jerman, tiba-tiba saja merebut tak kurang dari empat medali emas. Dan, itu dilakukannya di depan mata Hitler, gembong konsep tentang supremasi bangsa Aria.Pada 1968, pada upacara menghormati pemenang, dua atlet kulit hitam AS mengacungkan tinju sebagai protes atas diskriminasi rasial di negara mereka. Orang juga tak melupakan kejadian berdarah pada Olimpiade 1972 di Muenchen, ketika para pejuang radikal Palestina menyandera dan kemudian membunuh 11 atlet Israel. Itu adalah upaya menarik perhatian dunia akan nasib bangsa Palestina yang tergusur dari tanah leluhur mereka.

 

Pengaruh Politik dalam Pembinaan Olahraga

Dunia olahraga saat ini dan bahkan yang akan datang, tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Olahraga tidak hanya sebagai kebutuhan untuk menjaga kebugaran tubuh, akan tetapi telah merasuk dalam semua sektor kehidupan. Lebih jauh lagi, prestasi olahraga dapat mengangkat harkat dan martabat manusia baik secara individu, kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara. Prestasi olahraga suatu negara menjadi tolok ukur kemajuan bangsa dan negara, oleh karena itu persaingan mencapai prestasi olahraga antar negara terus berjalan dengan berbagai pengembangan teknik dan teknologi bidang olahraga, “sport science – sport technology”  merupakan tantangan bagi pengurus dan pengelola olahraga suatu negara. Tanpa ada keinginan dan kemampuan menjawab tantangan tersebut, rasanya akan sulit kita mensejajarkan prestasi olahraga dengan prestasi olahraga negara lain. Untuk itu perlunya diadakan rekonsolidasi dan harmonisasi antar berbagai lembaga pengelolaan keolahragaan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi induk cabang olahraga, korporasi dan masyarakat luas. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat efisiensi dan efektivitas pengembangan dan pembinaan olahraga dalam mempercepat perwujudan prestasi olahraga di berbagai event, baik single event maupun multy event olahraga nasional, regional dan internasional.

 

Komitmen untuk melaksanakan dan menyepakati arah strategis pembangunan pembinaan olahraga itu diperkuat oleh komunikasi dan koordinasi, selain mesti terjamin sisi keberlanjutannya. Berdasarkan paparan singkat itu sangat jelas bahwa subsistem pendidikan jasmani atau olahraga pelajar/mahasiswa tidak boleh terbengkalai pembinaannya dan termasuk ke dalam kebijakan umum. Olahraga masyarakat (rekreasi) merupakan kegiatan "penyedap" dan penggairah dalam rangka membangun kembali vitalitas hidup. Kegiatan itu ikut serta membangun sebuah mood kejiwaan yang sehat. Sama sekali tak dapat diabaikan perkembangan dan trend olahraga kompetitif untuk berprestasi meskipun ada ayunan perubahan yang mengarah kepada perolehan keuntungan yang bersifat material; ada pergeseran dari amateur ke profesional, paling tidak di tubuh Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang dirintis semasa kepemimpinan Presiden IOC, Juan Antonio Samaranch. Banyak negara, meski dengan jumlah penduduk sedikit, mampu berprestasi dalam olahraga, seperti yang diraih oleh Australia dalam Olimpiade Sydney 2000 dan Olimpiade Athena 2004. Jawabannya, sebagian karena faktor penentu berupa tingkat kepuasan hidup. Kemerosotan Rusia misalnya, lebih banyak karena keterbatasan dana untuk mengoperasionalkan sistem. Mereka bisa sekadar bertahan untuk memelihara sistem yang sudah mantap, tetapi sukar untuk mencapai hasil optimal karena faktor ekonomi. Mungkin tanpa kita sadari, pada tataran lingkungan yang lebih luas ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap arah, isi dan bahkan cara mengelola olahraga. Dan dalam hal ini pengaruh sistem politik mempengaruhi model pembinaan dan institusi yang menanganinya, karena jika dalam pembinaan yang dilakukan oleh institusi yang ditunjuk salah maka pengaruh perkembangan akan olahraga juga akan tidak memperoleh prestasi yang maksimal.

 

Dampak Politik dalam Olahraga

Dampak positif :

  1. Olahraga menjadi alat pemersatu antar negara karena membawa nama baik negara
  2. Pelaku politik berperan sebagai sponsorship yang :
    • Memberikan produk yang berkaitan langsung dengan kebutuhan or (sepatu,dll)
    •  Memberikan fasilitas kebutuhan sehari bagi para atlet
    • Membuat produk yang tidak bertalian langsung dengan or (asuransi,dll)
    • Menjadikan olahraga lebih dikenal dan menjadi hiburan bagi masyarakat luas dengan diadakannya pertandingan – pertandingan olahraga yang menghibur, contoh (mendatangkan club –club sepakbola internasional dan berlatih tanding).
  3. Para pemimpin dunia telah bisa saling melakukan proses negosiasi dan komunikasi yang berkaitan dengan masalah olahraga. Seperti contohnya, hubungan yang baik antar Negara juga dapat diciptakan dengan menggelar pesta olahraga di penjuru dunia. Intinya, dengan mensosialisasikan olahraga dalam kehidupan plotik, baik luar negeri maupun dalam negeri, akan berdampak baik pada kehidupan politik dunia, negara khususnya.     
  4. Dengan pemerintah melibatkan sponsor dan mengndalikan olahraga, club – club olahraga bisa lebih berkembang dari segi financial dan secara tidak langsung pembinaan dibidang sarana dan prasana memadahi dankesejahteraan atlet   juga menjadi ikut terangkat.  

 

Dampak Negatif :

  1. Tidak sedikit terjadi provokasi dalam dunia olahraga yang disebabkan urusan politik. Salah satunya kasus suap kepada pelaku olahraga (atlet, wasit, panitia pertandingan,dll)
  2. Rusaknya kepengurusan dalam organisasi olahraga karena lebih mementikan urusan kepentingan politiknya sendiri ketimbang kemajuan olahraga, sehingga berimbas kepada kemunduran dan rusaknya system pembinaan olahraga.
  3. Kemunduran prestasi atlet dikarenakan atlet menjadi sarana kampanye dan terjun dalam berbagai  kegiatan politik yang menjadikan konsentrasi atlet menjadi terpecah .
  4. Rasa Nasionalis atlet menjadi berkurang karena hanya mementingkan segi financial saja yang diperoleh dari dampak masuknya politik
  5. Hilangnya sportivitas dalam olahraga, baik dalam pertandingan atau kepengurusan karena intervensi dari pihak luar / kepentingan politik.liaa
  6. Dapat diartikan bahwa olahraga tidak boleh untuk di jadikan tempat ajang berpolitik yang bukan untuk keuntungan olahraga tersbut.

  

REFERENSI :

  1. Anonim. (2003). Gerakan Nasional Garuda Emas. Jakarta: KONI Pusat.
  2. Arifin Abdulrachman. (1973). Kerangka Pokok-Pokok Manajemen Umum. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru.
  3. Bambang Tri Cahyono.(1995). Pengadaan Sumberdaya Manusia. Jakarta: IWAPI.
  4. Beveridge D. (1989. Tantangan Berprestasi.  Jakarta: Banapura Aksara.
  5. Dirjen Olahraga Depdiknas. (2002). Pedoman Mekanisme Koordinasi Pembinaan Olahraga, Kesegaran Jasmani dan Kelembagaan Olahraga. Jakarta:Ditjen Olahraga.
  6. Dornan J. dan Maxwell J.C. (1998). Strategi Menuju Sukses.  Jakarta: Network Twenty One.
  7. Hesselbein F. Goldsmith M. dan Beckhard R. (1997). The Leader of The Future. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
  8. Imai M,  Gamba Kaizen. (1998). Pendekatan Akal Sehat, Berbiaya Rendah pada Manajemen, Jakarta: Yayasan Toyota.
  9. ISORI. (2003). Menata Ulang Bangunan Sistem Keolahragaan Nasional. Jakarta: PP. ISORI.
  10. James A. Fitzsimmons, Mona J. Fitzsimmons. (1994). Service Management for Competitive Advantage. Singapore: Mc Graw-Hill, Inc.
  11. Kantor Menpora. (1997). Visi 2020 Olahraga Indonesia.  Jakarta: Menpora.\
  12. Komaludin. (1989). Manajemen. Jakarta: Depdikbud-Dirjen Dikti.
  13. KONI. (1999). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Jakarta:  KONI Pusat
  14. Kotter J.P. (1997). Leading Change.  Jakarta: PT. Sun.
  15. Kouzes J.M., dan Posner B-2. (1997).  Kredibilitas. Jakarta: Profesional Books.
  16. Malayu S.P. Hasibuan. (1999). Organisasi dan Motivasi. Jakarta: Bumi Aksara.
  17. Morrisey G.L.  (2002).  Pemikiran Strategis. Jakarta: Prenhallindo.
  18. Prajudi Atmosudirdjo. (1978). Dasar-Dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: Seri Pustaka Ilmu.
  19. Rusli Luthan. (2003). Olahraga, Kebijakan dan Politik, Jakarta: KONI dan Dirjen Olahraga.
  20. Salusu. (2000). Pengambilan Keputusan Stratejik. Jakarta: Grasindo.\
  21. Sondang P. Siagian. (1992). Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
  22. Stoner J.A. (1986). Manajemen. Jakarta: Erlangga.
  23. Sunarto dan Sahedhy Noor R. (2001). Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: BPFE-UST.
  24. Terry G.R. (1986). Principle of Management. Illinois Richard : D. Irwin, Inc. Homewood.
  25. The Liang Gie. (1978). Pengertian, Kedudukan, dan Perincian Ilmu Administrasi. Yogyakarta: Karya Kencana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEPEMIMPINAN & PENGAMBILAN KEPUTUSAN

KEPEMIMPINAN & PENGAMBILAN KEPUTUSAN Oleh : Eko Yulianto, ST, MM, MSD (NIDN 0325077407) A. Pendahuluan Pengelolaan suatu bisnis, baik it...