Selasa, 07 September 2021

MANAJEMEN OLAHRAGA - KONSEP EVOLUSI DALAM MANAJEMEN OLAHRAGA

Konsep Evolusi Dalam Manajemen  Olahraga

 



Evolusi berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi.

 

Evolusi adalah proses perubahan secara berangsur-angsur (bertingkat) dimana sesuatu berubah menjadi bentuk lain (yang biasanya) menjadi lebih kompleks/ rumit ataupun berubah menjadi bentuk yang lebih baik.

 

Berbeda dengan revolusi, proses evolusi biasanya berlangsung lama. Dalam konteks penggunaan istilah, evolusi seringkali digunakan untuk menggambarkan perkembangan yang lambat.

 

Evolusi berasal dari bahasa latin evolvere "membuka lipatan," dari ex- "keluar" + volvere "menggulung" (1641) yang berarti "membuka lipatan, keluar, berkembang,". Evolusi pada tahun 1622, pada awalnya berarti "membuka gulungan buku"; namun istilah ini digunakan pertama kali dalam pengertian ilmiah modern pada tahun 1832 oleh seorang Geologis berkebangsaan Skotlandia bernama Charles Lyell. Charles Darwin   kemudian  menggunaka   istilah        ini    satu kali dalam     paragraf penutup bukunya yang berjudul "The Origin of Species" (Asal mula Spesies) pada tahun 1859. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Herbert Spencer dan ahli biologi lainnya, namun jangan terlalu percaya evolusi, karena hanya dugaan saja.

 

Manajemen Olahraga. Merupakan proses aktivitas kerjasama antar fungsi dalammanajemen untuk mencapai tujuan. Merupakan aktivitas yg berusaha memperbaiki dan menyempurnakan segala segi dlm usaha kerjasama. Aktivitas itu terutama ditujukan kepada struktur organisasi dan metode kerjasama .

 

Evolusi Teori Manajemen

Perkembangan teori manajemen pada saat ini telah berkembang dengan pesat. Tapi sampai detik ini pula Belum ada suatu teori yang bersifat umum ataupun berupa kumpulan-kumpulan hukum bagi manajemen yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Para manajemen banyak mengalami dan menjumpai pandangan-pandangan berbeda tentang manajemen, yang berbeda adalah dalam penerapannya. Dimana setiap pandangan hanya dapat diterapkan dalam berbagai masalah yang berbeda pula, sedangkan untuk masalah-masalah yang sama belum tentu dapat diterapkan.


Ada tiga teori pemikiran manajemen salah satunya adalah Teori Manajemen Klasik.


Ada dua tokoh yang mengawali munculnya manajemen, yaitu :

  1. Robert Owen ( 1971 – 1858 )
  2. Charles Babbage ( 1792 – 1871 )

 

Charles Babbage adalah seorang Profesor Matemátika dari Inggris yang menaruh perhatian dan minat pada bidang manajemen. Perhatiannya diarahkan dalam hal pembagian kerja (Devision of Labour), yang mempunyai beberapa keunggulan, yaitu :

  • Waktu yang diperlukan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman yang baru.
  • Banyaknya waktu yang terbuang bila seseorang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan orang tersebut harus menyesuaikan kembali pada pekerjaan barunya sehingga akan menghambat kemajuan dan keterampilan pekerja, untuk itu diperlukan spesialisasi dalam pekerjaannya.
  • Kecakapan dan keahlian seseorang bertambah karena seorang pekerja bekerja terus menerus dalam tugasnya.
  • Adanya perhatian pada pekerjaannya sehingga dapat meresapi alat-alatnya karena perhatiannya pada itu-itu saja.

 

1. Proses Evolusi Dalam Manajemen Olahraga

Olah raga adalah bagian dari kebudayaan yang dikembangkan manusia, dalam kebudayaan dikenal adanya 8 pranata (institution) yang masing-masingnya terdiri atas berbagai aktivitas, kebudayaan materi dan juga gagasan yang melatarbelakanginya. Kedelapan pranata tersebut adalah: pranata domestik, ekonomi, religi, edukasi, ilmu pengetahuan, politik, estetik dan rekreasi, serta pranata somatik (Koentjaraningrat 1980: 25—26). Olah raga dapat dimasukkan ke dalam dua pranata, yaitu pranata estetik dan rekreasi dan pranata somatik yang berkenaan dengan hidup sehat dengan mengurus dan mempertahankan kebugaran jasmaninya.

 

Dalam kebudayaan setiap aktivitas manusia tersebut bermakna, umat Hindu-Bali bersembahyang di pura, orang Kristen kebaktian di gereja, dan juga pemeluk Islam menjalankan ibadah sholat 5 waktu tentu ada maknanya. Begitupun nelayan sedang memancing ikan di laut, pendaki gunung, upacara sekatenan di Cirebon juga mengandung makna. Secara garis besar makna dalam kebudayaan dapat digolongkan ke dalam dua hal, yaitu makna yang bersifat sakral karena berhubungan dengan dunia kepercayaan kepada alam gaib, dan makna yang bersifat profan karena dihubungkan dengan kehidupan manusia secara pragmatis dalam kesehariannya.

 

Aktivitas olahraga dapat dipandang mempunyai makna profan untuk keperluan pragmatis manusia, walaupun merunut sejarahnya ke belakang olahraga pada awalnya juga diabdikan untuk pemujaan dewa-dewa di bukit Olympus pada masa Yunani kuno, berarti bermakna sakral pula. Olahraga dalam fungsinya yang sakral tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang Yunani Kuno, masyarakat Aztec di Amerika Tengah juga telah mengenal kegiatan seperti “sepak bola” yang diadakan di ruang terbuka di tengah kuil mereka. Dalam kegiatan tersebut para pemain harus mampu memasukkan bola ke dalam lubang yang bersifat sakral untuk pemujaan dewata, apabila tidak, maka bencana akan menimpa mereka.

 

Begitupun dalam masyarakat Nusantara kuno aktivitas “olahraga” ada yang dihubungkan dengan upaya pemujaan dewa. Pendakian gunung-gunung dianggap sebagai bentuk dedikasi kepada nenek moyang yang bersemayam di kawasan puncak, apalagi jika dibarengi dengan ritual pemujaan di puncak gunung tersebut. Berdasarkan data yang tersedia maka dapat dibincangkan beberapa fungsi olahraga di masa silam di Nusantara ketika olah raga masih berkembang dalam masyarakat tradisional.

  1. Olah raga sebagai ritual untuk pemujaan kekuatan adikodrati/nenek moyang/dewa
  2. Olah raga sebagai penanda status sosial seseorang atau golongan
  3. Olah raga sebagai hiburan dan rekreasi\
  4. Olah raga sebagai upaya untuk menambah nafkah (Munandar 2012: 10).

 

Fungsi tersebut sekarang menjadi semakin berkembang tidak lagi bermanfaat secara individual, namun juga mempunyai fungsi komunal ketika masyarakat olah raga juga dapat berfungsi sebagai penanda jati diri bangsa, kebanggaan, dan jika berprestasi juga berfungsi sebagai bentuk untuk mempererat rasa kesatuan bangsa.

 

Selain olahraga mempunyai fungsi secara budaya, aktivitas olahraga tersebut sebenarnya mempunyai makna dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya. Apabila fungsi dapat diamati secara langsung oleh masyarakatnya, karena memang pada kenyataannya demikian, makna adalah arti tersembunyi yang ada dibalik aktivitas manusia atau arti yang tersembunyi di balik benda-benda hasil karya manusia. Upaya untuk mencari makna yang tersembunyi dalam berbagai bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia tersebut sebenarnya merupakan kodrat manusia yang selalu bertanya. Apa makna ini?, apa makna itu?, demikian pertanyaan yang kerapkali dikemukakan jika seorang manusia ingin mengetahui secara lebih dalam dari fenomena kebudayaan tertentu.

 

Menurut C.S.Peirce, untuk mencari makna fenomena kebudayaan dapat digunakan pendekatan semiotika. Peirce menyatakan bahwa sesuatu yang akan dimaknai dapat dianggap sebagai tanda (sign) yang mempunyai kepada acuan (referent) tertentu. Pertalian (asosiasi) antara sign dan referent itu akan melahirkan 3 sifat, apabila bersifat natural akan melahirkan tanda indeks, jika bersifat formal tanda yang terbentuk adalah ikon, dan apabila bersifat arbitrer melahirkan tanda simbol. Untuk memahami pertalian antara sign dan referent (acuan) serta sifat tanda yang terbentuk, perlu butir ketiga yang dinamakan interpretant yang sebenarnya berupa konsep, maka terbentuk bagan yang dinamakan triadic (triadic) Peirce (van Zoest 1992: 7-8, Munandar 1999: 26, 2004: 164).


a. Terjadinya Evolusi Dalam Manajemen Olahraga

Identitas olahraga berkembang seiring dengan evolusi masyarakat dan ilmu penunjangnya, termasuk ilmu keolahragaan. Evolusi ini memberikan identitas olahraga sebagai displin akademik dan olahraga sebagai profesi.artikel ini bertujuan mendeskripsikan evolusi identitas olahraga dalam kaitannya dengan ilmu keolahragaan.

 

Riset membuktikan pentingnya gerak dalam mendidik jiwa dan raga. Manfaat olahraga mempengaruhi pencapaian akademik dan pola gerak siswa (NASPE, 2001). Pernyataan National Association for Sport and Physical Education (NASPE, 2001) mengenai peran olahraga tersebut menegaskan identitas olahraga saat ini. Teori Sosial (Social Theories) mendefinisikan identitas dibentuk dan diperkuat oleh komunitas yang stabil dan kuat serta proses sosial yang terbentuk di dalam komunitas tersebut (Henkel, 2005).

 

Identity bersifat aktif dan dinamik (O Connor, 2008) yang dipengaruhi oleh evolusi perkembangan komunitas tersebut.demikian pula dengan olahraga yang mengalami evolsui seiring dengan perkembangan komunitas dan ilmu pengetahuan. Artikel ini bertujuan menggambarkan evolusi identitas olahraga dan kaitannya dengan perkembangan displin ilmu keolahragaan. Cakupan dan Makna olahraga Siedentop (1976) menegaskan tiga dimensi cakupan dan makna pendidikan jasmani. Dimensi pertama adalah makna historis yang merupakan komponen vertikal pendidikan jasmani. Dimensi kedua adalah makna antar-budaya, yang merupakan komponen horizontal dari cakupan pendidikan jasmani.makna antar budaya menggambarkan cakupan olahraga meliputi ciri khas filosofi budaya antar negara yang mempengaruhi perkembangan olahraga dan pendidikan jasmani. Dimensi ketiga adalah makna personal, yang merupakan makna individu yang ikut berpartisipasi dalam olahraga, permainan dan tarian di lintas waktu dan lintas budaya.

Pemahaman ketiga dimensi makna olahraga ini akan membantu kita memahami identitas olahraga dan pendidikan jasmani. Makna Historis Sejarah olahraga diyakini sebagai upaya instruksi sistematik pertama dalam sejarah kehidupan manusia di zaman Paleolithic ( SM), aktivitas fisik manusia berupa berburu dengan tombak dan batu.keterampilan berburu ini sangat penting untuk bertahan hidup sehingga keterampilan ini diajarkan turun temurun (Siedentop, 1976). Pada SM, anak-anak suku Manu di Papua New Guinea sudah menguasai berenang di usia 3 tahun. Ini juga merupakan skill yang mesti dimiliki di era tersebut untuk mampu bertahan hidup (Mead, 1958).Pengajaran turun temurun inilah yang merupakan instruksi sistematis pertama dalam sejarah manusia yang menjadi cikal bakal instruksi pendidikan jasmani.

 

Pada tahun 2500 SM, masyarakat Cina sudah mulai mengembangkan olahraga dengan fokus pada aktivitas panahan, tarian, permainan sepak bola, gulat dan rehabilitasi medis. Di era yang bersamaan ( SM), Yunani sudah mulai mengembangkan sistem instruksi permainan gulat, tinju, dan lari.sisitem ini terus dikembangkan hingga pada tahun 776 SM, Yunani menggelar Olimpiade pertama.perhatian terhadap olahraga dan aktivitas fisik terus berkembang di masyarakat Yunani.Di tahun 400 SM, dua filosofi Yunani, Socrates ( SM) dan Plato ( SM) memperkenalkan filosofi Dualisme.Pendekatan filosofi Dualisme adalah manusia terdiri dari jiwa dan raga (Mechikoff, 2006).Tahun 27 SM 395 M permainan dengan bola, senam, dan latihan perang (lari, loncat, renang, gulat, tinju, anggar, dan 2 Penjas Dan Interdisipliner Ilmu Keolahragaan panahan) mulai berkembang di kekaisaran Roma.

 

Sekitar 200 M, Claudius Galen, seorang akademisi Roma mulai mengembangkan prakter interdisiplin dengan menggabungkan ilmu biomekanika gerak dan ilmu pengobatan. Setelah 200 SM, olahraga dan olahraga mulai berkembang pesat di negara-negara seluruh dunia (Mechikoff, 2006). Makna Antar Budaya Selain bisa divisualisai sebagai komponen vertikal (historis), waktu juga bisa dilihat sebagai komponen horizontal. Dalam sejarah perkembangan manusia dari kecil hingga lanjut usia di budaya/negara manapun, permainan merupakan elemen yang selalu ada dalam perkembangan social (Siedentop, 1976). Ulrich (1968) menyatakan bahwa bermain merupakan tingkah laku mendasar dalam kehidupan manusia. Permainan kelompok merupakan dasar dari sosialisasi kelompok/komunitas, sehingga komunitas tertentu akan mengembangkan filosofi permainan yang berbeda sesuai dengan kondisi komunitas/masyarakat saat itu. Inilah yang kemudian mempengaruhi perbedaan filosofi perkembangan aktivitas fisik dan olahraga di dunia. Perbedaan filosofi dalam permainan masyarakat ini yang kemudian mempengaruhi keunikan filosofi tiap-tiap negara dalam perkembangan olahraga dan olahraga.misalnya olahraga gulat di Filipina dilakukan untuk menentukan batas lahan pertanian.

 

Sementara itu di Cook Island, Pasifik Selatan, Remaja laki-laki akan diangkat status nya menjadi laki-laki dewasa jika memenangkan pertarungan gulat. Di Jepang (abad ke- 8), gulat merupakan bagian dalam perayaan musim panen. Perbedaan makna olahraga di negara yang berbeda mempengaruhi perkembangan pendidikan jasmani.negara yang menilai olahraga dan aktivitas fisik merupakan bagian penting dalam sistem sosialnya, maka negara tersebut akanserius membangun dunia olahraganya melalui perkembangan ilmu keolahragaan dan olahraga (siedentop, 1976). Makna Personil Makna personil merupakan makna mendalam bagi individu yang ikut berpartisipasi aktif di olahraga dan aktivitas fisik, baik sebagai pemain atau penonton.makna ini kemudian berkembang menjadi identitas masyarakat tersebut.

 

Begitu juga dengan olahraga sepakbola di Brazil dan senam di Rusia. Individu yang ikut terlibat dalam olahraga identitas nasional ini akan memiliki status special di masyarakat yang sekaligus bermakna bagi individu itu sendiri (Siedentop, 1976). olahraga sebagai Disiplin Akademik Pentingnya makna olahraga memicu berkembangnya olahraga di berbagai negara dengan filosofi yang berbeda-beda. Filosofi olahraga di Negara Jerman dan Amerika pada abad sangat pesat dan mempengaruhi identitas olahraga di seluruh dunia. Hingga olahraga dilihat sebagai displin akademik dan profesi. Ahli olahraga Amerika Utara, Franklin Henry (1964) memperkenalkan konsep olahraga sebagai disiplin akademik.henry menyatakan bahwa olahraga merupakan kumpulan beberapa ilmu pengetahuan yang ditata dan diajarkan pada sebuah program pendidikan formal (Henry, 1964). Konsep olahraga yang diperkenalkan Henry merupakan konsep interdisiplin yang menegaskan bahwa olahraga bukanlah ilmu traditional yang sederhana.

 

Konsep ini kemudian diadaptasi oleh banyak negara, sehingga olahraga dikemas sebagai kumpulan ilmu akademik biomekanika gerak, anatomi dan fisiologi olahraga, biokimia olahraga, motor learning, gerak dasar, psikologi olahraga, sosiologi, antropolgi dan sejarah olahraga (Henry, 1981). Namun konsep interdisiplin ilmu oleh Henry (1964) tidak bisa menjelaskan bagaimana masing-masil bidang keilmuan dalam olahraga tersebut saling berhubunga.hingga Renson (1989) mendeskripsikan olahraga tidak hanya sebagai interdisiplin, namun olahraga adalah multidisplin, interdisiplin, dan lintas disiplin.konsep Renson mengenai olahraga ini merupakan usaha untuk memperjelas identitas akademik pendidikan jasmani. Penekanan lintas disiplin ilmu dalam olahraga menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan sebagai dasar olahraga saling berhubungan satu sama lain.

 

Pendidikan Jasmani sebagai Profesi Bersamaan dengan konsep olahraga sebagai Disiplin Akademik, di tahun 1980an terjadi perdebatan mengenai ruang lingkup olahraga ini. Konsep olahraga sebagai displin akademik menjadi fokus pembelajaran di universitas terlalu jauh, sehingga para guru calon olahraga yang baru saja menamatkan pendidikannya di program pendidikan guru olahraga dari universitas sangat memahami banyak bidang keilmuan ilmu keolahragaan, namun memiliki kelemahan dalam mengajarkan olahraga di sekolah Siedentop (1972) berargumen bahwa olahraga di sekolah semestinya menopang aktivitas fisik sebagai pengembangan yang lebih sistematika dari permainan dan ilmu gerak. Konsep Ilmu Keolahragaan (Sport Science) sangat dipengaruhi oleh Negara Jerman yang saat itu memiliki filosofi olahraga sebagai wadah mempelajari cabang olahraga. Perlu diperhatikan bahwa sport science di negara Jerman sebagai nama lain dari olahraga yang menekankan pendidikan yang berpusat pada aktivitas fisik dan permainan, bukan keilmuan yang dipelajari duduk di kelas, selayaknya pemahaman exercise science atau ilmu keolahragaan yang secara umum kita pahami. Berawal dari konsep inilah olahraga negara Jerman inilah kemudian berkembang dengan penekanan bagaimana mengajarkan keterampilan olahraga pada peserta didik, yaitu olahraga sebagai profesi. Sebagai profesi, olahraga dilakoni oleh guru pendidikan jasmani.

 

Profesi guru olahraga mesti didukung oleh kompetensi pengetahuan dasar (subject matter knowledge) dan pengetahun konten pedagogi (pedagogical content knowledge) (Ball, Thames, & Phelps, 2008; and Shulman, 1986). Pengetahuan dasar (subject matter knowledge)terdiri dari tiga komponen, yaitu a) pengetahuan konten umum (common content knowledge), yaitu pengetahuan tentang materi secara global, misalnya ilmu tentang teori mengajar pada guru olahraga dan teori melatih pada pelatih cabang olahraga.

 

Sejarah perkembangan masyarakat mempengaruhi evolusi identitas pendidikan jasmani, dan ilmu keolahragaan. Evolusi identitas ini hingga saat sekarang ini berada pada situasi dimana olahraga adalah sebagai displin akademik dan profesi. Identitas pendidkan jasmani sebagai disiplin akademik menempatkan ilmu keolahragaan sebagai dasar-dasar ilmu dalam pendidikan jasmani. Identitas olahraga sebagai profesi menempatkan ilmu keolahragaan sebagai konten spesialisasi penunjang profesi guru. Perbedaan mendasar antara olahraga dan ilmu keolahragaan adalah konteks keilmuannya. Ilmu keolahragaan mendeskripsikan, sedangkan olahraga menerapkannya di dunia pendidikan.


b. Muncul Pertama kalinya Manajemen Olahraga

Pengertian manajemen olahraga

Menurut De Sensi, Kelley, Blanton, dan Beitel dalam Harsuki 2012:63 Manajemen olahraga adalah setiap kombinasi dari keterampilan yang berkaitan dengan perencanaan planning, pengorganisasian organizing, pengarahan directing, pengawasan controlling, penganggaran budgeting, kepemimpinan leading, dan penilaian evaluating, di dalam konteks dari suatu organisasi atau departemen yang produk utamanya atau servisnya dikaitkan dengan olahraga atau kegiatan fisik. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen olahraga adalah suatu proses untuk mengatur segala kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu yang bersifat kelompok dengan fungsi perencaanan, pengorganisasian, pengarahan, kepemimpinan, dan pengawasan yang berkaitan dengan olahraga atau kegiatan fisik. Dalam hal ini manajemen yang baik sangatlah dibutuhkan dalam suatu organisasi

 

Sejarah manajemen olahraga

Sejarah perkembangan manajemen olahraga pada umumnya memang tidak jauh berbeda dengan perkembangan manusia. Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, maka ketrampilan manajemen juga mengalami pekembangan sesuai dengan tingkat pengetahuan serta ketrampilan manusia. Sejarah manajemen di bidang olahraga salah satu contohnya yang familiar yaitu Olimpiade kuno yang menurut catatan sejarah diadakan sekitar abad ke-13 sebelum masehi di Yunani. Hal ini menunjukan betapa pentingnya olahraga hingga ilmu manajemen olahraga digunakan pada event Olimpiade kuno hingga berlangsung sampai akhir dan menghasilkan juara-juara. Selain olimpiade kuno ada juga olimpiade modern yang dimunculkan oleh Baron Pierre de Coubertin, yang menghasilkan olimpiade modern yang pertama digelar pada tahun 1890 di Athena, Yunani. Jelas bahwa penyelenggaraan tersebut telah menerapkan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, koordinator serta pengawasan yang baik, sehingga olimpiade yang pertama dilaksanakan dapat berjalan sukses. Manajemen olahraga baru ditangani secara serius pada penyelenggaraan Olimpiade Ke-23 di Los Angeles, Amerika, tahun 1984 Harsuki, 2012:7-9.


2. Manfaat Evolusi Dalam Manajemen Olahraga

a. Persoalan Pokok Sosial dan Budaya

Dalam kehidupan sehari-hari, olahraga juga mempunyai kaitan yang erat dengan budaya. Olahraga sendiri secara umum diartikan menjadi kegiatan yang bertujuan dalam menjaga kebugaran serta kesegaran tubuh, baik secara jasmani atau juga rohani. Kemudian budaya merupakan suatu bentuk hasil karya manusia dimana berasal dari hasil proses belajar manusia.

 

Dapat diartikan juga bahwa Budaya ialaha segala bentuk aktivitas manusia mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. Dimana serangkaian aktivitas kegiatan itu mempunyai sifat yang dinamis dan berasal dari pengetahuan guna memenuhi kebutuhannya.

 

Lalu budaya juga diwariskan secara turun-temurun, sudah sejak zaman nenek moyang sampai pada generasi penerus seperti sekarang ini. Budaya itu meliputi kebiasaan, tingkah laku, sistem, peraturan serta norma yang berlaku. Karakteristik umum yang kerap kali dikaitkan dengan manusia ialah cara mempertahankan diri, hal ini juga dapat membawa pengaruh yang besar terhadap budaya.

 

Tuhan sudah membekali setiap manusia dengan naluri yang kuat, hal ini bertujuan untuk mempertahankan diri terhadap berbagai macam bahaya. Berdasarkan kemampuan ini juga seorang manusia bisa terus belajar dan menjaga dirinya. Nah, budaya adalah hasil dari metamorphosis serangkaian proses belajar mempertahankan diri tersebut, yang mana sudah secara berkesinambungan dengan cara-cara yang elegan.

 

Di Indonesia sendiri terdapat begitu banyak bentuk kegiatan olahraga tradisional. Meski hanya sebagian kecil olahraga tradisional yang dapat tersorot media. Dan diantaranya banyak kesamaan dalam permainannya, yakni dalam hal mempertahankan diri. Pada dasarnya semua kegiatan olahraga itu merupakan cara mempertahankan diri, dimana kita harus terus bertahan pada permainan olahraga tersebut.

 

Budaya mempertahankan diri juga berarti aktif memberikan perlawanan, bukan hanya dengan bersikap pasif untuk bertahan dari serangan lawan.

 

Semua permainan pasti akan mempunyai kriteria tersendiri dalam menentukan siapa pemenang. Biasanya pemenang ialah merela yang mampu bertahan hingga akhir. Untuk segala olahraga pun demikian, bahkan dalam olahraga catur. Budaya olahraga mempertahankan diri bukan berarti hanya pertahanan fisik saja, tetapi juga lebih tepatnya setiap pemain diharuskan untuk menjaga wilayahnya dari serangan lawan.

 

Dalam setiap aktivitas manusia pasti akan memerlukan pertahanan diri. Para pemain mempunyai kesempatan dan peluang untuk terus mempertahankan keberadaannya. Dalam olahraga, setiap pemain saling beradu dan berusaha agar terus berada pada jalur permainan untuk menguasai alur pertandingan. Sejatinya, bahwa olahraga yaitu suatu budaya untuk mempertahankan diri.

 

 

b. Berkembangnya Manajemen Olahraga di Belahan Dunia Lain

Dr. Inge Claringbould, salah satu pembicara dari Belanda pada seminar manajemen olahraga yang saya ikuti di Jepang, memberikan contoh kasus dari negaranya untuk memahami pentingnya kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan olahraga. Jumlah penduduk di Belanda berkisar 17 juta orang. Mereka memiliki 3,9 juta atlet elit dari 10 juta atlet di tingkat amatir dan masyarakat. Ini artinya, ada sekitar 60% dari total penduduk Belanda yang dapat digolongkan sebagai masyarakat yang aktif berolahraga.

 

Dari angka 60% tingkat partisipasi masyarakat Belanda kepada olahraga di atas, di antaranya adalah 1,2 jutanya bermain sepakbola, 600 ribunya tenis, 590 ribunya memancing, 400 ribunya golf, dll. Sementara dari 10 juta masyarakat aktif tersebut, hanya hampir 2/5-nya saja yang menghasilkan atlet elit.

 

Selaras dengan penjelasan di Belanda, kita bisa melihat di Jepang. Promosi melalui kampanye "Sports for All" dan "Sports for Tomorrow" dilakukan tidak lebih sebentar daripada 50 tahun. Untuk kesehatan masyarakat, sekarang ini mereka memiliki angka partisipasi yang tinggi. Seperti yang bisa dilihat pada grafik di bawah ini, dengan angka yang mendekati Belanda, hampir 60% masyarakat Jepang setidaknya berolahraga rutin sekali dalam satu minggu.

 

Hal ini berdampak pada kesehatan masyarakat, di mana saat ini ada lebih dari 50.000 orang tua di seluruh Jepang yang usianya mencapai angka di atas 100 tahun, yang menjadikan negara tersebut menjadi negara dengan tingkat umur tertinggi atau "the most lifelong country in the world".

 

Bagaimana dengan di Indonesia? Untuk diketahui saja, data partisipasi olahraga seperti di atas saja negara kita ini tidak punya.

 

Utamakan partisipasi daripada prestasi

Pada  modul ini membiacarakan dua contoh dari Belanda dan Jepang tersebut dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah di bidang olahraga, sejujurnya yang dibutuhkan dalam setiap kebijakan olahraga bukanlah keuntungan materi, tetapi peningkatan di tingkat akar rumput (grassroots atau pembinaan) dan juga partisipasi sebanyak-banyaknya.

 

Kampanye olahraga, seperti "Sports for All" dan "Sport for Tomorrow" yang dilakukan oleh Jepang, bisa berpotensi menjadi kebijakan yang lebih strategis. Kebijakan ini bukan mengedepankan prestasi, tapi lebih bersifat meningkatkan partisipasi dan pada akhirnya menyehatkan masyarakat.

 

Jumlah atlet elit pastinya lebih sedikit daripada atlet amatir dan masyarakat. Pada prinsipnya, Masyarat akan melahirkan (to supply) atlet elit, dan atlet elit akan menginspirasi (to inspire) masyarakat untuk terus berolahraga, terutama jika mereka yang menginspirasi adalah mereka yang sukses (misalnya juara dunia, peraih medali emas di Olimpiade, dll).

 

Ini adalah sesuatu yang sangat logis: jika tidak ada peserta di level amatir dan partisipasi (rekreasi), maka tidak akan ada atlet yang dilahirkan.

 

Dengan kebijakan semacam ini, kesuksesan melalui prestasi memang tidak terjadi secara instan, butuh waktu bertahun-tahun, sama seperti Jepang yang butuh waktu tidak kurang dari 50 tahun untuk sehat dan juga sukses dalam bidang olahraga seperti sekarang ini.

 

Secara umum, beberapa strategi efektif yang Jepang lakukan adalah dengan memperbolehkan anak-anak (tak terkecuali, misalnya laki-laki dan perempuan, ada yang cacat, dan dari berbagai macam etnis) untuk berpartisipasi di olahraga sejak dini, bahkan bisa jadi kewajiban di tingkat sekolah melalui pendidikan jasmani (physical education).

 

Ini mungkin yang Indonesia kurang kuat untuk miliki. Saat ini saja misalnya, ada berapa sekolah dasar (SD) sampai tingkat selanjutnya (SMP dan SMA) yang mewajibkan pendidikan jasmani dan kesehatan (penjaskes) ke dalam mata pelajaran, berapa jam anak-anak sekolah kita berolahraga setiap pekannya, apakah anak-anak Indonesia memerlukan ekstra kurikuler tambahan untuk berolahraga ?

 

Olahraga sama pentingnya dengan pendidikan

Menambahkan paragraf di atas, sebuah laporan dari beberapa perusahaan terutama perusahaan asing yang dilakukan oleh Tracer Study dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan bahwa banyak lulusan S1 asal Indonesia (bukan hanya dari ITB) yang dinilai tidak memiliki fisik dan mental yang baik.

 

Jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia bahkan Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand, lulusan S1 dari Indonesia kebanyakan mudah sakit (kondisi fisik tidak fit), mudah menyerah ketika mendapat tekanan, dan pundungan.

 

Hal ini tentunya berakar jauh bukan dari universitas yang menghasilkan para S1 tersebut, tapi dari tingkat pendidikan yang paling bawah dan juga kebiasaan di masyarakat.


Bagaimana masyarakat Indonesia bisa sehat, senang (dari bermain di olahraga), memiliki mental tangguh, dan akhirnya berprestasi, jika pendidikan olahraga diperlakukan seperti "anak tiri" di sekolah kita?

 

Jam olahraga yang semakin sedikit di tingkat sekolah ini, bahkan bertambah semakin sedikit lagi dan tidak jarang untuk ditiadakan ketika para siswa/i berada di kelas 6 SD, kelas 3 SMP, dan kelas 3 SMA. Hal tersebut dianggap "sudah biasa" karena para siswa/i harus menyiapkan diri dengan lebih giat belajar agar bisa lulus SD, SMP, dan SMA untuk kemudian mendapatkan SMP, SMA, dan universitas yang bagus.

 

Tak heran juga, di universitas kecuali universitas berbasis olahraga (seperti di Universitas Pendidikan Indonesia atau UPI), hampir tidak ada lagi SKS yang mengandung pendidikan jasmani dan kesehatan. Jadi, para mahasiswa/i yang "tidak diwajibkan" untuk berolahraga akan semakin segan lagi dan sulit "merasa terpanggil" untuk menempa fisik dan mental mereka melalui lingkungan olahraga.

 

Secara jelas, opini miring seperti, "Apa, sih, pentingnya olahraga? Lebih penting juga belajar," harus dihindari untuk menciptakan keseimbangan bagi negara dalam kaitannya dengan olahraga.

 

Padahal menurut banyak penelitian di bidang sains olahraga, salah satunya adalah jurnal berjudul "Brain boost: sport and physical activity enhance children۪̉s learning" hasil penelitian dari Dr. Karen Martin, pada kenyataannya olahraga dan aktivitas fisik bisa meningkatkan kemampuan seorang anak untuk belajar, yaitu dengan menstimulasi otak mereka. Melalui langkah-langkah panjang ini lah peran penting pemerintah diharapkan bisa dimanfaatkan secara maksimal.

 

Kemudian kita juga jangan sampai melupakan konsep utama olahraga, yaitu untuk bermain. Seperti kata dasar "sport" yang berasal dari "dis-ports" dari Bahasa Perancis Kuno yang berarti "untuk menghibur diri" atau "untuk menyenangkan diri".

 

Masalah mental bangsa yang harus diubah

Selanjutnya juga di luar jam sekolah, mereka hampir tidak memiliki waktu untuk berolahraga kecuali melalui ekstra kurikuler atau les (misalnya ikut Sekolah Sepakbola atau SSB), semakin tidak tersedianya lapangan dan ruang terbuka hijau untuk bermain (bermain = bentuk paling sederhana dari olahraga) karena tergusur oleh banyaknya pembangunan, kalaupun tersedia lapangan tapi mereka harus membayarnya dengan harga yang tidak murah, ditambah lagi sistem transportasi yang tidak mendukung para pengguna sepeda dan pejalan kaki (biasakan berjalan agar sehat) yang trotoarnya semakin dijajah oleh pedagang kaki lima atau parkir kendaraan.


Itu lah kenapa mental masyarakat kita belum siap untuk dimanjakan dengan jalur sepeda khusus danjogging track yang terintegrasi di jalan umum. Bahkan shelter sepeda saja banyak yang tidak berfungsi, banyak sepeda yang hilang (tidak dikembalikan), dan kalaupun ada jalur khusus sepeda dan pejalan kaki, hampir pasti nasibnya akan berakhir sebagai (lagi-lagi) tempat berjualan atau tempat parkir kendaraan.

 

Lihat Jepang, Jerman, Amerika Serikat, dan bahkan Malaysia atau Singapura, mereka adalah negara yang "urusan melanggar lalu lintas dan membuang sampah sembarangan"-nya sudah terkubur jauh dan tidak dianggap sebagai masalah lagi. Itu semua terjadi karena negara-negara tersebut sudah berhasil memiliki masyarakat dengan mental yang baik, mental seorang juara, mental seorang yang ingin terus sehat.

 

Jadi, bagaimana seharusnya peran negara dalam mengurusi olahraga? Jawabannya bisa kita dapatkan dari banyak contoh negara yang sudah sukses, yaitu: utamakan partisipasi daripada prestasi, serta tanamkan budaya berolahraga sejak dini kepada masyarakat. Ini adalah jalan yang masih sangat panjang untuk Indonesia.

 

 

Jika masih terus berkutat di sepakbola, olahraga Indonesia tidak akan maju

Sepakbola memang selalu menjadi buah bibir bagi masyarakat kita. Popularitas sepakbola bisa dibilang sudah tak terdandingi.

 

Tapi melihat kondisi sepakbola yang sedang tidak jelas seperti sekarang ini, ada baiknya kita tidak terlalu berlarut-larut fokus kepada sesuatu yang sebenarnya sangat kecil kemungkinannya (bahkan hampir mustahil) untuk menghasilkan prestasi dan world recognition bagi Indonesia.

 

Kalaupun PSSI sedang disanksi oleh FIFA, secara banal kami bisa bilang bahwa hal ini tidak memberikan dampak yang signifikan bagi status sepakbola Indonesia di mata internasional . Untuk apa terus mengurusi sepakbola? Prestasi seperti apa yang diharapkan oleh Indonesia ? Juara dunia? Menjadi tuan rumah Piala Dunia? Atau "hanya" sekadar merajai Asia Tenggara ?

 

Bukannya saran kami untuk benar-benar melupakan sepakbola. Tapi sebaiknya sepak bola memang terus menjadi hiburan bagi masyarakat, sebatas itu saja, jangan lebih.

 

Saran kami untuk Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), khususnya pada momen Sumpah Pemuda yang baru kita peringati akhir bulan lalu dan juga Hari Pahlawan yang diperingati pada 10 November kemarin, ditambah lagi dengan PSSI yang sedang tidak kondusif untuk diajak kerja sama dan berunding, maka ini adalah saat yang tepat untuk "melupakan urusan sepak bola" dan mulai fokus kepada cabang olahraga lain yang lebih berpotensi melahirkan prestasi dan kebanggaan negara.

 

Atau jika mereka ingin lebih efektif dan efisien, Kemenpora sebaiknya mulai bekerjasama terutama dengan Kementiran Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk menciptakan budaya olahraga yang baik pada masyarakat, terutama anak-anak, agar Indonesia bisa memiliki masyarakat dengan fisik dan mental laiknya seorang juara.

 

Hal ini perlu dilakukan agar tingkat partisipasi masyarakat terus meningkat pada olahraga, sehingga masyarakat bisa sehat, senang (dari bermain di olahraga), dan pada akhirnya berprestasi. Kita harus tahu, ada hubungan yang saling menguntungkan antara kesehatan masyarakat, menciptakan atlet elit, prestasi atlet nasional, dan prestasi negara. Dan semua hal di atas harus dimulai dari level yang paling bawah, yaitu level partisipasi yang banyak melibatkan masyarakat.

  

 

REFERENSI :

  1. Anonim. (2003). Gerakan Nasional Garuda Emas. Jakarta: KONI Pusat.
  2. Arifin Abdulrachman. (1973). Kerangka Pokok-Pokok Manajemen Umum. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru.
  3. Bambang Tri Cahyono.(1995). Pengadaan Sumberdaya Manusia. Jakarta: IWAPI.
  4. Beveridge D. (1989. Tantangan Berprestasi.  Jakarta: Banapura Aksara.
  5. Dirjen Olahraga Depdiknas. (2002). Pedoman Mekanisme Koordinasi Pembinaan Olahraga, Kesegaran Jasmani dan Kelembagaan Olahraga. Jakarta:Ditjen Olahraga.
  6. Dornan J. dan Maxwell J.C. (1998). Strategi Menuju Sukses.  Jakarta: Network Twenty One.
  7. Hesselbein F. Goldsmith M. dan Beckhard R. (1997). The Leader of The Future. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
  8. Imai M,  Gamba Kaizen. (1998). Pendekatan Akal Sehat, Berbiaya Rendah pada Manajemen, Jakarta: Yayasan Toyota.
  9. ISORI. (2003). Menata Ulang Bangunan Sistem Keolahragaan Nasional. Jakarta: PP. ISORI.
  10. James A. Fitzsimmons, Mona J. Fitzsimmons. (1994). Service Management for Competitive Advantage. Singapore: Mc Graw-Hill, Inc.
  11. Kantor Menpora. (1997). Visi 2020 Olahraga Indonesia.  Jakarta: Menpora.\
  12. Komaludin. (1989). Manajemen. Jakarta: Depdikbud-Dirjen Dikti.
  13. KONI. (1999). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Jakarta:  KONI Pusat
  14. Kotter J.P. (1997). Leading Change.  Jakarta: PT. Sun.
  15. Kouzes J.M., dan Posner B-2. (1997).  Kredibilitas. Jakarta: Profesional Books.
  16. Malayu S.P. Hasibuan. (1999). Organisasi dan Motivasi. Jakarta: Bumi Aksara.
  17. Morrisey G.L.  (2002).  Pemikiran Strategis. Jakarta: Prenhallindo.
  18. Prajudi Atmosudirdjo. (1978). Dasar-Dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: Seri Pustaka Ilmu.
  19. Rusli Luthan. (2003). Olahraga, Kebijakan dan Politik, Jakarta: KONI dan Dirjen Olahraga.
  20. Salusu. (2000). Pengambilan Keputusan Stratejik. Jakarta: Grasindo.\
  21. Sondang P. Siagian. (1992). Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
  22. Stoner J.A. (1986). Manajemen. Jakarta: Erlangga.
  23. Sunarto dan Sahedhy Noor R. (2001). Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: BPFE-UST.
  24. Terry G.R. (1986). Principle of Management. Illinois Richard : D. Irwin, Inc. Homewood.
  25. The Liang Gie. (1978). Pengertian, Kedudukan, dan Perincian Ilmu Administrasi. Yogyakarta: Karya Kencana.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEPEMIMPINAN & PENGAMBILAN KEPUTUSAN

KEPEMIMPINAN & PENGAMBILAN KEPUTUSAN Oleh : Eko Yulianto, ST, MM, MSD (NIDN 0325077407) A. Pendahuluan Pengelolaan suatu bisnis, baik it...