Konsep Evolusi Dalam Manajemen Olahraga
Evolusi
berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh
kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi.
Evolusi adalah proses perubahan secara
berangsur-angsur (bertingkat) dimana sesuatu berubah menjadi bentuk lain (yang
biasanya) menjadi lebih kompleks/ rumit ataupun berubah menjadi bentuk yang
lebih baik.
Berbeda dengan revolusi, proses evolusi biasanya berlangsung lama. Dalam konteks
penggunaan istilah, evolusi seringkali digunakan untuk menggambarkan
perkembangan yang lambat.
Evolusi berasal dari bahasa latin evolvere "membuka lipatan," dari ex- "keluar"
+ volvere "menggulung" (1641) yang berarti "membuka lipatan,
keluar, berkembang,". Evolusi pada tahun 1622, pada awalnya berarti
"membuka gulungan buku"; namun istilah ini digunakan pertama kali
dalam pengertian ilmiah modern pada tahun 1832 oleh seorang Geologis berkebangsaan Skotlandia bernama Charles Lyell. Charles Darwin kemudian menggunaka istilah ini satu kali dalam paragraf penutup bukunya yang berjudul
"The Origin of Species" (Asal mula Spesies) pada tahun 1859. Istilah
ini kemudian dipopulerkan oleh Herbert Spencer dan ahli biologi lainnya, namun
jangan terlalu percaya evolusi, karena hanya dugaan saja.
Manajemen Olahraga. Merupakan proses
aktivitas kerjasama antar fungsi dalammanajemen untuk mencapai
tujuan. Merupakan aktivitas yg berusaha memperbaiki dan menyempurnakan segala
segi dlm usaha kerjasama. Aktivitas itu terutama ditujukan kepada struktur
organisasi dan metode kerjasama .
Evolusi Teori Manajemen
Perkembangan
teori manajemen pada saat ini telah berkembang dengan pesat. Tapi sampai detik
ini pula Belum ada suatu teori yang bersifat umum ataupun berupa
kumpulan-kumpulan hukum bagi manajemen yang dapat diterapkan dalam berbagai
situasi dan kondisi. Para manajemen banyak mengalami dan menjumpai
pandangan-pandangan berbeda tentang manajemen, yang berbeda adalah dalam
penerapannya. Dimana setiap pandangan hanya dapat diterapkan dalam berbagai
masalah yang berbeda pula, sedangkan untuk masalah-masalah yang sama belum
tentu dapat diterapkan.
Ada tiga teori pemikiran manajemen salah satunya adalah Teori Manajemen Klasik.
Ada dua tokoh yang mengawali munculnya manajemen, yaitu :
- Robert Owen ( 1971 – 1858 )
- Charles Babbage ( 1792 – 1871 )
Charles Babbage
adalah seorang Profesor Matemátika dari Inggris yang menaruh perhatian dan
minat pada bidang manajemen. Perhatiannya diarahkan dalam hal pembagian kerja
(Devision of Labour), yang mempunyai beberapa keunggulan, yaitu :
- Waktu yang diperlukan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman yang baru.
- Banyaknya waktu yang terbuang bila seseorang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan orang tersebut harus menyesuaikan kembali pada pekerjaan barunya sehingga akan menghambat kemajuan dan keterampilan pekerja, untuk itu diperlukan spesialisasi dalam pekerjaannya.
- Kecakapan dan keahlian seseorang bertambah karena seorang pekerja bekerja terus menerus dalam tugasnya.
- Adanya perhatian pada pekerjaannya sehingga dapat meresapi alat-alatnya karena perhatiannya pada itu-itu saja.
1. Proses Evolusi Dalam Manajemen Olahraga
Olah raga adalah bagian dari
kebudayaan yang dikembangkan manusia, dalam kebudayaan dikenal adanya 8 pranata
(institution) yang masing-masingnya terdiri atas berbagai aktivitas, kebudayaan
materi dan juga gagasan yang melatarbelakanginya. Kedelapan pranata tersebut
adalah: pranata domestik, ekonomi, religi, edukasi, ilmu pengetahuan, politik,
estetik dan rekreasi, serta pranata somatik (Koentjaraningrat 1980: 25—26).
Olah raga dapat dimasukkan ke dalam dua pranata, yaitu pranata estetik dan
rekreasi dan pranata somatik yang berkenaan dengan hidup sehat dengan mengurus
dan mempertahankan kebugaran jasmaninya.
Dalam kebudayaan setiap aktivitas
manusia tersebut bermakna, umat Hindu-Bali bersembahyang di pura, orang Kristen
kebaktian di gereja, dan juga pemeluk Islam menjalankan ibadah sholat 5 waktu
tentu ada maknanya. Begitupun nelayan sedang memancing ikan di laut, pendaki
gunung, upacara sekatenan di Cirebon juga mengandung makna. Secara garis besar
makna dalam kebudayaan dapat digolongkan ke dalam dua hal, yaitu makna yang
bersifat sakral karena berhubungan dengan dunia kepercayaan kepada alam gaib,
dan makna yang bersifat profan karena dihubungkan dengan kehidupan manusia
secara pragmatis dalam kesehariannya.
Aktivitas olahraga dapat dipandang
mempunyai makna profan untuk keperluan pragmatis manusia, walaupun merunut
sejarahnya ke belakang olahraga pada awalnya juga diabdikan untuk pemujaan
dewa-dewa di bukit Olympus pada masa Yunani kuno, berarti bermakna sakral pula.
Olahraga dalam fungsinya yang sakral tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang
Yunani Kuno, masyarakat Aztec di Amerika Tengah juga telah mengenal kegiatan
seperti “sepak bola” yang diadakan di ruang terbuka di tengah kuil mereka.
Dalam kegiatan tersebut para pemain harus mampu memasukkan bola ke dalam lubang
yang bersifat sakral untuk pemujaan dewata, apabila tidak, maka bencana akan
menimpa mereka.
Begitupun dalam masyarakat Nusantara
kuno aktivitas “olahraga” ada yang dihubungkan dengan upaya pemujaan dewa.
Pendakian gunung-gunung dianggap sebagai bentuk dedikasi kepada nenek moyang
yang bersemayam di kawasan puncak, apalagi jika dibarengi dengan ritual
pemujaan di puncak gunung tersebut. Berdasarkan data yang tersedia maka dapat
dibincangkan beberapa fungsi olahraga di masa silam di Nusantara ketika olah
raga masih berkembang dalam masyarakat tradisional.
- Olah raga sebagai ritual untuk pemujaan kekuatan adikodrati/nenek moyang/dewa
- Olah raga sebagai penanda status sosial seseorang atau golongan
- Olah raga sebagai hiburan dan rekreasi\
- Olah raga sebagai upaya untuk menambah nafkah (Munandar 2012: 10).
Fungsi tersebut sekarang menjadi
semakin berkembang tidak lagi bermanfaat secara individual, namun juga
mempunyai fungsi komunal ketika masyarakat olah raga juga dapat berfungsi
sebagai penanda jati diri bangsa, kebanggaan, dan jika berprestasi juga
berfungsi sebagai bentuk untuk mempererat rasa kesatuan bangsa.
Selain olahraga mempunyai fungsi
secara budaya, aktivitas olahraga tersebut sebenarnya mempunyai makna dalam
kebudayaan masyarakat pendukungnya. Apabila fungsi dapat diamati secara
langsung oleh masyarakatnya, karena memang pada kenyataannya demikian, makna
adalah arti tersembunyi yang ada dibalik aktivitas manusia atau arti yang
tersembunyi di balik benda-benda hasil karya manusia. Upaya untuk mencari makna
yang tersembunyi dalam berbagai bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia
tersebut sebenarnya merupakan kodrat manusia yang selalu bertanya. Apa makna
ini?, apa makna itu?, demikian pertanyaan yang kerapkali dikemukakan jika
seorang manusia ingin mengetahui secara lebih dalam dari fenomena kebudayaan
tertentu.
Menurut C.S.Peirce, untuk mencari
makna fenomena kebudayaan dapat digunakan pendekatan semiotika. Peirce
menyatakan bahwa sesuatu yang akan dimaknai dapat dianggap sebagai tanda (sign)
yang mempunyai kepada acuan (referent) tertentu. Pertalian (asosiasi) antara
sign dan referent itu akan melahirkan 3 sifat, apabila bersifat natural akan
melahirkan tanda indeks, jika bersifat formal tanda yang terbentuk adalah ikon,
dan apabila bersifat arbitrer melahirkan tanda simbol. Untuk memahami pertalian
antara sign dan referent (acuan) serta sifat tanda yang terbentuk, perlu butir
ketiga yang dinamakan interpretant yang sebenarnya berupa konsep, maka
terbentuk bagan yang dinamakan triadic (triadic) Peirce (van Zoest 1992: 7-8,
Munandar 1999: 26, 2004: 164).
a. Terjadinya Evolusi Dalam
Manajemen Olahraga
Identitas
olahraga berkembang seiring dengan evolusi masyarakat dan ilmu penunjangnya,
termasuk ilmu keolahragaan. Evolusi ini memberikan identitas olahraga sebagai
displin akademik dan olahraga sebagai profesi.artikel ini bertujuan
mendeskripsikan evolusi identitas olahraga dalam kaitannya dengan ilmu
keolahragaan.
Riset
membuktikan pentingnya gerak dalam mendidik jiwa dan raga. Manfaat olahraga mempengaruhi
pencapaian akademik dan pola gerak siswa (NASPE, 2001). Pernyataan National
Association for Sport and Physical Education (NASPE, 2001) mengenai peran
olahraga tersebut menegaskan identitas olahraga saat ini. Teori Sosial (Social
Theories) mendefinisikan identitas dibentuk dan diperkuat oleh komunitas yang
stabil dan kuat serta proses sosial yang terbentuk di dalam komunitas tersebut
(Henkel, 2005).
Identity
bersifat aktif dan dinamik (O Connor, 2008) yang dipengaruhi oleh evolusi
perkembangan komunitas tersebut.demikian pula dengan olahraga yang mengalami
evolsui seiring dengan perkembangan komunitas dan ilmu pengetahuan. Artikel ini
bertujuan menggambarkan evolusi identitas olahraga dan kaitannya dengan
perkembangan displin ilmu keolahragaan. Cakupan dan Makna olahraga Siedentop
(1976) menegaskan tiga dimensi cakupan dan makna pendidikan jasmani. Dimensi
pertama adalah makna historis yang merupakan komponen vertikal pendidikan
jasmani. Dimensi kedua adalah makna antar-budaya, yang merupakan komponen
horizontal dari cakupan pendidikan jasmani.makna antar budaya menggambarkan
cakupan olahraga meliputi ciri khas filosofi budaya antar negara yang
mempengaruhi perkembangan olahraga dan pendidikan jasmani. Dimensi ketiga
adalah makna personal, yang merupakan makna individu yang ikut berpartisipasi
dalam olahraga, permainan dan tarian di lintas waktu dan lintas budaya.
Pemahaman
ketiga dimensi makna olahraga ini akan membantu kita memahami identitas
olahraga dan pendidikan jasmani. Makna Historis Sejarah olahraga diyakini
sebagai upaya instruksi sistematik pertama dalam sejarah kehidupan manusia di
zaman Paleolithic ( SM), aktivitas fisik manusia berupa berburu dengan tombak
dan batu.keterampilan berburu ini sangat penting untuk bertahan hidup sehingga
keterampilan ini diajarkan turun temurun (Siedentop, 1976). Pada SM, anak-anak
suku Manu di Papua New Guinea sudah menguasai berenang di usia 3 tahun. Ini
juga merupakan skill yang mesti dimiliki di era tersebut untuk mampu bertahan
hidup (Mead, 1958).Pengajaran turun temurun inilah yang merupakan instruksi
sistematis pertama dalam sejarah manusia yang menjadi cikal bakal instruksi
pendidikan jasmani.
Pada
tahun 2500 SM, masyarakat Cina sudah mulai mengembangkan olahraga dengan fokus
pada aktivitas panahan, tarian, permainan sepak bola, gulat dan rehabilitasi
medis. Di era yang bersamaan ( SM), Yunani sudah mulai mengembangkan sistem
instruksi permainan gulat, tinju, dan lari.sisitem ini terus dikembangkan
hingga pada tahun 776 SM, Yunani menggelar Olimpiade pertama.perhatian terhadap
olahraga dan aktivitas fisik terus berkembang di masyarakat Yunani.Di tahun 400
SM, dua filosofi Yunani, Socrates ( SM) dan Plato ( SM) memperkenalkan filosofi
Dualisme.Pendekatan filosofi Dualisme adalah manusia terdiri dari jiwa dan raga
(Mechikoff, 2006).Tahun 27 SM 395 M permainan dengan bola, senam, dan latihan
perang (lari, loncat, renang, gulat, tinju, anggar, dan 2 Penjas Dan
Interdisipliner Ilmu Keolahragaan panahan) mulai berkembang di kekaisaran Roma.
Sekitar
200 M, Claudius Galen, seorang akademisi Roma mulai mengembangkan prakter
interdisiplin dengan menggabungkan ilmu biomekanika gerak dan ilmu pengobatan.
Setelah 200 SM, olahraga dan olahraga mulai berkembang pesat di negara-negara
seluruh dunia (Mechikoff, 2006). Makna Antar Budaya Selain bisa divisualisai
sebagai komponen vertikal (historis), waktu juga bisa dilihat sebagai komponen
horizontal. Dalam sejarah perkembangan manusia dari kecil hingga lanjut usia di
budaya/negara manapun, permainan merupakan elemen yang selalu ada dalam
perkembangan social (Siedentop, 1976). Ulrich (1968) menyatakan bahwa bermain
merupakan tingkah laku mendasar dalam kehidupan manusia. Permainan kelompok
merupakan dasar dari sosialisasi kelompok/komunitas, sehingga komunitas
tertentu akan mengembangkan filosofi permainan yang berbeda sesuai dengan
kondisi komunitas/masyarakat saat itu. Inilah yang kemudian mempengaruhi
perbedaan filosofi perkembangan aktivitas fisik dan olahraga di dunia.
Perbedaan filosofi dalam permainan masyarakat ini yang kemudian mempengaruhi
keunikan filosofi tiap-tiap negara dalam perkembangan olahraga dan
olahraga.misalnya olahraga gulat di Filipina dilakukan untuk menentukan batas
lahan pertanian.
Sementara
itu di Cook Island, Pasifik Selatan, Remaja laki-laki akan diangkat status nya
menjadi laki-laki dewasa jika memenangkan pertarungan gulat. Di Jepang (abad
ke- 8), gulat merupakan bagian dalam perayaan musim panen. Perbedaan makna
olahraga di negara yang berbeda mempengaruhi perkembangan pendidikan
jasmani.negara yang menilai olahraga dan aktivitas fisik merupakan bagian
penting dalam sistem sosialnya, maka negara tersebut akanserius membangun dunia
olahraganya melalui perkembangan ilmu keolahragaan dan olahraga (siedentop,
1976). Makna Personil Makna personil merupakan makna mendalam bagi individu
yang ikut berpartisipasi aktif di olahraga dan aktivitas fisik, baik sebagai
pemain atau penonton.makna ini kemudian berkembang menjadi identitas masyarakat
tersebut.
Begitu
juga dengan olahraga sepakbola di Brazil dan senam di Rusia. Individu yang ikut
terlibat dalam olahraga identitas nasional ini akan memiliki status special di
masyarakat yang sekaligus bermakna bagi individu itu sendiri (Siedentop, 1976).
olahraga sebagai Disiplin Akademik Pentingnya makna olahraga memicu
berkembangnya olahraga di berbagai negara dengan filosofi yang berbeda-beda.
Filosofi olahraga di Negara Jerman dan Amerika pada abad sangat pesat dan
mempengaruhi identitas olahraga di seluruh dunia. Hingga olahraga dilihat
sebagai displin akademik dan profesi. Ahli olahraga Amerika Utara, Franklin Henry
(1964) memperkenalkan konsep olahraga sebagai disiplin akademik.henry
menyatakan bahwa olahraga merupakan kumpulan beberapa ilmu pengetahuan yang
ditata dan diajarkan pada sebuah program pendidikan formal (Henry, 1964). Konsep
olahraga yang diperkenalkan Henry merupakan konsep interdisiplin yang
menegaskan bahwa olahraga bukanlah ilmu traditional yang sederhana.
Konsep
ini kemudian diadaptasi oleh banyak negara, sehingga olahraga dikemas sebagai
kumpulan ilmu akademik biomekanika gerak, anatomi dan fisiologi olahraga,
biokimia olahraga, motor learning, gerak dasar, psikologi olahraga, sosiologi,
antropolgi dan sejarah olahraga (Henry, 1981). Namun konsep interdisiplin ilmu
oleh Henry (1964) tidak bisa menjelaskan bagaimana masing-masil bidang keilmuan
dalam olahraga tersebut saling berhubunga.hingga Renson (1989) mendeskripsikan
olahraga tidak hanya sebagai interdisiplin, namun olahraga adalah multidisplin,
interdisiplin, dan lintas disiplin.konsep Renson mengenai olahraga ini
merupakan usaha untuk memperjelas identitas akademik pendidikan jasmani.
Penekanan lintas disiplin ilmu dalam olahraga menggambarkan bahwa ilmu
pengetahuan sebagai dasar olahraga saling berhubungan satu sama lain.
Pendidikan
Jasmani sebagai Profesi Bersamaan dengan konsep olahraga sebagai Disiplin
Akademik, di tahun 1980an terjadi perdebatan mengenai ruang lingkup olahraga ini.
Konsep olahraga sebagai displin akademik menjadi fokus pembelajaran di
universitas terlalu jauh, sehingga para guru calon olahraga yang baru saja
menamatkan pendidikannya di program pendidikan guru olahraga dari universitas
sangat memahami banyak bidang keilmuan ilmu keolahragaan, namun memiliki
kelemahan dalam mengajarkan olahraga di sekolah Siedentop (1972) berargumen
bahwa olahraga di sekolah semestinya menopang aktivitas fisik sebagai
pengembangan yang lebih sistematika dari permainan dan ilmu gerak. Konsep Ilmu
Keolahragaan (Sport Science) sangat dipengaruhi oleh Negara Jerman yang saat
itu memiliki filosofi olahraga sebagai wadah mempelajari cabang olahraga. Perlu
diperhatikan bahwa sport science di negara Jerman sebagai nama lain dari
olahraga yang menekankan pendidikan yang berpusat pada aktivitas fisik dan
permainan, bukan keilmuan yang dipelajari duduk di kelas, selayaknya pemahaman
exercise science atau ilmu keolahragaan yang secara umum kita pahami. Berawal
dari konsep inilah olahraga negara Jerman inilah kemudian berkembang dengan
penekanan bagaimana mengajarkan keterampilan olahraga pada peserta didik, yaitu
olahraga sebagai profesi. Sebagai profesi, olahraga dilakoni oleh guru
pendidikan jasmani.
Profesi
guru olahraga mesti didukung oleh kompetensi pengetahuan dasar (subject matter
knowledge) dan pengetahun konten pedagogi (pedagogical content knowledge)
(Ball, Thames, & Phelps, 2008; and Shulman, 1986). Pengetahuan dasar
(subject matter knowledge)terdiri dari tiga komponen, yaitu a) pengetahuan
konten umum (common content knowledge), yaitu pengetahuan tentang materi secara
global, misalnya ilmu tentang teori mengajar pada guru olahraga dan teori
melatih pada pelatih cabang olahraga.
Sejarah
perkembangan masyarakat mempengaruhi evolusi identitas pendidikan jasmani, dan
ilmu keolahragaan. Evolusi identitas ini hingga saat sekarang ini berada pada
situasi dimana olahraga adalah sebagai displin akademik dan profesi. Identitas
pendidkan jasmani sebagai disiplin akademik menempatkan ilmu keolahragaan
sebagai dasar-dasar ilmu dalam pendidikan jasmani. Identitas olahraga sebagai
profesi menempatkan ilmu keolahragaan sebagai konten spesialisasi penunjang
profesi guru. Perbedaan mendasar antara olahraga dan ilmu keolahragaan adalah
konteks keilmuannya. Ilmu keolahragaan mendeskripsikan, sedangkan olahraga menerapkannya
di dunia pendidikan.
b. Muncul Pertama kalinya
Manajemen Olahraga
Pengertian manajemen olahraga
Menurut De Sensi, Kelley, Blanton, dan Beitel
dalam Harsuki 2012:63 Manajemen olahraga adalah setiap kombinasi dari
keterampilan yang berkaitan dengan perencanaan planning, pengorganisasian
organizing, pengarahan directing, pengawasan controlling, penganggaran
budgeting, kepemimpinan leading, dan penilaian evaluating, di dalam konteks
dari suatu organisasi atau departemen yang produk utamanya atau servisnya
dikaitkan dengan olahraga atau kegiatan fisik. Berdasarkan definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa manajemen olahraga adalah suatu proses untuk mengatur
segala kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu yang bersifat kelompok dengan
fungsi perencaanan, pengorganisasian, pengarahan, kepemimpinan, dan pengawasan
yang berkaitan dengan olahraga atau kegiatan fisik. Dalam hal ini manajemen
yang baik sangatlah dibutuhkan dalam suatu organisasi
Sejarah manajemen olahraga
Sejarah perkembangan manajemen olahraga pada
umumnya memang tidak jauh berbeda dengan perkembangan manusia. Seiring
perkembangan ilmu dan teknologi, maka ketrampilan manajemen juga mengalami
pekembangan sesuai dengan tingkat pengetahuan serta ketrampilan manusia.
Sejarah manajemen di bidang olahraga salah satu contohnya yang familiar yaitu
Olimpiade kuno yang menurut catatan sejarah diadakan sekitar abad ke-13 sebelum
masehi di Yunani. Hal ini menunjukan betapa pentingnya olahraga hingga ilmu
manajemen olahraga digunakan pada event Olimpiade kuno hingga berlangsung
sampai akhir dan menghasilkan juara-juara. Selain olimpiade kuno ada juga olimpiade
modern yang dimunculkan oleh Baron Pierre de Coubertin, yang menghasilkan
olimpiade modern yang pertama digelar pada tahun 1890 di Athena, Yunani. Jelas
bahwa penyelenggaraan tersebut telah menerapkan fungsi-fungsi perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, koordinator serta pengawasan yang baik, sehingga
olimpiade yang pertama dilaksanakan dapat berjalan sukses. Manajemen olahraga
baru ditangani secara serius pada penyelenggaraan Olimpiade Ke-23 di Los
Angeles, Amerika, tahun 1984 Harsuki, 2012:7-9.
2. Manfaat Evolusi Dalam
Manajemen Olahraga
a. Persoalan Pokok Sosial dan
Budaya
Dalam kehidupan sehari-hari, olahraga
juga mempunyai kaitan yang erat dengan budaya. Olahraga sendiri secara umum
diartikan menjadi kegiatan yang bertujuan dalam menjaga kebugaran serta
kesegaran tubuh, baik secara jasmani atau juga rohani. Kemudian budaya
merupakan suatu bentuk hasil karya manusia dimana berasal dari hasil proses
belajar manusia.
Dapat diartikan juga bahwa Budaya
ialaha segala bentuk aktivitas manusia mulai dari bangun tidur hingga kembali
tidur. Dimana serangkaian aktivitas kegiatan itu mempunyai sifat yang dinamis
dan berasal dari pengetahuan guna memenuhi kebutuhannya.
Lalu budaya juga diwariskan secara
turun-temurun, sudah sejak zaman nenek moyang sampai pada generasi penerus
seperti sekarang ini. Budaya itu meliputi kebiasaan, tingkah laku, sistem,
peraturan serta norma yang berlaku. Karakteristik umum yang kerap kali
dikaitkan dengan manusia ialah cara mempertahankan diri, hal ini juga dapat
membawa pengaruh yang besar terhadap budaya.
Tuhan sudah membekali setiap manusia
dengan naluri yang kuat, hal ini bertujuan untuk mempertahankan diri terhadap
berbagai macam bahaya. Berdasarkan kemampuan ini juga seorang manusia bisa
terus belajar dan menjaga dirinya. Nah, budaya adalah hasil dari metamorphosis
serangkaian proses belajar mempertahankan diri tersebut, yang mana sudah secara
berkesinambungan dengan cara-cara yang elegan.
Di Indonesia sendiri terdapat begitu
banyak bentuk kegiatan olahraga tradisional. Meski hanya sebagian kecil
olahraga tradisional yang dapat tersorot media. Dan diantaranya banyak kesamaan
dalam permainannya, yakni dalam hal mempertahankan diri. Pada dasarnya semua
kegiatan olahraga itu merupakan cara mempertahankan diri, dimana kita harus
terus bertahan pada permainan olahraga tersebut.
Budaya mempertahankan diri juga
berarti aktif memberikan perlawanan, bukan hanya dengan bersikap pasif untuk
bertahan dari serangan lawan.
Semua permainan pasti akan mempunyai
kriteria tersendiri dalam menentukan siapa pemenang. Biasanya pemenang ialah
merela yang mampu bertahan hingga akhir. Untuk segala olahraga pun demikian,
bahkan dalam olahraga catur. Budaya olahraga mempertahankan diri bukan berarti
hanya pertahanan fisik saja, tetapi juga lebih tepatnya setiap pemain
diharuskan untuk menjaga wilayahnya dari serangan lawan.
Dalam setiap aktivitas manusia pasti
akan memerlukan pertahanan diri. Para pemain mempunyai kesempatan dan peluang
untuk terus mempertahankan keberadaannya. Dalam olahraga, setiap pemain saling
beradu dan berusaha agar terus berada pada jalur permainan untuk menguasai alur
pertandingan. Sejatinya, bahwa olahraga yaitu suatu budaya untuk mempertahankan
diri.
b. Berkembangnya Manajemen Olahraga di Belahan Dunia Lain
Dr.
Inge Claringbould, salah satu pembicara dari Belanda pada seminar manajemen
olahraga yang saya ikuti di Jepang, memberikan contoh kasus dari negaranya
untuk memahami pentingnya kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan olahraga.
Jumlah penduduk di Belanda berkisar 17 juta orang. Mereka memiliki 3,9 juta
atlet elit dari 10 juta atlet di tingkat amatir dan masyarakat. Ini artinya,
ada sekitar 60% dari total penduduk Belanda yang dapat digolongkan sebagai
masyarakat yang aktif berolahraga.
Dari
angka 60% tingkat partisipasi masyarakat Belanda kepada olahraga di atas, di
antaranya adalah 1,2 jutanya bermain sepakbola, 600 ribunya tenis, 590 ribunya
memancing, 400 ribunya golf, dll. Sementara dari 10 juta masyarakat aktif
tersebut, hanya hampir 2/5-nya saja yang menghasilkan atlet elit.
Selaras
dengan penjelasan di Belanda, kita bisa melihat di Jepang. Promosi melalui
kampanye "Sports for All" dan "Sports
for Tomorrow" dilakukan tidak lebih sebentar daripada 50 tahun.
Untuk kesehatan masyarakat, sekarang ini mereka memiliki angka partisipasi yang
tinggi. Seperti yang bisa dilihat pada grafik di bawah ini, dengan angka
yang mendekati Belanda, hampir 60% masyarakat Jepang setidaknya berolahraga
rutin sekali dalam satu minggu.
Hal
ini berdampak pada kesehatan masyarakat, di mana saat ini ada lebih dari 50.000
orang tua di seluruh Jepang yang usianya mencapai angka di atas 100 tahun, yang
menjadikan negara tersebut menjadi negara dengan tingkat umur tertinggi atau
"the most lifelong country in the world".
Bagaimana
dengan di Indonesia? Untuk diketahui saja, data partisipasi olahraga seperti di
atas saja negara kita ini tidak punya.
Utamakan
partisipasi daripada prestasi
Pada modul ini membiacarakan dua contoh dari Belanda
dan Jepang tersebut dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah di bidang
olahraga, sejujurnya yang dibutuhkan dalam setiap kebijakan olahraga bukanlah
keuntungan materi, tetapi peningkatan di tingkat akar rumput (grassroots atau
pembinaan) dan juga partisipasi sebanyak-banyaknya.
Kampanye
olahraga, seperti "Sports for All" dan "Sport for Tomorrow"
yang dilakukan oleh Jepang, bisa berpotensi menjadi kebijakan yang lebih
strategis. Kebijakan ini bukan mengedepankan prestasi, tapi lebih bersifat
meningkatkan partisipasi dan pada akhirnya menyehatkan masyarakat.
Jumlah
atlet elit pastinya lebih sedikit daripada atlet amatir dan masyarakat. Pada
prinsipnya, Masyarat akan melahirkan (to supply) atlet elit,
dan atlet elit akan menginspirasi (to inspire) masyarakat untuk terus
berolahraga, terutama jika mereka yang menginspirasi adalah mereka yang sukses
(misalnya juara dunia, peraih medali emas di Olimpiade, dll).
Ini
adalah sesuatu yang sangat logis: jika tidak ada peserta di level amatir dan
partisipasi (rekreasi), maka tidak akan ada atlet yang dilahirkan.
Dengan
kebijakan semacam ini, kesuksesan melalui prestasi memang tidak terjadi secara
instan, butuh waktu bertahun-tahun, sama seperti Jepang yang butuh waktu tidak
kurang dari 50 tahun untuk sehat dan juga sukses dalam bidang olahraga seperti
sekarang ini.
Secara
umum, beberapa strategi efektif yang Jepang lakukan adalah dengan
memperbolehkan anak-anak (tak terkecuali, misalnya laki-laki dan perempuan, ada
yang cacat, dan dari berbagai macam etnis) untuk berpartisipasi di olahraga
sejak dini, bahkan bisa jadi kewajiban di tingkat sekolah melalui pendidikan
jasmani (physical education).
Ini
mungkin yang Indonesia kurang kuat untuk miliki. Saat ini saja misalnya, ada
berapa sekolah dasar (SD) sampai tingkat selanjutnya (SMP dan SMA) yang
mewajibkan pendidikan jasmani dan kesehatan (penjaskes) ke dalam mata
pelajaran, berapa jam anak-anak sekolah kita berolahraga setiap pekannya,
apakah anak-anak Indonesia memerlukan ekstra kurikuler tambahan untuk
berolahraga ?
Olahraga
sama pentingnya dengan pendidikan
Menambahkan
paragraf di atas, sebuah laporan dari beberapa perusahaan terutama perusahaan
asing yang dilakukan oleh Tracer Study dari Institut Teknologi
Bandung (ITB) mengatakan bahwa banyak lulusan S1 asal Indonesia (bukan hanya
dari ITB) yang dinilai tidak memiliki fisik dan mental yang baik.
Jika
dibandingkan dengan beberapa negara di Asia bahkan Asia Tenggara seperti
Singapura, Malaysia, atau Thailand, lulusan S1 dari Indonesia kebanyakan mudah
sakit (kondisi fisik tidak fit), mudah menyerah ketika mendapat tekanan,
dan pundungan.
Hal
ini tentunya berakar jauh bukan dari universitas yang menghasilkan para S1
tersebut, tapi dari tingkat pendidikan yang paling bawah dan juga kebiasaan di
masyarakat.
Bagaimana masyarakat Indonesia bisa sehat,
senang (dari bermain di olahraga), memiliki mental tangguh, dan akhirnya
berprestasi, jika pendidikan olahraga diperlakukan seperti "anak
tiri" di sekolah kita?
Jam
olahraga yang semakin sedikit di tingkat sekolah ini, bahkan bertambah semakin
sedikit lagi dan tidak jarang untuk ditiadakan ketika para siswa/i berada di
kelas 6 SD, kelas 3 SMP, dan kelas 3 SMA. Hal tersebut dianggap "sudah
biasa" karena para siswa/i harus menyiapkan diri dengan lebih giat belajar
agar bisa lulus SD, SMP, dan SMA untuk kemudian mendapatkan SMP, SMA, dan
universitas yang bagus.
Tak
heran juga, di universitas kecuali universitas berbasis olahraga (seperti di
Universitas Pendidikan Indonesia atau UPI), hampir tidak ada lagi SKS yang
mengandung pendidikan jasmani dan kesehatan. Jadi, para mahasiswa/i yang
"tidak diwajibkan" untuk berolahraga akan semakin segan lagi dan
sulit "merasa terpanggil" untuk menempa fisik dan mental mereka
melalui lingkungan olahraga.
Secara
jelas, opini miring seperti, "Apa, sih, pentingnya olahraga? Lebih penting
juga belajar," harus dihindari untuk menciptakan keseimbangan bagi negara
dalam kaitannya dengan olahraga.
Padahal
menurut banyak penelitian di bidang sains olahraga, salah satunya adalah jurnal
berjudul "Brain boost: sport and physical activity enhance childrenÃâs learning" hasil penelitian dari Dr. Karen Martin,
pada kenyataannya olahraga dan aktivitas fisik bisa meningkatkan kemampuan
seorang anak untuk belajar, yaitu dengan menstimulasi otak mereka. Melalui
langkah-langkah panjang ini lah peran penting pemerintah diharapkan bisa
dimanfaatkan secara maksimal.
Kemudian
kita juga jangan sampai melupakan konsep utama olahraga, yaitu untuk bermain.
Seperti kata dasar "sport" yang berasal dari "dis-ports"
dari Bahasa Perancis Kuno yang berarti "untuk menghibur diri" atau
"untuk menyenangkan diri".
Masalah
mental bangsa yang harus diubah
Selanjutnya
juga di luar jam sekolah, mereka hampir tidak memiliki waktu untuk berolahraga
kecuali melalui ekstra kurikuler atau les (misalnya ikut Sekolah Sepakbola atau
SSB), semakin tidak tersedianya lapangan dan ruang terbuka hijau untuk bermain
(bermain = bentuk paling sederhana dari olahraga) karena tergusur oleh
banyaknya pembangunan, kalaupun tersedia lapangan tapi mereka harus membayarnya
dengan harga yang tidak murah, ditambah lagi sistem transportasi yang tidak
mendukung para pengguna sepeda dan pejalan kaki (biasakan berjalan agar sehat)
yang trotoarnya semakin dijajah oleh pedagang kaki lima atau parkir kendaraan.
Itu lah kenapa mental masyarakat kita belum siap
untuk dimanjakan dengan jalur sepeda khusus danjogging track yang
terintegrasi di jalan umum. Bahkan shelter sepeda saja banyak
yang tidak berfungsi, banyak sepeda yang hilang (tidak dikembalikan), dan
kalaupun ada jalur khusus sepeda dan pejalan kaki, hampir pasti nasibnya akan
berakhir sebagai (lagi-lagi) tempat berjualan atau tempat parkir kendaraan.
Lihat
Jepang, Jerman, Amerika Serikat, dan bahkan Malaysia atau Singapura, mereka
adalah negara yang "urusan melanggar lalu lintas dan membuang sampah
sembarangan"-nya sudah terkubur jauh dan tidak dianggap sebagai masalah
lagi. Itu semua terjadi karena negara-negara tersebut sudah berhasil memiliki
masyarakat dengan mental yang baik, mental seorang juara, mental seorang yang
ingin terus sehat.
Jadi,
bagaimana seharusnya peran negara dalam mengurusi olahraga? Jawabannya bisa
kita dapatkan dari banyak contoh negara yang sudah sukses, yaitu: utamakan
partisipasi daripada prestasi, serta tanamkan budaya berolahraga sejak dini
kepada masyarakat. Ini adalah jalan yang masih sangat panjang untuk Indonesia.
Jika
masih terus berkutat di sepakbola, olahraga Indonesia tidak akan maju
Sepakbola
memang selalu menjadi buah bibir bagi masyarakat kita. Popularitas sepakbola
bisa dibilang sudah tak terdandingi.
Tapi
melihat kondisi sepakbola yang sedang tidak jelas seperti sekarang ini, ada
baiknya kita tidak terlalu berlarut-larut fokus kepada sesuatu yang sebenarnya
sangat kecil kemungkinannya (bahkan hampir mustahil) untuk menghasilkan
prestasi dan world recognition bagi Indonesia.
Kalaupun
PSSI sedang disanksi oleh FIFA, secara banal kami bisa bilang bahwa hal ini tidak memberikan dampak yang signifikan bagi status sepakbola Indonesia di mata internasional .
Untuk apa terus mengurusi sepakbola? Prestasi seperti apa yang diharapkan oleh
Indonesia ? Juara dunia? Menjadi tuan rumah Piala Dunia? Atau "hanya"
sekadar merajai Asia Tenggara ?
Bukannya
saran kami untuk benar-benar melupakan sepakbola. Tapi sebaiknya sepak bola memang terus menjadi hiburan bagi masyarakat, sebatas itu saja, jangan lebih.
Saran
kami untuk Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), khususnya pada momen
Sumpah Pemuda yang baru kita peringati akhir bulan lalu dan juga Hari Pahlawan
yang diperingati pada 10 November kemarin, ditambah lagi dengan PSSI yang sedang tidak kondusif untuk diajak kerja sama dan berunding, maka ini
adalah saat yang tepat untuk "melupakan urusan sepak bola" dan mulai fokus
kepada cabang olahraga lain yang lebih berpotensi melahirkan prestasi dan
kebanggaan negara.
Atau
jika mereka ingin lebih efektif dan efisien, Kemenpora sebaiknya mulai
bekerjasama terutama dengan Kementiran Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
untuk menciptakan budaya olahraga yang baik pada masyarakat, terutama
anak-anak, agar Indonesia bisa memiliki masyarakat dengan fisik dan mental
laiknya seorang juara.
Hal
ini perlu dilakukan agar tingkat partisipasi masyarakat terus meningkat pada
olahraga, sehingga masyarakat bisa sehat, senang (dari bermain di olahraga),
dan pada akhirnya berprestasi. Kita harus tahu, ada hubungan yang saling
menguntungkan antara kesehatan masyarakat, menciptakan atlet elit, prestasi
atlet nasional, dan prestasi negara. Dan semua hal di atas harus dimulai dari
level yang paling bawah, yaitu level partisipasi yang banyak melibatkan
masyarakat.
REFERENSI :
- Anonim. (2003). Gerakan Nasional Garuda Emas. Jakarta: KONI Pusat.
- Arifin Abdulrachman. (1973). Kerangka Pokok-Pokok Manajemen Umum. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru.
- Bambang Tri Cahyono.(1995). Pengadaan Sumberdaya Manusia. Jakarta: IWAPI.
- Beveridge D. (1989. Tantangan Berprestasi. Jakarta: Banapura Aksara.
- Dirjen Olahraga Depdiknas. (2002). Pedoman Mekanisme Koordinasi Pembinaan Olahraga, Kesegaran Jasmani dan Kelembagaan Olahraga. Jakarta:Ditjen Olahraga.
- Dornan J. dan Maxwell J.C. (1998). Strategi Menuju Sukses. Jakarta: Network Twenty One.
- Hesselbein F. Goldsmith M. dan Beckhard R. (1997). The Leader of The Future. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
- Imai M, Gamba Kaizen. (1998). Pendekatan Akal Sehat, Berbiaya Rendah pada Manajemen, Jakarta: Yayasan Toyota.
- ISORI. (2003). Menata Ulang Bangunan Sistem Keolahragaan Nasional. Jakarta: PP. ISORI.
- James A. Fitzsimmons, Mona J. Fitzsimmons. (1994). Service Management for Competitive Advantage. Singapore: Mc Graw-Hill, Inc.
- Kantor Menpora. (1997). Visi 2020 Olahraga Indonesia. Jakarta: Menpora.\
- Komaludin. (1989). Manajemen. Jakarta: Depdikbud-Dirjen Dikti.
- KONI. (1999). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Jakarta: KONI Pusat
- Kotter J.P. (1997). Leading Change. Jakarta: PT. Sun.
- Kouzes J.M., dan Posner B-2. (1997). Kredibilitas. Jakarta: Profesional Books.
- Malayu S.P. Hasibuan. (1999). Organisasi dan Motivasi. Jakarta: Bumi Aksara.
- Morrisey G.L. (2002). Pemikiran Strategis. Jakarta: Prenhallindo.
- Prajudi Atmosudirdjo. (1978). Dasar-Dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: Seri Pustaka Ilmu.
- Rusli Luthan. (2003). Olahraga, Kebijakan dan Politik, Jakarta: KONI dan Dirjen Olahraga.
- Salusu. (2000). Pengambilan Keputusan Stratejik. Jakarta: Grasindo.\
- Sondang P. Siagian. (1992). Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
- Stoner J.A. (1986). Manajemen. Jakarta: Erlangga.
- Sunarto dan Sahedhy Noor R. (2001). Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: BPFE-UST.
- Terry G.R. (1986). Principle of Management. Illinois Richard : D. Irwin, Inc. Homewood.
- The Liang Gie. (1978). Pengertian, Kedudukan, dan Perincian Ilmu Administrasi. Yogyakarta: Karya Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar