Selasa, 08 November 2016

MANAJEMEN OPERASIONAL - MANAJEME PERSEDIAAN


Manajemen Persediaan


Tujuan utama setiap perusahaan adalah untuk mengoptimalkan laba perusahaan karena akan berdampak pada kelangsungan usaha. Salah satu unsur yang paling penting dalam pencapaian laba perusahaan adalah persediaan. Apa yang dimaksud dengan persediaan dan apa saja yang termasuk persediaan? Persediaan merupakan aset perusahaan yang dapat berupa persediaan bahan baku, persediaan barang-barang dalam proses produksi, dan barang jadi yang siap dijual.

Penjualan akan menurun apabila barang/persediaan yang dibutuhkan tidak sesuai dengan spesifikasi, mutu, dan jumlah yang diminta oleh pelanggan. Begitu pula dengan pembelian, jika pembelian tidak dilakukan dengan baik akan mengakibatkan meningkatnya biaya-biaya. Karena pembelian erat kaitannya dengan persediaan. Contohnya seperti biaya pembelian, sewa gudang, biaya administrasi pergudangan, gaji petugas gudang, biaya pemeliharaan persediaan, dan biaya kerusakan/kehilangan.
Demikian pula dengan produksi harus melakukan pengendalian persediaan dengan cara merencanakan jumlah barang yang akan diproduksi sesuai dengan forecast penjualan. Jika jumlah barang yang diproduksi terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah permintaan konsumen, maka perusahaan akan kehilangan peluang dalam memenuhi omzet. Namun sebaliknya, jika jumlah permintaan dari konsumen jauh lebih kecil dari jumlah barang yang diproduksi, maka perusahaan juga mengalami kerugian karena adanya biaya tambahan dalam penyimpanan barang.

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan harus melakukan manajemen persediaan untuk mencapai keseimbangan antara investasi persediaan, produksi, dan pemenuhan kebutuhan konsumen.

Kemudian apa yang dimaksud dengan manajemen persediaan? Metode apa yang dapat dilakukan?

Manajemen persediaan adalah pengelolaan fungsi penyimpanan dan penanganan persediaan untuk mencapai tingkat pelayanan pelanggan yang lebih baik, meningkatkan turnover persediaan dan keuntungan bagi perusahaan. Metode yang dapat digunakan dalam pengelolaan manajemen persediaan adalah :

1.      Metode EOQ (Economic Order Quantity)
Economic Order Quantity atau EOQ merupakan jumlah pemesanan paling ekonomis dengan pertimbangan untuk meminimalkan biaya pemeliharaan barang dari gudang dan biaya pemesanan setiap tahun namun tetap dapat memenuhi kebutuhan penggunaan. Metode ini berlaku untuk permintaan yang dapat ditentukan secara pasti dan bersifat tetap, item barang yang dipesan independen dengan item barang yang lain, pesanan dapat diterima dengan segera dan pasti, jumlah barang keluar tidak terlalu fluktuatif, serta harga barang tersebut bersifat konstan.

2.     Metode Material Requirement Planning (MRP)
Dalam MRP mencakup kebutuhan material yaitu untuk pengendalian persediaan dan penjadwalan produksi. Tujuan MRP adalah untuk menentukan kebutuhan sekaligus mendukung jadwal produksi, mengendalikan persediaan, menjadwalkan produksi, menjaga jadwal tetap valid dan up-to date, serta secara khusus berguna dalam lingkungan manufaktur yang kompleks dan tidak pasti. Empat tahap dalam proses perencanaan kebutuhan material :
a.      Netting, merupakanproses perhitungan kebutuhan bersih yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan.
b.      Lotting, merupakanpenentuan besarnya pesanan setiap individu berdasarkan pada hasil perhitungan netting.
c.       Offsetting bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melaksanakan rencana pemesanan dalam memenuhi kebutuhan bersih yang diinginkan.
d.      Exploding merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor setiap tahapan produksi disesuaikan dengan rencana pemesanan.

3.     Metode Just in Time (JIT)
Metode ini adalah pemecahan masalah yang berkelanjutan sehingga supplier dan komponen-komponen lain ditarik melalui sistem untuk penunjang saat dibutuhkan. JIT bertolak belakang dengan pemborosan yang tidak memberi nilai tambah produk dan mampu mencapai produksi ramping dengan mengurangi persediaan. Ada beberapa pemborosan yang dapat terjadi dalam proses produksi yang terdiri dari kelebihan produksi, proses yang tidak efisien, persediaan, gerakan yang tidak perlu dan produk cacat.

4.     Metode Analisis ABC
Analisis ABC adalah metode manajemen persediaan untuk mengendalikan sejumlah kecil barang, tetapi mempunyai nilai investasi yang tinggi. Analisis ABC ini menggolongkan barang berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi hingga terendah dan kemudian dibagi menjadi kelas-kelas besar terprioritas sesuai dengan jenis dan fungsi masing-masing barang.

Dalam menunjang jalannya manajemen persediaan dengan menggunakan metode-metode diatas, perlu dilakukan pemantauan terhadap pengendalian persediaan mengingat persediaan sangat rentan terhadap kerusakan maupun tindakan penyimpangan lainnya. Pemantauan terhadap pengendalian internal dapat dilaksanakan seefektif mungkin dalam suatu perusahaan untuk mencegah dan menghindari terjadinya kesalahan, kecurangan dan penyelewengan.
Dalam skala perusahaan kecil, pengendalian persediaan dapat dilakukan oleh pimpinan perusahaan. Namun untuk skala perusahaan besar, dimana tugas-tugas per masing-masing bagian sangat kompleks menyebabkan pimpinan tidak mungkin lagi ambil bagian secara langsung dalam pemantauan ini. Oleh sebab itu, diperlukan pengawasan dari masing-masing pihak yang bertugas dan memberikan pertanggungjawabannya kepada pimpinan. Pemeriksaan pencatatan persediaan dengan perhitungan fisik harus dapat dilakukan setiap bulan. Sehingga dengan adanya pengawasan disertai dengan manajamen persediaan dapat mengontrol persediaan barang secara maksimal.

Pengertian Persediaan
Persediaan adalah bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk digunakan dalam proses produksi atau perakitan, untuk dijual kembali, atau untuk suku cadang dari peralatan atau mesin. Persediaan dapat berupa bahan mentah, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi ataupun suku cadang.

Sebagai salah satu asset penting dalam perusahaan – karena biasanya mempunyai nilai yang cukup besar serta mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya biaya operasi – perencanaan dan pengendalian persediaan merupakan salah satu kegiatan penting untuk mendapat perhatian khusus dari manajemen perusahaan.

                              I.       Jenis-jenis persediaan
Persediaan/ Inventori (Inventory) adalah persediaan atau stok berbagai item atau sumber-sumber yang digunakan dalam organisasi. Sistim Inventori adalah seperangkat kebijakan dan pengendalian yang memantau tingkat persediaan dan menentukan berapa tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan persediaan harus ditambah, dan seberapa besar pesanan harus dibuat.

Persediaan didefinisikan sebagai barang, bahan-bahan, atau asset yang dimiliki oleh perusahaan untuk digunakan di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang persediaan dapat dipandang sebagai masalah taktis (tactical problem), sehingga perencanaan kebutuhan persediaan direncanakan dalam kontek jangka waktu menengah selaras dengan keseluruhan rencana produksi, strategi pemasaran dan distribusi.

Secara  konvensional, inventori perusahaan manufaktur menunjuk pada item-item yang menjadi bagian dari produk akhir perusahaan. Persediaan dalam manufaktur diklasifikasikan menjadi persediaan bahan baku (raw materials), produk jadi (finished products), komponen (component parts), bahan penolong (supplies) dan barang dalam proses ( work in process). Pada perusahaan jasa, inventori  menunjuk pada barang-barang tangible yang dijual dan bahan penolong yang diperlukan untuk menyajikan jasa. Dalam kebanyakan text book, pembahasan inventori senantiasa difokuskan pada persediaan bahan baku di perusahaan manufaktur.

1.      Jenis Persediaan/ Inventori
Ada beberapa jenis persediaan antara lain:
1)      Persediaan bahan mentah dan bagian-bagiannya.
2)     Persediaan komponen
3)     Persediaan barang dalam proses
4)     Persediaan barang jadi
5)     Persediaan supplies

2.     Tujuan Persediaan/ Inventori
Semua perusahaan termasuk juga  yang operasinya menganut konsep JIT menjaga ketersediaan inventori dengan alasan sebagai berikut:
1)    Menjaga independensi operasi. Dengan adanya ketersediaan bahan baku pada pusat kerja memungkinkan fleksibilitas operasi dari pusat tersebut, sehingga mengurangi biaya set-up setiap dilakukan set-up produksi yang baru.
2)   Untuk menjaga variasi/fluktuasi permintaan produk. Oleh karena, dalam banyak hal, permintaan tidak dapat diperkiraan dengan sangat tepat, maka untuk dapat mengantisipasinya diperlukan adanya persediaan pengamanan (safety/buffer stock).
3)   Memungkinkan fleksibilitas dalam pembuatan skedul  produksi. Dengan adanya persediaan perusahaan dapat menentukan jadual produksi sesuai permintaan sekalipun lead time bahan lama.
4)     Memberikan kemanan terhadap variasi waktu pengantaran bahan. Waktu datangnya pesanan bisa saja tertunda yang penyebabnya banyak misalnya adanya kecelakaan, kemacetan lalu lintas, pemogokan atau bencana alam dll. Dengan adanya persediaan perusahaan dapat meminimalisasi pengaruh keterlambatan tersebut terhadap kelancaran operasi.
5)  Mendapatkan keuntungan ekonomis dari jumlah pembelian yang lebih besar. Misalnya adnya diskon/potongan harga untuk pembelian dengan jumlah besar tertentu.


3.     Alasan Perlunya Penyelenggaraan Persediaan/ Inventori
Setidaknya ada empat alasan mengapa perusahaan memerlukan persediaan, yakni:
1) Kesulitan memprediksi tingkat penjualan dan waktu produksi secara akurat (fluctuation inventory).
2) Beberapa item barang memiliki permintaan yang bersifat seasonal (anticipation inventory)
3) Mendapatkan manfaat dari economic of scale dalam produksi dan pembelian (lot size inventory).
4)  Jarak dan waktu yang diperlukan untuk pengadaan barang sehubungan dengan  proses transit dalam sistem logistik. untuk sejumlah besar persediaan (pipe-line inventory).
5) Keterlambatan kedatangan bahan baku yang dipesan dapat mengakibatkan terhentinya pelaksanaan produksi. 

Perusahaan dapat saja menyelenggarakan persediaan dalam jumlah yang besar, namun demikian persediaan yang besar tidak selalu menguntungkan perusahaan. Beberapa kerugian sehubungan dengan penyelenggaraan persediaan dalam jumlah besar antara lain:
1)      Biaya penyimpanan yang menjadi tanggungan perusahaan akan besar.
2) Perusahaan harus mempersiapkan dana yang cukup besar untuk mengadakan pembelian bahan.
3) Tingginya biaya simpan dan investasi dalam persediaan akan mengakibatkan berkurangnya dana untuk pembiayaan dan investasi di bidang lain.
4) Perusahaan menanggung kemungkinan yang cukup besar risiko kerusakan persediaan akibat perubahan kimiawi atau sebab lain.
5) Bila terjadi penurunan harga bahan baku, maka perusahaan akan menderita kerugian yang cukup besar pula. Di sisi lain, bila perusahaan menyelenggarakan persediaan dalam jumlah yang relatif terlalu kecil, maka beberapa kelemahan dari kebijakan tersebut antara lain:
6)    Adanya kemungkinan kehabisan bahan karena persediaan habis sebelum waktunya.
7) Akibat sering kehabisan bahan, maka proses produksi menjadi tidak lancar.
8) Persediaan yang terlalu kecil akan meningkatkan frekuensi pembelian, sehingga biaya pesannya pun akan meningkat selaras dengan peningkatan frekuensi pembelian.

Untuk menghindari penyelenggaraan persediaan yang terlalu besar maupun yang terlalu kecil, berikut ini beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam menyelenggarakan persediaan :
1) Berapa besarnya jumlah unit persediaan bahan yang diselenggarakan perusahaan.
2)     Kapan dan berapa jumlah unit bahan akan dibeli oleh perusahaan.
3) Kapan perusahaan yang bersangkutan akan mengadakan pembelian kembali.

4.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persediaan
Terdapat beberapa macam faktor yang mempengaruhi persediaan bahan baku. Adapun beberapa faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Perkiraan pemakaian bahan baku.
2)     Harga bahan baku
3)     Biaya persediaan
4)     Kebijakan pembelanjaan
5)     Pemakaian bahan
6)     Waktu tunggu
7)     Model pembelian bahan
8)    Persediaan pengaman
9)     Pembelian kembali

5.  Karakteristik Persediaan/ Inventori :Independent Demand dan Dependent Demand

  Dalam mengelola inventori, perlu dipahami tentang perbedaan antara permintaan independen dan dependen. Secara singkat, perbedaan antara permintaan independen dan dependen yaitu kalau permintaan independen merupakan permintaan yang hanya terkait dengan barang itu sendiri, atau suatu permintaan terhadap berbagai item barang yang tidak ada kaitannya antara satu dengan yang lain. Misalnya, suatu departemen atau divisi menghasilkan berbagai barang/komponen yang tidak saling terkait yang semata-mata untuk memenuhi permintaan eksternal. Misalnya permintaan roti, sepeda, mobil, obat-obatan. Sedangkan permintaan dependen adalah permintaan terhadap suatu barang/komponen sehubungan dengan adanya kebutuhan akan barang/komponen lain yang tersusun dari berbagai komponen. Misalnya permintaan akan ban sepeda divisi ban sepeda muncul karena adanya permintaan akan sepeda pada bagian assembling sepeda.  Permintaan ban sepeda pada divisi ban merupakan permintaan dependen dari divisi lain dalam satu organisasi.

7.     Klasifikasi Masalah Persediaan/ Inventori  

Langkah awal dalam menganalisis masalah persediaan dilakukan dengan menggambarkan karakteristik pokok dari lingkungan dan sistim persediaan  Berikut karakteristik, atribut, dan persoalan dalam persediaan :

Chataeristic
Atribute
Problems



Number od Item
One or Many
Model – model pengendalian persediaan umumnya mengasumsikan bahwa jumlah item persediaan hanya satu macam
Nature of Demand
Independent or Dependent, Deterministic or Stochastic, Static or Dinamic
Perbedaan sifat permintaan membutuhkan pelaku yang berbeda pula
Number of Time Periode in Planing Horizon
One or Many
Adanya item – item persediaan yang tidak dapat disimpan dalam waktu jangka yang lama
Lead Time
Deterministic or Stochastic
Perbedaan sifat lead time akan mempengaruhi analisis persediaan yang dilakukan
Stock Out
Back Order or Lost Order
Sejauh mana akibat yang ditimbulkan oleh kehabisan persediaan akan memutuskan kebijakan persediaan yang diambil

Penjelasan:
1)   Independent Demand adalah permintaan yang tidak dipengaruhi oleh operasi perusahaan melainkan dipengaruhi oleh pasar
2) Dependent Demand adalah permintaan yang terkait dengan permintaan item lain.
3) Deterministic Demand adalah permintaan yang relatif tidak berfluktuasi sehingga dapat diramalkan secara akurat.
4) Stochastic Demand adalah permintaan yang fluktuasi dan variabilitasnya sangat tinggi sehingga sulit diramalkan.
5)     Static demand adalah permintaan yang tidak berfluktuasi dari waktu ke waktu.
6)  Dynamic Demand adalah jumlah permintaan yang senantiasa bervariasi dari waktu ke waktu.
7)     Lead Time adalah jangka waktu antara saat pemesanan dengan saat barang datang dan diterima.
8)    Stock-out adalah kehabisan persediaan


                           II.       Fungsi-fungsi persediaan
Beberapa fungsi penting persediaan dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, yaitu :
1)    Menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman bahan baku atau barang yang dibutuhkan perusahaan.
2)   Menghilangkan resiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan.
3)  Menghilangkan resiko terhadap kenaikan harga barang secara musiman atau inflasi
4)     Untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga perusahaan tidak akan kesulitan jika bahan itu tidak tersedia di pasaran.


                       III.       Biaya persediaan
Biaya Persediaan (Inventory)
Dalam membuat keputusan terhadap besarnya inventori, beberapa item biaya berikut perlu dipertimbangkan :
1) Purchasing cost of item. merupakan biaya yang timbul dari pembelian persediaan
2)   Ordering- cost (preparation set-up cost). Biaya pesan merupakan biaya yang terjadi karena adanya kegiatan pemesanan kepada vendor hingga barang sampai di gudang atau pengorganisasian untuk memulai produksi di dalam pabrik. Biaya klerikal dan manajerial untuk menyiapkan pembelian atau pemesanan. Misalnya biaya telpon, pencatatan.
3)  Inventory-holding cost, biaya simpan mencakup semua biaya yang terjadi karena penyimpanan persediaan.. Yang termasuk golongan biaya ini misalnya biaya fasilitas penggudangan, penanganan, asuransi, kerusakan, kedaluwarsaan, depresiasi, pajak dan opportunity cost of capital.
4)   Shortage cost (good-will cost), biaya yang timbul karena adanya permintaan yang tak terlayani sehubungan dengan kehabisan persediaan atau biaya yang timbul akibat kehabisan bahan dan pemesanan masih menunggu waktu.
5) Setup (production change) cost. Biaya yang timbul sehubungan dengan pembuatan produk yang berbeda yang memerlukan perubahan bahan, penyusunan spesifikasi mesin, dll.

Dari keempat jenis biaya persediaan tersebut di atas, yang digunakan dalam perhitungan biaya persediaan (Total Inventory Cost disingkat TIC) adalah Ordering Cost (Co) dan Holding Cost (Ch). Selanjutnya TIC secara matematis dinyatakan sebagai berikut :

Dimana :
TIC               : Total Inventory Cost
Q/2
              : Persediaan rata-rata
R/Q
              : Frekuensi pemesanan
Ch = H   
     : Biaya penyimpanan per unit barang per satu satuan waktu
Co = Cs = S 
           : Biaya pemesanan setiap kali pesan

Biaya simpan per unit barang per satu satuan waktu memiliki hubungan yang positif terhadap jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam setiap kali pesan, semakin banyak barang yang disimpan, semakin besar pula biaya simpan yang ditanggung. Sebaliknya biaya pemesanan setiap kali pesan memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam setiap kali pesan, semakin kecil frekuensi pembelian, semakin rendah pula biaya pemesanan yang harus ditanggung perusahaan. Dengan kata lain bahwa biaya pesan memiliki hubungan yang positif terhadap frekuensi pemesanan. Berikut ini gambaran secara grafis yang menunjukkan hubungan antara biaya simpan, biaya pesan dan jumlah barang yang dipesan dalam setiap kali pesan.
      
TIC minimum akan terjadi pada tingkat jumlah pembelian yang paling ekonomis atau disebut Economic Order Quantity.

Sedang untuk menghitung Total Biaya Anual (TAC( sering juga disingkat TC adalah sebagai berikut:

Dimana :
D = R = Kebutuhan satu tahun
C = P
  = Harga perolehan barang
S= Cs = Co = Biaya Pesan per pesanan
H = Ch
          = Biaya Simpan per unit


                        IV.    Model Economic Order Quantity
Economic Order Quantity (EOQ)
Bahan mentah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh karena itu, penyediaan bahan mentah yang tepat, baik dalam arti jumlah maupun waktu, akan sangat mendukung kelancaran proses produksi. Persediaan bahan yang minim memungkinkan terjadinya kekurangan bahan. Kekurangan bahan mentah yang tersedia (stock-out) dapat berakibat terhentinya proses produksi karena kehabisan bahan untuk diproses. Namun, dilihat dari sisi positif, jumlah persediaan bahan yang rendah dapat menghemat biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan adanya persediaan dan dapat mengurangi risiko kerusakan bahan akibat terlalu lama disimpan. Di sisi lain, persediaan bahan mentah yang terlalu besar jumlahnya (over-stock) memang dapat menjamin kelancaran proses produksi karena bahan senantiasa tersedia dalam jumlah yang cukup, namun bila dilihat dari segi finansial, persediaan bahan yang terlalu besar akan meningkatkan biaya persediaan dan risiko kerusakan.

Persoalan dalam pengaturan persediaan bahan mentah adalah bagaimana berusaha menyediakan bahan mentah yang diperlukan untuk proses produksi sehingga proses produksi dapat berjalan lancar dengan biaya persediaan yang minimal. Tujuan pengawasan persediaan bahan mentah adalah untuk menjawab persoalan tersebut baik dalam artian jumlah, kualitas maupun waktu.

Jumlah bahan mentah yang dibutuhkan di dalam berproduksi selama satu tahun dapat diperhitungkan dari rencana hasil produksi yang akan dihasilkan dengan kebutuhan bahan mentah untuk satu satuan barang jadi. Setelah diketahui jumlah kebutuhan bahan mentah, maka perlu direncanakan juga mengenai cara pembeliannya atau cara penyediaannya. Dalam hal cara penyediaan/pembelian pada garis besarnya terdapat dua alternatif yaitu :
1)  Dibeli  sekaligus jumlah seluruh kebutuhan, dan kemudian disimpan di gudang, sehingga setiap kali ada kebutuhan tinggal mengambil di gudang. Cara ini lebih menjamin kelancaran proses produksi, dalam artian bahwa bahan mentah untuk keperluan proses produksi telah tersedia dalam jumlah besar. Namun demikian, di sisi lain, cara ini membawa konsekuensi  bahwa perusahaan harus menanggung biaya persediaan atau paling tidak biaya penyimpanan yang tinggi.
2)  Alternatif yang kedua ialah berusaha memenuhi kebutuhan bahan mentah untuk keperluan proses produksi dengan membeli dalam jumlah yang relatif kecil dalam setiap kali pembelian dengan frekuensi pembelian yang lebih sering. Cara ini akan membawa kemungkinan terlambatnya bahan mentah. Apabila keterlambatan penyediaan bahan mentah terjadi, maka proses produksi dapat terganggu. Sedangkan keuntungan dari cara kedua ini ialah bahwa perusahaan tidak perlu menanggung biaya penyimpanan bahan mentah yang terlalu besar. Dalam hal ini biaya penyimpanan dibebankan pada leveransir bahan mentah.

Dari dua cara ekstrim tersebut, manajemen berusaha untuk menentukan kebijaksanaan penyediaan bahan baku yang optimal dalam arti dapat menjamin kelancaran proses produksi dan biaya yang ditanggung ada pada tingkat minimal. Untuk keperluan tersebut biasanya digunakan metode yang disebut metode Economic Order Quantity (EOQ).

Pengertian EOQ adalah volume pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada setiap kali pembelian. Secara matemastis dinyatakan sebagai berikut:

Dimana :

R                          : Kebutuhan bahan mentah satu tahun
Co = Cs = S      : Ordering Cost setiap kali pesan
Ch = H               : Holding Cost per unit per satu satuan waktu

Model EOQ di atas dikembangkan dengan asumsi :
§  Hanya ada satu jenis/item persediaan yang hendak direview.
§  Seluruh jumlah bahan mentah yang dipesan datang pada satu titik waktu tertentu.
§  Permintaan akan bahan bersifat konstan atau mendekati tingkat konstan.
§  Lead time konstan.
§  Holding cost didasarkan pada rata-rata persediaan
§  Ordering atau setup cost konstan
§  Tidak terjadi kehabisan bahan.
§  Tidak ada pengembalian barang yang sudah dipesan


                            V.   Model persediaan stokastik
Menentukan Tingkat Safety Stock
Dengan ditemukannya EOQ, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk terjadi kekurangan persediaan (stock-out) di dalam proses produksi. Pada kondisi permintaan stochastic, sangat tidak realistis bila seorang manajer mengatakan bahwa ia tidak akan mentolerir terjadinya kekurangan persediaan. Kemungkinan kekurangan persediaan tetap ada dan timbul karena :
1) Penggunaan bahan dalam proses produksi lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya sehubungan dengan sifat permintaan yang stochastic, sehingga persediaan telah habis sebelum pembelian atau pesanan yang berikutnya datang.
2)  Pesanan/pembelian bahan tidak datang tepat pada waktunya atau lead time ternyata tidak tetap.

Untuk mengatisipasi dua keadaan di atas sehingga terhindar dari stock-out, perusahaan perlu mengadakan persediaan besi (safety stock), yang akan dekat kaitannya dengan Re-Order Point. Menentukan Re-order Point yang telah mempertimbangkan safety stock memerlukan data distribusi probabilitas dari lead time  yang diperoleh dari hasil analisis data historis. Dari probabilitas lead time itu pula dapat diketahui mengenai probabilitas terjadinya stock out. Asumsinya adalah bahwa distribusi probabilitas dari lead time merupakan disribusi normal.

Kemudian, ditentukan Service Level, yang menunjukkan probabilitas yang diharap bahwa perusahaan tidak akan mengalami stock-out selama lead time. Sebagai contoh, service level 95% artinya bahwa probabilitas tidak terjadi kekurangan persediaan sampai datangnya pesanan sebesar 95%. Dengan kata lain, bahwa kemungkinan terjadinya stockout atau stockout yang ditolerir adalah sebesar 5%. Selanjutnya dengan menggunakan data-data statistik ditentukan Re-Order Point sebagai berikut :


Keterangan :
ROP                  : Reorder Point
u (Miu)*           : Kebutuhan bahan yang diharap selama lead time
z.*                       : Kafety stock
Rho                   : Angka standar deviasi dimana probabilitas stock out dapat                                                 diterima

Dengan adanya safety stock sebesar z.*, besarnya TIC menjadi :
Total Biaya pesan + Total Biaya simpan persediaan normal + Total biaya simpan safety stock

Contoh:
Manajemen sebuah perusahaan menginginkan service level 95%, atau probabilitas 5% untuk terjadinya stockout selama lead time. Dari tabel Z diperoleh angka 1,645 standar deviasi di atas rata-rata. Dengan asumsi distibusi normal, kebutuhan bahan selama lead time, rata-rata 577 unit dan standard deviasi 100 unit, dapatlah ditentukan Re-Order Point :

        ROP = 577 + 1,645(100) = 742 unit

Pemesanan kembali dilakukan bila persediaan di gudang tersisa 742 unit.

Model Persediaan Dengan Shortage/ Stockout (Kehabisan Bahan)
Pada beberapa situasi tertentu, bukan tidak mungkin terjadi kehabisan persediaan (shortages/ stockout), artinya kemungkinan terjadinya bahwa permintaan tidak dapat dipenuhi dengan persediaan atau produksi yang ada. Hal demikian sering merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki sehingga harus diantisipasi dan sejauh mungkin dihindari. Namun demikian, tidak semua kasus kehabisan persediaan merupakan sesuatu yang tidak diinginkan, ada kalanya situasi tersebut memang dikehendaki dilihat dari sudut ekonomi.

Dalam praktek sehari-hari, situasi kehabisan persediaan sering ditemukan mana kala nilai per unit persediaan sangat tinggi, dan karenanya biaya simpan juga tinggi, misalnya persediaan  dealer  mobil-mobil baru. Bukan hal yang mengherankan bila sebuah dealer ternyata tidak memiliki persediaan mobil tertentu yang diinginkan oleh seorang pembeli.

Berkaitan dengan situasi kehabisan bahan, ada suatu model yang dikembangkan untuk menganalisis situasi tersebut, yang dikenal dengan nama Back-Order. Model Backorder ini dikembangkan dengan asumsi :
1)  Ketika pelanggan memesan barang, perusahaan tidak dapat memenuhi karena kehabisan persediaan.
2) Pelanggan  tidak membatalkan pesanannya dan bersedia menunggu barang datang.
3)     Waktu tunggu backorder relatif pendek.
4)     Perusahaan memberikan jaminan bahwa pelanggan yang telah menunggu menjadi prioritas utama.

Pada model persediaan untuk situasi stockout, biaya yang dipertimbangkan tidak hanya biaya pesan dan biaya simpan saja. Namun masih ditambah biaya yang disebut Backorder Cost atau Stockout Cost. Biaya yang termasuk kategori Backorder cost atau stockout Cost antar lain biaya tenaga kerja dan pengantaran khusus yang terkait secara langsung dengan penanganan backorder, a loss of goodwill dalam bentuk waktu pelanggan menunggu. berikut ini total biaya persediaan annual sehubungan dengan adanya kehabisan bahan:
Total Annual Inventory Holding Cost  (H)   = 
  
Total Annual Ordering Cost( S)  =  
Total Annual Backorder/Stockout Cost =  

Dengan demikian Total Biaya Persediaan (TIC) sebesar,

Apabila biaya Holding cost, Ordering cost, dan Backorder cost dapat diestimasi, maka dapat ditentukan besarnya jumlah pemesanan yang optimal (Q* ) dan jumlah backorder yang optimal (S*) atau Q dan S yang meminimumkan biaya, dengan formula sebagai berikut:

Keterangan :
Ch       : Biaya simpan per unit per waktu
Co       : Biaya pesan setiap kali pemesanan
Cb       : Biaya   backorder atau biaya  kehabisan persediaan per unit per satu           satuan waktu
R         : Kebutuhan/permintaan selama satu waktu
Q         : Jumlah pembelian/pesanan setiap kali melakukan pemesanan
S          : Jumlah kekurangan persediaan untuk satu satuan waktu
Q*       : Jumlah pembelian/pemesanan optimal dengan mempertimbangkan
                backorder untuk setiap kali pemesanan
S*        : Jumlah backorder atau kekurangan persediaan yang optimal per satu
  satuan waktu

                        VI.    Analisis persediaan ABC
Analisis Persediaan Metode ABC
Konsep ABC Inventory Analysis pertama kali dikenalkan oleh H.F. Dickie di General Electric pada awal tahun 1950-an. Teknik ABC ini merupakan salah satu alat manajemen yang sangat berharga untuk mengidentifikasi dan mengendalikan item-item persediaan yang penting. Konsep ABC membagi atau mengelompokkan item-item persediaan menjadi tiga kelompok :

1)    Kelompok A
Item-item persediaan yang dikelompokkan ke dalam kelompok A ini adalah item-item persediaan yang bernilai besar namun merupakan bagian kecil dari keseluruhan item persediaan yang ada. Ciri khusus dari kelompok ini antara lain memiliki nilai berkisar antara 70% - 80% dari seluruh nilai persediaan yang ada, dan kuantitasnya berkisar antara 15% - 30% dari seluruh jumlah persediaan.

2)  Kelompok C
Item-item persediaan yang masuk kategori C adalah item-item persediaan yang memiliki nilai rendah, namun merupakan bagian terbesar dari seluruh persediaan. Nilai persediaan kelompok ini berkisar antara 5% - 15% dari seluruh nilai persediaan, dan jumlahnya berkisar 50% dari seluruh jumlah persediaan.

3)  Kelompok B
suatu item persediaan akan dikategorikan dalam kelompok B bila memiliki karakteristik antara A dan C.

Perlu diketahui bahwa angka-angka prosentase yang diberikan dalam penjelasan bukanlah harga mati, angka-angka tersebut hanyalah guidelines saja. Sebenarnya, tidak ada aturan yang spesifik berkaitan dengan batasan antara kelompok A, kelompok B, dan kelompok C.

Jika pengelompokkan persediaan tersebut digambarkan secara grafis dimana sumbu vertikal menunjukkan prosentase nilai persediaan dan sumbu horisontal menunjukkan prosentase jumlah persediaan, maka akan terlihat seperti kurva dan disebut kurva ABC.

Dari analisis persediaan ABC, manajemen memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk mengendalikan persediaan. Misalnya, persediaan yang masuk kelompok A menggambarkan investasi persediaan yang bersifat substansial sehingga persediaan tersebut memerlukan pengawasan dan pengendalian yang ketat yang meliputi pencatatan yang lebih akurat dan komplit, pengawasan dan inspeksi tingkat persediaan yang terus menerus, perhitungan yang tepat, menempati posisi prioritas utama dan diberi perhatian yang maksimum berkaitan dengan jumlah dan frekuensi pemesanan.

Sebaliknya, untuk persediaan yang masuk kategori C, relatif kurang membutuhkan perhatian atau pengendalian yang seketat kelompok A maupun B. Jumlah yang besar sering memberikan keuntungan dalam hal pengurangan biaya pengangkutan, dan tingkat prsediaan dapat diawasi secara periodik tanpa membutuhkan catatan-catatan formal. Sementara, persediaan kategori B yang merupakan persediaan dengan nilai dan jumlah yang berada di tengah-tengah antara A dan C, memerlukan pengendalian dan pengawasan yang lebih dari C, namun tidak seketat pengendalian dan pengawasan untuk persediaan kategori A.

Kurva ABC Inventory Analysis


                     VII.   Metode Penentuan nilai persediaan (LIFO, FIFO, Average)
Dalam pencatatan sistem fisik, nilai persediaan barang akhir periode diketahui setelah kuantitas barang yang tersedia dihitung secara fisik kemudian dikalikan dengan harga satuan. Harga satuan barang yang digunakan sebagai dasar penilaian persediaan bergantung kepada metode penilaian yang digunakan.

Dalam penentuan nilai persediaan dapat digunakan beberapa metode, yaitu :

1.    Metode Harga Pokok Spesifik
Metode ini digunakan untuk persediaan yang dapat diidentifikasikan secara individu dan dapat ditentukan asal pembeliannya serta harga pokoknya sesuai dengan harga beli yang sesungguhnya. Metode ini seringkali digunakan oleh perusahaan yang menjual barang dengan harga mahal dan setiap barang memiliki identitas, seperti mobil.

Ilustrasi 1 :  Menentukan nilai persediaan dengan metode harga pokok spesifik.

Mobil A
Mobil B
Mobil C
Pembelian
Rp 40.000
Rp 50.000
Rp 180.000
Penjualan
Rp 45.000
-
-

1) Jurnal untuk mencatat pembelian:
Pembelian (Mobil A) Rp 40.000,00
Pembelian (Mobil B) Rp 50.000,00
Pembelian (Mobil C) Rp 180.000,00
Kas ( Hutang)              Rp 270.000,00

2) Jurnal untuk mencatat penjualan:
Kas ( Piutang ) Rp 45.000,00
Penjualan         Rp 45.000,00

3) Menentukan persediaan akhir:
Mobil yang belum terjual adalah mobil B dan Mobil C yang nilai belinya
Adalah :
Rp. 50.000,00 + Rp. 180.000,00 = Rp. 230.000,00

4) Melaporan Persediaan dalam neraca akhir:

Neraca akhir periode :
Persediaan (D)                                              Rp. 230.000,00


2.    Metode First In First Out (FIFO)/Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP)
Menurut metode FIFO (First In Frist Out) atau MPKP (Masuk Pertama Keluar Pertama), barang yang lebih dulu masuk dianggap barang yang lebih dulu keluar. Tetapi hal ini tidak pada keadaan sebenarnya, anggapan tersebut hanya digunakan untuk perhitungan (penggunaan bukti transaksi). Ketika masuk pertama keluar pertama, berati dapat disimpulkan bahwa persediaan akhir terdiri dari pembelian pada saat-saat terakhir.

Di dalam metode ini biaya persediaan yang paling awal yang ada terlebih dahulu dibebankan sebagai harga pokok penjualan. Dengan demikian barang yang ada dalam persediaan dianggap berasal dari pembelian - pembelian sebelumnya dianggap telah dijual atau dikeluarkan.

Ilustrasi 2 : Menentukan nilai persediaan dengan metode FIFO/MPKP.

Transaksi perdagangan PT. TATA, Jakarta dalam bulan Januari 2002:
01/1 Saldo                   10 unit   @ Rp 10.000,00
10/1 Pembelian            25 unit  @ Rp 20.000,00
20/1 Pembelian              5 unit  @ Rp 30.000,00
   Total                     40 unit
25/1 Penjualan             30 unit
31/1 Sisa di gudang    10 unit (dihitung secara fisik di gudang).

Harga Pokok Penjualan untuk 30 unit yang terjual adalah :
10 unit @ Rp. 10.000,00 + 20 unit @ Rp. 20.000,00

Maka nilai persediaan atas dasar metode FIFO adalah:
5 unit @ Rp. 20.000,00 = Rp. 100.000,00
5 unit @ Rp. 30.000,00 = Rp. 150.000,00
        Rp. 250.000,00


3.    Metode Last In First Out (LIFO)/Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP)
Menurut metode LIFO (Last In First Out) atau MTKP (Masuk Terakhir Keluar Pertama), barang yang terakhir masuk dianggap barang yang lebih dulu keluar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai persediaan akhir merupakan nilai pada pembelian awal.

Metode yang didasarkan pada anggapan bahwa biaya persediaan yang paling akhir yang akan terlebih dahulu dibebankan sebagai harga pokok penjualan. Jadi metode LIFO adalah kebalikan dari metode FIFO.

Ilustrasi 3: Menentukan nilai persediaan dengan metode LIFO/MTKP.

Transaksi perdagangan PT. TATA, Jakarta dalam bulan Januari 2002:
01/1 Saldo                       10 unit @ Rp 10.000,00
10/1 Pembelian            25 unit @ Rp 20.000,00
20/1 Pembelian              5 unit @ Rp 30.000,00
          Total                       40 unit

25/1 Penjualan             30 unit
31/1 Sisa di gudang    10 unit (dihitung secara fisik di gudang)

Harga Pokok Penjualan untuk 30 unit yang terjual adalah :
5 unit @ Rp. 30.000,00 + 25 unit @ Rp. 20.000,00

Maka nilai persediaan atas dasar metode LIFO adalah:
      10    unit @ Rp. 10.000,00 =               Rp. 100.000,00


4.   Metode Rata-rata atau Rata-rata Tertimbang
Penerapan metode rata-rata dalam sistem pencatatan perpetual, disebut metode rata-rata bergerak (Moving Average Method). Disebut demikian, karena tiap terjadi transaksi pembelian, harga rata-rata per satuan barang harus dihitung, sehingga rata-rata per satuan akan berubah-ubah. Harga pokok satuan barang yang dijual adalah harga pokok rata-rata yang berlaku pada saat terjadi transaksi penjualan.

Dalam metode rata-rata tertimbang, biaya rata-rata barang ditentukan dengan cara membagi jumlah harga barang yang tersedia untuk dijual total kuantitasnya, atau dengan rumus :


Ilustrasi 4: Menentukan nilai persediaan dengan metode Rata-rata Tertimbang.

Transaksi perdagangan PT. TATA, Jakarta bulan Januari 2000:
01/1 Saldo                   10 unit @ Rp 10.000,00         = Rp. 100.000,00
10/1 Pembelian       25 unit @ Rp 20.000,00         = Rp. 500.000,00
20/1 Pembelian         5 unit  @ Rp 30.000,00         = Rp. 150.000,00
   Total                 40 unit                                              = Rp. 750.000,00

Harga Rata-rata Tertimbang = Rp. 750.000,00  = Rp. 18.750,00
                                                                                40

25/1 Penjualan 30 unit @ Rp. 18.750,00
31/1 Sisa di gudang 10 unit (dihitung secara phisik di gudang)

Maka nilai persediaan atas dasar metode Rata-rata Tertimbang adalah :
10 unit @ Rp. 18.750,00 = Rp. 187.500,00

Pengaruh metode FIFO, LIFO, Rata-rata Tertimbang terhadap laba.

Misalnya, penjualan 30 unit @ Rp. 40.000,- maka dapat dibuat perbandingan berikut di bawah :

Keterangan
FIFO
LIFO
Rerata
Tertimbang
Penjualan 30 unit @ Rp 40.000 per Unit
Rp 1.200.000,00
Rp 1.200.000,00
Rp 1.200.000,00
HP barang yang dapat dijual
(Persd.Awal + Pembelian)
Rp 750.000,00
Rp 750.000,00
Rp 750.000,00
Persediaan akhir 10 unit
(rumus dari metode masing-masing)
Rp 250.000,00
Rp 100.000,00
Rp 187.500,00
Harga Pokok Penjualan/ HPP
(HP barang yang dapat dijual- Persd. Akhir)
Rp 500.000,00
Rp 650.000,00
Rp 562.500,00
Laba kotor
(Penjualan-HPP)
Rp 700.000,00
Rp 550.000,00
Rp 637.500,00
Ringkasan pengaruh
ketiga metode
Perpersediaan
akhir tertinggi
HPP terendah
Laba Kotor
- Persediaan akhir terendah
- HPP tertinggi
- Laba Kotor
   terendah
Hasil berada
diantara hasil
FIFO dan LIFO

Untuk keperluan pembukuan perusahaan, pemilihan antara metode FIFO, LIFO dan Rata-rata tertimbang tergantung pada kebijakan manajemen. Peraturan perpajakan di Indonesia hanya membolehkan metode FIFO atau rata-rata tertimbang.

REFERENSI :
1.       Bunawan, Pengantar Manajemen Operasi : Seri Diktat Kuliah, Gunadarma, Jakarta, Edisi Terbaru
2.      Eddy Herjanto, Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi Kedua, Grasindo, Jakarta, atau Edisi terbaru
3.      T. Hani Handoko, Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi, BPFE, Yogyakarta, Edisi terbaru
4.      Sofyan Assauri, Manajemen Produksi dan Operasi, LP FEUI, Jakarta, Edisi terbaru
5.      Pangestu Subagyo, Manajemen Operasi, BPFE, Yogyakarta, Edisi Terbaru
6.      Buku-buku Manajemen Opersional lain yang berkaitan ( Diusahakan terbitan terbaru )

Sumber Lain :
http://kuliah-manajemen.blogspot.co.id/2009/12/manajemen-persediaan.html
https://sites.google.com/site/operasiproduksi/persediaan-inventori


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MANAJEMEN JASA - KUALITAS LAYANAN

  KUALITAS LAYANAN Persaingan di dunia bisnis semakin ketat, mengharuskan perusahaan untuk menyadari bahwa kepuasan pelanggan bukan sekadar ...