Selasa, 03 Januari 2017

GLOBUCKSISASI DAN DIPLOMASI KEBUDAYAAN


Globucksisasi dan Diplomasi Kebudayaan 

Dengan mendirikan miniature Amerika di cabang-cabangnya, Starbucks memungkinkan terjadinya proses-proses globalisasi di ranah lokal berbagai penjuru dunia. Starbucks mempertemukan orang-orang lokal dengan sebuah pengalaman asing (Globucksisasi: 40)

Saya lupa kapan pertama kali makan ayam goreng di Kentucky Fried Chicken. Yang saya ingat, bahkan hingga kini, saya selalu merasa minder,cemas,gugup, lagi kikuk ketika ikut antri lalu makan disitu. Sama halnya ketika menghampiri gerai Mcdonald di Pusat Grosir Cililitan (PGC) di sekitar tahun 2010 mungkin.

Oleh permintaan seorang teman, saya hendak membeli burger untuk disantap di rumah. Bahkan hingga kini selalu saja terselip rasa minder, cemas, gugup, dan kikuk ketika diajak ke KFC, McDonald, dan Pizza Hut. Saya sepertinya mengidap sejenis inferior complex dalam istilah psikologi. Perasaan seperti ini juga dialami oleh Rahayu Kusasi, sarjana antropologi Universitas Indonesia yang menulis buku Globucksisasi : Meracik Globalisasi Melalui Secangkir Kopi (Kepik Ungu, 2010).
Globucksisasi adalah buku kecil yang menggunakan pendekatan otoetnografi (autho-etnography) dalam memahami globalisasi kedai kopi starbucks. Sederhananya yang dimaksud otoetnografi adalah satu pendekatan penelitian yang menjadikan pengalaman subyektif-kultural peneliti sebagai bahan baku utama seturut tema/focus penelitian yang dipilih. Peneliti adalah instrument kunci dan pengalamannya yang menghubungkan dirinya ke dalam sistem-sistem besar seperti globalisasi sebagai lingkup datanya. Rahayu menggunakan metode ini untuk masuk ke dalam perjumpaangan sehari-harinya dengan kedai kopi Starbucks.

Metode ini menuntun Rahayu untuk masuk ke dalam dunia Starbuck, menjadi unit yang bekerja di dalamnya. Ia melamar dan bekerja sebagai barista (penyaji kopi yang dilatih secara professional). Jadi Rahayu tidak menjumpai dunia starbucks sebagai pelanggan yang sesekali mampir. Ia hadir di dalamnya sebagai pekerja harian. Oleh karena itu ia memahami Starbucks sebagai pengalaman sehari-hari.

Dalam buku itu, Rahayu menggambarkan salah satu ciri pokok Starbucks adalah sikap kukuhnya untuk menjaga kemurnian dirinya. Mulai dari cita rasa, penyajian, system self-service, hingga ‘tata bahasa’ dan setting ruangan. Ia menjaga standar yang tunggal. Kemurnian itu bahkan dijaga hingga ke alat dan bahan baku penunjang pekerjaan. Misalnya untuk sabun pel dan spidol saja harus diimpor.
Selain itu, sepertinya Starbucks memang hadir untuk merawat jarak kelas (ekonomi) di masyarakat konsumennya. Sebagaimana dikatakan Kusasi (hal 125) : Promosi Starbucks sangatlah ekslusif sehingga orang yang mengenal Starbucks hanyalah orang yang cukup ‘global’ saja. Bagi orang yang mengenal Starbucks dari kilasan-kilasan media saja belum tentu berani untuk memasuki toko Starbucks dengan percaya diri. Suasana toko bisa dibilang cukup mengintimidasi, sebab Starbucks memiliki system penjualan yang berbeda dan menu yang sulit. Banner-banner promosi yang ada di toko terasa sekali segmennya untuk orang-orang yang sangat berkelas tinggi dan juga ‘sangat Amerika’. Penggunaan kata-kata bahasa Inggris dalam iklan, pamflet, dan banner Starbukcs, bukanlah bahasa Inggris yang sederhana, bahkan terkadang sifatnya ‘slang’ yang sangat Amerika. Tak heran, katanya, jika kita ngopi di Starbuck Jakarta akan sama terasa seperti sedang ngopi di Starbucks Seattle, Amerika Serikat, tanah lahirnya. Dengan kata lain, Starbucks datang menawarkan pengalaman ngopi Amerika ‘yang asli’. Pengalaman ngopi yang tidak menyerap unsur-unsur budaya lokal (kecuali tenaga kerja).

Selain itu, Starbucks juga mengumpulkan kopi-kopi terbaik di dunia. Ada kopi yang berasal Amerika Latin, dari jenis Afrika dan juga dari jenis Asia-Pasifik. Kopi-kopi ini menjadi bahan dari kopi yang akan disajikan di gerai Starbucks di seluruh dunia. Dengan kata lain, Starbucks telah menjadi agen pengangkut yang menyebarkan kopi-kopi terbaik (dalam versi mereka tentunya) ke seluruh dunia sekaligus mengorganisir cita rasa manusia. Salah satu pembahasan yang kiranya penting, paling kurang menurut saya, adalah pada bagian yang diberi judul ‘Menjadi Turis di Starbucks nan Eksotis’ (halaman 127).

Di tema ini, Rahayu Kusasi menunjukan ada proses yang berjalan terbalik dalam urusan konsumsi ruang eksotis. Jika zaman dulu konsumsi ruang eksotis ini terjadi dari Barat ke Timur sebagaimana terlihat dari kisah-kisah perjalanan juga dan kolonialisme dimana Timur difahami sebagai rumah bagi rupa-rupa eksotisme, kini, para subject Orient (manusia dari Timur) yang berbalik untuk melakukan hal sejenis. Tentu konsumsi ruang eksotis itu berlangsung tanpa upaya-upaya ‘kolonisasi dengan bendera dan meriam’. Proses seperti ini, yang secara mencolok bisa dilihat dari perkembangan industry turisme, juga bisa dinilai sebagai proses ‘orientalisme terbalik’.

Secara sederhana kita bisa maknai Orientalisme Terbalik atau bisa kita bilang Orientalisme Tahap Dua itu adalah proses dimana subject Orient menjalani pengalamannya berjumpa Barat yang dahulu menjumpainya. Bedanya, jika Orientalisme Tahap Pertama dilahirkan dari kolaborasi banyak unsure seperti system pengetahuan, militer, penjajahan, kekerasan, dan pembantaian, Orientalisme Tahap Dua atau yang terbalik ini lebih dominan terjadi karena pemuasan hasrat konsumsi yang eksotis semata. Belajar Pada Starbucks: Kuliner dan Diplomasi Kebudayaan Sisi lain yang bisa kita gali dari buku kecil nan menarik itu adalah hubungan antara Identitas dan karya Kuliner serta teknik penyajian yang membuatnya terglobalisasi.

Starbucks, termasuk juga McDonald dan Pizza Hut, telah menunjukan bagaimana pengalaman mencecap kuliner tidak semata-mata soal rasa yang terkandung dalam masakan atau bagaimana ia disajikan di meja makan. Tetapi juga bagaimana kuliner menjadi sarana pengangkut nilai-nilai dari satu kebudayaan dimana kuliner itu ditemukan dan dikembangkan terus menerus. Dengan keberhasilan menghadirkan kebudayaan masyarakat melalui sajian kuliner, sebuah bangsa sejatinya sedang melakukan ‘diplomasi kultural’ terhadap dunia. Diplomasi kultural yang bukan saja menyampaikan pada dunia bahwa ada kuliner-kuliner hebat di dunia non Barat (Negara Maju), namun juga menggambarkan pencapaian karya kebudayaan yang hebat dari konteks hidup yang begitu majemuk.
Dengan diplomasi kultural melalui kuliner Nusantara misalnya, Indonesia bisa memainkan peran sebagai bangsa yang juga mendorong satu tata kelola dunia yang tidak boleh dimonopoli oleh satu atau beberapa Negara demi pemuasan syahwat ekonomi misalnya. Termasuk juga diplomasi kebudayaan melalui kuliner dapat memainkan fungsi sebagai ‘perlawanan cita rasa’ terhadap system dunia yang hendak merawat kemenangan selera dan gaya hidup produk Global Monoculture nan Amerika. Hari ini masyarakat dunia sudah tahu jika kebudayaan Indonesia telah melahirkan beberapa kuliner yang sangat Timur seperti sate, nasi goreng atau rendang. Akan tetapi sudahkah sate, nasi goreng dan rendang itu juga menawarkan pengalaman yang lebih kaya tentang ‘berjumpa Indonesia’ dan tidak sekedar rasa Indonesia saja ?. Tantangan inilah yang barangkali menjadi pekerjaan berat para penggiat industri kuliner Indonesia.



MANAJEMEN JASA - KUALITAS LAYANAN

  KUALITAS LAYANAN Persaingan di dunia bisnis semakin ketat, mengharuskan perusahaan untuk menyadari bahwa kepuasan pelanggan bukan sekadar ...