Jumat, 18 Juni 2021

MANAJEMEN SEKOLAH - KULTUR SEKOLAH

Kultur  Sekolah




Kultur sekolah yang baik diharapkan akan berhasil meningkatkan mutu pendidikan yang tidak hanya memiliki nilai akademik namun sekaligus bernilai afektif. Anwar Hasnun (2010) mengemukakan bahwa kegagalan kepala sekolah dalam mengelola sekolah dikarenakan kegagalan memanej kultur sekolah dengan baik.

 

Ketika seseorang menyebut nama sebuah sekolah, kesan pertama apa yang akan muncul dalam pikirannya ? Kesan ceria, kreatif, disiplin, bersih, bersemangat, dan penuh prestasi membanggakan atau kesan kusam, semrawut, kotor, jorok, loyo dan karenanya tidak ada satupun prestasi yang dibanggakan ? Kesan itulah yang terbangun dari proses pembentukan kultur sekolah.

 

Kultur sekolah menjadi salah satu daya tarik konsumen untuk menggunakan jasa pendidikan yang ditawarkan sekolah. Semakin positif kultur sebuah sebuah, maka konsumen pendidikan akan semakin tertarik kepada sekolah tersebut. Dan yang terpenting, kultur sekolah merupakan landasan dari tercapainya semua bentuk prestasi warga sekolah.

 

Kultur sekolah adalah serangkaian keyakinan, harapan, nilai-nilai, norma, tata aturan, dan rutinitas kerja yang diinternalisasi warga sekolah sehingga mempengaruhi hubungan sejawat dan kinerja warga sekolah dalam upaya mencapai tujuan sekolah. Kultur inilah yang menjadi pembeda antara sekolah satu dengan lainnya.

 

Menurut gareth R. Jones dan Jennifer M. George (2009), sebagai sebuah organisasi, sekolah ada yang memiliki kultur kuat (strong) dan ada pula yang lemah (weak). Ketika warga sekolah, dari kepala sekolah hingga bagian kebersihan, memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai yang disepakati bersama maka sekolah tersebut memiliki kultur yang kuat (strong). Nilai kedisiplinan, misalnya, yang disepakati dan diterapkan bersama secara bertanggung jawab dan penuh komitmen maka sekolah tersebut memiliki kultur yang kuat.

 

Sebaliknya, jika seluruh warga sekolah atau sebagian warga sekolah tidak memiliki komitmen terhadap implementasi nilai-nilai yang disepakati maka sekolah tersebut memiliki kultur organisasi yang lemah. Sekolah tampak sewrawut karena warganya kurang disiplin atau "sak geleme udele dewe" (bahasa Jawa). Dan prestasi apapun akan sulit tumbuh di lingkungan sekolah yang tidak memiliki kemapanan kultur positif.

 

Siapa yang bertangggungjawab membangun kultur sekolah? Semua warga sekolah memiliki kontribusi dalam mambangun dan "nguri-uri" kultur sekolah, namun kepala sekolah sebagai manager puncak , dengan kewenangan dan kekuasaannya yang lebih, memikul tanggungjawab terbesar dalam mendorong terbentuknya kultur sekolah yang positif.

 

Sekolah yang memiliki kultur disiplin, bersih, tertib, dan teratur pastilah dipandu oleh seorang manager yang memiliki keberanian dan kedisiplinan tinggi serta sangat perhatian terhadap detail-detail kebersihan dan ketertiban lingkungan sekolah. Sebaliknya, sekolah yang semrawut, dimana warganya, guru dan siswanya, tidak memiliki komitmen terhadap kedisiplinan dan ketertiban sekolah, dapat dipastikan kepala sekolahnya adalah sosok yang tidak bermutu, bahasa Jawa-nya "ingah-ingih" , "plendas-plendus", dan tidak berwibawa karena dirinya sendiri tidak memiliki komitmen terhadap kultur positif sekolah atau tidak mampu berdiri kokoh sebagai teladan.

 

Bagaimana kultur sekolah yang positif terbentuk? Kultur sekolah harus dibangun di atas landasan ilmu dan pemahaman yang memadai. Mengapa sekolah ini harus menerapkan kedisiplinan dalam berbagai hal, misalnya, harus dipahami oleh semua warga sekolah. Oleh karena itu tahapan sosialisasi menjadi langkah awal penanaman kultur, khususnya kepada warga baru, guru atau siswa baru. Melalui tahapan sosialisasi, warga sekolah mengawali proses internalisasi nilai-nilai dan norma yang dianut sekolah.

 

Tahapan berikutnya adalah pemantapan melalui serangkaian kegiatan pembiasaan dengan keteladanan piramid. Kepala sekolah menjadi tokoh utama keteladanan diikuti guru dan karyawan sedangkan peserta didik menjadi followers yang menyerap nilai-nilai positif dari perilaku para pemimpinnya.

 

Endingnya, kultur sekolah yang kuat membentuk wajah unik sekolah. Ketika masyarakat menyebut Sekolah A, maka sudah terbayang gambaran isi positif dari sekolah A tersebut. Sebaliknya, sekolah yang kulturnya lemah, maka wajah "semrawut"lah yang terbayang di benak masyarakat.


Pengertian Kultur Sekolah

Pengertian kultur sekolah menurut beberapa ahli :

  1. Deal dan Kennedy (1999) mendefinisikan Kultur sekolah sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat.
  2. Hoy, Tarter, dan Kotkamp (Roach dan Thomas, 2004) budaya sekolah didefinisikan sebagai sebagai sebuah sistem orientasi bersama (norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi dasar) yang di pegang oleh anggota sekolah, yang akan menjaga kebersamaan unit dan memberikan identitas yang berbeda.
  3. Stchein (1992) kultur sekolah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan alhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan dan merasakan masalah-masalah tersebut.
  4. Stolp dan Smith (1995) budaya sekolah adalah pola makna yang terdiri dari norma-norma,nilai-nilai, kepercayaan, tradisi dan mitos yang dipahami oleh anggota-anggota dalam komunitas sekolah.
  5. Paterson (2002) budaya sekolah adalah kumpulan dari norma-norma, nilai-nilai dan kepercayaan, ritual-ritual dan seremonial, symbol-simbol dan cerita-cerita yang menghiasi kepribadian.

Dari definisi tersebut dikatakan bahwa budaya sekolah memiliki unsur-unsur yang terdiri dari asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, sikap dan norma yang dipegang oleh anggota-anggota sekolah dan kemudian mengarah pada bagaimana mereka berperilaku serta akan menjadi karakteristik sekolah mereka.

 

Pentingnya Membangun Kultur Sekolah Dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan

Salah satu persoalan penting dan genting dunia pendidikan kita adalah bagaimana  meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Masyarakat kini semakin sadar bahwa pendidikan adalah salah satu jembatan untuk meraih kehidupan masa depan yang lebih baik (better education better life), pendidikan yang bermutu menjadi kebutuhan, tuntutan dan harapan seluruh lapisan masyarakat.

 

Berbagai usaha meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah, seperti pendidikan dan pelatihan guru, pengadaan sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru melalui lesson study dan sertifikasi guru, studi banding di dalam maupun ke luar negeri, peningkatan kesejahteraan guru melalui tunjangan sertifikasi dan sebagainya, tetapi fakta menunjukkan bahwa disebagian besar sekolah semua usaha tersebut tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan mutu. Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya, “Sebenarnya dimana letak masalahannya?”

 

Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. (Zamroni, 2013). Peningkatan mutu sekolah sebagian besar hanya menekankan pada aspek pertama, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar dan sarana/prasarana, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah. Namun, sejauh ini bukti-bukti telah menunjukkan, bahwa sasaran peningkatan mutu pada aspek PBM dan sarana/prasarana saja tidak cukup, faktor penentu mutu pendidikan ternyata tidak hanya dalam wujud fisik saja, tetapi perlu dibarengi dengan pendekatan non fisik yakni dengan membangun dan mengembangkan kultur sekolah.

 

(Djemari, 2004) mengemukakan bahwa Stolp&Smith (1994) mendeskripsikan kultur sekolah sebagai pola makna yang dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai, keyakinan, seremonial, ritual, tradisi, dan mitios dalam derajat yang bervariasi yang ditunjukkan oleh warga sekolah. Senada dengan pernyataan tersebut, Zamroni(2009) mengemukakan bahwa kultur sekolah adalah norma-norma, nilai-nilai, keyakinan, sikap, harapan-harapan, dan tradisi yang ada di sekolah dan diwariskan antar generasi, dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa dan mempengaruhi pola pikir (mindset), sikap, dan tindakan seluruh warga sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah.

 

Konsep kultur di dunia pendidikan merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk berlangsungnya suatu proses pembelajaran yangefektif dan efisien. Djemari(2004) menyatakan bahwa kultur sekolah yang positif dapat memperbaiki kinerja sekolah, membangun komitmen warga sekolah serta membuat suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan bekerja keras, dan tidak mudah mengeluh. School culture sangat vital perannya bagi sebuah proses pendidikan, banyak anak yang memiliki bakat hebat, tapi karena kondisi sekolahnya tidak mendukung, anak dimaksud tidak tumbuh optimal, bakatnya terpendam, bahkan mati. Sebaliknya,anak yang kepintaran dan bakatnya sedang-sedang saja, tapi karena lingkungan sekolahnya bagus, anak tersebut tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses (Hidayat, 2010). Hal ini senada dengan yang dikemukakan Zamroni (2010) bahwa: “Pembelajaran yang baik hanya dapat berlangsung pada sekolah yang memiliki kultur positif. Kultur sekolah yang sehat akan berdampak kesuksesan siswa dan guru dibandingkan dengan dampak bentuk reformasi pendidikan lainnya. Kultur sekolah yang sehat dan positif berkaitan erat dengan motivasi dan prestasi siswa serta produktivitas dan kepuasan guru”.


1. Contoh Kultur Positif di sekolah:

  • Warga sekolah memiliki keyakinan hanya mereka yang belajar keras dan sungguh-sungguh yang akan memperoleh prestasi tinggi
  • Memegang teguh bahwa prestasi dan proses mencapainya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan
  • Menjunjung tinggi nilai-nilai religius, norma sosial, etika dan moral
  • Membangun jembatan antara visi, misi, dan aksi
  • Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki kinerja dan etos kerja yang baik dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di sekolah
  • Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki spirit corp dan team work yang tinggi
  • Komitmen seluruh warga sekolah (Kepala Sekolah, Pendidik dan Tenaga kependidikan) untuk selalu belajar (belajar sepanjang hayat)
  • Menghargai prestasi siswa
  • Memiliki simbol-simbol yang menekankan penghargaan dan sangsi, sehingga mendorong pencapaian prestasi dan menghambat pelanggaran dan tidak memiliki prestasi
  • Lingkungan sekolah yang bersih, rapi, sejuk, dan aman

 

2. Contoh Kultur Negatif di sekolah:

  • Siswa memiliki keyakinan belajar asal-asalan apa adanya pasti naik kelas dan lulus.
  • Siswa ingin meraih prestasi yang setinggi-tingginya dengan segala cara untuk mencapainya, sekalipun melanggar norma dan nilai (misalnya : Nyontek, bekerja sama dalam ulangan, plagiat dalam membuat tugas, dsb.).
  • Siswa tidak antusias menerima tugas karena hanya akan membikin mereka harus belajar lebih banyak.
  • Siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek dan hanya beberapa siswa yang selalu mengerjakan PR karena mereka yakin dengan belajar sebagaimana sekarang ini saja mereka akan naik kelas dan lulus mendapatkan ijazah. Ijazah dianggap sebagai sesuatu yang penting, tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai.
  • Siswa malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik, tidak antusias dalam mengajar, dan tidak menguasai materi.
  • Hasil karya siswa dan prestasi sekolah tidak dipajang sebagaimana mestinnya yaitu sebagai suatu kebanggaan yang dapat memberikan motivasi untuk yang lainnya.
  • Guru sering melecehkan siswa dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak yang dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Oleh karena itu, sebagai balasannyasiswa tidak menghargai guru.
  • Sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan menyalahkan siswa atas prestasinya.
  • Kebijakan kepala sekolah bersifat pilih kasih.
  • Menghindari kolaborasi dan selalu ada pertentangan.
  • Mereka yang innovatif malah di kritik dan tidak disenangi.
  • Diktator, komentator, Agitator, Spektator.
  • Diantara warga sekolah tidak ada saling percaya dan selalu mencari kesalahan orang lain.
  • Banyak siswa dan guru yang terlambat datang ke sekolah.
  • Lingkungan sekolah yang kotor, membuang sampah tidak pada tempatnya.


Arah Pengembangan Sekolah

Membangun dan melakukan perubahan kultur sekolah tidak bisa melalui ceramah, slogan, atau himbauan saja (Zamroni, 2010). Perlu adanya kesungguhan dan komitmen yang kuat yang dilaksanakan secara konsisten dengan program-program aksi yang konkrit dengan strategi pengkondisian, pembiasaan, dan keteladanan, baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Pendekatan struktural denganmembuat kesepakatan berupa regulasi (peraturan, tata tertib, dsb.) yang mengikatsiswa, guru, dan seluruh warga sekolah lainnya, adanya program-program pembiasaan (habituasi)yang lambat laun akan menjadi budaya/karakter, sedangkan pendekatan kultural melalui interaksi dengan menanamkan nilai-nilai, sikap dan prilaku yang diintegrasikan pada setiap mata pelajaran dan/ataumelalui kegiatan ekstra kurikuler,dan yang terpenting dengan cara pembudayaan dengan keteladanan yang ditunjukkan oleh kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya di sekolah.“Setiap sekolah mempunyai kultur, tapi sekolah yang sukses hanyalah sekolah yang memiliki kultur positif yang sejalan dengan visi dan misi pendidikan yang menjadi harapan dan cita-cita dari seluruh warga sekolah” (Zamroni, 2010)

 

1. Arah Pengembangan Kultur Sekolah:

  • Standar moral yang tinggi
  • Tanggung jawab (kerja keras dan disiplin)
  • Jujur
  • Kebersamaan dan persaudaraan
  • Sopan santun
  • Bersih dan rapi
  • Cinta tanah air
  • Leadership & Enterpreneurship
  • Positive Thinking
  • Optimis, keyakinan akan berhasil
  • I Can Do It type
  • Sense of quality (memiliki budaya dan peka terhadap mutu)
  • Sense of Improvement
  • Selalu mau mencoba, tidak pernah menyerah
  • Berpegang pada tujuan
  • Pendidikan Karakter

 

2. Produk kultur sekolah yang positif (Djemari, 2009):

  • Peningkatan kinerja individu dan kelompok yang berdampak pada kesuksesan siswa dan guru
  • Peningkatan kinerja sekolah
  • Peningkatan kualitas yang berkelanjutan
  • Terjalin hubungan yang sinergi diantara warga sekolah
  • Tugas dilaksanakan dengan perasaan senang
  • Timbul iklim akademik
  • Kompetisi
  • kolaborasi
  • Interaksi menyenangkan

 

Peran Kepala Sekolah Dalam Membangun Kultur Sekolah 

Kepala sekolah harus memahami kultur sekolah yang ada sekarang ini, dan menyadari bahwa hal itu tidak lepas dari struktur dan pola kepemimpinannya. Perubahan kearah kultur  yang positif harus dimulai dari kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah harus mengembangkan  kepemimpinan berdasarkan dialog, saling perhatian dan pengertian satu dengan yang lain. Biarlah guru, staf administrasi bahkan siswa menyampaikan pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa ini, mana segi positif dan mana negatif, khususnya berkaitan dengan kepemimpinan kepala sekolah, struktur organisasi, nilai-nilai dan norma-norma, kepuasan terhadap kelas, kepuasan terhadap pelayanan dan produktivitas sekolah, Pandangan ini sangat penting artinya bagi upaya untuk merubah kultur sekolah.

 

Kultur sekolah berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan sekolahnya. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam membangun kultur sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu kolaborasi antara kepala sekolah, guru,staf administrasi danorang tua siswa. Kultur sekolah akan baik apabila: a) kepala sekolah dapat berperan sebagai model, b) mampu membangun kerjasama tim, c) belajar dari guru, staf, dan siswa, dan, d) harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan. Kepala sekolah dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik tersebut. Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami permasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat diperlukan dalam menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan yang bermutu.

 

REFERENSI :

  1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
  2. Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidiakn Lanjutan Pertama. 2002. Pendekatan Konsektual ( Contextual Teaching and Learning (CTL))
  3. Dimyati, Mudjiono.2006. Belajar dan Pembelajaran.Jakarta:Rineka Cipta.
  4. Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
  5. Sunardi Nur & Sri Wahyuningsih, Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT Grasindo, 2002, hal : 28
  6. Syamsu Yusuf & Nani Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta : Rajawali Press, cet -3, 2012.
  7. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional
  8. Wahyudin, Dinn. 2002. Pengantar Pendidikan. Jakarta:Universitas Terbuka
  9. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, Jakarta : Kencana, cet-8, 2011, hal : 21
  10. Terry G.R. (1986). Principle of Management. Illinois Richard : D. Irwin, Inc. Homewood.
  11. The Liang Gie. (1978). Pengertian, Kedudukan, dan Perincian Ilmu Administrasi. Yogyakarta: Karya Kencana.
  12. Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  13. Nurkolis. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Grasindo.
  14. Djemari, 2004; Pengembangan Kultur Sekolah, Materi Workshop, Yogyakarta
  15. Hidayat, Komarudin, 2010; Membangun Kultur Sekolah, http://www.uinjkt.ac.id
  16. Zamroni, 2010, Membangun Kultur Sekolah, Materi Workshop, Jakarta
  17. Zamroni, 2009; Panduan Teknis Pengembangan Kultur Sekolah, Depdiknas, Jakarta
  18. Zamroni, 2013; Paradigma Pendidikan masa depan,http://www.pakguruonline.pendidikan.net

MANAJEMEN SEKOLAH - KEPEMIMPINAN SEKOLAH DAN PENDIDIKAN

Kepemimpinan Sekolah dan Pendidikan

 



Kepemimpinan Sekolah

Menurut Danim (2010), kepemimpinan sekolah (school leadership) merupakan sebuah proses membimbing dan membangkitkan bakat dan energy guru, murid, dan orang tua untuk mencapai tujuan pendidikan yang dikehendaki.

 

 

Konsep Kepemimpinan di Sekolah

Memimpin suatu sekolah tentu merupakan suatu tugas mulia dalam membantu pemerintah untuk membangun pendidikan di Indonesia. Namun untuk itu perlu dimatangkan suatu konsep kepemimpinan sekolah (school leadership). Lalu seperti apa konsep kepemimpinan disekolah? Yuk kita simak dibawah ini!

 

Setiap sekolah tentu memiliki konsep kepemimpinan yang berbeda-beda, setiap konsep tersebut akan disesuaikan dengan visi dan misi yang dijalankan disekolah. Menurut Danim (2010), kepemimpinan sekolah (school leadership) merupakan sebuah proses membimbing dan membangkitkan bakat dan energy guru, murid, dan orang tua untuk mencapai tujuan pendidikan yang dikehendaki. Di Indonesia, konsepsi kepemimpinan guru terus mengalami penguatan sejak lahirnya UU No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen dan PP No.74 Tahun 2008 Tentang Guru. Dalam PP No.74 Tahun 2008 kuat isyarat bahwa hanya guru yang kemudian bisa diberi jabatan pengawas.

 

Kepala sekolah mempunyai wewenang dan tanggung jawab penuh untuk menyelenggarakan seluruh kegiatan pendidikan dalam lingkungan sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah tidak hanya bertanggung jawab secara teknis akademis saja, akan tetapi segala kegiatan, keadaan lingkungan sekolah dengan kondisi dan situasinya, serta hubungan dengan masyarakat sekitar merupakan tanggung jawab kepala sekolah. Inisiatif dan kreatif yang mengarah kepada perkembangan dan kemajuan sekolah adalah merupakan tugas dan tanggung jawab kepala sekolah. Kepala sekolah harus bekerjasama dengan para guru yang dipimpinnya, dengan orang tua murid atau BP3 serta pihak pemerintah setempat.

 

Kepemimpinan baik di sekolah atau di lingkungan manapun sangat erat kaaitannya dengan efektivitas kepemimpinan. Efektivitas berbeda dengan keberhasilan. Seperti yang dijelaskan secara mendalam oleh Badeni (2013) sebagai berikut :

Efektivitas mengandung makna ketepatan pencapaian tujuan yang diharapkan atau kesesuaian apa yang seharusnya dilakukan (to do the right things). Apabila kepemimpinan merupakan suatu proses memengaruhi orang lain untuk berprilaku sesuai dengan keinginan pemimpin, efektivitas kepemimpinan diukur dengan adanya kesediaan orang lain untuk berprilaku sesuai dengan tujuan pemimpin dan organisasi tanpa ada rasa paksaan. Sedangkan kepemimpinan yang berhasil adalah pemimpin yang berhasil mencapai tujuan organisasi tanpa mempertimbangkan apakah orang lain merasa terpaksa atau tidak untuk melakukannya. Atas dasar penjelasan ini, terdapat perbedaan yang jelas antara pemimpin yang berhasil dan pemimpin yang efektif. Ada seorang pemimpin berhasil tetapi tidak efektif, dan ada pula seorang pemimpin disamping berhasil ia juga efektif. Misalnya, seorang manajer menentukan tujuan, melakukan pembagian tugas, menginstruksikan kepada bawahan untuk merealisasikannya, dan bawahan yang tidak mematuhi diancam dengan hukuman/sanksi. Karena ketakutan, semua bawahan melakukannya sehingga tujuan tercapai. Akan tetapi, pada saat manajer tidak berada ditempat, bawahan malas melakukan pekerjaannya. Di sini, manajer bukan pemimpin yang efektif karena dia lebih cenderung menggunakan posisinya untuk memperoleh kepatuhan bukan pengaruhnya, yaitu pengaruh personal, sehingga seorang manajer mungkin hanya sebagai manajer bukan seorang pemimpin. Kepemimpinan dikatakan sangat efektif, apabila seorang manajer juga seorang pemimpin (leader).


Jelaslah sudah keberhasilan sekolah sangat ditentukan oleh keberhasilan kepala sekolah. Seperti yang dikatakan oleh Lipham (Mulyadi, 2010) bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang efektif sangat menentukan keberhasilan sekolah. Sekolah yang efektif atau sukses hampir selalu ditentukan kepemimpinan kepala sekolah sebagai kunci kesuksesan.


Selain itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah juga sangat menentukan kesuksesan sekolah. Hal tersebut dijelaskan oleh Mulyadi (2010) bahwa hasil penelitian yang dilakukan para ahli manajemen pendidikan menyimpulkan bahwa efektivitas sekolah sangat dipengaruhi kepemimpinan kepala sekolah. Sedangkan kepala sekolah efektif ditandai tiga kriteria yaitu (1) mampu menciptakan atmosfer kondusif bagi murid untuk belajar, (2) para guru terlibat dan berkembang secara personal dan professional, dan (3) seluruh masyarakat memberi dukungan dan harapan tinggi. Jika seorang kepala sekolah dapat mengusahakan sekolah dengan tiga hal tersebut disebut kepala sekolah efektif dan sekolah yang dikelolanya disebut sebagai sekolah sukses.

 

Disamping itu, karakter seorang pemimpin ikut menentukan keberhasilannya menjadi pemimpin. Seperti dijelaskan oleh Covey (Muhaimin et al., 2011) bahwa faktor pemimpin yang sangat penting adalah karakter dari orang yang menjadi pemimpin tersebut. Sembilan puluh persen dari semua kegagalan kepemimpinan adalah kegagalan pada karakter.


Kepemimpinan Pendidikan Yang Efektif

Kepemimpinan yang efektif memiliki peran yang menentukan terhadap kelangsungan hidup sebuah organisasi. Para sarjana memberikan penjelasan yang beragam tentang kepemimpinan yang efektif. Namun, terdapat prinsip pokok yang disepakati tentang kepemimpinan yang efektif yaitu sikap pemimpin yang mampu mempengaruhi orang lain (stafnya) untuk bekerja lebih keras dalam mengemban tugas dan tanggung jawab, sertya merubah prilaku anggota orgaisas sesuai dengan tujuan organisasi. kepemimpinan yang efektif dilihat dari hasil (output) yang diperoleh dari kegiatan sebua organisasi. Kriteria yang dijadikan ukuran penilaian kepemimpinan yang efektif adalah hasil kerjasama dan prestasi kelompok yang di pimpin. Seorang pemimpin yang efektif tidak hanya bias mempengaruhi bawahannya, tetapi bisa juga menajamin bahwa para stafnya bekerja dengan seluruh kemampuannya untuk mencapai tujuan organisasi.

 

Syahrizal (2008) mengemukakan bahwa kepemimpinan yang efektif dapat diidentifikasikan dengan sejumlah kemampuan pemimpin untuk melakukan koordinasi, pemecahana konflik, membangun komunikasi, memotivasi dan menggerakkan karyawan untuk meningkatkan produktifitasnya, pembinaan staf dan perwujudan kesejahteraan anggota organisasi. kemampuan ini merupakan modal bagi seorang pemimpin, dalam mewujudkan tujuan organisasi. Seorang pemimpin yang efektif akan mewujudkan kemampuannya secara simultan dan berkesinambungan dalam menjalankan roda organisasi.


1. Kemampuan Melakukan Koordinasi

Kemampuan pemimpin menggunakan sumber daya secara maksimal dan menciptakan system kerja optimal, akan menentukan tinggi rendahnya aktivitas dan produktivitas karyawan. Peran pemimpin sangat strategis dalam peningkatan produktivitas, yaitu dengan mengkombinasikan dan mendayagunakan semua sarana produksi, menerapkan fungsi-fungsi manajemen, menciptakan system kerja dan pembagian kerja, menempatkan orang yang tepat pada pekerjaan yang tepat, serta menciptakan kondisi dan lingkungan kerja yang aman dan nyaman.

 

Aktivitas untuk mewujudan sasaran organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya, seringkali menghadapi berbagai kesulitan. Segala penghalang dan rintangan harus diatasi, dan kemajuan yang telah dicapai harus dipertahankan. Oleh karena itu, para staf atau karyawan harus dirangsang dan didorong oleh pemimpinnya agar melaksanakan pekerjaan mereka sebaik mungkin.  Merekalah yang bila ditinjau dari segi organisasi merupakan unsur penting yang bertugas melaksanakan kegiatan-kegiatan operasional organisasi. sedangkan kelompok lain berupa kelompok pemimpin, tugasnya bukanlah melakukan kegiatan-kegiatan operasional, melainkan melakukan kegiatan-kegiatan penunjang dalam organisasi. meskipun demikian, para kelompok pemimpinlah yang bertugas menjaga agar organisasi dapat berjalan dengan lancar. Kelompok yang terkahir ini pula yang bertanggung jawab menciptakan mekanisme kerja sama yang harmonis antar sesama anggota organisasi.

 

Pengelompokan karyawan dalam organisasi bukanlah berarti menonjolkan peran kelompok yang satu dan mengecilkan arti kelompok yang lain, melainkan agar terciptanya pembagian tugas yang akan mempermudah pencapaian tujuan organisasi. untuk itu, perlu dijaga hubungan antara pimpinan dengan staf, yang mana hubungan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan yang akan dilakukan sehari-hari. Pandangan pemimpin terhadap keryawan, pelibatan karyawan dalam penentuan kebijakan organisasi, pemenuhan hak-hak karyawan, dan penghargaan terhadap keryawan merupakan sebagian faktor yang akan merangsang dan meningkatkan kinerja karyawan.

 

Pemimpin dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan tidak meremehkan atau melebihkan pekerjaan pimpinan pada unit atau bagian yang lain. Untuk menghindari hal itu perlu adanya koordinasi antar lini dan antar pimpinan. Tujuan dari koordinasi adalah untuk melakukan singkronisasi pekerjaan dari tiap-tiap unit kerja. Koordinasi adalah pengaturan tata hubungan dari usaha bersama untuk memperoleh kesatuan tindakan dalam pencapaian tujuan bersama. Dengan kata lain, koordinasi merupakan proses yang mengatur pembagian kerja antar individu atau antar kelompok dalam suatu organisasi. Melalui koordinasi, kegiatan organisasi dapat dijalankan secara efektif dan efisien.

 

Syahrizal (2008), Langkah yang dilakukan untuk menjamin suatu rencana dan tindakan terkoordinasi dengan baik adalah:

  • Melakukan rapat sebagai langkah awal untuk mengadakan integritas pekerjaan dari setiap karyawan.
  • Mengumpulkan laporan atas pelaksanaan kebijakan pimpinan yang telah digariskan .
  • Melakukan kunjungan untuk melihat secara langsung dan memberikan petunjuk petunjuk secara langsung pula dengan pedoman yang telah digariskan.
  • Memelihara hbungan dalam berbagai bentuk demi meningkatkan keserasian kerja.


 2. Kemampuan Penyelesaian Konflik

Secara sederhana, konflik dimaknai dengan perbedaan atau pertentangan antara seseorang dengan orang lain atau antara kelompok dengan kelompok atau antara kelompok dengan seseorang. Konflik dapat saja terjadi dalam suatu kelompok atau dalam suatu organisasi yang memiliki tujuan yang sama. Konflik dalam organisasi sering terjadi, dimana salah satu pihak atau pihak kedua merasa dirugikan atau tidak dihargai. Konflik dalam organisasi membawa pengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi., baik bersifat positif maupun negatif. Sebagai contoh, dalam suatu perusahaan persaingan sehat dapat menimbulkan efek positif dan negatif, tetapi bila persaingan tersebut sudah melampaui batas, maka akan menyebabkan persaingan yang tidak sehat, yang mana dapat menimbulkan efek negatif. Efek positif dapat meningkatkan produktivitas organisasi, sedangkan efek negatif dapat merusak kinerja organisasi.

 

Dengan mengetahui, kedua dampak tersebut di atas, maka seorang pemimpin dapat mencegah kemungkinan timbulnya konflik yang merugikan suatu organisasi atau perusahaan. Suatu konflik dapat terjadi, karena masing-masing pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan. Kerugian ini bukan hanya bersifat material, tetapi juga dapat bersifat non material. Untuk mencegah terjadinya konflik, seorang pemimpin harus mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu konflik. Sebab-sebab tersebut dapat berupa perbedaan pendapat, salah paham, salah satu pihak merasa dirugikan atau munculnya perasaan yang terlalu sensitif.

 

Dalam penyelesaian konflik dan upaya mengembalikan situasi kondusif suatu organisasi, maka pemimpin harus membangun komunikasi yang baik antar karyawan.komunikasi ini sangatlah dibutuhkan, karena tugas seorang pemimpin adalah mengatur kegiatan staf secara langsung. Tanggung jawab pemimpin adalah membawa stafnya ketingkat efektivitas kinerja yang maksimum dan bila komunikasi tidak terjalin dengan baik dalam organisasi, maka harapan ini tidak akan terwujud. Seorang pemimpin tidak perlu merasa malu untuk menegur anggota organisasinya terlebih dahulu dan mereka akan merasa senang bila diajak  berkomunikasi secara langsung oleh pimpinan organisasi di mana mereka bekerja.

 

Dalam rangka mendekati anggota organisasi melalui ini, maka yang perlu diperhatikan oleh seorang pemimpin adalah mengamati keinginan karyawan, menunjukkan perhatian atau keterlibatan pimpinan dalam suatu permasalahan yang dihadapi anggota organisasi. Dengan pendekatan ini, pemimpin akan mendapatkan acuan bekerja optimal dan pemimpin akan mendapatkan kepuasan serta keuntungan yang lebih besar dalam hubungan organisasi.

 

3. Kemampuan Membangun Komunikasi

Komunikasi yang dibangun dalam suatu organisasi adalah komunikasi dialogis baik antar anggota organisasi, antara atasan dengan bawahan maupun antar sesama lini dalam suatu organisasi. komunikasi antara atasan dan bawahan dapat berbentuk penyampaian informasi ataupun instruksi. Komunikasi yang dibangun dalam suatu organisasi amat penting perannya, karena ketidaklancaran komunikasi akan sangat tidak menguntungkan efisiensi kerja organisasi. akibat tidak efektifnya komunikasi akan banyak membuang waktu yang tersita sia-sia, pemborosan kertas, perbaikan yang tidak perlu karena informasi yang salah, kekeliruan bawahan dalam melaksanakan perintah, atau kurangnya pengertian anggota organisasi terhadap instruksi yang diberikan seorang pemimpin. Oleh sebab itu, pemimpin harus mempelajari, memperhatikan, mencari cara, atau membangun system agar komunikasi dapat berjalan dengan cara efektif dan efisien. Sering kali dijumpai para pimpinan tidak segan-segan mengulang atau menerangkan maksudnya sejelas mungkin agar tidak disalahtafsirkan oleh bawahannya.

 

Nawawi (1999), dalam komunikasi efektif dan dialogis seorang pemimpin tidak selalu memimpin percakapan, tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain. Pada waktu-waktu tertentu seorang pemimpin juga dituntut mengorbankan kesempatan dirinya untuk menjadi pendengar yang baik, dan dalam hal tertentu pula pemimpin hanya mengungkapkan suatu infomasi sebagai pemancing saja, agar terjadinya komunikasi yang baik. Bagi organisasi atau perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan kepada nasabah atau masyarakat seperti bank, maka perlu diingat bahwa komunikasi yang efektif menjadi amat penting dan menentukan keberlangsungan hidup suatu perusahaan jasa.

 

Perlu juga diperhatikan bagi seorang pemimpin, bahwa komunikasinya dengan anggota organisasi merupakan pendorong bagi mereka dalam menjalankan tugas sehari-hari. Komunkasi yang tidak baik atau kurang jelas, mungkin amat sulit bagi seorang pemimpin untuk mengetahui sejah mana kemampuan dan kinerja anggota organisasi yang dipimpinnya. Demikian pula anggota organisasi, tidak dapat mengetahui apa yang harus dikerjakannya dan untuk apa ia melakukan pekerjaan dalam suatu oraganisasi. Akibat lain dari komunikasi tidak efektif, adalah turunnya minat anggota organisasi terhadap pekerjaan, rendahnya moral kerja, rendahnya tingkat produktivitas,

 

4. Kemampuan Memotivsai dan Menggerakkan Staf

Setiap  tindakan manusia mempunyai motivasi dan tujuan, baik disadari, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dengan pekerjaan dalam suatu organisasi atau pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan dalam suatu perusahaan, tentu tidak terlepas dari motivasi dan tujuan. Motivasi dan tujuan organisasi melakukan pekerjaannya dapat berupa : mengharapkan penghasilan/ gaji, kepuasan pribadi atas hasil karyanya, peningkatan status dan promosi, penghargaan dari karyawan sejawat, penghargaan dari atasan, pengormatan dari keluarga dan lain lain. Anggota tidak hanya mengejar penghasilan saja, tetapi juga mengharapkan bahwa dalam bekerja dia dapat diterima (acceptable) dan dihargai oleh sesama anggota organisasi. Seorang anggota organisasi akan lebih berbahagia, bila ia dapat menerima atau membantu anggota organisasi lain yang membutuhkan bantuannya dalam menjalankan tugas sehari-hari.

            

Syahrizal (2008) Motivasi berarti dorongan yang mendasari seseorang untuk melakukan kegiatannya baik dalam organisasi maupun di luar organisasi. Dalam konteks ini, motivasi adalah kemauan kerja anggota organisasi yang timbul, karena adanya dorongan dari dalam pribadi mereka. Motivasi lahir sebagai hasil integrasi keseluruhan kebutuhan pribadi, pengaruh lingkungan fisik dan pengaruh lingkungan sosial. Kekuatan motivasi sangat tergantung pada proses pengintegrasian kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dengan demikian motivasi kerja merupakan gejala kejiwaan yang bersifat dinamis, majemuk dan spesifik untuk masing-masing anggota organisasi. Oleh karenanya, seorang pemimpin harus peka terhadap gejala kejiwaan dan faktor psikis anggota organisasi. Hal ini amat penting bagi pemimpin dalam memberikan motivasi yang positif kepada anggota organisasinya.

 

Keberadaan manusia dalam organisasi memegang peranan sentral, karena pada manusialah terletak motivasi kerja dan produktivitas kerja suatu organisasi. Oleh karenanya, setiap pemimpin tidak hanya memikirkan peningkatan skill karyawan melalui program pendidikan dan pelatihan, melalui konsep “how to increase income” dari suatu organisasi. pemimpin juga harus memikirkan “how to increase mental”, yaitu bagaimana meningkatkan mentalitas, dedikasi dan kesadaran anggota organisasi terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya. Dedikasi dan loyalitas anggota organisasi perlu ditumbuhkan, sehingga mereka mempunyai sesuatu suatu perasaan atau dalam istilah studi organisasi dikenal dengan “sense of belonging” yaitu, perasaan atau kesadaran memiliki. Kesadaran memiliki dapat dibangun oleh seorang pemimpin dengan mengadakan pertemuan persuasif dan pengarahan secara berkala terhadap anggota organisasi mengenai keadaan organisasi, kebijakan yang telah di tempuh, dan masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi. Bila hal ini dikemukakan secara trasnparan oleh seorang pemimpin, maka anggota organisasi akan berusaha menyumbangkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk tujuan organisasi.

 

Perhatian pemimpin kepada anggota organisasi sangat penting untuk menunjang keberhasilan dalam pencapaian tujuan dari suatu organisasi. Demikian pula dalam suatu perusahaan, seorang pemimpin harus mempunyai suatu pendekatan kepada para keryawannya, agar mereka bersedia bekerja dengan baik, Sehingga menunjang keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk itu para pemimpin dituntut memiliki kemampuan memberikan dorongan atau motivasi kepada karyawan dalam upaya peningkatan produktivitas kerja organisasi. Pemimpin yang memiliki kemampuan ini, akan mampu mempengaruhi anggota organisasi untuk melaksanakan kewajiban dan tangung jawabnya dengan baik.

 

5. Kemampuan Membina Staf

Dalam hal mengelola dan membina anggota organisasi baik pada instansi pemerintah maupun swasta cenderung menganut pola paternalisme. Pemerintah merasa berperan sebagai orang tua yang wajib melindungi dan mengayomi anggota organisasi sebagi anak asuhnya. Pimpinan merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan pegawai atau karyawannya. oleh karena itu sangat logis, jika pada taraf tertentu seorang pemimpin menuntut loyalitas yang tinggi dari anggota organisasinya seperti lazim terjadi dalam hubungan antara orang tua dan anak. Praktik demikian telah mendorong para pemimpin untuk memanfaatkan pola kepemimpinan otoriter dalam menjalankan roda organiasi. Pola kepemimpinan yang demikian tidak akan memberikan kesempatan bagi pengembangan karir anggota organisasi, dan bahkan justru akan menghambat proses pengembangan dan pembinaan anggota organisasi. Pengelolaan anggota organisasi secara otoriter akan memadamkan kreativitas, inisiatif, semangat kerja, dan bahkan akan mempersulit proses komunikasi dan hubungan kerja. Motivasi kerja anggota organisasi akan hilang, dan sikap apatisme akan muncul dari kalangan anggota organisasi.

 

Untuk mengatasi hal tersebut, banyak alternatif yang bisa dilakukan, namun belum tentu dapat memberikan hasil yang memuaskan, karena terdapat perbedaan karakteristik staf antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Selama ini banyak pola pendidikan dan pembinaan anggota organisasi yang telah diterapkan, namun sedikit sekali yang membawa dampak positif bagi kebutuhan dan kepentingan organisasi.Dalam era teknologi, setiap organisasi dituntut untuk segera mempersiapakan tenaga-tenaga handal dan profesional. Para pemimpin dituntut berperan aktif dalam pembinaan anggota organisasinya, karena organisasilah yang mengetahui secara detail, kualifikasi  anggota yang dibutuhkan.

 

Pembinaan anggota organisasi tidak cukup hanya dilakukan dengan pengiriman pegawai mengikuti kursus, seminar, lokakarya baik dalam maupun luar negeri. Pembinaan pada dasarnya lebih luas ruang lingkup dan jangkauannya,  bukan hanya beruupa program-program pendidikan klasikal tetapi termasuk didalamnya program non klasikal. Pendidikan informal, penempatan anggota sesuai dengan kapasitasnya, pengarahan dan bimbingan pimpinan yang teratur dan jelas termasuk pembinaan anggota organisasi yang sangat dibutuhkan. tingkah laku pimpinan organisasi merupakan teladan dan contoh bagi anggota organisasi dalam menjalankan tugasnya. Namun, apa yang kita temukan dalam kenyataan bukanlah demikian. Seringkali seorang pemimpin berpendapat, lakukan apa yang saya katakan, dan bukan apa yang saya lakukan. Hal seperti ini secara tidak langsung berpengaruh negatif dalam pembinaan anggota organisasi.

 

Bimbingan langsung dari pimpinan sangat menentukan kematangan sebuah pembinaan anggota organisasi, karena bimbingan pimpinan menjadi panduan bagi anggota organisasi dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya. Banyak hal yang bisa dilakukan pimpinan dalam pembinaan anggota organisasi. Dalam proses pendelegasian wewenang misalnya, wakil pimpinan secara nyata dapat membantu pembinaan anggota organisasi. Agaknya hal-hal seperti ini kurang di sadari oleh banyak pihak. Pendelegasian wewenang praktis jarang dilakukan secara jelas. seorang anggota organisasi diwajibkan bertanggung jawab atas tugas-tugas yang diberikan oleh pimpinan, namun dalam kenyataannya pimpinan tetap tidak memberikan otoritas kongkrit kepada anggota organisasi. Pelimpahan wewenang kerap kali dijumpai tidak diberikan sepenuhnya oleh pimpinan kepada anggota organisasi. Hal ini  malah mempersulit calon-calon pemimpin untuk masa yang akan datang.

 

6. Kemampuan Membina Hubungan Kerja

Langkah pertama untuk menjalin hubungan kerja yang baik adalah seorang pemimpin harus terlebih dahulu mengenal anggota organisasi dengan sebaik baiknya. Pengenalan terhadap staf atau anggota organisasi dilakukan terhadap dimensi kehidupan, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masayrakat. 

 

Seorang pemimpin bisa saja mengenal pribadi stafnya melalui berbagai pendekatan. Pengenalan terhadap kehidupan seseorang perlu dilakukan mengingat setiap anggota organisasi pada dasarnya ingin dihargai dan dihormati baik secara langsung maupun tidak langsung. Penghargaan tersebut bisa dilihat dari adanya keinginan untuk diajak berperan serta dalam lingkungan pekerjaan. Dengan demikian, apabila seseoang dalam lingkungan kerjanya tidak diangggap sebagai kawan, apalagi oleh atasannya dimana ia bekerja, maka hal ini akan menmbulkan perasaan tidak nyaman dan lambat laun dapat menimbulkan frustasi. Kondisi ini akan semakin memperburuk suasana kerja, bila keikutsertaan seseorang dalam berbagai kegiatan tidak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan pandangannya. Keberadaan seseorang anggota organisasi hanyalah sebagai robot yang selalu di dikte oleh atasannya. Akibatnya, organisasi akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan dan membina hubungan yang baik antar sesama anggota organisasi.

 

Bila seorang pemimpin mengenal staf atau anggota organisasi dengan baik, serta menyadari berbagai tingkah laku dan sikap yang dimiliki oleh anggota organisasi, maka hal tersebut akan membantu pimpinan dalam melakuakan perubahan komunikasi, sehingga akan terjalin komuniksai yang efektif antara seorang pemimpin dengan anggota organisasi. Komunikasi yang efektif akan menentukan keberhasilan hubungan kerja dalam suatu organisasi.

 

Dalam memanajemen organisasi, seorang pemimpin harus memahamai bahwa hubungan kerja dengan setaip anggota organisasi menuntuk pendekatan yang berbeda antara satu sama lain. Mungkin saja pendekatan untuk berkomunikasi dengan si A dianggap cukup baik, tetapi cara ini belum tentu dapat diterapkan untuk berkomunikasi dengan anggota organisasi lainnya. Sebab setiap orang memiliki kepribadian dan pola kebiasaaan yang berbeda satu sama lain. seorang staf atau karywan kadang-kadang kurang begitu berkenan bila diperlakukan dengan tegas, sedangkan orang lain kurang bisa menyenangi apabila diperlakukan secara tidak tegas. Ada juga orang yang memerlukan perlakuan yang simpatik dan perlu dijelaskan sampai detail setiap penugasan yang diterimanya. Namun kadang-kadang ada juga staf atau anggota organisasi yang cukup dijelaskan garis besar saja, ia sudah memahami dan mengetahui arah penugasannya dengan baik.


Kepemimpinan Kepala Sekolah Yang Efektif

Kepemimpinan dalam penerapan manajemen mutu terpadu memerlukan dua keterampilan yaitu keterampilan memimpin dan keterampilan mengelola (kepemimpinan dan manajerial). Perilaku kepemimpinan dalam melaksanakan keterampilan ini memegang peranan yang sangat penting untuk penerapan manajemen mutu terpadu. Perilaku kepemimpinan yang positif dan mendukung terhadap penerapan manajemen mutu terpadu dalam organisasinya akan lebih mencapai keberhasilan dibandingkan perilaku kepemimpinan yang hanya memerintahkan bawahan dalam menerapkan perilaku manajemen mutu terpadu.  

 

Hasil penelitian Douglas & Hakim (2001), menemukan bahwa sebagian besar pemimpin yang hanya memberikan pelayanan untuk peningkatan kualitas tanpa ada perilaku yang mendukung, mengurangi keberhasilan pelaksanaan hasil manajemen mutu terpasu. Sommer dan Merritt (1994) dan Rad (2005) juga berpendapat tentang perlunya pemimpin memberikan perhatian terhadap strategi manajemen mutu terpadu karena secara signifikan perilaku hubungan kepemimpinan dengan perilaku karyawan memiliki pengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan manajemen mutu terpadu. Perbedaan perilaku kepemimpinan dan bawahan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan manajememen mutu terpadu juga akan terlihat lebih nyata pada pelaksanaan manajemen mutu terpadu dan kinerja organisasi dalam sektor jasa seperti sekolah (Al-Swidi, 2011).


Budianto (2011) menjelaskan untuk mencapai keberhasilan manajemen mutu terpadu, perilaku kepemimpinan dalam dunia pendidikan (kepala sekolah) harus mencerminkan :

  • Fokus pada pelanggan,
  • Fokus pada pencegahan masalah,
  • Investasi sumber daya,
  • Memiliki strategi mutu,
  • Menyikapi komplain sebagai peluang untuk belajar,
  • Mendefinisikan mutu pada seluru area organisasi,
  • Memiliki kebijakan dan rencana mutu,
  • Manajemen senior memimpin mutu,
  • Proses perbaikan mutu melibatkan setiap orang,
  • Memiliki fasilitator mutu yang mendorong kemajuan mutu,
  • Karyawan dianggap memiliki peluang untuk menciptakan mutu,
  • Kreativitas adalah hal yang penting,
  • Memiliki aturan dan tanggung jawab yang jelas,
  • Memiliki strategi evalusi yang jelas,
  • Melihat mutu sebagai sebuah cara untuk meningkatkan kepuasan pelanggan
  • Rencana jangka panjang,
  • Mutu dipandang sebagai bagian dari budaya,
  • Meningkatkan mutu berada dalam garis strategi imperatif-nya sendiri,
  • Memiliki misi khusus,
  • Memperlakukan kolega sebagai pelanggan.


Sementara itu, Tiong (dalam Usman, 2011: 290) menemukan dalam penelitiannya tentang karakteristik perilaku kepala sekolah yang efektif antara lain sebagai berikut.

  • Kepala sekolah yang adil dan tegas dalam mengambil keputusan
  • Kepala sekolah yang membagi tugas secara adil kepada guru
  • Kepala sekolah yang menghargai partisipasi staf
  • Kepala sekolah yang memahami perasaan guru
  • Kepala sekolah yang memiliki visi dan berupaya melakukan perubahan
  • Kepala sekolah yang terampil dan tertib
  • Kepala sekolah yang berkemampuan dan efisien
  • Kepala sekolah yang memiliki dedikasi dan rajin
  • Kepala sekolah yang tulus
  • Kepala sekolah yang percaya diri

 

Sedangkan perilaku kepemimpinan yang tidak efektif antara lain mencerminkan semangat yang rendah, berpandangan sempit, diktator dan tidak memiliki rasa keterlibatan dalam organisasi.

 

Jika dikaitkan dengan karakteristik manajemen mutu terpadu, maka perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam mencapai keberhasilan penerapan manajemen mutu terpadu berhubungan dengan prinsip utama manajemen mutu terpadu. Dengan kata lain perilaku kepala sekolah harus menyesuaikan dengan empat prinsip manajemen mutu terpadu. Penjelasan masing-masing prinsip dan perilaku kepemimpinan kepala sekolah dijelaskan di bawah ini.


1. Kepuasan pelanggan

Seperti penjelasan sebelumnya, sekolah memiliki pelanggan internal dan eksternal. Terhadap pelanggan internal, siswa guru dan staf usaha perilaku kepala sekolah yang efektif antara lain adil dan tegas dalam mengambil keputusan, memiliki dedikasi dan rajin, memiliki keterampilan dalam pencegahan masalah, memiliki strategi mutu dan memiliki strategi evalusi yang jelas. Sedangkan terhadap pelanggan eksternal perilaku efektif kepala sekolah dapat tercermin melalui transparansi, pemberi informasi, melihat mutu sebagai sebuah cara untuk meningkatkan kepuasan pelanggan, dan menyikapi komplain sebagai peluang untuk belajar.

 

2. Respek terhadap setiap orang

Prinsip ini melihat setiap orang dalam sekolah sebagai aset dan memiliki potensi. Sehingga perilaku kepemimpinan yang efektif dalam mencerminkan prinsip ini adalah fasilitator, menghargai partisipasi staf, memahami perasaan guru, memberikan dukungan, melibatkan guru dan staf dalam pengambilan keputusan, mengembangkan dan membimbing potensi, memotivasi dan memberi inpirasi, mendelegasikan tugas, dan semua masyarakat sekolah dianggap memiliki peluang untuk menciptakan mutu.


3. Manajemen berdasarkan fakta

Pada prinsip ini, perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang efektif tertib administrasi sehingga selalu mengambil keputusan dengan berdasarkan data organisasi yang jelas, bukan suatu gambaran atau perkiraan. Kepala sekolah juga merencanakan, mengorganisasi dan melakukan prioritas menggunakan data dan kondisi sumber daya dalam organisasi.


4. Perbaikan terus menerus

Dalam mencapai manajemen mutu, maka perubahan adalah hal yang mutlak dilakukan suatu organisasi seiring dengan perubahan perilaku pelanggan. Maka perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang efektif mencerminkan pemantauan, visioner, transformasional, rencana jangka panjang, membangun jaringan kerja dengan pelanggan eksternal, inovatif, dan kreatif.

 

REFERENSI :

  1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
  2. Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidiakn Lanjutan Pertama. 2002. Pendekatan Konsektual ( Contextual Teaching and Learning (CTL))
  3. Dimyati, Mudjiono.2006. Belajar dan Pembelajaran.Jakarta:Rineka Cipta.
  4. Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
  5. Sunardi Nur & Sri Wahyuningsih, Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT Grasindo, 2002, hal : 28
  6. Syamsu Yusuf & Nani Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta : Rajawali Press, cet -3, 2012.
  7. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional
  8. Wahyudin, Dinn. 2002. Pengantar Pendidikan. Jakarta:Universitas Terbuka
  9. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, Jakarta : Kencana, cet-8, 2011, hal : 21
  10. Terry G.R. (1986). Principle of Management. Illinois Richard : D. Irwin, Inc. Homewood.
  11. The Liang Gie. (1978). Pengertian, Kedudukan, dan Perincian Ilmu Administrasi. Yogyakarta: Karya Kencana.
  12. Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  13. Nurkolis. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Grasindo.
  14. Djemari, 2004; Pengembangan Kultur Sekolah, Materi Workshop, Yogyakarta
  15. Hidayat, Komarudin, 2010; Membangun Kultur Sekolah, http://www.uinjkt.ac.id
  16. Zamroni, 2010, Membangun Kultur Sekolah, Materi Workshop, Jakarta
  17. Zamroni, 2009; Panduan Teknis Pengembangan Kultur Sekolah, Depdiknas, Jakarta
  18. Zamroni, 2013; Paradigma Pendidikan masa depan,http://www.pakguruonline.pendidikan.net


MANAJEMEN JASA - KUALITAS LAYANAN

  KUALITAS LAYANAN Persaingan di dunia bisnis semakin ketat, mengharuskan perusahaan untuk menyadari bahwa kepuasan pelanggan bukan sekadar ...