Minggu, 19 November 2017

ERA DISRUPTION

Akhir-akhir ini saya sering dapat broadcast WA, postingan FB, dan pembicaraan simpang siur yg isinya adalah semacam peringatan, bahkan ancaman tentang bahaya "Era Disruption".




Terakhir bahkan ada seorang penulis yg mungkin karena semangat sekali, menyatakan bahwa saking mengkhawatirkannya era disruption ini, “bisa membuat anak cucu kita mati berdiri sambil memeluk kitab suci yg entah akan menolong dengan cara apa”. Maka saya terpaksa bikin tulisan ini, walaupun sedang musim ujian di program MBA saya di UK & USA.

Setelah saya lacak, histeria dan demam “Disruption” ini sepertinya salah satunya berawal dari buku, ceramah dan tulisan-tulisan Prof. Rhenald Kasali, Guru besar FE UI, dan salah satu "World Management Guru", khususnya dibidang Change Management.

Saya sangat setuju dan menghormati beliau sebagai salah satu tokoh penggerak perubahan yg saya kagumi dan ikuti tulisan2nya. Dan sampai saat inipun saya masih menghormati beliau. Tulisan ini sama sekali "nothing personal", hanya sekedar perimbangan wacana saja, agar perspektif kita lebih utuh untuk menyikapi gegap gempita demam "disruption era" yg salah kaprah.

Saya merasa ada yg kurang lengkap dari pemaparan beliau yg akhirnya bikin banyak orang ketakutan dan salah paham.  Banyak orang awam yang akhirnya jadi panik nanti masa depan anak2nya bagaimana jika pekerjaan2 yang ada sekarang bakal lenyap. Banyak eksekutif perusahaan jadi panik jangan2 mereka akan jadi korban "disruption" berikutnya dan akhirnya tergopoh2 mau bertindak tapi jadi mati gaya karena bingung entah mau melakukan apa.

Saya bisa memahami jika Prof. Rhenald bikin banyak orang jadi ketakutan. Bahkan di acara bedah buku beliau di Periplus yg saya tonton lewat Youtube, sang moderator sendiri sampai bertanya, "Prof, Ini kita kesini mau cari ide bisnis di era disruption, tapi kok malah pada pesimis nih menatap masa depan, setelah mendengar pemaparan profesor.. Dan Prof. Rhenald masih juga belum memberikan jawaban yg tegas bagaimana menyikapi perubahan drastis ini.

Saya juga memahami mengapa Prof. Rhenald di buku2nya, tulisan2 dan ceramah2nya banyak menghasilkan kepanikan dan ketakutan. Mungkin ini berawal dari paradigma "Change Management" yg menjadi bidang keahlian beliau. Dalam ilmu manajemen perubahan, salah satu tokoh utamanya adalah Professor Emeritus Harvard Business School, John P. Kotter, dengan teori beliau tentang "8 Steps to change". Dalam teori ini, langkah pertama untuk bikin sebuah organisasi (dan individu) mau berubah adalah dengan "increase urgency" alias bikin orang2 merasakan urgensitas perubahan. Dan cara paling ampuh untuk itu adalah dengan bikin mereka "ketakutan" apa dampaknya jika tidak mau berubah. Mungkin dengan niat baik inilah Prof. Rhenald hendak menyadarkan masyarakat agar segera “berubah”.

Saya sepakat dengan niat baik untuk menggugah kesadaran masyarakat agar berubah, tapi saya tidak sepakat dengat pendekatan yang entah disadari atau tidak oleh beliau telah menebarkan banyak ketakutan dan kegalauan. Mengapa saya tidak sepakat? Berikut ini alasannya:

A) Sebenarnya cara “menebarkan ketakutan dan kekhawatiran” ini baik2 saja diterapkan untuk jenis perubahan yang tidak membutuhkan kreativitas, tapi jadi tidak produktif jika tujuan kita adalah untuk melahirkan inovasi, kreatifitas, dan terobosan2 baru. Padahal untuk survive dan Berjaya di era disruption, salah satu syarat utamanya adalah: KREATIVITAS.

B) Tidak pernah (atau setidaknya jarang sekali) ide2 kreatif dan terobosan2 inovatif terlahir dari rasa takut. Buku babon setebal hampir 800 halaman tentang kreativitas, The Encyclopedia of Creativity menyebutkan bahwa salah satu penghalang utama kita untuk menghadirkan solusi kreatif adalah jika kita sedang mengalami “emotional barrier”. Dan diantara semua jenis emosi penghalang kreativitas ini, rasa takut adalah yg paling melumpuhkan. Jadi anda tidak bisa memaksa orang yg sedang dilanda ketakutan tentang bahaya era disruption untuk mencari solusi kreatif tentang bagaimana sukses mengatasinya. Anda hanya akan berhasil membuat mereka ketakutan, merasa terpaksa harus berubah, semangat ikut trainingnya, tapi bingung dan mati gaya harus melakukan apa.

C) Cara yg lebih pas untuk bikin orang terbuka pintu hatinya untuk mau berubah, sekaligus terinspirasi untuk jadi kreatif menemukan solusi adalah dengan memberikan mereka rasa OPTIMISME akan hadirnya kesempatan yang sangat besar menanti di depan mata.

1) Bill Gates melahirkan Microsoft bukan karena ketakutan kehilangan pekerjaan, tapi terinspirasi sekali akan hadirnya komputer, dan optimis bahwa dia bisa bikin software bagus. Akhirnya dia telpon ibunya bahwa dia bakal 6 bulan tidak pulang untuk mengerjakan proyek MS-DOS dari IBM.

2) Mark Zuckerberg bikin Facebook bukan berangkat dari ketakutan akan masa depannya. Bahkan dia pertaruhkan masa depannya dengan DO dari Harvard demi mengejar impian "menghubungkan tiap orang di muka bumi". Pada saat ceramah di acara wisuda di Harvard, dia mengatakan, yg bikin dia bisa melahirkan Facebook, karena dia merasa tenang, tidak takut apapun. Dan dia ingin menekankan pentingnya setiap orang untuk “bebas dari rasa takut”, untuk mencoba hal2 baru yg inovatif.

3) Steve Jobs, Thomas Alfa Edison, Elon Musk, Jeff Bezos, sebutkan semua inovator kreatif yg bikin perubahan2 radikal abad ini, hampir semuanya tidak ada yg melahirkan inovasinya dalam suasana batin ketakutan akan ancaman situasi masa depan. Mereka semua adalah para OPTIMISTS yg melihat kesempatan besar ditengah kebanyakan orang yang sedang kalut dan takut menghadapi tantangan zamannya.

4) Terakhir, di level lokal, Trio Unicorn Indonesia (Startup bernilai diatas 14 Trilyun rupiah: Gojek, Traveloka & Tokopedia) tidak ada yg dilahirkan dari orang2 yg ketakutan akan masa depan. Mereka semua mendirikan perusahaan2 tersebut dengan suasana batin optimis dan terinspirasi akan peluang besar di depan mata.

5) Singkat kata: Takut & pesimis = Bingung & Mati Gaya, Tenang & Optimis = Kreatif & Solutif

D)Era Disruption adalah era yg seharusnya bikin kita optimis, bukannya malah ketakutan. Mengapa? Karena ini hanyalah era transisi menuju era abundance (keberlimpahan). Minggu lalu saya baru pulang dari training di Singularity Univeristy. Ini adalah salah satu lembaga yg meneliti, mengajarkan dan mempopulerkan istilah “Disruption Era”. Lembaga ini di disponsori oleh NASA, Google, dan perusahaan2 teknologi paling top di Silicon Valley, bahkan bertempat di pusat penelitian NASA disana. Di pusatnya sini, Istilah “disruption era” itu menimbulkan aura positif, optimis, dan penuh semangat. Saya ndak tahu lha kenapa begitu sampai di Indonesia malah diartikan salah kaparah sebagai istilah yg menakutkan dan penuh ancaman. Mungkin karena Prof. Renald sebagai juru bicara utamanya menyampaikannya sepenggal saja (sisi seramnya), jadi banyak orang salah paham, panik dan ketakutan. Itulah mengapa belajar setengah2 itu berbahaya, “little bit learning is dangerous”.

E)Era disruption adalah fase ke-3 dari 6 fase Exponential Growth. Yg menelorkan teori ini adalah Peter Diamandis (Co-founder dari Singularity University tersebut). Menurut beliau, abad ini akan ditandai perubahan besar2an yg terjadi dalam 6 fase (6D's of Exponential Growth):

1) Digitalization (Transformasi dari analog menjadi Digital. Misal: Kodak menemukan Foto Digital. Atau Musik, Film, Buku, dll dijadikan bentuk digital MP3, MP4, PDF, dll)

2) Deception (Kodak tertipu karena dikira ini teknologi amatir yg ndak bakal bisa menggantikan keindahan dan ketajaman foto manual, karena saat itu resolusinya masih 0,1 Mega Pixel).

3) Disruption (Diluar kendali Kodak, tiap 18 bulan, ketajaman foto digital naik 2x lipat secara eksponensial. Dan pada saat ketajamannya mencapai 2 Mega Pixel, kualitasnya sudah sama dengan foto analog. Saat itulah Kodak mulai terdisrupsi.) Fase inilah yg bikin kehebohan disana sini, karena di fase ini, Uber mendisrupt perusahaan taxy, AirBnB mendisrupt Hotel, dll. Terjadi kepanikan masal karena dipikir dunia (minimal bisnis kita) akan runtuh.

4) Dematerialization (semua produk digital akhirnya tidak perlu wadah "material" karena tiba2 semua bisa disimpan di Cloud yg siap diunduh kapanpun dan dimanapun. Jadi silahkan dibuang Semua hardisk yg beirisi koleksi Foto digital anda. Upload aja ke Google Foto yg gratis penyimpanannya, kapanpun, dimanapun, pake alat apapun yg kompatibel, jika anda perlu foto itu tinggal download)

5) Demonetization (Begitu semua tidak dalam wadah material, maka harganya makin lama makin turun. Dan satu saat bisa sangat murah dan terjangkau buat semua. Begitu buku sudah di .Pdf kan, harganya nyaris Nol. Silahkan aja ke koleksi 300 juta buku gratis di: www.pdfdrive.net. Sekarang semua Musik, foto, buku, film, serial tv sudah dibikin versi digitalnya, yg kita masih diminta bayar, tapi ini makin lama makin murah, karena tidak ada lagi "biaya cetak".

6) Democratization (Pada puncaknya, semua produk akan menjadi murah dan tersedia buat semua orang. Anda telah merasakan sebagian, Video call gratis, HP Murah, Belajar & Baca Buku, Nonton Film dan dengar musik gratis, dll. Inilah fase Abundance for All: Keberlimpahan buat semua). Peter Diamandi menulis buku khusus yg menjelaskan fenomenna “Abundance” ini. Sekedar intermezzo: Saat Bill Clinton mempromosikan buku ini, Peter ditanya sama Bill, “mengapa anda jadi orang kok sangat optimis?” Peter menjawabnya, “Karena saya tidak pernah baca berita (apalagi hoax), dan saya hanya percaya sama data2 ilmiah. Dan semua data ilmiah ini mengarah kesana, bahwa kita semua akan berkelimpahan, abundance for all”. Mungkin ada baiknya kita tiru kebiasaaan Peter Diamandis ini agar kita tidak serba pesimis dan ketakutan: Jangan banyak baca berita, mulailah baca data2 ilmiah.

Maka mestinya, era disruption itu tidak perlu ditakuti atau bikin panik, cuman perlu dipahami bahwa ini bagian dari revolusi kemajuan peradaban yg makin lama akan makin cepat dan insya Allah mengarah pada perbaikan buat semua.. the greatest good for the greatest number of people. Kalau dalam revolusi ada korban2 yg bergelimpangan karena ndak cukup paham dan tanggap, itu hal yg biasa. Nanti juga mereka akan belajar. Dan kita semuapun perlu belajar lebih tuntas untuk menyambut Era Baru yang sangat menjanjikan ini.

Kesimpulan :

Terimakasih Prof. Renald Kasali, yang atas jasa bapak telah menggugah banyak orang dan perusahaan untuk shock dan mau berubah. Tapi semoga ini jangan kebablasan jadi ketakutan dan kekhawatiran massal. Karena itu perlu dilengkapi juga dengan wacana penyeimbang yang menyuntikkan optimisme dan harapan.

Karena ide-ide besar kreatif dan terobosan-terobosan baru inovatif untuk survive dan Berjaya di era disruption ini tidak akan pernah lahir dari rasa takut dan panik, tapi akan tumbuh subur di pikiran orang-orang dan perusahaan2 yg tenang dan optimis.

Salam takdzim buat Prof. Rhenald Kasali dan kawan2 semua yg membaca tulisan ini.

Bloomington, 14 November 2017

Ahmad Faiz Zainuddin
Mahasiswa MBA
Warwick Business School, UK
Indiana University, USA
Alumni Singularity University, Silicon Valley, USA

Selasa, 14 November 2017

SABAR BUAT SENDIRI

SABAR



Direndahkan tidak mungkin jadi SAMPAH, Disanjung tidak mungkin jadi REMBULAN.

Maka jangan risaukan OMONGAN orang, sebab setiap orang membacamu dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda.

Teruslah melangkah selama engkau di jalan yang BENAR, meski terkadang KEBAIKAN TIDAK SELALU DIHARGAI.

Tidak usah repot-repot menjelaskan tentang dirimu, sebab yang menyukaimu TIDAK BUTUH itu dan yang membencimu TIDAK PERCAYA itu.

HIDUP  itu bukan tentang siapa yang TERBAIK, tapi tentang SIAPA yang mau BERBUAT BAIK.

Jika didzalimi orang JANGAN BERPIKIR untuk MEMBALAS DENDAM, tapi berpikirlah cara MEMBALAS dengan KEBAIKAN.

Teruslah BERDOA dan BERSYUKUR. Sibukkan diri dalam KEBAIKAN hingga KEBURUKAN LELAH MEMGIKUTIMU.

Orang TAK BERIMAN berkata, SABAR itu ADA BATASNYA.

Tapi bagi orang yang BERIMAN, SABAR itu TANPA BATAS.

Jadi , sabar itu menerima dahulu kehadiran tamu yang bernama "MASALAH" sebelum kita melepaskannya. Sebab kita tak akan mudah melepas sesuatu yang belum kita terima.

Masalah itu akan mudah berpamitan bila sudah kita jamu dengan BERSYUKUR.

Semoga bermanfaat..

Minggu, 12 November 2017

KITA SEMUA BERBEDA, TETAPI KITA TETAP BELAJAR & BEKERJA SAMA

KITA SEMUA BERBEDA, TETAPI KITA TETAP BELAJAR & BEKERJA SAMA


Assalammu'alaikum...

Hari ini adalah hari yang teramat penting dan teramat indah, bagi anda para mahsiswa dan mahasiswi.  Saudara – saudara adalah bagian dari sedikit orang – orang yang dipilih Allah SWT untuk diangkat derajat hidupnya, dengan Ilmu. Hari ini dalam strata sosial, posisi saudara sudah meningkat dari strata bawah ke strata atas.

Selaku orang yang berada di strata atas, tidak pada tempatnya apabila melewatkan hari – hari tanpa Ilmu, Kreatifitas dan pedoman hidup yang bermanfaat.  Hadirin peserta Makrab STIE MBI, dinamika kehidupan saat ini ditandai oleh semakin menguatnya persaingan hidup, yang berkembang bteramat ketat, juga sudah berubah dari persaingan konvensional ke persaingan berteknologi tinggi.

Manusia bersaing ditengah keberagaman sikap, pemikiran, ideologi, kepentingan dan pola hidup yang kompleks dan berbenturan. Manusia semakin asing terhadap dirinya sendiri, asing terhadap nuraninya dan asing terhadap nilai-nilai kebaikan, kebenaran, kejujuran dan keadilan.

Di Kampus STIE MBI, kreatifitas adalah harta karun yang tak ternilai. Sentuhan kreatifitas akan membuat hal yang biasa menjadi sesuatu yang luar biasa menginspirasi, bahkan mengubah!, Di STIE MBI, setiap orang adalah Jenius !

Di STIE MBI Nilai Semangat, kreatifitas, maupun terobosan tidak ada artinya jika tidak mengandung kebermanfaatan bagi lingkungan dan orang banyak.  Mahasiswa harus ciptakan sesuatu yang luar biasa sekaligus bermanfaat nyata bagi mahasiswa dan masyarakat.

Pasar Kampus adalah gagasan yang diera digital ini semakin menjadi market place of idea.  Kampus bertugas membangun kemampuan berfikir kritis bagi mahasiswa. Didalam kampus mereka belajar mengunyah berbagai gagasan lama, untuk membangun gagasan baru mereka sendiri – dalam lingkungan yang lebih terkendali.

Bersiaplah :
Di masa sekarang, dalam ujian Mahasiswa disuruh menjawab pertanyaan di sebuah kertas. Di masa depan mungkin ujian hanya dengan kertas kosong tanpa pertanyaan.

Tukang pos bersaing dengan teknologi : WA, email. Profesi hari ini belum tentu di masa depan masih ada, sehingga tanyakan kepada Mahasiswa besok mau membuat apa… ? Jangan bertanya mau jadi apa… ?

Pengelola pendidikan jangan terpukau dengan cerita masa lalu, tapi gelisahlah dengan masa depan. Kemenangan itu disiapkan di ruang kelas dan di ruang komunitas.

Wassalammu'alaikum...
Eko Yulianto




Minggu, 29 Oktober 2017

Membongkar Irasionalitas Manusia dengan Ilmu Behavioral Economics

Copass dari sebelah
Sharing Prof. Richard Thaler pemenang nobel ekonomi 2017.     
Membongkar Irasionalitas Manusia dengan Ilmu Behavioral Economics

Oleh: Yodhia Antariksa



Manusia itu, saya dan Anda semua, pada dasarnya suka berpikir secara tidak rasional atau irasional. Begitu ujar Prof Dan Ariely – pakar behavioral economics – dalam bukunya yang terkenal berjudul Predictably Irrational.

Selama ini, kita selalu merasa selalu berpikir rasional dan obyektif. Sayangnya, perasaan ini hanya fantasi.

Kita sebagai manusia ternyata punya begitu banyak bias atau thinking error yang acap tak kita sadari, dan membuat keputusan kita dalam banyak hal menjadi kacau.

Apa saja thinking error itu? Mari kita ulik di pagi yang cerah ini.

Pagi ini, saya terinspirasi menulis artikel tentang ilmu Behavioral Economics karena minggu lalu salah satu pakarnya, Prof Richard Thaler dinobatkan sebagai pemenang nobel ekonomi 2017.

Prof Richard Thaler yang juga dosen di Fakultas Ekonomi University of Chicago, adalah sosok yang dianggap sebagai the Father of Behavioral Economics.

Ilmu behavioral economics sendiri adalah salah satu cabang baru dalam ilmu ekonomi. Premis dasar ilmu behavioral economics adalah : manusia itu tidak rasional, dan suka memasukkan elemen emosi dalam economic decision making.

Pandangan itu tentu saja antitesa dari ilmu ekonomi konvensional yang selama ini punya asumsi : manusia selalu rasional dalam mengambil keputusan ekonomi.

Itulah kenapa banyak ekonom konvensional yang agak jengah dengan ilmu behavioral economics : sebab pendekatan ini membuat asumsi ekonomi klasik menjadi roboh dan terpelanting.

Ilmu behavioral economics sendiri dibangun melalui kombinasi antara ilmu ekonomi dan psikologi. Itulah kenapa dewa-dewa dalam ilmu behavioral economics kebanyakan adalah para ahli psikologi seperti Prof Daniel Kahneman (yang juga menang nobel ekonomi tahun 2002), dan Prof Richard Thaler sendiri.

Melalui riset yang dilakukan para ahli behavioral economics, ditemukan beragam “bias” atau “systematic thinking eror” yang acap menyelinap dibalik sanubari kita.

Diam-diam beragam bias itu ini membuat decision making kita menjadi tidak lagi obyektif dan rasional. Bias itu membuat kita – saya dan kamu – berulang kali melakukan error yang bersifat sistematis, dan acap membuat hidup kita nyungsep dalam kegelapan nasib.

Ada banya jenis error thinking yang dilacak dalam riset-riset behavioral economics. Saya akan coba mengulas 5 diantaranya. Mari kita lacak sambil ditemani secangkir teh hangat.

Error Thinking # 1 : LOSS AVERSION
Puluhan studi dalam ilmu behavioral economics membuktikan ternyata kita manusia itu cenderung terlalu takut dengan potensi kerugian, dibanding potensi keuntungan yang akan diraih.

Fenomena itu disebut sebagai loss aversion – atau terlalu khawatir dengan potensi kerugian.

Manusia dimanapun di dunia ini ternyata memang cenderung takut untuk mengambil risiko. Kita semua lebih gentar menghadapi potensi kerugian; daripada bersemangat menjemput peluang keuntungan.

Dalam sebuah studi bahkan terungkap : rasa sakit kita akan kehilangan ternyata lebih membekas didalam hati daripada rasa senang akibat mendapatkan keuntungan.

Dengan kata lain : pengalaman rugi 10 juta ternyata jauh lebih lama membekas dalam hati, dibanding perasaan senang akibat dapat untung 10 juta.

LOSS AVERSION mungkin yang bisa menjelaskan kenapa mayoritas orang agak ragu untuk memulai usaha baru secara mandiri.

Bahkan sebelum memulai menjalankan usaha, kebanyakan orang sudah takut duluan. Takut jangan-jangan nanti malah rugi. Jangan-jangan usaha saya gagal.

Loss aversion yang juga mungkin bisa menjelaskan kenapa kebanyakan orang agak pesimis dengan peluang keberhasilan yang akan mereka miliki.

Error thinking semacam ini yang bisa membuat hidup kita kelak jadi termehek-mehek.

Error Thinking # 2 : ENDOWMENT EFFECT
Efek ini intinya bermakna : Anda terlalu menghargai berlebihan barang yang Anda sudah beli atau yang sudah Anda miliki.

Begitu Anda membeli atau memiliki sesuatu, mendadak muncul rasa cinta pada barang itu, dan akibatnya Anda memberikan value yang lebih tinggi dibanding harga pasaran atau nilai sebenarnya.

Misal : Anda memiliki mobil Honda Jazz baru. Setelah beberapa lama, Anda ingin menjualnya kembali. Anda kemungkinan besar akan memberikan harga penawaran yang jauh lebih tinggi dibanding harga pasaran. Anda yang memiliki mobil tersebut cenderung memberikan penilaian harga yang lebih tinggi dibanding harga pasaran yang sebenarnya.

Contoh lain endowment effect : Anda membeli saham Telkom misalnya. Setelah beberapa bulan ternyata harganya jeblok. Namun karena pengaruh endowment effect, Anda tidak segera cut loss. Anda terus saja memberikan penilaian berlebihan dan membenarkan pembelian Anda, meski makin lama harga makin jatuh.

Contoh lain lagi : Anda terlibat dalam sebuah projek. Setelah beberapa lama projek ini sebenarnya merugi, namun Anda tetap saja menginvestasikan tenaga, pikiran dan dana yang tersisa untuk meneruskan projek yang merugi ini.

Kenapa Anda tak segera cut? Karena ada efek endowment : Anda merasa “sayang” kalau projek yang sebenarnya merugi ini Anda putus ditengah jalan.

Endowment effect inilah yang juga membuat Nokia dan Kodak dulu mati ditelan sejarah.

Mereka terjebak endownent effect : terlalu mencintai produknya sendiri secara berlebihan. Terlalu bangga dan memberikan penilaian berlebihan terhadap produknya sendiri, sehingga abai dengan perubahan mendadak disekelilingnya.

Too much love will kill you. Ternyata ungkapan romantis ini benar adanya, yang dibuktikan melalui studi-studi dalam ilmu behavioral economics.

Error Thinking #3 : CONFIRMATION BIAS
Error ini intinya Anda terjebak pada pilihan favorit yang Anda miliki; sehingga mengabaikan alternatif pilihan. Anda hanya mau membaca informasi yang meng-konfirmasikan kebenaran pilihan favorit Anda.

Contoh : Anda sudah suka smartphone merk tertentu. Maka saat browsing mencari informasi tentang smartphone baru, Anda menseleksi informasi yang Anda mau baca. Anda cenderung lebih fokus untuk mencari informasi yang membenarkan kekuatan smartphone favorit Anda; dan mengabaikan informasi yang mengkritisi kekuatan smartphone tersebut.

Confirmation bias ini amat masif terjadi saat Pilpres atau Pilgub. Saat Anda sudah punya pilihan favorit, maka Anda hanya akan mau membaca informasi yang membenarkan pilihan Anda; dan enggan membaca atau mendadak emosi saat membaca informasi yang tidak sesuai pilihan Anda.

Semua kubu terjebak confirmation bias. Maka pilihan yang rasional dan obyektif menjadi sulit dilakukan saat semua orang terjebak error thinking semacam ini.

Error Thinking # 4 : HERD BEHAVIOR
Studi-studi dalam ilmu behavioral economics menemukan fakta kelam ini : manusia, saya dan kamu semua, ternyata suka bertindak seperti kerumunan bebek. Belok kiri satu, belok semua. Ada yang ke kanan, ke kanan semua.

Kita semua itu memang suka latah. Punya perilaku seperti kerumunan yang mudah latah dengan perilaku orang-orang disekitar kita.

Herd behavaior ini yang memunculkan mania, tren sesaat atau kehebohan akan sesuatu. Keramaian makin mengundang keramaian.

Warung makan pinggir jalan yang ramai, pasti akan makin ramai. Penjual obat jalanan yang ramai didengar orang, pasti akan makin banyak pengunjungnya.

Buku yang diberi label best seller, pasti akan makin meningkat penjualannya. Toko roti yang antriannya panjang, pasti akan makin heboh pembelinya. Investasi yang lagi hot, pasti akan makin banyak yang tertarik ikut.

Itu semua adalah fenomena herd behavior. Sebab kamu dan saya memang suka latah dan penasaran dengan apa yang disukai banyak orang.

Error Thinking # 5 : SURVIVOR BIAS
Bias ini terjadi saat kita mengambil kesimpulan berdasar data yang tidak valid. Kenapa tidak valid, karena yang sering kita baca hanya yang survive atau sukses bertahan. Yang gagal jarang diberitakan.

Contoh : Steve Jobs, Bill Gates dan Mark Zuckerberg semua adalah mahasiswa drop out atau DO. Tapi sukses. Kemudian ada yang bilang, nggak usah takut DO, sebab Anda bisa sukses juga seperti mereka.

Pernyataan seperti itu adalah contoh pikiran yang terjebak survivor bias. Pernyataan ini menganggap kasus Bill Gates dkk yang DO tapi sukses adalah “kebenaran umum”.

Faktanya : orang DO yang sukses seperti mereka mungkin hanya 1%. Mayoritas lainnya ya tetap jadi pengangguran atau jadi orang miskin.

Survivor bias adalah cermin kebodohan dalam memahami ilmu statistik. Kasus tertentu yang mungkin hanya terjadi pada 1 – 2% orang, dianggap mewakili SELURUH populasi.

Kesalahan generalisasi seperti itu sering terjadi. Hanya karena baca satu atau dua kasus di media atau di grup WA, mendadak menganggap semuanya akan seperti yang ada dalam kasus tersebut. Ini namanya kegoblokan statistik.

DEMIKIANLAH, lima jenis bias atau error thiking yang berhasil diungkap dalam beragam riset ilmu Behavioral Economics. Lima error thinking ini adalah :

1. Loss aversion : gue takut rugi ah
2. Endowment effect : too much love will kill you
3. Confirmation bias : pilihan gue yang paling hebat
4. Herd behavior : kita semua suka latah
5. Survivor bias : kepalsuan statistik

Harap dikenang selalu 5 bias diatas. Sebab kita semua mungkin akan selalu terjebak didalamnya.

Rabu, 25 Oktober 2017

PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA - STRATEGI MENCIPTAKAN SEKOLAH BERKARAKTER


STRATEGI MENCIPTAKAN SEKOLAH BERKARAKTER


Sekolah merupakan sebuah institusi pendidikan yang berusaha memberi bekal kehidupan kepada siswa dengan melalui program pengajaran dan pembelajaran. Bekal tersebut meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diharapkan dapat membantu siswa dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat. Dalam hal ini kemampuan yang perlu dikembangkan pada diri siswa meliputi semua aspek, tidak hanya aspek berpikir (kognitif), tapi juga aspek keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif). Sehingga sekolah dapat disebut sebagai tempat pengembangan diri siswa dan sebagai pusat pembudayaan bagi siswa.

Sekolah harus menjadi instrumen pendidikan yang mampu mencetak individu yang berkualitas. Dalam hal tersebut, tentu perlu adanya strategi dalam membangun Sekolah Berkarakter seperti Sekolah Kooperatif dan Sekolah Progresif Berbasis Karakter.

A.    Membangun Sekolah Demokratis

1.      Pengertian Demokrasi

Demokrasi adalah gabungan dari dua kata yaitu demos dan kratos yang diambil dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan. Jadi demokrasi dapat diartikan sebagai suatu pemerintahan dimana rakyat memegang suatu peranan yang sangat menentukan (Wuryo, Kasmiran, dkk. 1980:112).

Menurut tahapannya dikenal dua tahap demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung ( tim penyusun,1993:118 ). Dalam demokrasi langsung rakyat ikut secara langsung dalam menentukan pemerintahan. Hal ini terjadi pada tipe-tipe negara kota waktu zaman Yunani kuno, yakni ketika rakyat berkumpul pada tempat tertentu untuk membicarakan berbagai masalah kewarganegaraan. Pada masa modern ini cara demikian tentu tidak mungkin lagi karena selain negaranya semakin luas dan warganya semakin banyak, urusan-urusan kenegaraan juga semakin kompleks. Jadi rakyat tidak lagi ikut dalam urusan pemerintahan secara langsung melainkan melalui wakil-wakilnya yang ditentukan melalui pemilihan umum. Inilah yang disebut demokrasi tidak langsung.Yang melaksanakan kekuasaan Negara demokrasi adalah wakil-wakil rakyat yang terpilih, di mana rakyat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh wakil rakyat dalam melaksanakan kekuasaan negara.
Adapun ciri khas demokrasi adalah sebagai berikut :
1)      Adanya pembagian kekuasaan.
2)      Adanya undang-undang yang demokratis.
3)      Adanya rule of law, bukan rule of  power.
4)      Partai politik lebih dari satu.
5)      Pers yang bebas.
6)      Pemilu yang bebas.
Sedangkan pokok-pokok dalam pelaksanaan demokrasi adalah sebagai berikut :
1)      Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat.
2)      Adanya pemerintahan perwakilan.
3)      Bersumber pada persetujuan bebas mayoritas rakyat.
4)      Pelaksanaan hak-hak sosial dan politik.
5)      Kekuasan pemerintah yang terbatas dan diawasi.
6)      Penghargaan dan perlindungan  hak asasi manusia (HAM).
7)      Tegaknya hukum bersamaan dengan tegaknya keadilan.

2.      Nilai-nilai Demokrasi
Henry B Mayo dalam bukunya “Introduction to Demokratic Theory” merinci beberapa nilai yang terdapat dalam demokrasi, yaitu :
1)      Menyelesaikan persoalan secara damai dan melembaga.
2)      Menjamin terselenggaaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.
3)      Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur.
4)      Membatasi pemakaian kekerasan sampai taraf yang minimum.
5)      Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity).
6)      Menjamin tegaknya keadilan.

Nilai-nilai demokrasi dipercaya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semangat egalitarian dibandingkan dengan ideologi non-demokrasi. Menurut Dahl keuntungan pelaksanaan demokrasi sebagai berikut :
1)      Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik.
2)      Demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah HAM yang tidak diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratis.
3)      Demokrasi menjamin kebebasan yang lebih luas bagi warga negaranya.
4)      Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya.
5)      Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasannya untuk menentukan nasibnya sendiri yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka tentukan dan konsekwensikan sendiri.
6)      Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral.
7)      Demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total.
8)      Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.
9)      Negara-negara demokrasi perwakilan modern tidak berperang satu sama lain.
10)  Negara-negara demokratis yang konsekuen terhadap kedemokratisannya cenderung lebih makmur daripada Negara-negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.

Untuk dapat menjamin tetap tegaknya nilai-nilai demokrasi tersebut maka perlu diselenggarakan lembaga-lembaga sebagai berikut :
1)      Pemerintah yang bertanggung jawab.
2)      Lembaga perwakilan rakyat yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengadakan pengawasan (kontrol) terhadap pemerintah.
3)      Pembentukan organisasi/partai politik.
4)      Pers dan media masa yang bebas untuk menyatukan pendapat.
5)      Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.

3.      Pengertian Sekolah Demokratis
Dalam pendidikan, ada nilai-nilai seperti, tidak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama, dan bangsa. Nilai-nilai ini ditanamkan agar hubungan antara sesama peserta didik dengan gurunya saling menghargai dan menghormati.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak atau peserta didik untuk berfikir dan memecahkan persoalan-persoalannya sendiri secara teratur, sistematis, dan komprehensif serta menumbuhkan kekritisan, sehingga anak didik memiliki wawasan, kemampuan, dan kesempatan yang luas. Tentunya dalam proses seperti itu diperlukan sikap yang demokratis.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, sekolah demokratis adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratik. Dengan kata lain sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seterti pelibatan masyarakat (stake holder dan user sekolah ) dalam membahas program-program sekolah / madrasah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik serta dapat dipertanggung jawabkan implementasinya kepada publik.

4.      Prinsip-Prinsip Demokrasi Dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan pasti ada prinsip-prinsip demokrasi yang tertanam di dalamnya. Dalam prinsip tersebut dapat dipahami bahwa ide dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat dipengaruhi oleh fikiran, sifat, jenis masyarakat dimana mereka berada, karena dalam kenyataannya, bahwa pengembangan demokrasi pendidikan itu akan banyak dipengaruhi oleh kehidupan dan penghidupan masyarakat. Demokrasi dalam pendidikan mempunyai prinsip-prinsip ini begitu bermakna dalam dunia pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1)      Keadilan dalam pemerataan kesempatan belajar bagi semua warga negara dengan cara adanya pembuktian kesetiaan dan konsisten pada sistem politik yang ada.
2)      Dalam rangka pembentukan karakter bangsa sebagai bangsa yang baik.
3)      memiliki suatu ikatan yang erat dengan cita-cita.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, sekolah demokratis adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratik. Dengan kata lain sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seterti pelibatan masyarakat (stake holder dan user sekolah) dalam membahas program-program sekolah/madrasah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik serta dapat dipertanggung jawabkan implementasinya kepada publik.

Sedangkan dalam Islam sendiri mempunyai pemahaman tersendiri mengenai demokrasi pendidikan yang bersumber dalam Al-Qur’an dan Al-Hadit’s. Di dalam Al-Qur’an antara lain terdapat dalam surat as-syura ayat dua yang artinya sedang urusan mereka (diputuskan ) dengan musyarah antara mereka-mereka.

Dari contoh ayat di atas dapat dipahami adanya prinsip musyarah, persatuan dan kesatuan umat sebagai salah satu prinsip demokrasi. Dalam hadist nabi Muhammad bersabda : menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim (baik laki-laki maupun wanita)

Al-Qabisi adalah salah seorang pemikir atau tokoh pendidikan Islam mengemukakan bahwa anak-anak yang masuk di Kattab tidak ada perbedaan derajat dan martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian.

5.      Pengembangan Sekolah Demokratis Di Indonesia
Cara pengembangan sekolah demokratis yaitu dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar dengan yang belum pintar, tidak membedakan antara yang rajin dengan yang belum rajin, semua memperoleh perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya disaat liburan umum, sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini telah memberikan pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara yang mayoritas dengan minoritas dalam sekolahnya.

Setelah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 yang meletakan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan, serta UU No. 20 tahun 2003 yang memberikan penguatan pada paradigma pendidikan demokratis serta mendorong optimalisasi peranserta masyarakat, pendidikan memasuki era baru dengan semangat demokratis, karena undang-undang tersebut disambut oleh daerah dengan memberi peluang pada sekolah/madrasah untuk mengembangkan networking horizontalnya dengan stake holder dan user sekolah, dalam proses mengembangkan perencanaan sekolah, pengembangan kurikulum maupun penetapan berbagai kebijakan mendasar dari sekolah, tidak terkecuali sekolah negeri, sementara pemerintah daerah hanya akan mengambil tugas dan kewenangan fasilitatif, penyediaan sarana dan prasarana, pengajian dan pengembangan SDM serta koordinasi antar daerah kabupaten/kota, dan pemerintah pusat hanya pengembangan standar serta berbagai sistem yang memberikan jaminan kualitas keluaran sekolah.

Implikasi besar dengan lahirnya UU No. 33 Tahun 2004 dan UU No. 2003 adalah perubahan radikal dalam otoritas pengembangan pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah pusat melalui Depdiknasnya, kini terdelegasikan pada sekolah dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Dan kini semangat perubahan radikal tersebut memperoleh tempat yang sangat kuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini adalah penegasan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, artinya, bahwa keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi pendukungnya akan lebih besar dari pemerintah pusat.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, menjelaskan bahwa kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis adalah :
1)      Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2)      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3)      Menyampaikan kritik sebagai analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem, dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4)      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5)      Kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6)      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7)      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.

Inti dari teori James A. Beane dan Michael W. Apple di atas adalah, sekolah demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua stake holder sekolah/madrasah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah atau madrasah, berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh.

Menurut lyn Haas menjelaskan bahwa sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yaitu :
1)      Pendidikan untuk semua, yaitu semua siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh pelajaran sehingga memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas, serta memiliki basis skill dan keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta sesuai pula dengan kebutuhan pada tenaga kerja.
2)      Memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karna pasar menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan akses pada pengetahuan.
3)      Penekanan pada kerjasama, yakni penekanan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama, karena tren pasar ke depan adalah mengembangkan kerjasama, baik antra perusahaan, atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya.
4)      Pengembangan kecerdasan ganda; yakni para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelijence mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang beragam, sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja.
5)      Integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki kepekaan sosial.

Kelima point di atas memperlihatkan adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progresiv, dan peka terhadap berbagai kemajuan dan perkembangan teknologi di luar sekolah, sehingga jika kurikulum dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh struktur birokrasi yang kaku, sekolah bisa tertinggal oleh kemajuan, dan sekolah akan kehilangan relevansinya dengan berbagai perubahan yang pada akhirnya akan ditinggalkan oleh stake holdernya sendiri. Oleh sebab itu, argumen-argumen di atas memperkuat bahwa model sekolah demokratis itu amat relevan untuk dikembangkan.

6.      Keunggulan Sekolah Demokratis Yaitu :
a.       Akuntabilitas, yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggungjawabkan pada publik yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Guru yang diangka harus yang memilliki keahlian dalam bidang ilmu yang akan dijarkannya, memiliki keterampilan mengajar yang memadai, serta memiliki loyalitas keguruan yang teruji. Kemudian menejemen sekolah juga dapat dipertanggungjawabkan pada publik, dapat meminimalisir bias individual dalam berbagai keputusan, dan promosi seseorang benar-benar didasarkan pada keahlian dan pengalaman yang memadai, dan dalam konteks akuntabilitas juga, sekolah demokratis selalu menjunjung tinggi collective judgement, yakni keputusan diambil bersama-sama.
b.      Pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa secara individual. Berbagai kesulitan siswa akan menjadi perhatian guru, dan dengan senang hati guru akan terus membantu sehingga siswa dapat menyelesaikan berbagai kesulitannya.
c.       Keterlibatan masyarakat dalam sekolah, yaitu dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan merupakan refleksi dan keinginan masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, dan akan responsif dengan berbagai persoalan sekolah. Dengan demikian para guru bekerja juga akan merasa tenang karena senantiasa bersama-sama dengan masyarakatnya, keputusan pimpinan sekolah juga akan menjadi keputusan yang bulat, karena disepakati bersama oleh masyarakatnya, dan sekolah akan selalu terkontrol oleh mekanisme yang diatur dalam sistem penyelenggaraan sekolah tersebut.
Berbagai keuntungan tersebut bisa menjadi perspektif untuk pengembangan sekolah ke depan, karena jika pendidikan di Indonesia berkualitas, penyelesaiannya adalah perbaikan mendasar, yakni kurikulum, bahan ajar dan guru sebagai pengajar.

7.      Tujuan Pelaksanaan Demokrasi di Sekolah
Seperti sebuah negara, sekolah juga merupakan suatu organisasi, layaknya masyarakat mini yang memiliki warga dan peraturan. Sekolah merupakan sebuah organisasi, yakni unit sosial yang sengaja dibentuk oleh beberapa orang yang satu sama lain berkoordinasi dalam melaksanakan tujuannya untuk mencapai tujuan bersama. Tujuannya yaitu mendidik anak-anak dan mengantarkan mereka menuju fase kedewasaan, agar mereka mandiri baik secara psikologis, biologis, maupun sosial. Dalam pendidikan demokrasi menekankan pada pengembangan ketrampilan intelektual, ketrampilan pribadi dan sosial. Dalam dunia pendidikan haruslah ada tuntutan kepada sekolah untuk mentransfer pengajaran yang bersifat akademis ke dalam realitas kehidupan yang luas di masyarakat.

Demokrasi di sekolah dapat diartikan sebagai pelaksanaan seluruh kegiatan di sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Mekanisme berdemokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, namun secara substantif, sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan nilai-nilai Demokrasi Pancasila. Beane dan Apple (1995: 7) dalam Rosyada (2004: 16) mengemukakan bahwa kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis adalah sebagai berikut.
1)      Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2)      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3)      Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4)      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5)      Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6)      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7)      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis

Ciri-ciri organisasi sekolah demokratis, sebagaimana dituliskan Rosyada (2004: 228-289) dary buku karangan Tony Bush (48-50) adalah sebagai berkut:
1)      Sangat beorientasi negatif, yakni bahwa manajemen harus didasarkan pada kesepakatan, apapun progam yang hendak dikembangkan dan diimplementasikan harus didasarkan pada kesepakatan, dan tidak hanya menjadi values tapi juga sebagai sebuah keyakinan, bahwa model nilah yang terbaik.
2)      Pendekatan demokratis sangat layak untuk organisasi dengan para anggota dari kalangan professional, yakni mereka yang memiliki kemampuan teknis dan keterampilan, mereka memiliki otoritas dalam keahliannya. Organisasi sekolah harus dikelola oleh kalangan-kalangan profesional karena siswa memerlukan pembinaan dan pelayanan dari mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.
3)      Penanaman nilai, kultur dan kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi dilakukan oleh anggota organisasi itu sendiri, yang sudah dimulai sejak dalam fase pendidikan dan tahun-tahun pertama mereka bekerja.
4)      Pengambilan putusan tentang berbagai kebijakan penting dilakukan oleh sebuah komite dan tidak dilakukan secara individual oleh seorang kepala dengan menggunakan otoritas kepimpinannya. Dan semua unsur memiliki wakil dalam komite tersebut, yang harus mempertanggungjawabkan keterlibatannya dalam komite terhadap konstituennya.
5)      Semua putusan ditetapkan dengan cara konsensus atau kompromi dan sedapat mungkin dihindari polarisasi organisasi karena perbedaan pendapat dan pandangan. Perbedaan dalam proses harus diakhiri dengan konsensus dan atau kompromi, walaupun terkadang harus menghargai kecenderungan masyarakat.

Secara prinsip demokrasi tercipta karena adanya saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Keadaan ini menciptakan suasana kesetaraan tanpa sekat-sekat kesukuan, agama, derajat atau status ekonomi. Dengan demikian manusia mempunyai ruang untuk mengekspresikan diri secara bertanggung jawab. Situasi seperti inilah yang seharusnya dibangun dalam dunia pendidikan, anak diajak untuk mengembangkan potensi diri.

8.      Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi di Sekolah
Membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun Indonesia baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa dan reformatif  justru banyak politisi yang berkarakter oportunis, arogan dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengembangkan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Padahal harus diakui, mereka memiliki kualifikasi pendidikan formal yang tinggi. Fenomena ini tentu sangat menarik untuk disimak, sebab ada kecenderungan asumsi, tinggi-rendahnya tingkat pendidikan kurang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat.

Diperlukan upaya agar dunia pendidikan mampu menaburkan benih-benih demokrasi kepada peserta didik dan melahirkan demokrat-demokrat yang ulung, cerdas, dan andal.  Beratnya beban kurikulum yang harus dituntaskan telah membuat proses belajar mengajar menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Akibatnya setelah lulus mereka menjadi asing di tengah-tengah rakyat. Tidak mungkin out-put dari dunia pendidikan mampu menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang berdialog. Mustahil mereka bisa menghargai pendapat sebagai salah satu esensi demokrasi kalau iklim belajarnya berlangsung monoton. Sehingga dunia pendidikan perlu diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang rendah hati, berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik moral dan spiritual. Apalagi di era millennium ketiga yang kini diyakini akan menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan akselerasi keluar masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia, ranah demokrasi tentu akan menjadi penentu citra, kredibilitas, dan akseptibilitas bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia. Itu artinya, dunia pendidikan dalam mencetak sumberdaya manusia yang bermutu dan profesional harus menyiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki resistence yang kokoh di tengah-tengah konflik peradaban.

Selain pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam pembentukan mental peserta didik sesuai nilai-nilai demokrasi, demokrasi di sekolah juga mencakup proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Hal ini diantaranya adalah untuk menyikapi persoalan yang tentunya tekait dengan nilai-nilai demokrasi dalam hal ilmu pengetahuan, mengenai industri saat ini yang sering menimbulkan pencemaran lingkungan. Banyak pihak industri yang selalu berhadapan dengan kelompok-kelompok humanis yang anti pencemaran dan pengrusakan lingkungan, sehingga pendidikan harus merancang perubahan-perubahan ke depan yang tetap ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, dengan peningkatan solidaritas internasional, dan keseimbangan komitmen antara produktivitas, kemajuan sains dan teknologi, yang pada gilirannya dapat mengembangkan sektor perekonomian, namun tetap memperhatikan pemeliharaan lingkungan, dan misi kemanusiaan, sehingga mampu menetralisir ketegangan-ketegangan sosial, dan mampu menjaga kelestarian alam yang tidak semata menjadi kebutuhan seluruh umat manusia dengan keseimbangan ekosistemnya, tapi juga akan diwariskan pada generasi mendatang.

9.      Implementasi Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi dalam Proses Pembelajaran di Kelas
Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, misalnya siswa dan guru mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjaga kebersihan kelas, kenyamanan kelas, terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang kondusif. Tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi iklim pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran apapun. Interaksi guru dan siwa bukan sebagai subjek-objek, melainkan subjek-subjek yang sama-sama membangun karakter dan jatidiri. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi.

Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang intinya berporos pada proses pemberdayaan. Di sekolah guru senantiasa membangkitkan semangat bereksplorasi, berkreasi dan berprakarsa di kalangan siwa agar kelak tidak menjadi manusia-manusia yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian, kelas akan menjadi magnet demokrasi yang mampu menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam kehidupan sehari-hari.

10.  Peran Guru                                                                                                                     
Implementasi pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam proses pembelajaran di kelas tentu tidak lepas dari peran guru. Terpenuhinya misi pendidikan sangat tergantung pada kemampuan guru untuk menanamkan seting demokrasi pada siswa, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk belajar.  Menciptakan suasana yang hangat di sekolah sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal mungkin mereka belajar. Rosyada dalam bukunya Paradigma Pendidikan Demokratis (2004: 19) menyatakan bahwa sekolah bukan menjadi tempat pertunjukan bagi guru tetapi tempat bagi siswa untuk menambah dan memperkaya pengalaman belajarnya. Oleh sebab itu, guru harus mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang memberi peluang bagi siswa untuk belajar. Inilah makna lain dari sekolah demokratis, yaitu sekolah itu untuk siswa bukan untuk guru dan kepala sekolahnya. Sekolah harus menjadi second home bagi siswa, mereka betah menghabiskan waktunya di sekolah, dengan belajar, berdiskusi, menyelesaikan tugas-tugas kelompok, membaca, dan melakukan aktivitas lainnya.

Untuk mewujudkan KBM yang kondusif secara umum guru harus memiliki capability danloyality, yakni guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi, sampai evaluasi. Memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal terhadap tugas-tugas keguruan yang tidak hanya di dalam kelas. Seperti yang telah dikutip oleh Rosyada (2004: 113), dari Gilbert H. Hunt dalam bukunya Effective Teaching menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria yaitu:
1)      Sifat; guru yang baik harus memiliki sifat-sifat antusias, stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi pada tugas dan pekerja keras, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa dipercaya/ fleksibel dan mudah menyesuaikan diri/ demokratis, penuh harapan bagi siswa, tidak semata mencari reputasi pribadi, mampu mengatasi stereotipe siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar siswa, mampu menyampaikan perasaannya, dan memiliki pendengaran yang baik.
2)      Pengetahuan; guru yang baik juga memiliki pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya itu.
3)      Apa yang disampaikan; guru yang baik juga mampu memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit bahasan yang diharapkan siswa secara maksimal.
4)      Bagaimana Mengajar; guru yang baik mampu menjelaskan berbagai informasi secara jelas, dan terang, memberikan layanan yang variatif, menciptakan dan memelihara momentum, menggunakan kelompok kecil secara efektif, mendorong semua siswa untuk berpartisipasi, memonitor dan bahkan sering mendatangi siswa, memonitor tempat duduk siswa, melibatkan siswa dalam tutorial atau pengajaran sebaya, menghindari kesukaran yang kompleks dengan menyederhanakan sajian informasi, menggunakan beberapa bahan tradisional, menunjukkan pada siswa tentang pentingnya bahan-bahan yang mereka pelajari, menunjukkan proses berpikir yang penting untuk belajar/ berpartisipasi dan mampu memberikan perbaikan terhadap kesalahan konsepsi yang dilakukan siswa.
5)      Harapan; guru yang baik mampu memberikan harapan pada siswa, mampu membuat siswa akuntabel, dan mendorong partisipasi orang tua dalam memajukan kemampuan akademik siswanya.
6)      Reaksi guru terhadap siswa; guru yang baik biasa menerima berbagai masukan, risiko, dan tantangan, selalu memberikan dukungan pada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan dengan siswa, bijaksana terhadap kritik siswa, menyesuaikan diri dengan kemajuan-kemajuan siswa, pengajaran yang memperhatikan individu, mampu mem­berikan jaminan atas kesetaraan partisipasi siswa, mampu menyediakan waktu yang pantas untuk siswa bertanya, cepat dalam memberikan feed back bagi siswa dalam membantu mereka belajar, peduli dan sensitif terhadap perbedaan-perbedaan latar belakang sosial ekonomi dan kultur siswa, dan menyesuaikannya pada kebijakan-kebijakan menghadapi berbagai perbedaan.
7)      Management; Guru yang baik juga harus mampu menunjukkan keahlian dalam perencanaan, memiliki kemampuan mengorganisasi kelas sejak hari pertama dia bertugas, cepat memulai kelas, melewati masa transisi dengan baik, memiliki kemampuan dalam mengatasi dua atau lebih aktivitas kelas dalam satu waktu yang sama, mampu memelihara waktu bekerja serta menggunakannya secara efisien dan konsisten, dapat meminimalisasi gangguan, dapat menerima suasana kelas yang ribut dengan kegiatan pembelajaran, memiliki teknik untuk mengontrol kelas, memberi hukuman dengan bentuk yang paling ringan, dapat memelihara suasana tenang dalam belajar, dan tetap dapat menjaga siswa untuk tetap belajar menuju sukses.

Guru sebaiknya juga menggunakan model active learning atau belajar aktif, yaitu model pembelajaran yang memberi peluang sangat luas bagi siswa untuk belajar dengan mengurangi porsi guru untuk ceramah. Guru harus dapat memberikan penugasan yang bermakna bagi siswa, baik untuk diskusi, penyelasaian tugas, menyelasaikan masalah atau lainnya. Serta model cooperate learning (belajar secara kooperatif yang tidak hanya belajar bersama, namun saling membantu) melalui diskusi dalam kelompok-kelompok kecil, debat atau bermain peran. Biarkan siswa saling membantu satu sama lain serta saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari hasil akses informasinya. Melalui sebuah diskusi akan terpupuk nilai-nilai demokrasi karena pelaksanaan diskusi sangat memungkinkan siswa berinteraksi dengan siswa yang lain, belajar mengemukakan pendapatnya, menghargai setiap pendapat dan tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

Selain itu guru juga harus dapat membantu siswa befikir. Siswa perlu diajak kritis terhadap bahan pelajaran dan juga masalah yang dihadapi. Pikiran kritis ini sangat penting adlam membangun suasana demokratis di sekolah dan di masyarakat sekarang ini. Seperti yang dikutip Suparno (36-37) dari Raths dalam bukunya Teaching for Thinking yang memberikan beberapa cara konkrit yang dapat dibuat guru dalam membantu siswa berfikir kritis antara lain:
1)      Guru hendaklah mendengarkan gagasan dan pemikiran siswa
2)      Guru memajukan diskusi terbuka dimana siswa bebas mengungkapkan pikirannya
3)      Guru perlu memberikan waktu bagi siswa untuk berfikir terlebih dahulu, apalagi bila mengajukan pertanyaan kepada siswa
4)      Guru memnupuk keyakinan sswa untuk berani tampil dengan gagasannya yang otentik
5)      Guru perlu memberikan umpan balik yang memajukan pemikiran siswa, bukan yang mematikan
6)      Ruang majalah dinding yang dapat diisi dengan macam-macam gagasan siswa perlu dibuat
7)      Siswa diberi kebebasan untuk mencari data dan masukan dari sumber-sumber lain seperti perpustakaan atau internet.

Kadang ada guru yang merasa rugi bila memberikan waktu berfkir bagi siswa karena akan memperlambat penyelesaian bahan. Memeng secara sepintas sepertinya guru kehilangan banyak waktu, tetapi sebenarnya guru untung besar. Karena dengan membiasakan siswa berfikir dan memperoleh informasi sendiri, mereka selanjutnya mereka akan dapat belajar sendiri tanpa harus dipaksa oleh guru. Apalgi pemikiran-pemikiran kritis mereka yang dikembangkan itu dikemudian hari akan menjadi pemikiran dan kreativitas yang besar.

Dalam menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi guru dapat menjadi sosok pemodelan, dimana segala perilakunya dapat menjadi tauladan bagi siswa dalam pembentukan karakter demokratis dalam dirinya. Jika dalam KBM di dalam kelas tidak beriklimkan demokrasi, maka dalam diri siswa tidak akan tertanam sikap-sikap yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi.

11.  Peran Kurikulum (Mata Pelajaran)
Selain itu internalisasi nilai-nilai demokrasi dapat disisipkan dalam kegiatan KBM misalnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan juga tidak menutup kemungkinan menanamkan materi demokrasi pada mata pelajaran yang lain. Contohnya, SAINS dengan memberikan pegetahuan berbasis lingkungan, sehingga tertanam sikap kecintaan terhadap alam. Praktek pembelajaran dilakukan dengan materi yang substansial (konsep teori yang sangat selektif) tetapi kaya dalam implementasi.

Di masa lalu pendidikan demokrasi tidak berkembang. Hal ini dapat dicontohkan pada kasus PPKn/PKn yang sebelumnya dikembangkan secara indoktrinasi, mengakumulasi pengetahuan yang kurang bermakna, bersifat hegemonik, tidak partisipatoris, dan sering dikritik anti realitas. Seharusnya PKn memuat nilai-nilai pluralisme dan membentuk karakter bangsa, sehingga PKn harus menerapkan pendidikan multikultural (proses transformasi cara hidup menghormati, toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup dalam masyarakatnya yang plural, tanpa diskriminasi). (Azra, 2002: 159)

12.  Implementasi Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi di luar KBM
Menanamkan pengetahuan demokrasi perlu disertai pengalaman hidup berdemokrasi yang tidak hanya dilakukan dalam KBM, tetapi juga d luar KBM. Misalnya saja dalam bergaul dengan teman sebaya. Pergaulan hidup dengan teman sebayapun perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Tata cara pergaulan yang baik dapat meningkatkan kerukunan hidup bersama. Oleh karena itu perlu dikembangkan sikap saling menghormati, menghargai, tolong-menolong, tenggang rasa dan sikap positif lainnya. Dengan bersikap demikian dapat dihindari terjadinya pertengkaran, percekcokan yang membawa atau mengakibatkan timbulnya perkelahian atau sikap negatif lainnya, sehingga dengan demikian terwujud pergaulan yang harmonis.

Saling menghargai dan menghormati antarsesama manusia merupakan suatu keharusan karena manusia telah diciptakan Tuhan dengan harkat dan derajat  yang sama.Sifat saling menghormati ini sangat sesuai dengan keadaan bangsaIndonesiayang beraneka ragam dan ini juga sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Budaya menghormati ini perlu ditanamkan sejak kecil di dalam lingkungan keluarga yang selanjutnya peran sekolahlah yang bertugas untuk mengembangkannya.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tugas yang banyak, yang salah satunya adalah mewariskan budaya-budaya bangsa kepada geberasi muda seperti budaya saling menghormati antarsesama. Budaya menghormati perlu disisipkan dan dikembangkan dalam setiap kegiatan di sekolah baik dalam kegiatan belajar mengajar maupun di luar kegiatan belajar mengajar. Untuk pengembangan sikap menghormati di dalam kegiatan belajar mengajar telah dijelaskan di bagian depan selanjutnya di bagian ini akan diberikan contoh menghormati di luar kegiatan belajar mengajar.
1)      Menyapa guru dan teman saat berpapasan.
2)      Mengikuti upacara bendera dengan khidmat.
3)      Menggunakan tutur bahasa yang baik, benar dan sopan.
4)      Memprioritaskan musyawarah kelas untuk memutuskan kebijakan-kebijakan berhubungan dengan kepentingan kelas.
5)      Tidak membedakan teman.

Selain menghormati, sikap demokratis yang perlu dimiliki adalah rasa tanggung jawab. Dalam hal pengambilan keputusan, siswa harus dilatih memutuskan dan melaksanakan keputusan secara bertanggung jawab. Dalam mengajarkan hal ini kepada siswa guru sebaiknya memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari di dalam kelas, misalnya dalam pemilhan ketua kelas. Setelah terpilih menjadi ketua kelas, selanjutnya ketua kelas itu mengatur kelasnya masing-masing, misalnya :
1)      Ketua kelas: mengadakan rapat kelas yang dipimpin ketua kelas. Dalam rapat ketua kelas akan mendapat banyak saran, pendapat, dan tidak tertutup kemungkinan pendapat tadi ada yang bertentangan dengan pendapatnya. Pendapat tadi kemudian dibicarakan dalam rapat secara musyawarah, dengan peretimbangan yang disepakati sejujur-jujurnya dan penuh tanggung jawab melaksanakan keputusan yang diambil secara bersama itu.
2)      Hasil keputusan tersebut harus dipatuhi dan ditaati oleh setiap siswa dan keputusan yang berupa peraturan itu harus dibuat secara tertulis, sehingga setiap siswa dapat mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sehingga apabila siswa melanggar mereka akan melaksanakan sanksi tersebut secara konsekwen dan penuh kesadaran.
3)      Setiap siswa harus mengetaui tugasnya masing-masing, siapa yang bertugas merapikan meja, siapa yang bertugas mengambil dan menyiapkan kapur, penghapus, dan sebagainya.

Selain itu guru juga harus menjadi contoh dalam pengembangan sikap saling menghormati. Guru harus mampu menunjukkan sikap menghormati sekalipun pada orang yang lebih muda. Misalnya dalam menghadapi siswa yang melakukan kesalahan harus diberi kesempatan melakukan pembelaan diri. Jangan memposisikan siswa sebagai pihak yang paling bersalah sehingga harus menerima sanksi tanpa melakukan kontrak sosial bersama siswa.

B.     Membangun Sekolah Berdisiplin Moral

1.      Peranan Sekolah Dalam Pembangunan Manusia Berkarakter Moral
Peranan pendidikan berkarakter moral di sekolah pernah dilakukan oleh Berkowitz & Bier (2003). Mereka menyatakan bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral mempengaruhi peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Hal ini disebabkan salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk pengembangan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai atau aturan yang ada. Ketika individu mempunyai integritas maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self efficacy) untuk menghadapi hambatan dalam belajar.

Beberapa tema-tema moral yang berhubungan dengan kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006). Peserta didik yang mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Mudah memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah moral yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, (d). Mampu memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan sosial. Oleh karena itu, negara-negara maju turut menekankan pendidikan berkarakter moral tersebut sebagai soft-skill yang mengikuti kompetensi pembelajaran. Dengan demikian, lulusan dunia pendidikan akan lebih siap berkompetisi dalam era global saat ini.

Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi peserta didik dalam pembentukan karakter namun sekolah merupakan komunitas untuk melakukan sharing nilai dengan guru, teman sebaya dan sivitas akademika. Apalagi, fenomena kurikulum sekarang yang sarat beban bagi peserta didik menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah daripada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pemakalah memberikan usulan terhadap peran sekolah dalam membangun manusia yang berkarakter moral sebagai berikut :
a.      Menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan terhadap kasus/ fenomena. 
Dalam hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah (syari’at) tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama inilah yang menjadi bagian dari pembentukan karakter moral peserta didik. Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan syari’at sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh bagi manusia itu sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen Protestan tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan Etika Protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Juga The Golden Role dalam ajaran agama Katholik agar manusia menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa ahli pemikir Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama yang universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya (interpersonal). Tidak ada agama yang tidak mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa ciri manusia yang religius adalah :
a.       Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua ajaranNya. Pada elemen ini, manusia yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia yang mengaku beragama harus memiliki pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan pengaruh ajaran agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai seorang Muslim maka ia tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai sesama muslim dan ajaran Islam dijadikannya sebagai identitas dirinya.
c.       Meyakini dan memelihara hubungan dengan mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam semesta. Sebagai manusia yang beragama maka kita dituntut untuk membina hubungan dengan orang lain, mahluk ghaib dan alam semesta.
d.      Keyakinan terhadap hari depan, yaitu keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia religius terhadap kehidupan masa depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia, seperti kematian, alam kubur, hari berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh karena itu, manusia yang religius menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai investasi dalam kehidupan di masa mendatang, termasuk kehidupan akhirat kelak.

Berdasarkan ciri manusia yang religius atau mempunyai nilai-nilai agama tersebut maka sebenarnya sama dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik berdasarkan pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).
b.      Menyiapkan guru, kakak kelas, sivitas akademika, alumni sebagai role model,
Definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka dibutuhkan figur teladan dalam menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini sesuai dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan sikap dan tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan sosokdigugulan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya memberikan pengajaran moral tanpa mendidik (memberi keteladanan moral) maka akan terjadi kebingungan pada diri peserta didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang bermoral. Ketika guru melakukan tindakan amoral, seperti pelecahan seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan alumni pun sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni berkomitmen untuk membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka aktivitas yang tidak bermoral, seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi.
c.       Menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan konsisten. 
Sekolah yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta didik dalam memahaminya. Aturan yang jelas juga dimaksudkan agar peserta didik tidak mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain itu, yang dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang rasional ialah segala aturan tersebut bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau melarang suatu tindakan tetapi lebih kepada penguatan alasan mengapa aturan atau nilai tersebut ditegakkan. Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi kepada peserta didik dan sivitas akademika agar memahami latar belakang ditegakkannya nilai atau aturan tersebut. Rasionalitas atau alasan tentang penegakan nilai moral tersebut perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan, seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap tindakan. Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka peserta didik akan menjalankan aturan dan nilai tersebut karena terdorong untuk kebaikan mereka sendiri. Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang tepat akan menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua pihak diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama (keadilan distributif).
d.      Membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah. 
Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika tidak ada sinergi antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan berkarakter moral di lingkungan belajar namun hal ini tidak akan efektif jika tidak didukung keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan suatu PROSES. Maknanya, pendidikan berkarakter moral merupakan transfer secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah tentang ujian nasional (UNAS) mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan kepada hasil suatu sistem dan bukan kepada proses. Padahal sebenarnya pendidikan lebih menekankan kepada proses suatu sistem. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.
e.       Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra, ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden curriculum
Dalam kegiatan intra-kurikuler dan ko-kurikuler, setiap mata pelajaran perlu memberikan pesan moral khusus berkaitan dengan topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi tentang reproduksi manusia perlu diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks pra-nikah jika organ reproduksi belum siap digunakan. Jadi, tidak sekedar pengetahuan seks tetapi juga menyisipkan pesan moral yang rasional.  Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak aktivitas yang membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah Raga dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin Kejujuran” perlu diwujudkan.
f.       Menyajikan story telling melalui multi media dengan melibatkan peran sebagai role model karakter moral.
Menurut Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh dalam suatu cerita sebagai role model. Dengan demikian, story telling memiliki kemampuan untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih mudah menerima informasi melalui audio-visual. Oleh karena itu, disarankan story telling disajikan dalam multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan kognisi peserta didik dalam menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Sebagai contoh, story telling dengan tema budaya lokal, seperti Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi sehingga pesan

C.    Membangun Sekolah Kooperatif

1.      Pengertian Sekolah Kooperatif
Sekolah Kooperatif yaitu sekolah yang memberikan kebebasan kepada siswa baikmengenai pendidikan maupun biaya yang disesuaikan dengan kemampuan orang tua tanpa merendahkan derajat sama sekali.

Sekolah Kooperatif menempatkan penekanan yang tinggi pada sekolah , guru dan masyarakat bekerja sama untuk menyediakan lingkungan yang terbaik yang mereka bisa untuk generasi muda. Perkembangan generasi muda menjadi warga negara global yang aktif dan berkarakter merupakan inti dari filosofi Sekolah Kooperatif.

2.      Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) merupakan salah satu strategi pembelajaran yang membelajarkan siswa secara berkelompok dan saling bekerja sama atau membantu untuk memecahkan suatu permasalahan. Model pembelajaran kooperatif tidak sekedar belajar dalam kelompok, namun harus memenuhi unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif supaya pengelolaan kelas lebih efektif (Lie, 2004: 29). Metode ini bukan sekedar diskusi yang dikuasai atau didominasi oleh beberapa orang saja. Kebanyakan yang lain hanya suka menjadi penonton yang pasif namun di sini guru harus mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Cilstrap dan Martin bekerja secara kelompok memberikan pengertian sebagai kegiatan sekelompok siswa yang biasanya berjumlah kecil, yang diorganisir untuk kepentingan belajar (Roestiyah, 1998: 15). Keberhasilan kerja kelompok ini menuntut kegiatan kooperatif yang dimenuntut kegiatan yang kooperatif dari beberapa individu tersebut.

Dalam pembelajaran konstruktivisme, siswa diharapkan dapat membangun dan membentuk pengetahuannya sendiri, bukan hanya menerima informasi sepihak dari seorang guru. Pembentukan pengetahuan tersebut dapat berasal dari diri yang bersifat individu, dapat pula diperoleh secara berkelompok / bekerja sama dengan siswa lain. Dalam hal ini sangat berkaitan dengan masyarakat belajar (Learning Community), yang akhirnya melahirkan pendekatan pembelajaran kooperatif.

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda. Dalam melakukan tugas belajarnya, tiap anggota kelompok saling bekerja sama dan membantu untuk memahami materi yang sedang dipelajari. Salah satu kelebihan pembelajaran kooperatif adalah memberikan siswa ketrampilan untuk bekerja sama dan kolaborasi dengan siswa lain, dengan berbagai kemampuan dan karakter yang berbeda. Dengan pembelajaran kooperatif, aktivitas siswa baik secara kelompok maupun individu akan sangat tinggi. Hal ini akan membuat pembelajaran lebih aktif dan dinamis. Karena setiap anggota kelompok mempunyai tugas dan dan tanggung jawab yang harus dilakukan untuk kelompoknya.

Secara umum tujuan penerapan kerja kelompok ini adalah untuk memupuk kemampuan kerja sama diantara peserta didik (siswa) dalam menyelesaikan suatu tugas sehingga dalam kelompok tersebut terjadi keterlibatan sosio-emosional dan intelektual peserta didik dalam proses belajar mengajar. Kemampuan bekerja sama dan saling mendukung akan teruji, menjadikan mobilitas yang tinggi dalam proses pembelajaran.

Ada lima prinsip mendasari pembelajaran kooperatif, yaitu:
a.       positive interdependence: anggota kelompok perlu bekerjasama untuk mencapai tujuan,
b.      face to face interaction: semua anggota berinteraksi dengan saling berhadapan,
c.       individual accountability: setiap anggota harus belajar dan menyumbang demi pekerjaan dan keberhasilan kelompok,
d.      use of collaborative/social skills: keterampilan bekerjasama dan bersosialisasi diperlukan, untuk ini diperlukan bimbingan guru agar siswa dapat berkolaborasi,
e.       group processing: siswa perlu menilai bagimana mereka bekerja secara efektif.

3.      Unsur-Unsur Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif memiliki banyak bentuk pelaksanaan, baik yang sesuai dengan definisi yang dimaksud di atas atau yang bersifat parsial saja. Keterlaksanaan pembelajaran kooperatif baru dapat diangap berjalan dengan baik apabila telah dipenuhinya unsur-unsur sebagai berikut :
a.       Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka harus merasa “tenggelam dan berenang bersama-sama”. Artinya para siswa harus berusaha untuk memahami materi, memperluas materi, mendalami materi dan menyimpulkan hasil belajar secara bersama-sama. Nilai kebersamaan menjadi ukuran penentu untuk keberhasilan belajar diantara mereka semuanya.
b.      Para siswa harus seia sekata dan mempunyai tujuan yang sama. Maksudnya mengawali belajar dengan tujuan belajar yang sama dan pendapatnya merupakan kesimpulan dari hasil-hasil belajar masing-masing anggota kelompok.
c.       Para siswa harus memiliki tanggung jawab yang maksimal terhadap diri sendiri dan terhadap setiap siswa lain dalam kelompoknya dalam mempelajari materi yang dihadapinya. Apabila ada siswa lain yang kurang mampu maka siswa anggota kelompok yang lain harus menggantikannya untuk menyelesaikan beban tugas dari siswa yang tidak mampu tersebut. Selain itu ia juga harus dapat menyelesaikan tugas-tugas pribadinya dengan baik dan benar.
d.      Para siswa harus mampu membagi tugas dan tanggung jawab yang sama besarnya diantara para anggota kelompok. Sama besar disini dimaksudkan semuanya mendapat beban tugas dan tanggung jawab secara adil dan merata untuk setiap anggota kelompok melalui jalur musyawarah dengan mengedepankan tujuan pembelajaran yang disiapkan pada awal belajar. Diharapkan tidak terjadi adanya siswa yang menyelesaikan beban tugas dan tanggung jawabnya secara keseluruhan sehingga diharapkan terjadi pencarian materi belajar secara bersama-sama.
e.       Adanya pembagian kepemimpinan sementara untuk memperoleh ketrampilan dan bekerja sama dengan baik selama belajar. Jadi sebelum kegiatan belajar dimulai masing-masing kelompok diadakan pembagian tugas yang berfungsi untuk mengatur jalannya proses pembelajaran dimaksud.
f.       Setelah proses kegiatan belajar mengajar selesai, anggota kelompok harus dapat mempertanggung-jawabkan materi belajar secara individual meskipun proses pembelajaran dilakukan secara berkelompok. Disinilah kesiapan masing-masing individu anggota kelompok secara pribadi untuk mengikuti proses pembelajaran sepenuhnya dengan penuh tanggung jawab dan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menguasai materi dengan sebaik-baiknya.
g.      Keenam unsur pembelajaran kooperatif tersebut harus ada secara lengkap untuk menilai proses pembelajaran kooperatif tersebut sudah dapat berjalan dengan baik atau belum. Dan unsur-unsur tersebut merupakan penentu masing-masing individu untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal. Apabila salah satu unsur tidak tercapai atau hanya terlaksana untuk sebagian saja, maka kegiatan pembelajaran kooperatif tersebut tak mungkin dapat menghasilkan prestasi secara baik. Disinilah letak kejelian guru untuk dapat mengarahkan masing-masing siswa agar dapat diplot sesuai dengan petunjuk-petunjuk guru yang semestinya. Guru menjadi sentral pemecah problem dari pelaksanaan pembelajaran kooperatif. Fungsi guru adalah semacam motivator, mediator dan sumber materi yang diharapkan siswa dari pendalaman materi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok.

4.      Manfaat  Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif ternyata telah mendapat perhatian yang demikian luas dikalangan para praktisi pendidikan, peneliti pendidikan maupun dikalangan para stakeholder dunia pendidikan dibanyak negara, termasuk di Indonesia. Mereka menganggap pembelajaran kooperatif ini menjadi penting sebagai salah satu hal untuk dapat memajukan dunia pendidikan seperti yang kita harapkan bersama. Mereka telah banyak melakukan pengamatan dan penelitian untuk memperoleh formula yang tepat didalam menelaah pembelajaran kooperatif tersebut.

Dari pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh para praktisi pendidikan, para ahli pendidikan, maupun oleh para penentu kebijakan didunia pendidikan mereka telah dapat menemukan sekian banyak kelebihan-kelebihan dari pembelajaran kooperatif yang beraneka ragam jenisnya tersebut. Secara garis besar dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan para ahli pendidikan dapat kami simpulkan bahwa manfaat yang dapat diambil dari pembelajaran kooperatif antara lain adalah sebagai berikut :
a.       Mempercepat peningkatan kemajuan belajar siswa. (Pencapaian standar akademik mencapai nilai yang tinggi)
b.      Absensi siswa bertambah baik. Artinya dapat mempertinggi tingkat kehadiran siswa, berkurangnya kenakalan-kenakalan siswa, dan berkurangnya jumlah siswa yang membolos.
c.       Menimbulkan sikap siswa kearah yang lebih positif.
d.      Menumbuhkan rasa senang para siswa untuk berada di sekolahnya.
e.       Mampu menambah motivasi dan rasa percaya diri siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Elaborasi siswa meningkat.
f.       Menumbuhkan rasa senang dan saling membutuhkan diantara para siswa.
g.      Pembelajaran kooperatif mudah diterapkan dan sangatlah murah.

Manfaat-manfaat tersebut diatas dapat tercapai, karena dengan menerapkan strategi pembelajaran kooperatif pada siswa, dapat diartikan bahwa sekolah (yaitu guru dan siswa) telah melakukan hal- hal sebagai berikut :
a.       Berusaha dengan baik untuk dapat mengembangkan dan menggunakan ketrampilan berpikir kritis dan kerjasama secara kelompok.
b.      Menyuburkan hubungan yang sangat positif diantara para siswa yang berasal dari latar belakang (suku, tingkat sosial ekonomi, kepandaian, beban hidup, da lain-lain) yang berbeda satu sama lainnya.
c.       Menerapkan bimbingan oleh teman (peer coaching), karena terjadi interaksi yang positif diantara para siswa dalam kelompoknya sehingga terjadi siswa yang memahami materi akan membimbing siswa lainnya yang belum memahami materi sampai dengan siswa tersebut dapat memahami materi.
d.      Menciptakan lingkungan yang saling menghargai dan saling menghormati secara ilmiah diantara para siswa dalam kelompoknya, karena mereka berusaha menyatu dan terikat oleh satu tujuan yang sama.
e.       Berusaha membangun sekolah dalam suasana kerjasama., yaitu diawali dari kerjasama yang terjadi diantara para siswa dalam satu kelompok tersebut.

Kecuali itu, dengan strategi pembelajaran kooperatif ini mempunyai dampak positif terhadap siswa yang bermasalah atau mempunyai hasil belajar yang rendah. Karena dengan pembelajaran kooperatif ini mereka akan dilatih untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, melatih memiliki rasa harga diri, meningkatkan kebaikan budi, meningkatkan kepekaan dan toleransi diantara para siswa, serta hal-hal lain yang lebih menguntungkan bagi perkembangan diri dan prestasi siswa tersebut.

Akan tetapi perlu disimak bahwa apabila pembelajaran kooperatif ini belum dilakukan disekolah atau masih berupa barang baru, maka akan muncul beberapa kemungkinan yang kurang menguntungkan. Kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut antara lain dapat berupa  para siswa bertambah bingung dalam belajar, para siswa kehilangan rasa percaya diri, atau bahkan lebih parah lagi terjadi peristiwa saling mengganggu diantara para siswa.

Sehingga pembelajaran kooperatif ini pemberlakuannya perlu diadaptasikan terlebih dahulu, dikaji bentuknya yang paling tepat dan disesuaikan dengan kondisi siswa secara keseluruhan. Yang pasti tak ada salahnya untuk mencoba karena manfaatnya yang demikian banyak. Kita akan tahu hasil dan manfaatnya setelah kita mencobanya dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati disertai rasa tanggung jawab yang tulus sebagai seorang pendidik.

D.    Membangun Sekolah Progresif Berbasis Karakter

1.      Sekolah Progresif Berbasis Karakter
Sekolah Progresif Berbasis Karakter adalah sekolah yang menerapkan pendidikan progresif dengan berdasar pada implementasi nilai-nilai karakter supaya menjadi budaya sekolah yang berkarakter. Pembelajaran di sekolah ini menyediakan pengalaman-pengalaman belajar siswa agar potensi siswa dapat berkembang secara optimal dalam segala aspek terutama aspek afektifnya sehingga tercipta budaya sekolah berkarakter.

2.      Pandangan Pendidikan Progresif
Paradigma pendidikan terdahulu adalah pencerdasan siswa dalam bidang kognitip saja, para pendidik hanya berorientasi pada bagaimana cara mentransfer materi-materi pelajaran kepada siswanya. Proses pendidikan saat itu hanya berorientasi pada perolehan nilai akademik yang tinggi bagi para siswa, yang pada puncaknya mereka akan menyelesaikan proses pendidikan serta “gelar-gelar pendidikan” yang tinggi pula. Dengan kondisi yang demikian maka tidaklah salah jika pendidikan terpisah dari masyarakat, pendidikan hanya mengasah kemampuan intelektual. Sehingga pendidikan dipandang tidak mampu menyelesaikan masalah – masalah yang ada di masyarakat.

Pendidikan yang kita jalani saat itu dianggap oleh sebagian masyarakat hanya mampu melahirkan gelar-gelar saja. Mereka kecewa dengan pendidikan yang telah mereka jalani. Mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya, bahkan tidak sedikit pula diantara mereka yang berpendidikan tinggi akhirnya hanya jadi pengangguran.

Dengan kondisi yang ada seperti diatas muncul pertanyaan di benak kita, “Sesungguhnya apa kekurangan dari sistem pedidikan yang telah kita jalani selama ini ?”
Berdasarkan studi pikologi belajar serta sosiologi pendidikan, maka masyarakat pendidikan menghendaki agar proses pembelajaran harus dapat memperhatikan minat, kebutuhan, dan kesiapan anak didik untuk belajar, serta dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial sekolah. Salah satu teori yang mendukung gagasan ini adalah teori belajar Progresif yang dikemukakan oleh John Dewey. Teori Progresivisme sebetulnya merupakan perluasan pikiran-pikiran pragmatisme pendidikan. Teori ini memandang peserta didik sebagai makhluk sosial yang aktif, dan dia percaya bahwa peserta didik ingin memahami tentang lingkungan dimana dia berada, baik lingkungan personal (individu) ataupun kolektip (sosial).

Menurut Dewey terdapat tiga tingkatan kegiatan yang bisa dipergunakan di sekolah. Tingkatan pertama untuk anak pada pendidikan prasekolah, pada anak tingkatan ini diperlukan latihan berkenaan dengan pengembangn kemampuan panca indra dan pengembanan koordinasi fisik. Tingkatan kedua pembelajaran haruslah menggunakan bahan – bahan belajar yang bersumber pada lingkungan. Diperlukan berbagai variasi bahan belajar yang dapat menumbuhkan minat dan kreatifitas siswa dalam belajar. Tingkatan ketiga yaitu tingkatan dimana anak akan menemukan ide – ide atau gagasan, mengujinya, dan menggunakan ide – ide atau gagasan tersebut untuk memecahkan persoalan atau masalah - masalah yang sejenis.

Pandangan Dewey di atas tentunya tidak jauh berbeda dengan pandangan beberapa ahli pendidikan yang lain, sebut saja Piaget (Sumantri M, & Syaodin N ; hal.1.15 ) yang mengkategorikan perkembangan belajar anak dalam 4 tingkatan, yaitu :
1)      Tahap sensori motor ( 0;0 - 2;0 tahun )
2)      Tahap praoprasional ( 2;0 – 7;0 tahun )
3)      Tahap oprasional kongkrit ( 7;0 – 11;0 )
4)      Tahap oprasional formal ( 11;0 – 15;0 )

Sedangkan menurut Bruner ( Sumantri M. dan Permana J. hal. 24 ), guru mengembangkan belajar anak dengan cara menyediakan situasi nyata bagi terjadinya eksplorasi yang aktif di pihak anak; dimolai dari format atau bentuk bentuk yang berada disekitar kehidupan si anak, peran dan kegiatan– kegiatan lalu yang telah biasa dilakukan si anak itu, untuk kemudian menggunakan bahasa yang lebih kompleks.

Dewey ( Tilaar: 2000 ) juga mengemukakan bahwa, Pendidikan merupakan proses sosial bagi orang yang belum dewasa ( Anak-anak ) untuk menjadi bagian yang aktif dan partisipatif dalam masyarakat. Sekolah adalah lingkungan khusus yang dibentuk oleh anggota masyarakat dengan tujuan untuk menyederhanakan, memudahkan dan menyatukan pengalaman – pengalaman sosial agar dapat dipahami, diuji dan digunakan oleh anak itu sendiri dalam kehidupan sosial.

Pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan personal dan sosial peserta didik. Oleh karena itu peran pendidikan adalah membangun kembali pengalaman yang mampu memberikan makna terhadap kehidupan peserta didik dan yang dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan persoalan – persoalan yang dihadapi dimasa kini dan masa yang akan datang.

Menurut Dewey, harus terjadi perubahan dalam situasi pendidikan. Dia ingin adanya perubahan dalam beberapa hal dengan jalan :
1)      Memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar secara perorangan.
2)      Memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar melalui pengalaman.
3)      Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti memberikan tujuan yang dapat menjelaskan arah kegiatan belajar yang merupakan kegiatan pokok anak didik.
4)      Mengikutsertakan murid di dalam setiap aspek kehidupan sekolah (mencakup pengajaran, administrasi, dan bimbingan)
5)      Menyadarkan murid, bahwa hidup itu dinamis. Karena itu murid harus dihadapkan dengan dunia yang selalu berubah dengan kemerdekaan beraktivitas, dengan orientasi kehidupan masa kini.
   
3.      Pembelajaran Progresif Berbasis Karakter
Pembelajaran Progresif Berbasis Karakter adalah pembelajaran yang didasarkan pada kepentingan siswa dengan mengimplementasikan nilai-nilai karakter. Pembelajaran yang dilaksanakan berbasis pengalaman dan menekankan pada pemecahan masalah yang terjadi di masyarakat. Pembelajaran Progresif timbul sebagai reaksi terhadap kekurangan-kekurangan Pembelajaran Tradisional. Program pendidikan progresif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)      Penekanan pada learning by doing, pembelajaran ekspedisi, pengalaman belajar
2)      Kurikulum terpadu difokuskan pada unit tematik
3)      Integrasi kewirausahaan dalam pendidikan
4)      Penekanan kuat pada pemecahan masalah dan berpikir kritis
5)      Kelompok kerja dan pengembangan keterampilan sosial
6)      Memahami dan tindakan sebagai tujuan belajar sebagai lawan pengetahuan hafalan
7)      Proyek pembelajaran kolaboratif dan kooperatif
8)      Pendidikan untuk tanggung jawab sosial dan demokrasi
9)      Pemilihan isi pelajaran dengan melihat ke depan untuk meminta keterampilan apa yang akan dibutuhkan dalam masyarakat masa depan
10)  Penekanan pada buku teks yang mendukung sumber daya bervariasi pembelajaran
11)  Penekanan pada belajar seumur hidup dan keterampilan sosial
12)  Penilaian oleh evaluasi proyek dan produksi anak (berfokus pada proses)
13)  Berpusat pada murid (student center)
14)  Pendidikan untuk saat ini
15)  Positif disiplin
16)  Berorientasi pada proses
17)  Memanfaatkan beragam cara belajar
18)  Konsep yang disajikan untuk penyelidikan oleh murid
Salah satu contoh pelaksanaan Pembelajaran Progresif Berbasis Karakter adalah Program “We the Peple..Project Citizen” dengan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut :
a.      Mengidentifikasi masalah kebijakan publik yang ada dalam masyarakat
Pada langkah ini kelas difasilitasi untuk dapat mengidentifikasi berbagai masalah yang ada di lingkungan masyarakat dengan melalui pengamatan, interview, dan studi dokumentasi yang dilakukan secara kelompok.
b.      Memilih masalah sebagai fokus kajian kelas
Pada langkah ini, kelas difasilitasi untuk mengkaji berbagai masalah itu dan kemudian memilih satu masalah yang paling layak untuk dipecahkan.
c.       Mengumpulkan informasi terkait masalah yang menjadi fokus kajian kelas
Pada langkah ini kelas difasilitasi untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan dalam rangka pemecahan masalah tersebut dari berbagai sumber informasi yang relevan dan tersedia, seperti perpustakaan, media massa, kalangan profesional dan ahli, pejabat pemerintah, organisasi non pemerintah, dan tokoh serta anggota masyarakat.
d.      Mengembangkan suatu portfolio kelas
Pada langkah ini, kelas mengembangkan portfolio berupa himpunan hasil kerja kelompok dalam rangka pemecahan masalah tersebut dan menyajikannya secara keseluruhan dalam bentuk panel pameran yang dapat dilihat bersama, yang melukiskan saling keterkaitan masalah, alternatif kebijakan, dukungan atas alternatif kebijakan, dan rencana tindakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
e.       Menyajikan portfolio kelas dalam suatu simulasi dengar pendapat
Pada langkah ini, keseluruhan portfolio yang telah dikembangkan kemudian disajikan dan dipamerkan kepada sivitas akademika dan masyarakat.
f.       Melakukan kajian reflektif atas pengalaman belajar yang dilakukan
Pada langkah terakhir, kembali ke kelas untuk melakukan refleksi atau pengendapan dan perenungan mengenai hasil belajar yang dicapai melalui seluruh kegiatan tersebut.

E.     Strategi Mendidik Anak Berkarakter di Sekolah

Penerapan pendidikan karakter di sekolah dasar dilakukan pada ranah pembelajaran (kegiatan pembelajaran), pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat. Adapun penjelasan masing-masing ranah tersebut adalah sebagai berikut.

1.   Kegiatan pembelajaran                                                   
Penerapan pendidikan karakter pada pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan strategi yang tepat.Strategi yang tepat adalah strategi yang menggunakan pendekatan kontekstual.Alasan penggunaan strategi kontekstual adalah bahwa strategi tersebut dapat mengajak siswa menghubungkan atau mengaitkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata.Dengan dapat mengajak menghubungkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata, berati siswa diharapkan dapat mencari hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan itu, siswa lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga) (Puskur, 2011 : 8).                

Adapun beberapa strategi pembelajaran kontekstual antara lain,
1)      pembelajaran berbasis masalah,
2)      pembelajaran kooperatif,
3)      pembelajaran berbasis proyek,
4)      pembelajaran pelayanan, dan
5)      pembelajaran berbasis kerja.

Puskur (2011 : 9) menjelaskan bahwa kelima strategi tersebut dapat memberikan nurturant effect pengembangan karakter siswa, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, rasa ingin tahu.

2.   Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar
Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan, pengkondisian.Adapun hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.
a.                     Kegiatan rutin
           Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang rutin atau ajeg dilakukan setiap saat. Kegiatan rutin dapat juga berarti kegiatan yang dilakukan siswa secara terus menerus dan konsisten setiap saat (Puskur, 2011: 8). Beberapa contoh kegiatan rutin antara lain kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdoa sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman.
b.                     Kegiatan spontan
            Kegiatan spontan dapat juga disebut kegiatan insidental.Kegiatan ini dilakukan secara spontan tanpa perencanaan terlebih dahulu.Contoh kegiatan ini adalah mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana.
c.                      Keteladanan
           Keteladanan merupakan sikap “menjadi contoh”.Sikap menjadi contoh merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan siswa dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi siswa lain (Puskur, 2011: 8).Contoh kegiatan ini misalnya guru menjadi contoh pribadi yang bersih, rapi, ramah, dan supel.
d.         Pengkondisian
Pengkondisian berkaitan dengan upaya sekolah untuk menata lingkungan fisik maupun nonfisik demi terciptanya suasana mendukung terlaksananya pendidikan karakter.Kegiatan menata lingkungan fisik misalnya adalah mengkondisikan toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas (Puskur, 2011: 8).Sedangkan pengkondisian lingkungan nonfisik misalnya mengelola konflik antar guru supaya tidak menjurus kepada perpecahan, atau bahkan menghilangkan konflik tersebut.

3.   Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler
Kegiatan ko dan ekstra kurikuler merupakan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan pembelajaran. Meskipun di luar kegiatan pembelajaran, guru dapat juga mengintegrasikannya dalam pembelajaran.Kegiatan-kegiatan ini sebenarnya sudah mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Namun demikian tetap diperlukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang baik atau merevitalisasi kegiatan-kegiatan ko dan ekstra kurikuler tersebut agar dapat melaksanakan pendidikan karakter kepada siswa.

F.     Membangun Kemitraan Sekolah dan Orang Tua dalam Pengembangan Karakter Anak

Keberhasilan jangka panjang akan pendidikan nilai-nilai yang baru bergantung pada kekuatan diluar sekolah pada taraf ketika keluarga dan komunitas bergabung dengan sekolah dalam usaha bersama unutk memenuhi kebutuhan akan anak-anak dan membantu perkembangan kesehatan mereka. Pada saat banyak masalah moral, krisis dalam keluaraga adalah masalah yang paling serius dalam keluaraga.

Bagaimana kita mendukung dan memperkuat  keluarga dalam peran yang menghormati waktu sebagai pemberi perhatian dan guru  moral pada anak-anak . para orang tua  memerlukan informasi dan citra yang berkaitan dengan semua cara dimana mereka dapat mempengaruhi kesehatan, kebahagiaan, rasa percaya diri, dan karakter pada anak mereka.
Departemen instruksi public meluncurkan kampanye nasional diseluruh Negara tahun 1987 yang disebut sebagai Tahun Pendidikan Keluarga.

Orang tua sebagai guru yang sukarela dan bersedia tanpa biaya atau tanpa batas melakukan program kampanye seperti tiap bulan pendidik melakukan kunjungan kepada orang tua untuk memberikan tugas ringan untuk dilakukan anak-anak seperti bermain puzzle. Orang tua mengamati anak bermain dan membantu mereka untuk belajar. Selain itu,  program kampanye melakukan pertemuan sharing antar orang tuaanak dengan orang tua anak sebayanyaa.

Adapun tujuan dari kemitraan sekolah ini diantarnya :
1)      Mendidik para guru tentang peranan mereka dalam mempromosikan keterlibatan orang tua secara lebih besar
2)      Berbagi informasi dengan sekolah mengenai bagaimana mereka dapat meningkatkan komunikasi antara rumah dan sekolah
3)      Mendapatka informasi secara langsung dri orang tua mengenai peran mereka dalam pendidikan anak mereka.

Disamping usaha yang disebar luaskan untuk membantu orang tua dan anak, banyak hal yang dapat dilakukan sekolah untuk merekrut orang tua sebagai partner baik tugas khusus maupun mengembangkan nilai moral dan karakter yang baik. Tantangan ini terdiri dari 2 hal, yakni :
1)      Mendorong dan membantu orang tua untukmelaksanakn peran mereka sebagai pendidik utama moral anak dan
2)      Membuat orang tua mendukung ssekolah dalam usahanya untuk mengerjakan moral positif .

Dari kemitraan sekolah dan orang tua, diperoleh urutan  10 nilai karakter anak yang akan dikembangkan diantaranya :
1)      Menjadi percaya diri
2)      Menjadi bertanggung jawab dan dapat diandalkan
3)      Menjadi ingin tahu dan ingin belajar
4)      Manjadi diri sendiri dan mampu mengarahkan diri sendiri
5)      Mampu berkerja sama dengan temannya
6)      Menjadi sensitif dengan orang lain
7)      Menjadi baik dan penuh perhatian
8)      Menjadi pekerja keras
9)      Mendapatkan nilai yang baik
10)  Menjadi ramah dan bertempramen baik

Memberikan komunitas untuk kebutuhan bangsa
Bagaimana kemitraan sekolah dan orang tua serta komunitas  dapat berkerjasama menciptakan keluarga karakter dapat diuraikan melalui beberapa peran sekolah dan orang tua diantaranya sebagai berikut :
1)      Sebuah kampanye nasional yang menyoroti semua cara dimana orang tua adalah agen penting  bagi anak-anak
2)      Kebijakan pemerintah, seperti cuti orang tua yang mendukung ikatan antara ornag tua dan kehidupan keluarga
3)      Menyajikan survei nilai dari ornag tua untuk mengidentifikasi kualitas karakter yang mereka ingin kembangkan dalam anak mereka
4)      Mengadakan loka karya berbasis sekolah bagi keahlian menjadi orang tua (mengajarkan orang tua begaimana membantu anak meraka melakukan lebih baik dari sekedar yang dilakukan di sekolah)
5)      Adanya materi pembahasan nilai berbasis rumah, diberikan pada orang tua yang membangun pelajaran di kelas
6)      Sekolah membantu jaringan orang tua untuk membahas urusan-urusan umum

Sebagaimana dikemaukakan sebelumnya telah dibahas penerapan pendidikan karakter pada pendidikan dasar dan menengah. Namun demikian pendidikan karakter tidak bisa hanya dilakukan dalam lingkungan sekolah, tetapi juga harus dilakukan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Suasana kehidupan di sekolah dan di rumah mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, karena hal itu merupakan wahana penyemaian nilai-nilai yang akan dijadikan acuan oleh anak dalam setiap tindakannya.

Oleh karenanya perlu  dibangun kemitraan sekolah dan keluarga dalam pendidikan karakter. Hal ini untuk menghindari terjadinya kontradiksi atau ketidakselarasan  antara nilai-nilai  yang harus dipegang teguh oleh anak-anak di sekolah  dan yang harus mereka ikuti di lingkungan keluarga atau masyarakat. Apabila terjadi konflik nilai, anak-anak mungkin akan merasa bingung sehingga tidak memiliki pegangan nilai yang menjadi acuan dalam berperilaku, dan dikhawatirkan tidak mampu mengontrol diri dalam menghadapi pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan sekitar mereka.

Masih dengan gaya berpikir andalan, "otak atik gatuk", menurut saya ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam membentuk jaringan kemitraan sekolah dan keluarga dalam pendidikan karakter, yaitu :
1)      Mengubah cara pandang orang tua mengenai lembaga pendidikan. Ada sebagian orang tua yang berpandangan bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga yang mampu mencetak pribadi berkarakter, sehingga terkesan menyerahkan tanggung jawab penanaman nilai-nilai karakter kepada sekolah. Cara pandang tersebut harus dirubah, karena keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Selain itu, sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah. Nilai-nilai karakter yang ditanamkan di sekolah tidak akan mampu secara efektif merubah perilaku dan karakter anak, apabila tidak didukung dengan penanaman nilai-nilai yang sama dalam keluarga.
2)      Mensosialisasikan konsep pendidikan karakter dalam lingkungan keluarga. Orang tua penting untuk memahami bahwa pendidikan karakter tidak bisa hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga harus dilakukan juga dalam kehidupan di keluarga. Secara praktis, pendidikan karakter dapat dipahami melalui tiga proses, yaitu "knowing the good, loving the good, dan acting the good". Orang tua harus melakukan sosialisasi nilai-nilai karakter, menjadikan anak mencintai nilai-nilai tersebut, serta membiasakan anak melakukan nilai-nilai tersebut. Beberapa strategi dapat dilakukan orang untuk melakukannya, seperti menciptakan iklim dialogis dalam keluarga, keteladanan, pembiasaan, dan dalam segala aktivitas kehidupan dalam lingkungan keluarga. Orang tua dapat mengadopsi strategi yang diterapkan di sekolah untuk coba diterapkan di rumah.
3)      Mendiskusikan nilai-nilai karakter yang harus dikembangkan pada anak. Nilai-nilai karakter yang hendak dikembangkan di sekolah, yang juga diprogramkan untuk dikembangkan di lingkungan keluarga hendaknya merupakan hasil diskusi pihak sekolah dan perwakilan orang tua, dan selanjutnya disosialiasikan kepada seluruh orang tua siswa. Penentuan nilai-nilai karakter yang dikembangkan tersebut hendaknya dapat disesuaikan dengan kondisi siswa dan juga pengaruh negatif lingkungan yang dapat mempengaruhi siswa.  Keselarasan dalam pengembangan nilai-nilai karakter, diharapkan mampu meningkatkan efektivitas penanaman nilai karakter dalam lingkungan sekolah dan keluarga.

Pada harapan selanjutnya pendekatan pendidikan karakter secara komprehensif dengan melibatkan sekolah dan keluarga, apalagi ditambah dengan lingkungan, maka akhlak mulia dapat terukir menjadi "habit of the mind" atau kebiasaan berpikir, dan menjadi dasar dalam setiap tindakannya. Apabila anak dihadapkan pada situasi yang memberikan kesempatan untuk berbuat curang yang akan menguntungkannya, maka anak akan berpikir bahwa hal itu bertentangan dengan nilai-nilai karakter yang positif, sehingga tetap memilih untuk berbuat jujur apapun konsekuensinya.

G.    Strategi Pemberdayaan Keluarga bagi Pendidikan Karakter Anak

Sekolah dengan dukungan orang tua yang kuat pada program nilai, biasanya memiliki orang tua yang berfungsi dalam peran kepemimpinan. Strategi yang diasanya dilakukan dalam pemberdayaan pendidikan karakter oleh keluarga yang didukung oleh sekolah sering disebut 

Proyek Pengembangan Anak. Bagi setiap sekolah yang berpartisipasi terdapat kelompok orang tua yang merencanakan bagaimana keluarga dapat mengimplementasikan tujuan yang sama antara guru dan orang tua di ruang kelas. Dalam sebuah survei pada Proyek Pengembangan Anak di sekolah, kira-kira 50% orang tua mengatakan mereka melakukan perubahan yang positif dalam hidup berkeluarga sebagai hasil partisipasi mereka di kegiatan pameran sains keluarga. Namun sayangnya, ini merupakan pengamatan yang dianggap biasa bahwa menjadi orang tua merupakan pekerjaan terberat di dunia dan tidak ada pelatihannya.

Proyek Pengembangan Anak  menurut San Ramon mengatakan bahwa “Setiap dua sampai dengan tiga minggu , para guru mengirim ke rumah pekerjaan rumah keluarga melalui anak-anak seperti membacakan cerita pendek atau puisi secara bersamaan bersama keluarga”.

Salah satu pekerjaan rumah keluarga lainnya seperti mengurutkan empat aturan yang harus diikuti anak di rumah, kemudian di diskusikan dengan orang tua dan alasan di tiap aturan.

Tugas pertama seorang anak disekolah adalah untuk belajar dan dukungan paling mendasar yang dibutuhkan sekolah dari para orang tua adalah dukungan untuk pembelajaran tersebut. Keterlibatan orang tua dalam pembelajaran anak-anaknya merupakan sisi terdepan dari pembaharuan sekolah saat ini.

1.      Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam

Dalam al-Quran ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan karakter atau akhlak yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang Muslim, seperti perintah berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr), menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut pada Allah Swt., bersedekah di jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. al-Qashash [28]: 77; QS. al-Baqarah [2]: 177; QS. al-Muminun (23): 1–11; QS. al-Nur [24]: 37; QS. al-Furqan [25]: 35–37; QS. al-Fath [48]: 39; dan QS. Ali ‘Imran [3]: 134).

Ayat-ayat ini merupakan ketentuan yang mewajibkan pada setiap Muslim melaksanakan nilai karakter mulia dalam berbagai aktivitasnya

Secara singkat prinsip-prinsip akhlak atau karakter dalam rangka melakukan hubungan antar manusia (hablun minallah) dalam keluarga bisa dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu 1) berhubungan dengan orang tua, 2) berhubungan dengan orang yang lebih tua, 3) berhubungan dengan orang yang lebih muda, 4) berhubungan dengan teman sebaya, 5) berhubungan dengan lawan jenis.

a.      Karakter dengan orang tua
Al-Quran menggambarkan penderitaan orang tua yang sangat berat ketika melakukan pengasuhan terhadap anak-anaknya (QS. Luqman [31]: 14). Di antara bentuk penghormatan kepada orang tua adalah :
1)      Memanggil orang tua dengan panggilan yang menunjukkan rasa hormat, seperti bapak, ayah, papa, dan lain sebagainya
2)      Berbicara dengan orang tua dengan lemah lembut (baik bahasanya maupun suaranya)
3)      tidak mengucapkan kata-kata kasar atau kata-kata lain yang menyakitkan hati orang tua
4)      Membantu kedua orang tua secara fisik dan material
5)      Selalu mendoakan kedua orang tua

b.      Karakter dengan orang yang lebih tua
Dalam rangka pembinaan hubungan baik (berkarakter) dengan orang yang lebih tua, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah: 1) Jika orang-orang yang lebih tua itu adalah saudara kita, maka kita harus memberikan penghormatan yang sebaik-baiknya menaati perintahnya (yang tidak melanggar ajaran agama), membantunya, menjenguknya jika sakit, dan sebagainya; 2) Jika orang-orang yang lebih tua itu bukan saudara kita, maka kita tetap harus menghormatinya.

c.       Karakter dengan orang yang lebih muda
Yang harus kita lakukan dalam rangka berhubungan dengan orang-orang yang lebih  muda adalah sebagai berikut :
1)      Jika mereka itu saudara kita, maka kita harus memberikan kasih sayang kita yang sepenuhnya dengan ikut merawatnya, membimbingnya, mendidiknya, dan membantunya jika mereka membutuhkan bantuan kita. Tentu saja apa yang kita lakukan ini dalam rangka membantu orang tua dalam mengasuh dan membesarkan mereka
2)      Jika mereka bukan saudara kita, kita tetap harus menyayangi mereka dengan menunjukkan kasih sayang kita kepada mereka. Jangan sekali-kali kita menyakiti mereka dan melakukan sesuatu yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka, baik dari segi fisik maupun mental atau kejiwaan mereka.

d.      Karakter dengan teman sebaya
Teman sebaya adalah orang-orang yang memiliki usia yang hampir sama dengan usia kita dan menjadi teman atau sahabat kita. Kepada mereka ini kita harus dapat bergaul dengan sebaik-baiknya. Mereka ini adalah orang-orang yang sehari-harinya bergaul dengan kita dan menemani kita baik di kala suka maupun di kala duka.

Hal-hal yang dapat kita lakukan dalam rangka berhubungan dengan teman sebaya
di antaranya adalah :
1)      Saling memberi salam setiap bertemu dan berpisah dengan mereka dan dilanjutkan saling berjabat tangan, kecuali jika mereka itu lawan jenis kita. Kepada yang lain jenis tidak diperbolehkan berjabat tangan, kecuali terhadap mahram (orang yang merupakan kerabat dekat)-nya
2)      Saling menyambung tali silaturrahim dengan merekadengan mempererat persahabatan dengan mereka
3)      Saling memahami kelebihan dan kekurangan serta kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk kesalahfahaman dapat dihindari
4)      Saling tolong-menolong. Yang kuat menolong yang lemah dan yang memiliki kelebihan menolong yang memiliki kekurangan
5)      Bersikap rendah hati dan tidak boleh bersikap sombong kepada temanteman sebaya kita
6)      Saling mengasihi dengan mereka, sehingga terhindar dari permusuhan yang dapat menghancurkan hubungan persahabatan di antara teman yang seumur
7)      Memberi perhatian terhadap keadaan mereka, apalagi jika mereka benar-benar berada dalam kondisi yang memprihatinkan
8)      Selalu membantu keperluan mereka, apalagi jika mereka meminta kita untuk membantu
9)      Ikut menjaga mereka dari gangguan orang lain
10)  Saling memberi nasihat dengan kebaikan dan kesabaran

e.       Karakter dengan lawan jenis
Karakter yang harus kita bangun dalam rangka berhubungan dengan orang-orang yang menjadi lawan jenis kita adalah: 1) Tidak melakukan khalwat, 2) Tidak boleh menampakkan aurat di hadapan lawan jenisnya dan juga tidak boleh saling melihat aurat satu sama lain
Untuk melengkapi uraian ini perlu dicermati nasihat-nasihat al-Ghazali dalam rangka pendidikan karakter anak. Al-Ghazali memberi nasihat dengan empat hal, yaitu :
1)      Hendaknya anak-anak dibiasakan dengan karakter yang terpuji dan perbuatan yang baik serta dijauhkan dari perbuatan yang buruk dan rendah. Hendaklah ditanamkan dalam diri anak-anak tersebut sifat-sifat pemberani, sabar, dan rendah hati, menghormati teman dan orang yang lebih tua, sedikit bicara, suka mendengarkan hal-hal yang baik, taat kepada kedua orang tua dan kepada guru serta pendidikannya. Di samping itu, hendaklah diajarkan pada anak-anak agar menjauhi perkataan yang tak berguna dan kotor, congkak terhadap teman-teman mereka, atau melakukan suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh kedua orang tua.
2)      Hendaknya karakter baik dan perbuatan yang baik anak didorong untuk berkembang dan ia selalu dimotivasi untuk berani berbuat baik dan berkarakter mulia. Dalam hubungan ini al-Ghazali menegaskan, bila dalam diri anak itu nampak jelas karakter dan perbuatan terpuji, maka hendaklah ia dipuji dan diberi hadiah (rewards) yang menyenangkannya serta disanjung.
3)      Hendaknya jangan mencela anak dan hendaknya membuat jera berbuat kesalahan (dosa). Al-Ghazali menegaskan, jangan banyak berbicara terhadap anak dengan umpatan dan celaan pada sekali waktu, karena itu akan menyebabkan ia meremehkan bila mendengar celaan dan menganggap remeh perbuatan buruk yang dilakukannya serta menyebabkan hatinya kebal terhadap ucapan atau meremehkannya, akan tetapi hendaknya orang tua menjaga wibawanya dalam berbicara dengannya dan janganlah sekali-kali mengahardiknya.
4)      Kepada anak-anak yang sudah dewasa (baligh) hendaknya diajarkan hukum-hukum syariah dan masalah-masalah keagamaan. Jangan sekali-kali orang tua atau pendidik mentolelir anak meninggalkan shalat dan bersuci. Jika anak semakin dewasa, maka ia harus diberikan pendidikan tentang rahasia syariah atau hikmah dari ajaran-ajaran agama yang diberikan kepadanya.

2.      Potensi Keberhasilan Keluarga Dalam Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
Kihajar Dewantara (2004) menjelaskan arti penting keluarga dalam membantu perkembangan anak karena anak masih belum memiliki budi pekerti tertentu, belum memiliki jiwa yang tetap, dan masih bersifat global. Anak masih mudah menerima pengeruh dari linkungan yang akan membentuk dasar perkembangan mereka. Perkembangan anak secara utuh (holistik) mencakup dimensi sosial, emosional, bahasa dan kognitif, fisik serta kreatifitas. Shocib (1998) menjelaskan bahwa pola asuh dalam keluarga dua tugas pokok , yaitu mengembangkan karakter dan kompetensi anak. Pendidikan anak usia dini harus dilakukan secara holistik. Stimulasi yang diberikan oleh keluarga terhadap anak bertujuan mempercepat atau meningkatkan perkembangannya secara akuratberbentuk stimulasi auditif, visual, maupun taktil (Baumrind, 1996).

Hasil penelitian menunjunjukan bahwa keluarga berpotensi mengembangkan karakter anak melaluiikatan emosi yang kuat antara orang tua dan anak, prinsip ornag tua yang menentukan apresiasi anak dalam nilai disiplin diri yang ditanamkan. Pada pihak lain ditemukan sebesar 80% keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh EQ (Emosional Quotient) dan hanya 20% ditentukan faktor lain termasuk IQ (Intellegence Quotient). Prinsip-prinsip pengasuhan tersebut meliputi: keteladanan diri, kebersamaan dengan anak dalam merealisasikan nilai moral, sikap demokratis dan terbuka dalam kehidupan keluarga, kemampuan menghayati kehidupan anak dan kesatuan kata dalam tindakan (Sugito, 2007). Tingkat intensitas penggunaan prinsip pengasuhan orangtua akan menghasilkan tingkat kepercayaan dan kewibawaan yang akan menghasilkan apresiasi nilai disiplin diri yang berbeda pula.

Deskripsi ini mengarahkan pada suatu hipotesis bahwa potensi keluarga dalam bentuk perilaku pengasuhan orangtua, memiliki pengaruh yang kuat terhadap intensitas perkembangan anak secara holistik berbasis karakter. Potensi keluarga terkendala oleh beberapa unsur antara lain :
a.       Faktor sosial ekonomi
b.      Faktor sosial budaya
c.       Dalam pelaksanaan pendidikan keluarga melibatkan unsur lain dari keluarga inti dan keluarga batih, mereka ditunjuk keluarga untuk menggantikan posisi orang tua, misalnya pembantu rumah tangga, tetangga.

Pada pihak US Departement Health and Human Services (2001) menjelaskan ciri dari keberhasilan pengembangan karakter anak yang dipengaruhi oleh kematangan sosial emosi dapat dideskripsikan sebagai berikut :
a.       Memiliki rasa percaya diri (confidence)
b.      Rasa ingin tahu (curiosity)
c.       Kemampuan kontrol diri (self-control)
d.      Kemampuan bekerja sama (cooperation)
e.       Mudah bergaul dengan sesamanya
f.       Mampu berkonsentrasi
g.      Rasa empati
h.      Kemampuan berkomunikasi
i.        Memiliki motivasi. 

REFERENSI :
1.      Lickona, T.(2002) Character Matters. Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara. Lickona, T.(2002) Educating for Character.
2.      Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara.
3.      Abidin, Y. (2012). Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika
4.      Aditama Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter: Solusi yang tepat untuk membangun bangsa. Jakarata.
5.      BP Migas dan Star Energy. Kemendiknas (2010a), Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa, Jakarta:
6.      Kemendiknas . Kemendiknas (2011), Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta
7.      Alexandria: ASCD Samani, M. & Hariyanto, (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosda Karya


Sumber Lain :
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2015/01/17/pengembangan-ruang-kelas-berkarakter/
            http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/02/strategi-menciptakan-sekolah.html
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2015/01/17/pengembangan-sekolah-berkarakter/  
            http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/02/v-behaviorurldefaultvmlo.html
https://ekonominator.blogspot.co.id/2017/10/pendidikan-karakter-bangsa-menciptakan_25.html?spref=fb


MANAJEMEN JASA - KUALITAS LAYANAN

  KUALITAS LAYANAN Persaingan di dunia bisnis semakin ketat, mengharuskan perusahaan untuk menyadari bahwa kepuasan pelanggan bukan sekadar ...