Tujuan utama
setiap perusahaan adalah untuk mengoptimalkan laba perusahaan karena akan
berdampak pada kelangsungan usaha. Salah satu unsur yang paling penting dalam
pencapaian laba perusahaan adalah persediaan. Apa yang dimaksud dengan
persediaan dan apa saja yang termasuk persediaan? Persediaan merupakan aset
perusahaan yang dapat berupa persediaan bahan baku, persediaan barang-barang
dalam proses produksi, dan barang jadi yang siap dijual.
Penjualan
akan menurun apabila barang/persediaan yang dibutuhkan tidak sesuai dengan
spesifikasi, mutu, dan jumlah yang diminta oleh pelanggan. Begitu pula dengan
pembelian, jika pembelian tidak dilakukan dengan baik akan mengakibatkan
meningkatnya biaya-biaya. Karena pembelian erat kaitannya dengan persediaan.
Contohnya seperti biaya pembelian, sewa gudang, biaya administrasi pergudangan,
gaji petugas gudang, biaya pemeliharaan persediaan, dan biaya
kerusakan/kehilangan.
Demikian pula
dengan produksi harus melakukan pengendalian persediaan dengan cara
merencanakan jumlah barang yang akan diproduksi sesuai dengan forecast penjualan.
Jika jumlah barang yang diproduksi terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah
permintaan konsumen, maka perusahaan akan kehilangan peluang dalam memenuhi
omzet. Namun sebaliknya, jika jumlah permintaan dari konsumen jauh lebih kecil
dari jumlah barang yang diproduksi, maka perusahaan juga mengalami kerugian
karena adanya biaya tambahan dalam penyimpanan barang.
Dari
pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan harus melakukan manajemen
persediaan untuk mencapai keseimbangan antara investasi persediaan, produksi,
dan pemenuhan kebutuhan konsumen.
Kemudian apa
yang dimaksud dengan manajemen persediaan? Metode apa yang dapat dilakukan?
Manajemen
persediaan adalah pengelolaan fungsi penyimpanan dan penanganan persediaan
untuk mencapai tingkat pelayanan pelanggan yang lebih baik, meningkatkan
turnover persediaan dan keuntungan bagi perusahaan. Metode yang dapat digunakan
dalam pengelolaan manajemen persediaan adalah :
1.
Metode EOQ (Economic Order Quantity)
Economic
Order Quantity atau EOQ merupakan jumlah pemesanan paling ekonomis dengan
pertimbangan untuk meminimalkan biaya pemeliharaan barang dari gudang dan biaya
pemesanan setiap tahun namun tetap dapat memenuhi kebutuhan penggunaan. Metode
ini berlaku untuk permintaan yang dapat ditentukan secara pasti dan bersifat
tetap, item barang yang dipesan independen dengan item barang yang lain,
pesanan dapat diterima dengan segera dan pasti, jumlah barang keluar tidak
terlalu fluktuatif, serta harga barang tersebut bersifat konstan.
2.
Metode
Material Requirement Planning (MRP)
Dalam MRP
mencakup kebutuhan material yaitu untuk pengendalian persediaan dan penjadwalan
produksi. Tujuan MRP adalah untuk menentukan kebutuhan sekaligus mendukung
jadwal produksi, mengendalikan persediaan, menjadwalkan produksi, menjaga
jadwal tetap valid dan up-to date, serta secara khusus berguna dalam lingkungan manufaktur yang
kompleks dan tidak pasti. Empat tahap dalam proses perencanaan kebutuhan
material :
a. Netting,
merupakanproses perhitungan kebutuhan bersih yang besarnya merupakan selisih
antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan.
b. Lotting,
merupakanpenentuan besarnya pesanan setiap individu berdasarkan pada hasil
perhitungan netting.
c. Offsetting bertujuan
untuk menentukan saat yang tepat untuk melaksanakan rencana pemesanan dalam
memenuhi kebutuhan bersih yang diinginkan.
d. Exploding merupakan
proses perhitungan kebutuhan kotor setiap tahapan produksi disesuaikan dengan
rencana pemesanan.
3.
Metode Just
in Time (JIT)
Metode ini
adalah pemecahan masalah yang berkelanjutan sehingga supplier dan
komponen-komponen lain ditarik melalui sistem untuk penunjang saat dibutuhkan.
JIT bertolak belakang dengan pemborosan yang tidak memberi nilai tambah produk
dan mampu mencapai produksi ramping dengan mengurangi persediaan. Ada beberapa
pemborosan yang dapat terjadi dalam proses produksi yang terdiri dari kelebihan
produksi, proses yang tidak efisien, persediaan, gerakan yang tidak perlu dan
produk cacat.
4.
Metode
Analisis ABC
Analisis ABC
adalah metode manajemen persediaan untuk mengendalikan sejumlah kecil barang,
tetapi mempunyai nilai investasi yang tinggi. Analisis ABC ini menggolongkan
barang berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi hingga terendah dan
kemudian dibagi menjadi kelas-kelas besar terprioritas sesuai dengan jenis dan
fungsi masing-masing barang.
Dalam
menunjang jalannya manajemen persediaan dengan menggunakan metode-metode
diatas, perlu dilakukan pemantauan terhadap pengendalian persediaan mengingat
persediaan sangat rentan terhadap kerusakan maupun tindakan penyimpangan
lainnya. Pemantauan terhadap pengendalian internal dapat dilaksanakan seefektif
mungkin dalam suatu perusahaan untuk mencegah dan menghindari terjadinya
kesalahan, kecurangan dan penyelewengan.
Dalam skala
perusahaan kecil, pengendalian persediaan dapat dilakukan oleh pimpinan
perusahaan. Namun untuk skala perusahaan besar, dimana tugas-tugas per
masing-masing bagian sangat kompleks menyebabkan pimpinan tidak mungkin lagi
ambil bagian secara langsung dalam pemantauan ini. Oleh sebab itu, diperlukan
pengawasan dari masing-masing pihak yang bertugas dan memberikan
pertanggungjawabannya kepada pimpinan. Pemeriksaan pencatatan persediaan dengan
perhitungan fisik harus dapat dilakukan setiap bulan. Sehingga dengan adanya
pengawasan disertai dengan manajamen persediaan dapat mengontrol persediaan
barang secara maksimal.
Pengertian Persediaan
Persediaan adalah
bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan
tertentu, misalnya untuk digunakan dalam proses produksi atau perakitan, untuk
dijual kembali, atau untuk suku cadang dari peralatan atau mesin. Persediaan
dapat berupa bahan mentah, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi
ataupun suku cadang.
Sebagai
salah satu asset penting dalam perusahaan – karena biasanya mempunyai nilai
yang cukup besar serta mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya biaya operasi
– perencanaan dan pengendalian persediaan merupakan salah satu kegiatan penting
untuk mendapat perhatian khusus dari manajemen perusahaan.
I.
Jenis-jenis persediaan
Persediaan/ Inventori
(Inventory) adalah persediaan atau stok berbagai item atau sumber-sumber yang
digunakan dalam organisasi. Sistim Inventori adalah seperangkat kebijakan dan
pengendalian yang memantau tingkat persediaan dan menentukan berapa tingkat
persediaan yang harus dijaga, kapan persediaan harus ditambah, dan seberapa besar pesanan harus dibuat.
Persediaan
didefinisikan sebagai barang, bahan-bahan, atau asset yang dimiliki oleh
perusahaan untuk digunakan di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang
persediaan dapat dipandang sebagai masalah taktis (tactical problem), sehingga
perencanaan kebutuhan persediaan direncanakan dalam kontek jangka waktu
menengah selaras dengan keseluruhan rencana produksi, strategi pemasaran dan distribusi.
Secara
konvensional, inventori perusahaan manufaktur menunjuk pada item-item yang
menjadi bagian dari produk akhir perusahaan. Persediaan dalam manufaktur
diklasifikasikan menjadi persediaan bahan baku (raw materials), produk jadi
(finished products), komponen (component parts), bahan penolong (supplies) dan
barang dalam proses ( work in process). Pada perusahaan jasa, inventori
menunjuk pada barang-barang tangible yang dijual dan bahan penolong yang
diperlukan untuk menyajikan jasa. Dalam kebanyakan text book, pembahasan
inventori senantiasa difokuskan pada persediaan bahan baku di perusahaan
manufaktur.
1.
Jenis Persediaan/ Inventori
Ada beberapa
jenis persediaan antara lain:
1)
Persediaan bahan mentah dan bagian-bagiannya.
2)
Persediaan komponen
3)
Persediaan barang dalam proses
4)
Persediaan barang jadi
5)
Persediaan supplies
2.
Tujuan Persediaan/ Inventori
Semua perusahaan
termasuk juga yang operasinya menganut konsep JIT menjaga ketersediaan
inventori dengan alasan sebagai berikut:
1)
Menjaga independensi operasi. Dengan adanya ketersediaan bahan baku pada
pusat kerja memungkinkan fleksibilitas operasi dari pusat tersebut, sehingga
mengurangi biaya set-up setiap dilakukan set-up produksi yang baru.
2)
Untuk menjaga variasi/fluktuasi permintaan produk. Oleh karena, dalam
banyak hal, permintaan tidak dapat diperkiraan dengan sangat tepat, maka untuk
dapat mengantisipasinya diperlukan adanya persediaan pengamanan (safety/buffer
stock).
3)
Memungkinkan fleksibilitas dalam pembuatan skedul produksi. Dengan
adanya persediaan perusahaan dapat menentukan jadual produksi sesuai permintaan
sekalipun lead time bahan lama.
4)
Memberikan kemanan terhadap variasi waktu pengantaran bahan. Waktu
datangnya pesanan bisa saja tertunda yang penyebabnya banyak misalnya adanya
kecelakaan, kemacetan lalu lintas, pemogokan atau bencana alam dll. Dengan adanya
persediaan perusahaan dapat meminimalisasi pengaruh keterlambatan tersebut
terhadap kelancaran operasi.
5)
Mendapatkan keuntungan ekonomis dari jumlah pembelian yang lebih besar.
Misalnya adnya diskon/potongan harga untuk pembelian dengan jumlah besar tertentu.
3.
Alasan Perlunya Penyelenggaraan Persediaan/ Inventori
Setidaknya ada empat
alasan mengapa perusahaan memerlukan persediaan, yakni:
1)
Kesulitan memprediksi tingkat penjualan dan waktu produksi secara akurat
(fluctuation inventory).
2)
Beberapa item barang memiliki permintaan yang bersifat seasonal
(anticipation inventory)
3)
Mendapatkan manfaat dari economic of scale dalam produksi dan pembelian
(lot size inventory).
4)
Jarak dan waktu yang diperlukan untuk pengadaan barang sehubungan
dengan proses transit dalam sistem logistik. untuk sejumlah besar
persediaan (pipe-line inventory).
5)
Keterlambatan kedatangan bahan baku yang dipesan dapat mengakibatkan
terhentinya pelaksanaan produksi.
Perusahaan dapat saja
menyelenggarakan persediaan dalam jumlah yang besar, namun demikian persediaan
yang besar tidak selalu menguntungkan perusahaan. Beberapa kerugian sehubungan
dengan penyelenggaraan persediaan dalam jumlah besar antara lain:
1)
Biaya penyimpanan yang menjadi tanggungan perusahaan akan besar.
2)
Perusahaan harus mempersiapkan dana yang cukup besar untuk mengadakan
pembelian bahan.
3)
Tingginya biaya simpan dan investasi dalam persediaan akan mengakibatkan
berkurangnya dana untuk pembiayaan dan investasi di bidang lain.
4)
Perusahaan menanggung kemungkinan yang cukup besar risiko kerusakan
persediaan akibat perubahan kimiawi atau sebab lain.
5)
Bila terjadi penurunan harga bahan baku, maka perusahaan akan menderita
kerugian yang cukup besar pula. Di sisi lain, bila perusahaan menyelenggarakan
persediaan dalam jumlah yang relatif terlalu kecil, maka beberapa kelemahan
dari kebijakan tersebut antara lain:
6)
Adanya kemungkinan kehabisan bahan karena persediaan habis sebelum
waktunya.
7)
Akibat sering kehabisan bahan, maka proses produksi menjadi tidak lancar.
8)
Persediaan yang terlalu kecil akan meningkatkan frekuensi pembelian,
sehingga biaya pesannya pun akan meningkat selaras dengan peningkatan frekuensi
pembelian.
Untuk menghindari
penyelenggaraan persediaan yang terlalu besar maupun yang terlalu kecil,
berikut ini beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam
menyelenggarakan persediaan :
1)
Berapa besarnya jumlah unit persediaan bahan yang diselenggarakan
perusahaan.
2)
Kapan dan berapa jumlah unit bahan akan dibeli oleh perusahaan.
3)
Kapan perusahaan yang bersangkutan akan mengadakan pembelian kembali.
4.
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Persediaan
Terdapat beberapa macam faktor yang mempengaruhi persediaan bahan baku.
Adapun beberapa faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Perkiraan pemakaian bahan baku.
2)
Harga bahan baku
3)
Biaya persediaan
4)
Kebijakan pembelanjaan
5)
Pemakaian bahan
6)
Waktu tunggu
7)
Model pembelian bahan
8)
Persediaan pengaman
9)
Pembelian kembali
5.
Karakteristik Persediaan/ Inventori :Independent Demand dan Dependent
Demand
6.
Dalam mengelola inventori, perlu dipahami tentang perbedaan antara
permintaan independen dan dependen. Secara singkat, perbedaan antara permintaan
independen dan dependen yaitu kalau permintaan independen merupakan permintaan
yang hanya terkait dengan barang itu sendiri, atau suatu permintaan terhadap
berbagai item barang yang tidak ada kaitannya antara satu dengan yang lain.
Misalnya, suatu departemen atau divisi menghasilkan berbagai barang/komponen
yang tidak saling terkait yang semata-mata untuk memenuhi permintaan eksternal.
Misalnya permintaan roti, sepeda, mobil, obat-obatan. Sedangkan permintaan
dependen adalah permintaan terhadap suatu barang/komponen sehubungan dengan
adanya kebutuhan akan barang/komponen lain yang tersusun dari berbagai
komponen. Misalnya permintaan akan ban sepeda divisi ban sepeda muncul karena
adanya permintaan akan sepeda pada bagian assembling sepeda. Permintaan
ban sepeda pada divisi ban merupakan permintaan dependen dari divisi lain dalam
satu organisasi.
7.
Klasifikasi Masalah Persediaan/ Inventori
Langkah awal dalam
menganalisis masalah persediaan dilakukan dengan menggambarkan karakteristik
pokok dari lingkungan dan sistim persediaan Berikut karakteristik,
atribut, dan persoalan dalam persediaan :
Chataeristic
|
Atribute
|
Problems
|
|
|
|
Number
od Item
|
One or
Many
|
Model –
model pengendalian persediaan umumnya mengasumsikan bahwa jumlah item
persediaan hanya satu macam
|
Nature
of Demand
|
Independent
or Dependent, Deterministic or Stochastic, Static or Dinamic
|
Perbedaan
sifat permintaan membutuhkan pelaku yang berbeda pula
|
Number
of Time Periode in Planing Horizon
|
One or
Many
|
Adanya
item – item persediaan yang tidak dapat disimpan dalam waktu jangka yang lama
|
Lead
Time
|
Deterministic
or Stochastic
|
Perbedaan
sifat lead time akan mempengaruhi analisis persediaan yang dilakukan
|
Stock
Out
|
Back
Order or Lost Order
|
Sejauh
mana akibat yang ditimbulkan oleh kehabisan persediaan akan memutuskan
kebijakan persediaan yang diambil
|
Penjelasan:
1)
Independent Demand adalah permintaan yang tidak dipengaruhi oleh operasi
perusahaan melainkan dipengaruhi oleh pasar
2)
Dependent Demand adalah permintaan yang terkait dengan permintaan item
lain.
3)
Deterministic Demand adalah permintaan yang relatif tidak berfluktuasi
sehingga dapat diramalkan secara akurat.
4)
Stochastic Demand adalah permintaan yang fluktuasi dan variabilitasnya
sangat tinggi sehingga sulit diramalkan.
5)
Static demand adalah permintaan yang tidak berfluktuasi dari waktu ke
waktu.
6)
Dynamic Demand adalah jumlah permintaan yang senantiasa bervariasi dari
waktu ke waktu.
7)
Lead Time adalah jangka waktu antara saat pemesanan dengan saat barang
datang dan diterima.
8)
Stock-out adalah kehabisan persediaan
II.
Fungsi-fungsi persediaan
Beberapa
fungsi penting persediaan dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, yaitu :
1)
Menghilangkan
resiko keterlambatan pengiriman bahan baku atau barang yang dibutuhkan
perusahaan.
2)
Menghilangkan
resiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan.
3)
Menghilangkan
resiko terhadap kenaikan harga barang secara musiman atau inflasi
4)
Untuk
menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga perusahaan tidak
akan kesulitan jika bahan itu tidak tersedia di pasaran.
III.
Biaya
persediaan
Biaya Persediaan
(Inventory)
Dalam membuat
keputusan terhadap besarnya inventori, beberapa item biaya berikut perlu
dipertimbangkan :
1)
Purchasing cost of item. merupakan biaya yang timbul dari pembelian
persediaan
2)
Ordering- cost (preparation set-up cost). Biaya pesan merupakan biaya yang
terjadi karena adanya kegiatan pemesanan kepada vendor hingga barang sampai di
gudang atau pengorganisasian untuk memulai produksi di dalam pabrik. Biaya
klerikal dan manajerial untuk menyiapkan pembelian atau pemesanan. Misalnya
biaya telpon, pencatatan.
3)
Inventory-holding cost, biaya simpan mencakup semua biaya yang terjadi
karena penyimpanan persediaan.. Yang termasuk golongan biaya ini misalnya biaya
fasilitas penggudangan, penanganan, asuransi, kerusakan, kedaluwarsaan,
depresiasi, pajak dan opportunity cost of capital.
4)
Shortage cost (good-will cost), biaya yang timbul karena adanya permintaan
yang tak terlayani sehubungan dengan kehabisan persediaan atau biaya yang
timbul akibat kehabisan bahan dan pemesanan masih menunggu waktu.
5)
Setup (production change) cost. Biaya yang timbul sehubungan dengan
pembuatan produk yang berbeda yang memerlukan perubahan bahan, penyusunan
spesifikasi mesin, dll.
Dari keempat jenis biaya persediaan tersebut di atas, yang digunakan dalam
perhitungan biaya persediaan (Total Inventory Cost disingkat TIC) adalah
Ordering Cost (Co) dan Holding Cost (Ch). Selanjutnya TIC secara matematis
dinyatakan sebagai berikut :
Dimana
:
TIC : Total Inventory Cost
Q/2 : Persediaan rata-rata
R/Q : Frekuensi pemesanan
Ch = H : Biaya penyimpanan per unit barang per satu satuan waktu
Co = Cs = S : Biaya pemesanan setiap kali pesan
Q/2 : Persediaan rata-rata
R/Q : Frekuensi pemesanan
Ch = H : Biaya penyimpanan per unit barang per satu satuan waktu
Co = Cs = S : Biaya pemesanan setiap kali pesan
Biaya simpan per unit
barang per satu satuan waktu memiliki hubungan yang positif terhadap jumlah
barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam setiap
kali pesan, semakin banyak barang yang disimpan, semakin besar pula biaya
simpan yang ditanggung. Sebaliknya biaya pemesanan setiap kali pesan memiliki
hubungan yang negatif terhadap jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin
banyak barang yang dipesan dalam setiap kali pesan, semakin kecil frekuensi
pembelian, semakin rendah pula biaya pemesanan yang harus ditanggung
perusahaan. Dengan kata lain bahwa biaya pesan memiliki hubungan yang positif
terhadap frekuensi pemesanan. Berikut ini gambaran secara grafis yang
menunjukkan hubungan antara biaya simpan, biaya pesan dan jumlah barang yang
dipesan dalam setiap kali pesan.
TIC minimum akan
terjadi pada tingkat jumlah pembelian yang paling ekonomis atau disebut
Economic Order Quantity.
Sedang untuk menghitung Total Biaya Anual (TAC( sering juga disingkat TC adalah sebagai berikut:
Sedang untuk menghitung Total Biaya Anual (TAC( sering juga disingkat TC adalah sebagai berikut:
Dimana :
D = R = Kebutuhan satu tahun
C = P = Harga perolehan barang
S= Cs = Co = Biaya Pesan per pesanan
H = Ch = Biaya Simpan per unit
C = P = Harga perolehan barang
S= Cs = Co = Biaya Pesan per pesanan
H = Ch = Biaya Simpan per unit
IV.
Model Economic
Order Quantity
Economic Order
Quantity (EOQ)
Bahan mentah merupakan
salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh karena itu, penyediaan
bahan mentah yang tepat, baik dalam arti jumlah maupun waktu, akan sangat
mendukung kelancaran proses produksi. Persediaan bahan yang minim memungkinkan
terjadinya kekurangan bahan. Kekurangan bahan mentah yang tersedia (stock-out)
dapat berakibat terhentinya proses produksi karena kehabisan bahan untuk
diproses. Namun, dilihat dari sisi positif, jumlah persediaan bahan yang rendah
dapat menghemat biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan adanya persediaan dan
dapat mengurangi risiko kerusakan bahan akibat terlalu lama disimpan. Di sisi
lain, persediaan bahan mentah yang terlalu besar jumlahnya (over-stock) memang
dapat menjamin kelancaran proses produksi karena bahan senantiasa tersedia
dalam jumlah yang cukup, namun bila dilihat dari segi finansial, persediaan
bahan yang terlalu besar akan meningkatkan biaya persediaan dan risiko
kerusakan.
Persoalan dalam pengaturan persediaan bahan mentah adalah bagaimana berusaha menyediakan bahan mentah yang diperlukan untuk proses produksi sehingga proses produksi dapat berjalan lancar dengan biaya persediaan yang minimal. Tujuan pengawasan persediaan bahan mentah adalah untuk menjawab persoalan tersebut baik dalam artian jumlah, kualitas maupun waktu.
Persoalan dalam pengaturan persediaan bahan mentah adalah bagaimana berusaha menyediakan bahan mentah yang diperlukan untuk proses produksi sehingga proses produksi dapat berjalan lancar dengan biaya persediaan yang minimal. Tujuan pengawasan persediaan bahan mentah adalah untuk menjawab persoalan tersebut baik dalam artian jumlah, kualitas maupun waktu.
Jumlah bahan mentah yang dibutuhkan di dalam berproduksi selama satu tahun dapat diperhitungkan dari rencana hasil produksi yang akan dihasilkan dengan kebutuhan bahan mentah untuk satu satuan barang jadi. Setelah diketahui jumlah kebutuhan bahan mentah, maka perlu direncanakan juga mengenai cara pembeliannya atau cara penyediaannya. Dalam hal cara penyediaan/pembelian pada garis besarnya terdapat dua alternatif yaitu :
1)
Dibeli sekaligus jumlah seluruh kebutuhan, dan kemudian disimpan di gudang,
sehingga setiap kali ada kebutuhan tinggal mengambil di gudang. Cara ini lebih
menjamin kelancaran proses produksi, dalam artian bahwa bahan mentah untuk
keperluan proses produksi telah tersedia dalam jumlah besar. Namun demikian, di
sisi lain, cara ini membawa konsekuensi bahwa perusahaan harus menanggung
biaya persediaan atau paling tidak biaya penyimpanan yang tinggi.
2)
Alternatif yang kedua ialah berusaha memenuhi kebutuhan bahan mentah untuk
keperluan proses produksi dengan membeli dalam jumlah yang relatif kecil dalam
setiap kali pembelian dengan frekuensi pembelian yang lebih sering. Cara ini
akan membawa kemungkinan terlambatnya bahan mentah. Apabila keterlambatan
penyediaan bahan mentah terjadi, maka proses produksi dapat terganggu.
Sedangkan keuntungan dari cara kedua ini ialah bahwa perusahaan tidak perlu
menanggung biaya penyimpanan bahan mentah yang terlalu besar. Dalam hal ini
biaya penyimpanan dibebankan pada leveransir bahan mentah.
Dari dua cara ekstrim tersebut, manajemen berusaha untuk menentukan kebijaksanaan penyediaan bahan baku yang optimal dalam arti dapat menjamin kelancaran proses produksi dan biaya yang ditanggung ada pada tingkat minimal. Untuk keperluan tersebut biasanya digunakan metode yang disebut metode Economic Order Quantity (EOQ).
Pengertian EOQ adalah volume pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada setiap kali pembelian. Secara matemastis dinyatakan sebagai berikut:
Dimana :
R : Kebutuhan bahan
mentah satu tahun
Co = Cs = S
: Ordering Cost setiap
kali pesan
Ch = H : Holding Cost per
unit per satu satuan waktu
Model EOQ di atas dikembangkan dengan asumsi :
§
Hanya ada satu jenis/item persediaan yang hendak direview.
§
Seluruh jumlah bahan mentah yang dipesan datang pada satu titik waktu
tertentu.
§
Permintaan akan bahan bersifat konstan atau mendekati tingkat konstan.
§
Lead time konstan.
§
Holding cost didasarkan pada rata-rata persediaan
§
Ordering atau setup cost konstan
§
Tidak terjadi kehabisan bahan.
§
Tidak ada pengembalian barang yang sudah dipesan
V.
Model
persediaan stokastik
Menentukan Tingkat
Safety Stock
Dengan ditemukannya
EOQ, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk terjadi kekurangan persediaan
(stock-out) di dalam proses produksi. Pada kondisi permintaan stochastic,
sangat tidak realistis bila seorang manajer mengatakan bahwa ia tidak akan
mentolerir terjadinya kekurangan persediaan. Kemungkinan kekurangan persediaan
tetap ada dan timbul karena :
1)
Penggunaan bahan dalam proses produksi lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya
sehubungan dengan sifat permintaan yang stochastic, sehingga persediaan telah
habis sebelum pembelian atau pesanan yang berikutnya datang.
2)
Pesanan/pembelian bahan tidak datang tepat pada waktunya atau lead time
ternyata tidak tetap.
Untuk mengatisipasi
dua keadaan di atas sehingga terhindar dari stock-out, perusahaan perlu
mengadakan persediaan besi (safety stock), yang akan dekat kaitannya dengan
Re-Order Point. Menentukan Re-order Point yang telah mempertimbangkan safety
stock memerlukan data distribusi probabilitas dari lead time yang
diperoleh dari hasil analisis data historis. Dari probabilitas lead time itu
pula dapat diketahui mengenai probabilitas terjadinya stock out. Asumsinya
adalah bahwa distribusi probabilitas dari lead time merupakan disribusi normal.
Kemudian, ditentukan
Service Level, yang menunjukkan probabilitas yang diharap bahwa perusahaan
tidak akan mengalami stock-out selama lead time. Sebagai contoh, service level
95% artinya bahwa probabilitas tidak terjadi kekurangan persediaan sampai
datangnya pesanan sebesar 95%. Dengan kata lain, bahwa kemungkinan terjadinya
stockout atau stockout yang ditolerir adalah sebesar 5%. Selanjutnya dengan
menggunakan data-data statistik ditentukan Re-Order Point sebagai berikut :
Keterangan :
ROP : Reorder Point
u
(Miu)* : Kebutuhan bahan
yang diharap selama lead time
z.*
: Kafety stock
Rho
: Angka standar
deviasi dimana probabilitas stock out dapat diterima
Dengan adanya safety stock sebesar z.*, besarnya TIC menjadi :
Total Biaya pesan +
Total Biaya simpan persediaan normal + Total biaya simpan safety stock
Contoh:
Manajemen sebuah perusahaan menginginkan service level 95%, atau probabilitas 5% untuk terjadinya stockout selama lead time. Dari tabel Z diperoleh angka 1,645 standar deviasi di atas rata-rata. Dengan asumsi distibusi normal, kebutuhan bahan selama lead time, rata-rata 577 unit dan standard deviasi 100 unit, dapatlah ditentukan Re-Order Point :
ROP = 577 + 1,645(100) = 742 unit
Pemesanan kembali dilakukan bila persediaan di gudang tersisa 742 unit.
Model Persediaan Dengan Shortage/ Stockout (Kehabisan Bahan)
Pada beberapa situasi
tertentu, bukan tidak mungkin terjadi kehabisan persediaan (shortages/
stockout), artinya kemungkinan terjadinya bahwa permintaan tidak dapat dipenuhi
dengan persediaan atau produksi yang ada. Hal demikian sering merupakan sesuatu
yang tidak dikehendaki sehingga harus diantisipasi dan sejauh mungkin
dihindari. Namun demikian, tidak semua kasus kehabisan persediaan merupakan
sesuatu yang tidak diinginkan, ada kalanya situasi tersebut memang dikehendaki
dilihat dari sudut ekonomi.
Dalam praktek sehari-hari, situasi kehabisan persediaan sering ditemukan mana kala nilai per unit persediaan sangat tinggi, dan karenanya biaya simpan juga tinggi, misalnya persediaan dealer mobil-mobil baru. Bukan hal yang mengherankan bila sebuah dealer ternyata tidak memiliki persediaan mobil tertentu yang diinginkan oleh seorang pembeli.
Berkaitan dengan situasi kehabisan bahan, ada suatu model yang dikembangkan untuk menganalisis situasi tersebut, yang dikenal dengan nama Back-Order. Model Backorder ini dikembangkan dengan asumsi :
Dalam praktek sehari-hari, situasi kehabisan persediaan sering ditemukan mana kala nilai per unit persediaan sangat tinggi, dan karenanya biaya simpan juga tinggi, misalnya persediaan dealer mobil-mobil baru. Bukan hal yang mengherankan bila sebuah dealer ternyata tidak memiliki persediaan mobil tertentu yang diinginkan oleh seorang pembeli.
Berkaitan dengan situasi kehabisan bahan, ada suatu model yang dikembangkan untuk menganalisis situasi tersebut, yang dikenal dengan nama Back-Order. Model Backorder ini dikembangkan dengan asumsi :
1)
Ketika pelanggan memesan barang, perusahaan tidak dapat memenuhi karena
kehabisan persediaan.
2)
Pelanggan tidak membatalkan pesanannya dan bersedia menunggu barang datang.
3)
Waktu tunggu backorder relatif pendek.
4)
Perusahaan memberikan jaminan bahwa pelanggan yang telah menunggu menjadi
prioritas utama.
Pada model persediaan
untuk situasi stockout, biaya yang dipertimbangkan tidak hanya biaya pesan dan
biaya simpan saja. Namun masih ditambah biaya yang disebut Backorder Cost atau
Stockout Cost. Biaya yang termasuk kategori Backorder cost atau stockout Cost
antar lain biaya tenaga kerja dan pengantaran khusus yang terkait secara
langsung dengan penanganan backorder, a loss of goodwill dalam bentuk waktu
pelanggan menunggu. berikut ini total biaya persediaan annual sehubungan dengan
adanya kehabisan bahan:
Total Annual Inventory Holding Cost (H) =
Total Annual Inventory Holding Cost (H) =
Total Annual Ordering
Cost( S) =
Total Annual
Backorder/Stockout Cost =
Dengan demikian Total
Biaya Persediaan (TIC) sebesar,
Apabila biaya Holding
cost, Ordering cost, dan Backorder cost dapat diestimasi, maka dapat ditentukan
besarnya jumlah pemesanan yang optimal (Q* ) dan jumlah backorder yang optimal
(S*) atau Q dan S yang meminimumkan biaya, dengan formula sebagai berikut:
Keterangan :
Ch : Biaya simpan
per unit per waktu
Co : Biaya pesan
setiap kali pemesanan
Cb : Biaya backorder
atau biaya kehabisan persediaan per unit per satu satuan
waktu
R : Kebutuhan/permintaan
selama satu waktu
Q : Jumlah
pembelian/pesanan setiap kali melakukan pemesanan
S : Jumlah
kekurangan persediaan untuk satu satuan waktu
Q* : Jumlah
pembelian/pemesanan optimal dengan mempertimbangkan
backorder untuk setiap kali pemesanan
S* : Jumlah
backorder atau kekurangan persediaan yang optimal per satu
satuan waktu
VI.
Analisis
persediaan ABC
Analisis Persediaan
Metode ABC
Konsep ABC Inventory Analysis pertama kali dikenalkan oleh H.F. Dickie di
General Electric pada awal tahun 1950-an. Teknik ABC ini merupakan salah satu
alat manajemen yang sangat berharga untuk mengidentifikasi dan mengendalikan
item-item persediaan yang penting. Konsep ABC membagi atau mengelompokkan
item-item persediaan menjadi tiga kelompok :
1)
Kelompok A
Item-item
persediaan yang dikelompokkan ke dalam kelompok A ini adalah item-item
persediaan yang bernilai besar namun merupakan bagian kecil dari keseluruhan
item persediaan yang ada. Ciri khusus dari kelompok ini antara lain memiliki
nilai berkisar antara 70% - 80% dari seluruh nilai persediaan yang ada, dan
kuantitasnya berkisar antara 15% - 30% dari seluruh jumlah persediaan.
2)
Kelompok C
Item-item
persediaan yang masuk kategori C adalah item-item persediaan yang memiliki
nilai rendah, namun merupakan bagian terbesar dari seluruh persediaan. Nilai
persediaan kelompok ini berkisar antara 5% - 15% dari seluruh nilai persediaan,
dan jumlahnya berkisar 50% dari seluruh jumlah persediaan.
3)
Kelompok B
suatu item persediaan
akan dikategorikan dalam kelompok B bila memiliki karakteristik antara A dan C.
Perlu diketahui bahwa angka-angka prosentase yang diberikan dalam penjelasan bukanlah harga mati, angka-angka tersebut hanyalah guidelines saja. Sebenarnya, tidak ada aturan yang spesifik berkaitan dengan batasan antara kelompok A, kelompok B, dan kelompok C.
Jika pengelompokkan persediaan tersebut digambarkan secara grafis dimana sumbu vertikal menunjukkan prosentase nilai persediaan dan sumbu horisontal menunjukkan prosentase jumlah persediaan, maka akan terlihat seperti kurva dan disebut kurva ABC.
Dari analisis persediaan ABC, manajemen memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk mengendalikan persediaan. Misalnya, persediaan yang masuk kelompok A menggambarkan investasi persediaan yang bersifat substansial sehingga persediaan tersebut memerlukan pengawasan dan pengendalian yang ketat yang meliputi pencatatan yang lebih akurat dan komplit, pengawasan dan inspeksi tingkat persediaan yang terus menerus, perhitungan yang tepat, menempati posisi prioritas utama dan diberi perhatian yang maksimum berkaitan dengan jumlah dan frekuensi pemesanan.
Sebaliknya, untuk persediaan yang masuk kategori C, relatif kurang membutuhkan perhatian atau pengendalian yang seketat kelompok A maupun B. Jumlah yang besar sering memberikan keuntungan dalam hal pengurangan biaya pengangkutan, dan tingkat prsediaan dapat diawasi secara periodik tanpa membutuhkan catatan-catatan formal. Sementara, persediaan kategori B yang merupakan persediaan dengan nilai dan jumlah yang berada di tengah-tengah antara A dan C, memerlukan pengendalian dan pengawasan yang lebih dari C, namun tidak seketat pengendalian dan pengawasan untuk persediaan kategori A.
Kurva ABC Inventory
Analysis
VII.
Metode
Penentuan nilai persediaan (LIFO, FIFO, Average)
Dalam pencatatan
sistem fisik, nilai persediaan barang akhir periode diketahui setelah kuantitas
barang yang tersedia dihitung secara fisik kemudian dikalikan dengan harga
satuan. Harga satuan barang yang digunakan sebagai dasar penilaian persediaan
bergantung kepada metode penilaian yang digunakan.
Dalam
penentuan nilai persediaan dapat digunakan beberapa metode, yaitu :
1.
Metode Harga Pokok Spesifik
Metode ini digunakan
untuk persediaan yang dapat diidentifikasikan secara individu dan dapat
ditentukan asal pembeliannya serta harga pokoknya sesuai dengan harga beli yang
sesungguhnya. Metode ini seringkali digunakan oleh perusahaan yang menjual
barang dengan harga mahal dan setiap barang memiliki identitas, seperti mobil.
Ilustrasi 1 : Menentukan nilai
persediaan dengan metode harga pokok spesifik.
Mobil A
|
Mobil B
|
Mobil C
|
|
Pembelian
|
Rp 40.000
|
Rp 50.000
|
Rp 180.000
|
Penjualan
|
Rp 45.000
|
-
|
-
|
1) Jurnal
untuk mencatat pembelian:
Pembelian
(Mobil A) Rp 40.000,00
Pembelian
(Mobil B) Rp 50.000,00
Pembelian
(Mobil C) Rp 180.000,00
Kas ( Hutang) Rp 270.000,00
2) Jurnal untuk
mencatat penjualan:
Kas ( Piutang
) Rp 45.000,00
Penjualan Rp 45.000,00
3) Menentukan
persediaan akhir:
Mobil yang
belum terjual adalah mobil B dan Mobil C yang nilai belinya
Adalah :
Rp. 50.000,00
+ Rp. 180.000,00 = Rp. 230.000,00
4) Melaporan
Persediaan dalam neraca akhir:
Neraca akhir periode :
Persediaan (D) Rp.
230.000,00
|
2.
Metode First In First Out (FIFO)/Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP)
Menurut metode FIFO (First
In Frist Out) atau MPKP (Masuk Pertama Keluar Pertama), barang yang lebih
dulu masuk dianggap barang yang lebih dulu keluar. Tetapi hal ini tidak pada
keadaan sebenarnya, anggapan tersebut hanya digunakan untuk perhitungan
(penggunaan bukti transaksi). Ketika masuk pertama keluar pertama, berati dapat
disimpulkan bahwa persediaan akhir terdiri dari pembelian pada
saat-saat terakhir.
Di dalam
metode ini biaya persediaan yang paling awal yang ada terlebih dahulu
dibebankan sebagai harga pokok penjualan. Dengan demikian barang yang ada dalam
persediaan dianggap berasal dari pembelian - pembelian sebelumnya dianggap telah dijual atau dikeluarkan.
Ilustrasi 2 : Menentukan
nilai persediaan dengan metode FIFO/MPKP.
Transaksi perdagangan
PT. TATA, Jakarta dalam bulan Januari 2002:
01/1
Saldo 10
unit @ Rp 10.000,00
10/1
Pembelian 25
unit @ Rp 20.000,00
20/1
Pembelian 5
unit @ Rp 30.000,00
Total 40
unit
25/1
Penjualan 30
unit
31/1 Sisa di
gudang 10 unit (dihitung secara fisik di gudang).
Harga Pokok
Penjualan untuk 30 unit yang terjual adalah :
10 unit @ Rp.
10.000,00 + 20 unit @ Rp. 20.000,00
Maka nilai
persediaan atas dasar metode FIFO adalah:
5 unit @ Rp.
20.000,00 = Rp. 100.000,00
5 unit @ Rp.
30.000,00 = Rp. 150.000,00
Rp.
250.000,00
|
3.
Metode Last In First Out (LIFO)/Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP)
Menurut metode LIFO (Last In First Out) atau MTKP (Masuk Terakhir
Keluar Pertama), barang yang terakhir masuk dianggap barang yang lebih dulu
keluar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai persediaan akhir
merupakan nilai pada pembelian awal.
Metode yang didasarkan
pada anggapan bahwa biaya persediaan yang paling akhir yang akan terlebih
dahulu dibebankan sebagai harga pokok penjualan. Jadi metode LIFO adalah
kebalikan dari metode FIFO.
Ilustrasi
3: Menentukan
nilai persediaan dengan metode LIFO/MTKP.
Transaksi
perdagangan PT. TATA, Jakarta dalam bulan Januari 2002:
01/1
Saldo 10
unit @ Rp 10.000,00
10/1 Pembelian 25
unit @ Rp 20.000,00
20/1
Pembelian 5
unit @ Rp 30.000,00
Total 40
unit
25/1
Penjualan 30
unit
31/1 Sisa di
gudang 10 unit (dihitung secara fisik di gudang)
Harga Pokok Penjualan
untuk 30 unit yang terjual adalah :
5 unit @ Rp.
30.000,00 + 25 unit @ Rp. 20.000,00
Maka nilai
persediaan atas dasar metode LIFO adalah:
10 unit
@ Rp. 10.000,00
= Rp.
100.000,00
|
4.
Metode Rata-rata atau Rata-rata Tertimbang
Penerapan metode
rata-rata dalam sistem pencatatan perpetual, disebut metode rata-rata bergerak
(Moving Average Method). Disebut demikian, karena tiap terjadi transaksi
pembelian, harga rata-rata per satuan barang harus dihitung, sehingga rata-rata
per satuan akan berubah-ubah. Harga pokok satuan barang yang dijual adalah
harga pokok rata-rata yang berlaku pada saat terjadi transaksi penjualan.
Dalam metode rata-rata
tertimbang, biaya rata-rata barang ditentukan dengan cara membagi jumlah harga
barang yang tersedia untuk dijual total kuantitasnya, atau dengan rumus :
Ilustrasi 4: Menentukan nilai
persediaan dengan metode Rata-rata Tertimbang.
Transaksi perdagangan
PT. TATA, Jakarta bulan Januari 2000:
01/1
Saldo 10
unit @ Rp 10.000,00 = Rp.
100.000,00
10/1
Pembelian 25
unit @ Rp 20.000,00 = Rp.
500.000,00
20/1
Pembelian 5
unit @ Rp
30.000,00 = Rp. 150.000,00
Total 40
unit =
Rp. 750.000,00
Harga Rata-rata
Tertimbang = Rp. 750.000,00 = Rp. 18.750,00
40
25/1 Penjualan 30 unit
@ Rp. 18.750,00
31/1 Sisa di gudang 10
unit (dihitung secara phisik di gudang)
Maka nilai persediaan
atas dasar metode Rata-rata Tertimbang adalah :
10 unit @ Rp.
18.750,00 = Rp. 187.500,00
Pengaruh
metode FIFO, LIFO, Rata-rata Tertimbang terhadap laba.
Misalnya, penjualan 30
unit @ Rp. 40.000,- maka dapat dibuat perbandingan berikut di bawah :
Keterangan
|
FIFO
|
LIFO
|
Rerata
Tertimbang
|
Penjualan 30 unit @ Rp 40.000 per Unit
|
Rp 1.200.000,00
|
Rp 1.200.000,00
|
Rp 1.200.000,00
|
HP barang yang dapat dijual
(Persd.Awal + Pembelian)
|
Rp 750.000,00
|
Rp 750.000,00
|
Rp 750.000,00
|
Persediaan akhir 10 unit
(rumus dari metode masing-masing)
|
Rp 250.000,00
|
Rp 100.000,00
|
Rp 187.500,00
|
Harga Pokok Penjualan/ HPP
(HP barang yang dapat dijual- Persd. Akhir)
|
Rp 500.000,00
|
Rp 650.000,00
|
Rp 562.500,00
|
Laba kotor
(Penjualan-HPP)
|
Rp 700.000,00
|
Rp 550.000,00
|
Rp 637.500,00
|
Ringkasan pengaruh
ketiga metode
|
Perpersediaan
akhir tertinggi
HPP terendah
Laba Kotor
|
- Persediaan akhir
terendah
- HPP tertinggi
- Laba Kotor
terendah
|
Hasil berada
diantara hasil
FIFO dan LIFO
|
Untuk keperluan
pembukuan perusahaan, pemilihan antara metode FIFO, LIFO dan Rata-rata
tertimbang tergantung pada kebijakan manajemen. Peraturan perpajakan di
Indonesia hanya membolehkan metode FIFO atau rata-rata tertimbang.
REFERENSI :
1.
Bunawan, Pengantar Manajemen Operasi : Seri Diktat Kuliah,
Gunadarma, Jakarta, Edisi Terbaru
2.
Eddy Herjanto, Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi Kedua,
Grasindo, Jakarta, atau Edisi terbaru
3.
T. Hani Handoko, Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi,
BPFE, Yogyakarta, Edisi terbaru
4.
Sofyan Assauri, Manajemen Produksi dan Operasi, LP FEUI,
Jakarta, Edisi terbaru
5.
Pangestu Subagyo, Manajemen Operasi, BPFE, Yogyakarta, Edisi
Terbaru
6.
Buku-buku Manajemen Opersional lain yang berkaitan (
Diusahakan terbitan terbaru )
Sumber
Lain :
http://kuliah-manajemen.blogspot.co.id/2009/12/manajemen-persediaan.html
https://sites.google.com/site/operasiproduksi/persediaan-inventori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar