MASJID DAN PEMBERDAYAAN UMAT
Pengantar
Makalah ini ditulis atas dasar
hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama (Balai Litbang Agama), Jakarta yang dilaksanakan tahun 2013.
Para peneliti mengambil sasaran masjid yang dipandang telah melakukan berbagai
upaya pengembangan fungsi masjid melalui berbagai program kemesjidan.
Pemilihan sasaran studi oleh
para penelitinya didasarkan pertimbangan masjid yang diteliti telah melakukan
serangkaian program kerja yang beraneka bentuk dalam rangka mengembangkan
fungsi lembaga masjid. Di sisi lain, masjid telah menerapkan sistem manajemen
organisasi dan kelembagaan. Dengan demikian, berbagai program kegiatan terukur dalam
konteks pencapaian target yang dicanangkan.
Tentunya dengan menerapkan unsur-unsur manajemen dalam pengelolaan masjid.
Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini hasil-hasil studi—walaupun disadari bersifat kasus—dapat dilihat
kembali dalam kontes pemberdayaan umat melalui pengembangan fungsi-fungsi
masjid.
Makalah ini mencoba menyampaikan
temuan-temuan yang dapat diangkat dari studi yang telah dilakukan para peneliti
Balai Litbang Agama, Jakarta. Tentunya dalam penyajian ini tidak selengkap
laporan yang dibuat oleh para peneliti bersangkutan (telah dicetak dalam bentuk
buku yang diberi judul “Transpormasi Sosial Masjid dalam Pusaran Peradaban”).
Masjid dalam
lintasan sejarah
Nabi Muhammad SAW bersama
Muhajirin membangun masjid yang pertama, yaitu yang diberi nama “Masjid Quba”. Demikian pula saat Nabi
SAW sampai di Madinah tahun 662 M,
beliau mendirikan masjid sebagai suatu wahana membangun masyarakat yang
beradab.
Dapat kita ketahui bersama,
melalui masjid dapat dilakukan paling tidak : Pertama, pembinaan umat
dalam masalah ubudiah (ibadah) terutama yang “ibadah mahdoh”.
Sperti pelaksanaan salat lima waktu secara berjamah. Kedua, Menjalin ukhwah
Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam). Ketiga, melaksanakan
kontrak-kontrak sosial dengan kelopok
sosial yang ada di Madinah.
Dua masjid yang dibangun nabi
Muhammad SAW bila kita coba melihat lebih jauh dari fungsi yang disandang,
sangatlah kompleks. Seperti masjid Quba,
yang saat pertama kali dibangun berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan
salat dan melepas kepenatan dalam naungan bangunan yang teduh. Namun dalam
perkembangan saat itu, masjid Quba telah melakukan fungsi dan peran yang cukup
beragam, yaitu terkait proses
konsolidasi dan pemberdayaan umat. Seperti melakukan fungsi pelayanan kepada
umat menyangkut ibadah mahdoh, sosial, ekonomi, bahkan politik. Dengan
demikian, pada masa Nabi Muhammad SAW , masjid Quba menjelma menjadi pusat
aktivitas umat (central of muslim activites).
Demikian juga yang dapat
diketahui dengan masjid kedua yang dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Masjid Nabawi”. Muhajirin dan Ashor
dipertemukan dan dirajut tali persaudaraan
antara keduanya melalui masjid. Dan perlu di ketahui bahwa salah satu
yang dapat ditemui di masjid yang dibangun Nabi SAW adalah tempat yang dikenal
dengan sebutan “al Shuffa”.
Yaitu suatu tempat di mana pada bagian masjid Nabawi terdapat ruangan untuk
menampung kaum miskin dan dhuafa.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa masjid yang di bangun Rasulullah
SAW memiliki komitmen pada peningkatan
dan perlindungan bagi kelompok papa dan
marjinal (terpinggirkan).
Selain itu, masjid Nabi juga
melakukan fungsi dan peran sebagai tempat konsolidasi sosial, ekonomi, politik, perancangan strategi militer, menyusun
rencana program-program pelayanan dan kepemerintahan. Demikian itu berlanjut
sampai masa Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah masa kejayaan Islam.
Perkembangan masjid pasca wafat
Rasulullah SAW menunjukkan fenomena yang
sangat signifikan. Yaitu menunjukkan peningkatan dari sisi kuantita. Hal
tersebut dapat diketahui, paling tidak terdapat faktor pendorong pertumbuhan
masjid yang terjadi saat itu. Yaitu a.l:
Pertama, mendirikan masjid sebagai suatu kewajiban moral penguasa. Karena, pendirian
masjid cukup masif sejalan dengan perluasan wilayah Islam. Hal ini terkait
fungsi masjid yang beragam. Yaitu, pertama,
fungsi administrasi pemerintahan, sosial, ekonomi, dan menyusun strategi
pertahanan serta dakwah. Kedua,
terkait dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan “Barang siapa
mendirikan masjid, Allah SWT akan mendirikan baginya rumah di surga” (HR Bukhori dan Muslim). Kedua faktor tersebut
yang dominan mendorong pertumbuhan masjid
cukup masif. Seperti, pada masa pemerintahan Umar bin Khathab, sekitar 4
ribu masjid didirikan. Di kota Kairo pada tahun 1012 M terdapat minimal 800
masjid. Di kota Damaskus pada abad ke 12
terdapat 241 masjid, dan di luar kota Damaskus 148 masjid.
Perkembangan zaman dan
perubahan sosial yang terus berlangsung memberi pengaruh terhadap fungsi-fungsi
masjid. Fungsi-fungsi profane
seperti kemiliteran, hukum, kenegaraan
sudah dialihkan kepada lembaga-lembaga yang secara spesifik menangani. Muncul
kementerian-kementerian yang secara sengaja dibentuk untuk mengurus dan
melayani masyarakat dalam kehidupan yang bersifat profane. Masjid lebih
banyak menjalankan fungsi pelayanan ibadah mahdoh (bersifat sakral).
Walaupun masih nampak fungsi sosial-keagamaan dan politik tidak dapat dielakkan.
Menurut Budiman (2007), bahwa
masjid Nabawi paling tidak memiliki 10
(sepuluh) fungsi, yaitu sebagai tempat: 1) Melaksanakan salat maktubah; 2)
Konsultasi dan komunikasi (sosial, budaya, ekonomi); 3) Pendidikan; 4) Santunan sosial; 5) Latihan
militer dan persiapan peralatan; 6) Pengobatan para korban perang; 7)
Penyelesaian masalah dan pengadilan; 8) Aula
dan menerima tamu; 9) Tawanan perang; dan 10) Penerangan dan pembelaan agama.
Pakar lain memberikan gagasan pemikiran tentang fungsi masjid minimal 6 (enam)
yaitu sebagai tempat :1) Pelaksanaan
ibadat ritual dan serimonial; 2) Konsultasi dan pengajaran agama; 3) Pertemuan
umat; 4) aktifitas sosial, ekonomi; 5) Pelayanan
kesehatan, dan 6) Pembinaan umat dan dakwah.
Berdasar muktamar “Risalat al
Masjid” yang diselenggarakan di Makkah tahun 1975 dirumuskan kesepakatan, bahwa
masjid dapat berfungsi baik bila memiliki: 1) ruang salat yang memadai
(memenuhi persyaratan) dan kesehatan; 2) ruang-ruang khusus bagi wanita untuk
mengembangkan dan membina keterampilan tanpa harus bercampur dengan pria; 3)
ruang pertemuan dan perpustakaan; 4) ruang poliklinik, perawatan dan jenazah;
5) ruang bermain, olah raga, berlatih keterampilan bagi remaja.
Masjid sebagai suatu institusi
keagamaan secara sosiologis memiliki fungsi yang multi dimensi dan secara
historis terkait dengan realita sosial masyarakat pendukung yang dilayani. Hal
ini dapat dipahami, bahwa masjid memainkan peran-peran yang sangat strategis di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, masjid sangat terkait dengan
karakteristik masyarakat yang menjadi pendukung dan sekaligus dilayani. Dengan
demikian, fungsi masjid banyak terkait dengan
proses perubahan dan evolusi sosiologis masyarakat yang menjadi
pendukung.
Masjid dan
problematika di Indonesia
Data dari Lembaga Takmir Masjid Indonesia (LTMII) saat ini terdapat 125 ribu masjid yang
dikelola di bawah organisasi bersangkutan. Sementara jumlah keseluruhan
berdasar data Kementerian Agama RI, tahun 2004, masjid berjumlah 643.834. buah. Jumlah ini meningkat dari
tahun 1977 yang berjumlah 329.004.
Sementara data tentang masjid yang ada saat ini di Kamenag berjumlah 600 – 800
ribu.
Namun potensi masjid yang
demikian itu belum dapat dikembangkan secara maksimal melalui fungsi-fungsi
yang dapat diperankan oleh lembaga bersangkutan oleh para pengelolanya. Hal
tersebut diduga karena memang masjid-masjid yang ada cukup bervariasi (heterogen),
baik dari sisi masyarakat pendukung, budaya, dan tipologi strata sosial.
Tipologi strata sosial ikut
memberi pengaruh terhadap kebutuhan akan masjid sebagai lembaga kagamaan yang
dapat memberi pelayanan terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat. Sehingga
menurut Kementerian Agama RI, masjid dapat diklasifikasi dalam tipologi: Masjid
Negara, Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Besar, Masjid Jami’, Masjid Sektoral,
Masjid Bersejarah, dan Masjid Pemukiman. Walaupun jika diperhatikan secara seksama,
tipologi tersebut “masih” dapat dikritisi. Karena tidak menunjukkan kategori
yang sederajat (sebut setara).
Fakta di atas memberikan
gambaran bahwa, secara kuantitatif masjid mengalami pertumbuhan yang sangat
signifikan. Dan secara evolusi fisik, masjid juga menunjukkan perubahan yang
sangat luar biasa. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya tipologi yang dibuat
untuk menyebut sebuah bangunan masjid. Namun, mari kita lihat secara kualitatif.
Pertanyaan yang mungkin dapat dicari jawaban oleh kita masing-masing yang hadir
di sini adalah, “apakah fungsi masjid yang secara historis pernah dimainkan oleh
para pengelolanya masih eksis dalam lembaga tersebut saat kini ?”
Forum ini akan memberi jawaban
melalui diskusi-diskusi dengan menampilkan para nara sumber dengan materi yang
berbeda-beda, namun terkait satu dengan yang lain. Adapun maksud yang ingin
dicapai adalah merumuskan berbagai hal terkait dengan mengembalikan fungsi
masjid yang terlukis secara historis tersbut. Salah satu materi yang
disampaikan adalah hasil studi Balai Litbang Agama, Jakarta tentang “Masjid dan
Pemberdayaan Umat” yang didalamnya mengungkap berbagai fungsi yang dimainkan
oleh lembaga keagamaan yang satu ini dari lapangan.
Metode
Sasaran studi adalah : Masjid Taqwa Kota Bandar Lampung, oleh Novi
Dwi Nugroho; Masjid Agung Tanjung Pandan atau masjid Al-Mabrur, oleh Marzani Anwar; Masjid Raya Baiturrahman Banda
Aceh, oleh Marpuah; Masjid Al-Ikhlas Pekanbaru, oleh Ma’mun; Masjid Al- Musabbihin Medan, oleh A. Malik MTT; Masjid Raya Batam, oleh Afif, HM; Masjid Baitullah dan At Taqqwa,
oleh M. Agus Noorbani; Masjid
Ats-Tsaurah Banten, oleh Daniel Rabitha, dan Masjid Al Ikhlas oleh Firmansyah.
Pendekatan studi kualitatif
bersifat kasus (case study). Data dikumpulkan melalui teknik wawancara
mendalam (indepth interview), telaah dokumen, dan observasi. Analisa
data deskriftif kualitatif, melalui klasifikasi, kategorisasi, dan interpretasi
logis (logical ordered).
Temuan studi
Studi telah menemukan berbagai fenomena yang menarik
dari dinamika yang terjadi dalam pengelolaan masjid. Hal tersebut sangat lekat
dengan tuntutan dari jamaah pendukung lembaga tersebut. Karena untuk setiap lingkungan
di mana lembaga masjid berada memiliki kecenderungan pelayanan yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, para penegelola
selalu memberi apresiasi terhadap setiap kebutuhan dari jamaah yang
dilayani.
Masjid sebagai lembaga keagamaan menunjukkan fungsi-fungsi
strategis dalam konteks pemberdayaan umat secara keseluruhan. Dengan kata lain,
masjid telah mampu menunjukkan sebagai pusat aktivitas dari komunitasnya (central
activity of muslim community). Namun yang membedakan dari satu masjid
dengan masjid yang lain terletak dari jamaah pendukung dan orientasi dari
pengelolaan serta hasil (goal)
yang hendak dicapai.
Secara garis besar masjid-masjid yang dijadikan
sasaran studi dapat diklasifikasi menjadi: Masjid Raya, Masjid Agug, Masjid
Kampus, dan Masjid Jami’. Klasifikasi tersebut mengandung pengertian a.l: 1.
Status lembaga masjid bersangkutan; 2. Daya tampung jamaah, dan 3. Program
kegiatan yang diadakan dalam memberi pelayanan kepada umat, serta 4. Sistem
pengelolaan (sebut manajemen) yang diterapkan dalam pengelolaan.
Para pengelola masjid cenderung memberi prioritas
terhadap hal-hal yang menjadi kebutuhan para jamaah. Melalui pengembangan
organisasi dirintis dengan pembentukan “badan hukum”. Yaitu dalam bentuk
Yayasan. Karena dengan badan hukum tersebut para pengelola akan lebih dapat
mengembangkan program-program yang menjadi sarana bagi pncapaian tujuan dari
pelayanan yang diberikan kepada para jamaah.
Fungsi yang
dikembangkan oleh para pengelola masjid yaitu:
Pertama, masjid sebagai tempat bagi
pelayanan ritual keagamaan, terutama adalah ibadah “mahdoh”. Yaitu
ibadah yang secara rigit telah diatur menurut ketentuan syariat. Seperti
salat lima waktu. Di sisi lain masjid juga memberi pelayanan bagi para jamaah
dalam bentuk serimonial keagamaan. Yaitu dengan mengadakan peringatan hari-hari
besar keagamaaan. Seperti peringatan Isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW, Nuzulul
Quran, Maulud Nabi Muhammad SAW,
Peringatan Satu Muharram, dan sejenisnya.
Kedua, masjid digunakan sebagai sarana
pengajaran agama kepada jamaah. Seperti kegiatan taklim yang dikemas dalam
berbagai bentuk dan dibagi dalam kelompok-kelompok usia. Berbagai bentuk
kegiatan dapat diketahui dalam kaitan pengajaran ini. Ada kelompok pengajian
anak-anak, remaja, dan dewasa. Kemudian ada juga kelompok pengajian yang
dikelompokkan menurut jenis kelamin.
Disamping itu, ada pula yang menyelenggarakann Taman Pendidikan Al
Qur-an (TPA) dan kelompok bermain (play group) bagi anak-anak.
Masih dalam pengajaran agama, masjid juga memberi
pelayanan pendidikan formal seperti lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD) , Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) sampai Perguruan Tinggi (PT).
Ketiga, masjid juga telah mengembangkan fungsi sosial dengan
memberi pelayanan kepada jamaah yang memerlukan. Seperti, pelayanan konsultasi
bagi pasangan calon pengantin. Juga bagi rumah tangga yang bermasalah. Di samping
itu, banyak hal yang dapat dilakukan melalui fungsi sosial masjid saat muncul
tuntutan dari masyarakat pendukung.
Pelayanan sosial keagamaan banyak mewarnai dari
pengembangan fungsi masjid dalam memberikan pelayanan. Seperti: 1) Masjid
menjadi sarana pengumpulan dana bagi bencana alam. 2) Masjid melakukan
pelayanan kesehatan dengan membuka poli klinik. 3) Masjid melakukan program
orang tua asuh bagi anak-anak yang dipandang berpotensi tetapi kurang dukungan
keuangan (financial). 4) Masjid juga memberi pelayanan pengurusan
jenazah sampai dengan pemakaman. Semua diberikan dengan “cuma-cuma”, bagi
masyarakat yang memerlukan.
Bahkan beberapa masjid telah mengembangkan fungsi
sosial-ekonomi bagi para jamaah dan masyarakat yang membutuhkan. Seperti: 1) Mendirikan koperasi, 2) toko serba ada, 3) unit
usaha kecil dan menengah (usaha mikro), Baitul Maal Wa Attanwil (BMT)
dan Unit Perbankan Syariah. Upaya yang dilakukan pengelola masjid tersebut
dalam rangka menjawab dan memenuhi
tuntutan dan perkembangan zaman.
Masih dalam konteks fungsi sosial-kagamaan yang
dapat diperankan masjid yang cukup fenomenologis adalah dengan rancang bangun
program pemberdayaan “kaum dhuafa” melalui pinjaman modal usaha. Hal ini
dilakukan oleh masjid-masjid yang memiliki lembaga sosial-ekonomi dan lembaga
pengumpul dan penyalur zakat (LAZ). Menarik, karena goal yang hendak
disasar dari program ini adalah pemberdayaan kaum dhuafa yang memiliki keterampilan usaha agar dapat bangkit dan
terangkat menjadi “kuat” ekonominya.
Bagi masjid-masjid yang secara khusus dibangun di
lingkungan komunitas tertentu—seperti masjid Kampus—memiliki fungsi khusus yang
tentunya berakar pada kepentingan dan kebutuhan jamaah pendukung. Seperti
masjid Salman ITB Bandung, yang telah melakukan berbagai kegiatan program
sebagai perwujudan dari fungsi-fungsi masjid. Penerapan manajemen modern
dilakukan oleh pengelola sebagai upaya pencapaian hasil, sesuai dengan visi dan
misi .
Demikian secara umum temuan yang dapat diangkat dari
studi yang dilakukan Balai Litbang Agama, Jakarta terhadap fungsi-fungsi
masjid. Tentunya, masih banyak masjid-masjid yang mengembangkan fungsi ke-masjidan
dalam kerangka menjawab tantangan zaman dan tuntutan kebutuhan jamaah.
Namun demikian, masjid sebagai lembaga keagamaan
fungsi utama dalam memberi pelayanan kepada umat terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdhoh, dan seremonial
keagamaan, pengajaran agama, pembinaan “ukhwah Islamiyah”, sebut persatuan dan
kesatuan umat.
Fungsi-fungsi lain yang dikembangkan oleh para
pengelola masjid akan sangat tergantung dari kemampuan para pengelola menangkap
kebutuhan jamaah pendukung. Penerapan manajemen modern dalam sistem pengelolaan
masjid menjadi suatu keniscayaan untuk dapat menyusun program, mengorganisasi,
melaksanakan, dan mengevaluasi target capaian dari seluruh program organisasi
dan kelembagaan masjid.
Penutup
Terima kasih atas perhatian, semoga temuan hasil
studi yang penulis sampaikan memberi bahan pada
workshop berdasar pada data lapangan. Kepada para peneliti Balai Litbang Agama,
Jakarta, dapat memberikan informasi tambahan yang belum tertulis dalam makalah
ini.
Akhirnya penulis memohon kepada Allah SWT , semoga
semua informasi yang disampaikan melalui makalah ini bermanfaat bagi siapa saja
yang peduli, dalam konteks pengembangan fungsi masjid dalam menjawab tuntutan
jamaah dan perkembangan zaman.
REFERENSI
:
- Ayub, Muh. E, Muhsin MK, dkk. 1996, Manajemen Masjid Petunjuk Praktis bagi Para Pengurus Masjid, Jakarta : Gema Insani Press, hal. 2-3.
- Al Makassary, Ridwan, 2010, Benih-benih Islam radikal di masjid,, studi kasus Jakarta dan Solo, Jakarta : Center for the study of religion an cultur UIN Syarif Hidayatullah, hal. 43.
- Al Makassary, Ridwan, dkk. 2011, Masjid dan Pembangunan Perdamaian, Jakarta: Center for the study of religion and culture UIN Syarif Hidayatullah, hal. 26.
- Kementerian Agama RI, 2011, Standar masjid, Jakarta : Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, hal. 11-19.
- Lihat Sihab, M. Quraish, 2012, Membaca Siroh Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al Qur-an dan Hadits-hadits shahih, Jakarta: Lentera Hati, cet. III. Hal. 781.
- Martin, Richad, C. (editor and chief), Encyclopedia of Islamand the Muslim World, hal. 439.
- Misrawi, Zulhairi, 2009, Madinaha Kota Suci, Piagam Madinah dab Teladan Muhammad SAW, Jakarta : Kompas, hal. 337.
- Mustafa, Budiman, 2007, Manajemen Masjid Gerakan Meraih Kekuatan dan Potensi Masjid , Surakarta: Penerbt Ziyad Visi Media, hal. 24-25.
- Usman, Asep , dkk. 2010, Manajemen Masjid , Bandung: Angkasa, hal. 37.
- Qoyyim, Ibnu, 2006. Siroh Nabawiyah, Pustakadini, Jakarta. Lihat Prof. Dr. Phil. Nur Kholis S, makalah saat membuka lokakarya “Pengembangan Fungsi Masjid sebagai pusat pemberdayaan umat, 2-4 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar