Kamis, 05 Oktober 2017

PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA - STRATEGI PENGEMBANGAN RUANG KELAS BERKARAKTER



STRATEGI PENGEMBANGAN RUANG KELAS BERKARAKTER

Saat ini, negeri kita tampaknya membutuhkan model pendidikan demokrasi yang baru dalam dunia persekolahan kita. Idealnya, upaya membumikan nilai-nilai demokrasitidak hanya dibebankan kepada mata pelajaran tertentu, seperti PPKn, misalnya. Akan tetapi, perlu ada kesamaan visi untuk menjadikan prinsip-prinsip demokrasi sebagai “roh” yang mewarnai kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran apa pun. Substansi pembumian nilai-nilai demokrasi bukan lagi dilakukan secara dogmatis dan indoktrinasimelalui ceramah, melainkan sudah dalam bentuk perilaku nyata sebagai perwujudan kultur demokrasi yang sesungguhnya.

Tujuan yang jendak dicapai melalui model pendidikan demokrasi semacam itu adalah tumbuhnay kecerdasan warga sekolah, baik secara spiritual, emosional, maupun sosial, rasa tanggung jawab, dan peran serta segenap komponen dunia persekolahan. Melalui upaya model pendidikan ini diharapkan akan terlahir kualitas generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dansosial sehingga pada gilirannya kelak mampu menopang tumbuhnya iklim civil society (masyarakat madani) di Indonesia.

Disiplin di sekolah merupakan hal yang penting dalam menunjang keberhasilan tata tertib yang diterapkan di sekolah, yang di dalamnya tergabung guru dan siswa taat kepada tata tertib yang telah di terapkan.  Disiplin yang diterapkan bertujuan untuk meningkatkan kualitas belajar anak dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) agar lebih baik dalam perkembangan anak didik.  Adapun tujuannya adalah untuk perkembangan pengendalian diri sendiri yaitu dalam hal mana anak-anak dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh dan pengendalian diri luar.  Karena itu orang tua haruslah secara aktif dan terus menerus berusaha, untuk memainkan peranan yang semakin kecil dari pekerjaan kedisiplinan itu, dengan cara bertahap mengembangkan pengendalian dan pengarahan diri sendiri itu pada anak-anak.  Di sekolah guru adalah orang tua kedua sebagai panutan anak didiknya.  Oleh sebab itu disiplin bagi seorang guru merupakan bagian penting dari tugas-tugas kependidikan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).

A.     Membangun Sekolah Demokratis

1.      Pengertian Demokrasi

Demokrasi adalah gabungan dari dua kata yaitu demos dan kratos yang diambil dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan. Jadi demokrasi dapat diartikan sebagai suatu pemerintahan dimana rakyat memegang suatu peranan yang sangat menentukan (Wuryo, Kasmiran, dkk. 1980:112).

Menurut tahapannya dikenal dua tahap demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung ( tim penyusun,1993:118 ). Dalam demokrasi langsung rakyat ikut secara langsung dalam menentukan pemerintahan. Hal ini terjadi pada tipe-tipe negara kota waktu zaman Yunani kuno, yakni ketika rakyat berkumpul pada tempat tertentu untuk membicarakan berbagai masalah kewarganegaraan. Pada masa modern ini cara demikian tentu tidak mungkin lagi karena selain negaranya semakin luas dan warganya semakin banyak, urusan-urusan kenegaraan juga semakin kompleks. Jadi rakyat tidak lagi ikut dalam urusan pemerintahan secara langsung melainkan melalui wakil-wakilnya yang ditentukan melalui pemilihan umum. Inilah yang disebut demokrasi tidak langsung.Yang melaksanakan kekuasaan Negara demokrasi adalah wakil-wakil rakyat yang terpilih, di mana rakyat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh wakil rakyat dalam melaksanakan kekuasaan negara.
Adapun ciri khas demokrasi adalah sebagai berikut :
1)      Adanya pembagian kekuasaan.
2)      Adanya undang-undang yang demokratis.
3)      Adanya rule of law, bukan rule of  power.
4)      Partai politik lebih dari satu.
5)      Pers yang bebas.
6)      Pemilu yang bebas.
Sedangkan pokok-pokok dalam pelaksanaan demokrasi adalah sebagai berikut :
1)      Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat.
2)      Adanya pemerintahan perwakilan.
3)      Bersumber pada persetujuan bebas mayoritas rakyat.
4)      Pelaksanaan hak-hak sosial dan politik.
5)      Kekuasan pemerintah yang terbatas dan diawasi.
6)      Penghargaan dan perlindungan  hak asasi manusia (HAM).
7)      Tegaknya hukum bersamaan dengan tegaknya keadilan.

2.      Nilai-nilai Demokrasi
Henry B Mayo dalam bukunya “Introduction to Demokratic Theory” merinci beberapa nilai yang terdapat dalam demokrasi, yaitu :
1)      Menyelesaikan persoalan secara damai dan melembaga.
2)      Menjamin terselenggaaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.
3)      Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur.
4)      Membatasi pemakaian kekerasan sampai taraf yang minimum.
5)      Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity).
6)      Menjamin tegaknya keadilan.

Nilai-nilai demokrasi dipercaya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semangat egalitarian dibandingkan dengan ideologi non-demokrasi. Menurut Dahl keuntungan pelaksanaan demokrasi sebagai berikut :
1)      Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik.
2)      Demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah HAM yang tidak diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratis.
3)      Demokrasi menjamin kebebasan yang lebih luas bagi warga negaranya.
4)      Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya.
5)      Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasannya untuk menentukan nasibnya sendiri yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka tentukan dan konsekwensikan sendiri.
6)      Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral.
7)      Demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total.
8)      Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.
9)      Negara-negara demokrasi perwakilan modern tidak berperang satu sama lain.
10)  Negara-negara demokratis yang konsekuen terhadap kedemokratisannya cenderung lebih makmur daripada Negara-negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.

Untuk dapat menjamin tetap tegaknya nilai-nilai demokrasi tersebut maka perlu diselenggarakan lembaga-lembaga sebagai berikut :
1)      Pemerintah yang bertanggung jawab.
2)      Lembaga perwakilan rakyat yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengadakan pengawasan (kontrol) terhadap pemerintah.
3)      Pembentukan organisasi/partai politik.
4)      Pers dan media masa yang bebas untuk menyatukan pendapat.
5)      Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.

3.      Pengertian Sekolah Demokratis
Dalam pendidikan, ada nilai-nilai seperti, tidak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama, dan bangsa. Nilai-nilai ini ditanamkan agar hubungan antara sesama peserta didik dengan gurunya saling menghargai dan menghormati.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak atau peserta didik untuk berfikir dan memecahkan persoalan-persoalannya sendiri secara teratur, sistematis, dan komprehensif serta menumbuhkan kekritisan, sehingga anak didik memiliki wawasan, kemampuan, dan kesempatan yang luas. Tentunya dalam proses seperti itu diperlukan sikap yang demokratis.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, sekolah demokratis adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratik. Dengan kata lain sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seterti pelibatan masyarakat (stake holder dan user sekolah ) dalam membahas program-program sekolah / madrasah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik serta dapat dipertanggung jawabkan implementasinya kepada publik.

4.      Prinsip-Prinsip Demokrasi Dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan pasti ada prinsip-prinsip demokrasi yang tertanam di dalamnya. Dalam prinsip tersebut dapat dipahami bahwa ide dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat dipengaruhi oleh fikiran, sifat, jenis masyarakat dimana mereka berada, karena dalam kenyataannya, bahwa pengembangan demokrasi pendidikan itu akan banyak dipengaruhi oleh kehidupan dan penghidupan masyarakat. Demokrasi dalam pendidikan mempunyai prinsip-prinsip ini begitu bermakna dalam dunia pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1)      Keadilan dalam pemerataan kesempatan belajar bagi semua warga negara dengan cara adanya pembuktian kesetiaan dan konsisten pada sistem politik yang ada.
2)      Dalam rangka pembentukan karakter bangsa sebagai bangsa yang baik.
3)      memiliki suatu ikatan yang erat dengan cita-cita.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, sekolah demokratis adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratik. Dengan kata lain sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seterti pelibatan masyarakat (stake holder dan user sekolah) dalam membahas program-program sekolah/madrasah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik serta dapat dipertanggung jawabkan implementasinya kepada publik.

Sedangkan dalam Islam sendiri mempunyai pemahaman tersendiri mengenai demokrasi pendidikan yang bersumber dalam Al-Qur’an dan Al-Hadit’s. Di dalam Al-Qur’an antara lain terdapat dalam surat as-syura ayat dua yang artinya sedang urusan mereka (diputuskan ) dengan musyarah antara mereka-mereka.

Dari contoh ayat di atas dapat dipahami adanya prinsip musyarah, persatuan dan kesatuan umat sebagai salah satu prinsip demokrasi. Dalam hadist nabi Muhammad bersabda : menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim (baik laki-laki maupun wanita)

Al-Qabisi adalah salah seorang pemikir atau tokoh pendidikan Islam mengemukakan bahwa anak-anak yang masuk di Kattab tidak ada perbedaan derajat dan martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian.

5.      Pengembangan Sekolah Demokratis Di Indonesia
Cara pengembangan sekolah demokratis yaitu dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar dengan yang belum pintar, tidak membedakan antara yang rajin dengan yang belum rajin, semua memperoleh perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya disaat liburan umum, sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini telah memberikan pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara yang mayoritas dengan minoritas dalam sekolahnya.

Setelah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 yang meletakan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan, serta UU No. 20 tahun 2003 yang memberikan penguatan pada paradigma pendidikan demokratis serta mendorong optimalisasi peranserta masyarakat, pendidikan memasuki era baru dengan semangat demokratis, karena undang-undang tersebut disambut oleh daerah dengan memberi peluang pada sekolah/madrasah untuk mengembangkan networking horizontalnya dengan stake holder dan user sekolah, dalam proses mengembangkan perencanaan sekolah, pengembangan kurikulum maupun penetapan berbagai kebijakan mendasar dari sekolah, tidak terkecuali sekolah negeri, sementara pemerintah daerah hanya akan mengambil tugas dan kewenangan fasilitatif, penyediaan sarana dan prasarana, pengajian dan pengembangan SDM serta koordinasi antar daerah kabupaten/kota, dan pemerintah pusat hanya pengembangan standar serta berbagai sistem yang memberikan jaminan kualitas keluaran sekolah.

Implikasi besar dengan lahirnya UU No. 33 Tahun 2004 dan UU No. 2003 adalah perubahan radikal dalam otoritas pengembangan pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah pusat melalui Depdiknasnya, kini terdelegasikan pada sekolah dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Dan kini semangat perubahan radikal tersebut memperoleh tempat yang sangat kuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini adalah penegasan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, artinya, bahwa keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi pendukungnya akan lebih besar dari pemerintah pusat.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, menjelaskan bahwa kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis adalah :
1)      Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2)      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3)      Menyampaikan kritik sebagai analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem, dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4)      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5)      Kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6)      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7)      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.

Inti dari teori James A. Beane dan Michael W. Apple di atas adalah, sekolah demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua stake holder sekolah/madrasah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah atau madrasah, berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh.

Menurut lyn Haas menjelaskan bahwa sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yaitu :
1)      Pendidikan untuk semua, yaitu semua siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh pelajaran sehingga memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas, serta memiliki basis skill dan keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta sesuai pula dengan kebutuhan pada tenaga kerja.
2)      Memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karna pasar menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan akses pada pengetahuan.
3)      Penekanan pada kerjasama, yakni penekanan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama, karena tren pasar ke depan adalah mengembangkan kerjasama, baik antra perusahaan, atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya.
4)      Pengembangan kecerdasan ganda; yakni para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelijence mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang beragam, sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja.
5)      Integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki kepekaan sosial.

Kelima point di atas memperlihatkan adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progresiv, dan peka terhadap berbagai kemajuan dan perkembangan teknologi di luar sekolah, sehingga jika kurikulum dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh struktur birokrasi yang kaku, sekolah bisa tertinggal oleh kemajuan, dan sekolah akan kehilangan relevansinya dengan berbagai perubahan yang pada akhirnya akan ditinggalkan oleh stake holdernya sendiri. Oleh sebab itu, argumen-argumen di atas memperkuat bahwa model sekolah demokratis itu amat relevan untuk dikembangkan.

6.      Keunggulan Sekolah Demokratis Yaitu :
a.       Akuntabilitas, yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggungjawabkan pada publik yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Guru yang diangka harus yang memilliki keahlian dalam bidang ilmu yang akan dijarkannya, memiliki keterampilan mengajar yang memadai, serta memiliki loyalitas keguruan yang teruji. Kemudian menejemen sekolah juga dapat dipertanggungjawabkan pada publik, dapat meminimalisir bias individual dalam berbagai keputusan, dan promosi seseorang benar-benar didasarkan pada keahlian dan pengalaman yang memadai, dan dalam konteks akuntabilitas juga, sekolah demokratis selalu menjunjung tinggi collective judgement, yakni keputusan diambil bersama-sama.
b.      Pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa secara individual. Berbagai kesulitan siswa akan menjadi perhatian guru, dan dengan senang hati guru akan terus membantu sehingga siswa dapat menyelesaikan berbagai kesulitannya.
c.       Keterlibatan masyarakat dalam sekolah, yaitu dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan merupakan refleksi dan keinginan masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, dan akan responsif dengan berbagai persoalan sekolah. Dengan demikian para guru bekerja juga akan merasa tenang karena senantiasa bersama-sama dengan masyarakatnya, keputusan pimpinan sekolah juga akan menjadi keputusan yang bulat, karena disepakati bersama oleh masyarakatnya, dan sekolah akan selalu terkontrol oleh mekanisme yang diatur dalam sistem penyelenggaraan sekolah tersebut.
Berbagai keuntungan tersebut bisa menjadi perspektif untuk pengembangan sekolah ke depan, karena jika pendidikan di Indonesia berkualitas, penyelesaiannya adalah perbaikan mendasar, yakni kurikulum, bahan ajar dan guru sebagai pengajar.

7.      Tujuan Pelaksanaan Demokrasi di Sekolah
Seperti sebuah negara, sekolah juga merupakan suatu organisasi, layaknya masyarakat mini yang memiliki warga dan peraturan. Sekolah merupakan sebuah organisasi, yakni unit sosial yang sengaja dibentuk oleh beberapa orang yang satu sama lain berkoordinasi dalam melaksanakan tujuannya untuk mencapai tujuan bersama. Tujuannya yaitu mendidik anak-anak dan mengantarkan mereka menuju fase kedewasaan, agar mereka mandiri baik secara psikologis, biologis, maupun sosial. Dalam pendidikan demokrasi menekankan pada pengembangan ketrampilan intelektual, ketrampilan pribadi dan sosial. Dalam dunia pendidikan haruslah ada tuntutan kepada sekolah untuk mentransfer pengajaran yang bersifat akademis ke dalam realitas kehidupan yang luas di masyarakat.

Demokrasi di sekolah dapat diartikan sebagai pelaksanaan seluruh kegiatan di sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Mekanisme berdemokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, namun secara substantif, sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan nilai-nilai Demokrasi Pancasila. Beane dan Apple (1995: 7) dalam Rosyada (2004: 16) mengemukakan bahwa kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis adalah sebagai berikut.
1)      Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2)      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3)      Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4)      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5)      Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6)      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7)      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis

Ciri-ciri organisasi sekolah demokratis, sebagaimana dituliskan Rosyada (2004: 228-289) dary buku karangan Tony Bush (48-50) adalah sebagai berkut:
1)      Sangat beorientasi negatif, yakni bahwa manajemen harus didasarkan pada kesepakatan, apapun progam yang hendak dikembangkan dan diimplementasikan harus didasarkan pada kesepakatan, dan tidak hanya menjadi values tapi juga sebagai sebuah keyakinan, bahwa model nilah yang terbaik.
2)      Pendekatan demokratis sangat layak untuk organisasi dengan para anggota dari kalangan professional, yakni mereka yang memiliki kemampuan teknis dan keterampilan, mereka memiliki otoritas dalam keahliannya. Organisasi sekolah harus dikelola oleh kalangan-kalangan profesional karena siswa memerlukan pembinaan dan pelayanan dari mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.
3)      Penanaman nilai, kultur dan kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi dilakukan oleh anggota organisasi itu sendiri, yang sudah dimulai sejak dalam fase pendidikan dan tahun-tahun pertama mereka bekerja.
4)      Pengambilan putusan tentang berbagai kebijakan penting dilakukan oleh sebuah komite dan tidak dilakukan secara individual oleh seorang kepala dengan menggunakan otoritas kepimpinannya. Dan semua unsur memiliki wakil dalam komite tersebut, yang harus mempertanggungjawabkan keterlibatannya dalam komite terhadap konstituennya.
5)      Semua putusan ditetapkan dengan cara konsensus atau kompromi dan sedapat mungkin dihindari polarisasi organisasi karena perbedaan pendapat dan pandangan. Perbedaan dalam proses harus diakhiri dengan konsensus dan atau kompromi, walaupun terkadang harus menghargai kecenderungan masyarakat.

Secara prinsip demokrasi tercipta karena adanya saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Keadaan ini menciptakan suasana kesetaraan tanpa sekat-sekat kesukuan, agama, derajat atau status ekonomi. Dengan demikian manusia mempunyai ruang untuk mengekspresikan diri secara bertanggung jawab. Situasi seperti inilah yang seharusnya dibangun dalam dunia pendidikan, anak diajak untuk mengembangkan potensi diri.

8.      Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi di Sekolah
Membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun Indonesia baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa dan reformatif  justru banyak politisi yang berkarakter oportunis, arogan dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengembangkan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Padahal harus diakui, mereka memiliki kualifikasi pendidikan formal yang tinggi. Fenomena ini tentu sangat menarik untuk disimak, sebab ada kecenderungan asumsi, tinggi-rendahnya tingkat pendidikan kurang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat.

Diperlukan upaya agar dunia pendidikan mampu menaburkan benih-benih demokrasi kepada peserta didik dan melahirkan demokrat-demokrat yang ulung, cerdas, dan andal.  Beratnya beban kurikulum yang harus dituntaskan telah membuat proses belajar mengajar menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Akibatnya setelah lulus mereka menjadi asing di tengah-tengah rakyat. Tidak mungkin out-put dari dunia pendidikan mampu menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang berdialog. Mustahil mereka bisa menghargai pendapat sebagai salah satu esensi demokrasi kalau iklim belajarnya berlangsung monoton. Sehingga dunia pendidikan perlu diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang rendah hati, berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik moral dan spiritual. Apalagi di era millennium ketiga yang kini diyakini akan menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan akselerasi keluar masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia, ranah demokrasi tentu akan menjadi penentu citra, kredibilitas, dan akseptibilitas bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia. Itu artinya, dunia pendidikan dalam mencetak sumberdaya manusia yang bermutu dan profesional harus menyiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki resistence yang kokoh di tengah-tengah konflik peradaban.

Selain pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam pembentukan mental peserta didik sesuai nilai-nilai demokrasi, demokrasi di sekolah juga mencakup proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Hal ini diantaranya adalah untuk menyikapi persoalan yang tentunya tekait dengan nilai-nilai demokrasi dalam hal ilmu pengetahuan, mengenai industri saat ini yang sering menimbulkan pencemaran lingkungan. Banyak pihak industri yang selalu berhadapan dengan kelompok-kelompok humanis yang anti pencemaran dan pengrusakan lingkungan, sehingga pendidikan harus merancang perubahan-perubahan ke depan yang tetap ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, dengan peningkatan solidaritas internasional, dan keseimbangan komitmen antara produktivitas, kemajuan sains dan teknologi, yang pada gilirannya dapat mengembangkan sektor perekonomian, namun tetap memperhatikan pemeliharaan lingkungan, dan misi kemanusiaan, sehingga mampu menetralisir ketegangan-ketegangan sosial, dan mampu menjaga kelestarian alam yang tidak semata menjadi kebutuhan seluruh umat manusia dengan keseimbangan ekosistemnya, tapi juga akan diwariskan pada generasi mendatang.

9.      Implementasi Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi dalam Proses Pembelajaran di Kelas
Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, misalnya siswa dan guru mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjaga kebersihan kelas, kenyamanan kelas, terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang kondusif. Tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi iklim pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran apapun. Interaksi guru dan siwa bukan sebagai subjek-objek, melainkan subjek-subjek yang sama-sama membangun karakter dan jatidiri. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi.

Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang intinya berporos pada proses pemberdayaan. Di sekolah guru senantiasa membangkitkan semangat bereksplorasi, berkreasi dan berprakarsa di kalangan siwa agar kelak tidak menjadi manusia-manusia yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian, kelas akan menjadi magnet demokrasi yang mampu menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam kehidupan sehari-hari.

10.  Peran Guru                                                                                                                     
Implementasi pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam proses pembelajaran di kelas tentu tidak lepas dari peran guru. Terpenuhinya misi pendidikan sangat tergantung pada kemampuan guru untuk menanamkan seting demokrasi pada siswa, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk belajar.  Menciptakan suasana yang hangat di sekolah sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal mungkin mereka belajar. Rosyada dalam bukunya Paradigma Pendidikan Demokratis (2004: 19) menyatakan bahwa sekolah bukan menjadi tempat pertunjukan bagi guru tetapi tempat bagi siswa untuk menambah dan memperkaya pengalaman belajarnya. Oleh sebab itu, guru harus mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang memberi peluang bagi siswa untuk belajar. Inilah makna lain dari sekolah demokratis, yaitu sekolah itu untuk siswa bukan untuk guru dan kepala sekolahnya. Sekolah harus menjadi second home bagi siswa, mereka betah menghabiskan waktunya di sekolah, dengan belajar, berdiskusi, menyelesaikan tugas-tugas kelompok, membaca, dan melakukan aktivitas lainnya.

Untuk mewujudkan KBM yang kondusif secara umum guru harus memiliki capability danloyality, yakni guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi, sampai evaluasi. Memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal terhadap tugas-tugas keguruan yang tidak hanya di dalam kelas. Seperti yang telah dikutip oleh Rosyada (2004: 113), dari Gilbert H. Hunt dalam bukunya Effective Teaching menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria yaitu:
1)      Sifat; guru yang baik harus memiliki sifat-sifat antusias, stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi pada tugas dan pekerja keras, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa dipercaya/ fleksibel dan mudah menyesuaikan diri/ demokratis, penuh harapan bagi siswa, tidak semata mencari reputasi pribadi, mampu mengatasi stereotipe siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar siswa, mampu menyampaikan perasaannya, dan memiliki pendengaran yang baik.
2)      Pengetahuan; guru yang baik juga memiliki pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya itu.
3)      Apa yang disampaikan; guru yang baik juga mampu memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit bahasan yang diharapkan siswa secara maksimal.
4)      Bagaimana Mengajar; guru yang baik mampu menjelaskan berbagai informasi secara jelas, dan terang, memberikan layanan yang variatif, menciptakan dan memelihara momentum, menggunakan kelompok kecil secara efektif, mendorong semua siswa untuk berpartisipasi, memonitor dan bahkan sering mendatangi siswa, memonitor tempat duduk siswa, melibatkan siswa dalam tutorial atau pengajaran sebaya, menghindari kesukaran yang kompleks dengan menyederhanakan sajian informasi, menggunakan beberapa bahan tradisional, menunjukkan pada siswa tentang pentingnya bahan-bahan yang mereka pelajari, menunjukkan proses berpikir yang penting untuk belajar/ berpartisipasi dan mampu memberikan perbaikan terhadap kesalahan konsepsi yang dilakukan siswa.
5)      Harapan; guru yang baik mampu memberikan harapan pada siswa, mampu membuat siswa akuntabel, dan mendorong partisipasi orang tua dalam memajukan kemampuan akademik siswanya.
6)      Reaksi guru terhadap siswa; guru yang baik biasa menerima berbagai masukan, risiko, dan tantangan, selalu memberikan dukungan pada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan dengan siswa, bijaksana terhadap kritik siswa, menyesuaikan diri dengan kemajuan-kemajuan siswa, pengajaran yang memperhatikan individu, mampu mem­berikan jaminan atas kesetaraan partisipasi siswa, mampu menyediakan waktu yang pantas untuk siswa bertanya, cepat dalam memberikan feed back bagi siswa dalam membantu mereka belajar, peduli dan sensitif terhadap perbedaan-perbedaan latar belakang sosial ekonomi dan kultur siswa, dan menyesuaikannya pada kebijakan-kebijakan menghadapi berbagai perbedaan.
7)      Management; Guru yang baik juga harus mampu menunjukkan keahlian dalam perencanaan, memiliki kemampuan mengorganisasi kelas sejak hari pertama dia bertugas, cepat memulai kelas, melewati masa transisi dengan baik, memiliki kemampuan dalam mengatasi dua atau lebih aktivitas kelas dalam satu waktu yang sama, mampu memelihara waktu bekerja serta menggunakannya secara efisien dan konsisten, dapat meminimalisasi gangguan, dapat menerima suasana kelas yang ribut dengan kegiatan pembelajaran, memiliki teknik untuk mengontrol kelas, memberi hukuman dengan bentuk yang paling ringan, dapat memelihara suasana tenang dalam belajar, dan tetap dapat menjaga siswa untuk tetap belajar menuju sukses.

Guru sebaiknya juga menggunakan model active learning atau belajar aktif, yaitu model pembelajaran yang memberi peluang sangat luas bagi siswa untuk belajar dengan mengurangi porsi guru untuk ceramah. Guru harus dapat memberikan penugasan yang bermakna bagi siswa, baik untuk diskusi, penyelasaian tugas, menyelasaikan masalah atau lainnya. Serta model cooperate learning (belajar secara kooperatif yang tidak hanya belajar bersama, namun saling membantu) melalui diskusi dalam kelompok-kelompok kecil, debat atau bermain peran. Biarkan siswa saling membantu satu sama lain serta saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari hasil akses informasinya. Melalui sebuah diskusi akan terpupuk nilai-nilai demokrasi karena pelaksanaan diskusi sangat memungkinkan siswa berinteraksi dengan siswa yang lain, belajar mengemukakan pendapatnya, menghargai setiap pendapat dan tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

Selain itu guru juga harus dapat membantu siswa befikir. Siswa perlu diajak kritis terhadap bahan pelajaran dan juga masalah yang dihadapi. Pikiran kritis ini sangat penting adlam membangun suasana demokratis di sekolah dan di masyarakat sekarang ini. Seperti yang dikutip Suparno (36-37) dari Raths dalam bukunya Teaching for Thinking yang memberikan beberapa cara konkrit yang dapat dibuat guru dalam membantu siswa berfikir kritis antara lain:
1)      Guru hendaklah mendengarkan gagasan dan pemikiran siswa
2)      Guru memajukan diskusi terbuka dimana siswa bebas mengungkapkan pikirannya
3)      Guru perlu memberikan waktu bagi siswa untuk berfikir terlebih dahulu, apalagi bila mengajukan pertanyaan kepada siswa
4)      Guru memnupuk keyakinan sswa untuk berani tampil dengan gagasannya yang otentik
5)      Guru perlu memberikan umpan balik yang memajukan pemikiran siswa, bukan yang mematikan
6)      Ruang majalah dinding yang dapat diisi dengan macam-macam gagasan siswa perlu dibuat
7)      Siswa diberi kebebasan untuk mencari data dan masukan dari sumber-sumber lain seperti perpustakaan atau internet.

Kadang ada guru yang merasa rugi bila memberikan waktu berfkir bagi siswa karena akan memperlambat penyelesaian bahan. Memeng secara sepintas sepertinya guru kehilangan banyak waktu, tetapi sebenarnya guru untung besar. Karena dengan membiasakan siswa berfikir dan memperoleh informasi sendiri, mereka selanjutnya mereka akan dapat belajar sendiri tanpa harus dipaksa oleh guru. Apalgi pemikiran-pemikiran kritis mereka yang dikembangkan itu dikemudian hari akan menjadi pemikiran dan kreativitas yang besar.

Dalam menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi guru dapat menjadi sosok pemodelan, dimana segala perilakunya dapat menjadi tauladan bagi siswa dalam pembentukan karakter demokratis dalam dirinya. Jika dalam KBM di dalam kelas tidak beriklimkan demokrasi, maka dalam diri siswa tidak akan tertanam sikap-sikap yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi.

11.  Peran Kurikulum (Mata Pelajaran)
Selain itu internalisasi nilai-nilai demokrasi dapat disisipkan dalam kegiatan KBM misalnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan juga tidak menutup kemungkinan menanamkan materi demokrasi pada mata pelajaran yang lain. Contohnya, SAINS dengan memberikan pegetahuan berbasis lingkungan, sehingga tertanam sikap kecintaan terhadap alam. Praktek pembelajaran dilakukan dengan materi yang substansial (konsep teori yang sangat selektif) tetapi kaya dalam implementasi.

Di masa lalu pendidikan demokrasi tidak berkembang. Hal ini dapat dicontohkan pada kasus PPKn/PKn yang sebelumnya dikembangkan secara indoktrinasi, mengakumulasi pengetahuan yang kurang bermakna, bersifat hegemonik, tidak partisipatoris, dan sering dikritik anti realitas. Seharusnya PKn memuat nilai-nilai pluralisme dan membentuk karakter bangsa, sehingga PKn harus menerapkan pendidikan multikultural (proses transformasi cara hidup menghormati, toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup dalam masyarakatnya yang plural, tanpa diskriminasi). (Azra, 2002: 159)

12.  Implementasi Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi di luar KBM
Menanamkan pengetahuan demokrasi perlu disertai pengalaman hidup berdemokrasi yang tidak hanya dilakukan dalam KBM, tetapi juga d luar KBM. Misalnya saja dalam bergaul dengan teman sebaya. Pergaulan hidup dengan teman sebayapun perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Tata cara pergaulan yang baik dapat meningkatkan kerukunan hidup bersama. Oleh karena itu perlu dikembangkan sikap saling menghormati, menghargai, tolong-menolong, tenggang rasa dan sikap positif lainnya. Dengan bersikap demikian dapat dihindari terjadinya pertengkaran, percekcokan yang membawa atau mengakibatkan timbulnya perkelahian atau sikap negatif lainnya, sehingga dengan demikian terwujud pergaulan yang harmonis.

Saling menghargai dan menghormati antarsesama manusia merupakan suatu keharusan karena manusia telah diciptakan Tuhan dengan harkat dan derajat  yang sama.Sifat saling menghormati ini sangat sesuai dengan keadaan bangsaIndonesiayang beraneka ragam dan ini juga sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Budaya menghormati ini perlu ditanamkan sejak kecil di dalam lingkungan keluarga yang selanjutnya peran sekolahlah yang bertugas untuk mengembangkannya.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tugas yang banyak, yang salah satunya adalah mewariskan budaya-budaya bangsa kepada geberasi muda seperti budaya saling menghormati antarsesama. Budaya menghormati perlu disisipkan dan dikembangkan dalam setiap kegiatan di sekolah baik dalam kegiatan belajar mengajar maupun di luar kegiatan belajar mengajar. Untuk pengembangan sikap menghormati di dalam kegiatan belajar mengajar telah dijelaskan di bagian depan selanjutnya di bagian ini akan diberikan contoh menghormati di luar kegiatan belajar mengajar.
1)      Menyapa guru dan teman saat berpapasan.
2)      Mengikuti upacara bendera dengan khidmat.
3)      Menggunakan tutur bahasa yang baik, benar dan sopan.
4)      Memprioritaskan musyawarah kelas untuk memutuskan kebijakan-kebijakan berhubungan dengan kepentingan kelas.
5)      Tidak membedakan teman.

Selain menghormati, sikap demokratis yang perlu dimiliki adalah rasa tanggung jawab. Dalam hal pengambilan keputusan, siswa harus dilatih memutuskan dan melaksanakan keputusan secara bertanggung jawab. Dalam mengajarkan hal ini kepada siswa guru sebaiknya memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari di dalam kelas, misalnya dalam pemilhan ketua kelas. Setelah terpilih menjadi ketua kelas, selanjutnya ketua kelas itu mengatur kelasnya masing-masing, misalnya :
1)      Ketua kelas: mengadakan rapat kelas yang dipimpin ketua kelas. Dalam rapat ketua kelas akan mendapat banyak saran, pendapat, dan tidak tertutup kemungkinan pendapat tadi ada yang bertentangan dengan pendapatnya. Pendapat tadi kemudian dibicarakan dalam rapat secara musyawarah, dengan peretimbangan yang disepakati sejujur-jujurnya dan penuh tanggung jawab melaksanakan keputusan yang diambil secara bersama itu.
2)      Hasil keputusan tersebut harus dipatuhi dan ditaati oleh setiap siswa dan keputusan yang berupa peraturan itu harus dibuat secara tertulis, sehingga setiap siswa dapat mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sehingga apabila siswa melanggar mereka akan melaksanakan sanksi tersebut secara konsekwen dan penuh kesadaran.
3)      Setiap siswa harus mengetaui tugasnya masing-masing, siapa yang bertugas merapikan meja, siapa yang bertugas mengambil dan menyiapkan kapur, penghapus, dan sebagainya.

Selain itu guru juga harus menjadi contoh dalam pengembangan sikap saling menghormati. Guru harus mampu menunjukkan sikap menghormati sekalipun pada orang yang lebih muda. Misalnya dalam menghadapi siswa yang melakukan kesalahan harus diberi kesempatan melakukan pembelaan diri. Jangan memposisikan siswa sebagai pihak yang paling bersalah sehingga harus menerima sanksi tanpa melakukan kontrak sosial bersama siswa.

B.      Membangun Sekolah Berdisiplin Moral

1.      Peranan Sekolah Dalam Pembangunan Manusia Berkarakter Moral
Peranan pendidikan berkarakter moral di sekolah pernah dilakukan oleh Berkowitz & Bier (2003). Mereka menyatakan bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral mempengaruhi peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Hal ini disebabkan salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk pengembangan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai atau aturan yang ada. Ketika individu mempunyai integritas maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self efficacy) untuk menghadapi hambatan dalam belajar.

Beberapa tema-tema moral yang berhubungan dengan kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006). Peserta didik yang mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Mudah memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah moral yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, (d). Mampu memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan sosial. Oleh karena itu, negara-negara maju turut menekankan pendidikan berkarakter moral tersebut sebagai soft-skill yang mengikuti kompetensi pembelajaran. Dengan demikian, lulusan dunia pendidikan akan lebih siap berkompetisi dalam era global saat ini.

Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi peserta didik dalam pembentukan karakter namun sekolah merupakan komunitas untuk melakukan sharing nilai dengan guru, teman sebaya dan sivitas akademika. Apalagi, fenomena kurikulum sekarang yang sarat beban bagi peserta didik menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah daripada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pemakalah memberikan usulan terhadap peran sekolah dalam membangun manusia yang berkarakter moral sebagai berikut :
a.      Menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan terhadap kasus/ fenomena. 
Dalam hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah (syari’at) tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama inilah yang menjadi bagian dari pembentukan karakter moral peserta didik. Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan syari’at sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh bagi manusia itu sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen Protestan tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan Etika Protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Juga The Golden Role dalam ajaran agama Katholik agar manusia menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa ahli pemikir Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama yang universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya (interpersonal). Tidak ada agama yang tidak mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa ciri manusia yang religius adalah :
a.       Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua ajaranNya. Pada elemen ini, manusia yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia yang mengaku beragama harus memiliki pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan pengaruh ajaran agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai seorang Muslim maka ia tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai sesama muslim dan ajaran Islam dijadikannya sebagai identitas dirinya.
c.       Meyakini dan memelihara hubungan dengan mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam semesta. Sebagai manusia yang beragama maka kita dituntut untuk membina hubungan dengan orang lain, mahluk ghaib dan alam semesta.
d.      Keyakinan terhadap hari depan, yaitu keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia religius terhadap kehidupan masa depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia, seperti kematian, alam kubur, hari berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh karena itu, manusia yang religius menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai investasi dalam kehidupan di masa mendatang, termasuk kehidupan akhirat kelak.

Berdasarkan ciri manusia yang religius atau mempunyai nilai-nilai agama tersebut maka sebenarnya sama dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik berdasarkan pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).
b.      Menyiapkan guru, kakak kelas, sivitas akademika, alumni sebagai role model,
Definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka dibutuhkan figur teladan dalam menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini sesuai dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan sikap dan tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan sosokdigugulan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya memberikan pengajaran moral tanpa mendidik (memberi keteladanan moral) maka akan terjadi kebingungan pada diri peserta didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang bermoral. Ketika guru melakukan tindakan amoral, seperti pelecahan seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan alumni pun sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni berkomitmen untuk membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka aktivitas yang tidak bermoral, seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi.
c.       Menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan konsisten. 
Sekolah yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta didik dalam memahaminya. Aturan yang jelas juga dimaksudkan agar peserta didik tidak mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain itu, yang dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang rasional ialah segala aturan tersebut bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau melarang suatu tindakan tetapi lebih kepada penguatan alasan mengapa aturan atau nilai tersebut ditegakkan. Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi kepada peserta didik dan sivitas akademika agar memahami latar belakang ditegakkannya nilai atau aturan tersebut. Rasionalitas atau alasan tentang penegakan nilai moral tersebut perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan, seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap tindakan. Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka peserta didik akan menjalankan aturan dan nilai tersebut karena terdorong untuk kebaikan mereka sendiri. Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang tepat akan menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua pihak diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama (keadilan distributif).
d.      Membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah. 
Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika tidak ada sinergi antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan berkarakter moral di lingkungan belajar namun hal ini tidak akan efektif jika tidak didukung keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan suatu PROSES. Maknanya, pendidikan berkarakter moral merupakan transfer secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah tentang ujian nasional (UNAS) mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan kepada hasil suatu sistem dan bukan kepada proses. Padahal sebenarnya pendidikan lebih menekankan kepada proses suatu sistem. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.
e.       Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra, ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden curriculum
Dalam kegiatan intra-kurikuler dan ko-kurikuler, setiap mata pelajaran perlu memberikan pesan moral khusus berkaitan dengan topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi tentang reproduksi manusia perlu diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks pra-nikah jika organ reproduksi belum siap digunakan. Jadi, tidak sekedar pengetahuan seks tetapi juga menyisipkan pesan moral yang rasional.  Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak aktivitas yang membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah Raga dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin Kejujuran” perlu diwujudkan.
f.       Menyajikan story telling melalui multi media dengan melibatkan peran sebagai role model karakter moral.
Menurut Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh dalam suatu cerita sebagai role model. Dengan demikian, story telling memiliki kemampuan untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih mudah menerima informasi melalui audio-visual. Oleh karena itu, disarankan story telling disajikan dalam multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan kognisi peserta didik dalam menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Sebagai contoh, story telling dengan tema budaya lokal, seperti Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi sehingga pesan


REFERENSI :
1.      Lickona, T.(2002) Character Matters. Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara. Lickona, T.(2002) Educating for Character.
2.      Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara.
3.      Abidin, Y. (2012). Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika
4.      Aditama Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter: Solusi yang tepat untuk membangun bangsa. Jakarata.
5.      BP Migas dan Star Energy. Kemendiknas (2010a), Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa, Jakarta:
6.      Kemendiknas . Kemendiknas (2011), Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta
7.      Alexandria: ASCD Samani, M. & Hariyanto, (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosda Karya


Sumber Lain :
http://dedi26.blogspot.co.id/2013/06/pendidikan-karakter-bangsa.html
http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2014/04/konsep-dasar-pendidikan-karakter.html
http://wardconanstory.blogspot.co.id/2016/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_24.html
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2015/01/17/pengembangan-ruang-kelas-berkarakter/
            http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/02/strategi-menciptakan-sekolah.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEPEMIMPINAN & PENGAMBILAN KEPUTUSAN

KEPEMIMPINAN & PENGAMBILAN KEPUTUSAN Oleh : Eko Yulianto, ST, MM, MSD (NIDN 0325077407) A. Pendahuluan Pengelolaan suatu bisnis, baik it...