STRATEGI
PENGEMBANGAN RUANG KELAS BERKARAKTER
Saat ini, negeri kita tampaknya
membutuhkan model pendidikan demokrasi yang baru dalam dunia persekolahan kita.
Idealnya, upaya membumikan nilai-nilai demokrasitidak
hanya dibebankan kepada mata pelajaran tertentu, seperti PPKn, misalnya. Akan
tetapi, perlu ada kesamaan visi untuk menjadikan prinsip-prinsip demokrasi sebagai
“roh” yang mewarnai kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran apa pun.
Substansi pembumian nilai-nilai demokrasi bukan lagi dilakukan secara dogmatis dan indoktrinasimelalui
ceramah, melainkan sudah dalam bentuk perilaku nyata sebagai perwujudan kultur demokrasi yang
sesungguhnya.
Tujuan yang jendak dicapai melalui
model pendidikan demokrasi semacam itu adalah tumbuhnay kecerdasan warga sekolah, baik secara spiritual,
emosional, maupun sosial, rasa tanggung jawab, dan peran serta segenap komponen
dunia persekolahan. Melalui upaya model pendidikan ini diharapkan akan terlahir
kualitas generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi
juga cerdas secara emosional, spiritual, dansosial sehingga
pada gilirannya kelak mampu menopang tumbuhnya iklim civil society (masyarakat
madani) di Indonesia.
Disiplin di sekolah merupakan hal
yang penting dalam menunjang keberhasilan tata tertib yang diterapkan di
sekolah, yang di dalamnya tergabung guru dan siswa taat kepada tata tertib yang
telah di terapkan. Disiplin yang diterapkan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas belajar anak dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) agar
lebih baik dalam perkembangan anak didik. Adapun tujuannya adalah
untuk perkembangan pengendalian diri sendiri yaitu dalam hal mana anak-anak
dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh dan pengendalian diri luar. Karena
itu orang tua haruslah secara aktif dan terus menerus berusaha, untuk memainkan
peranan yang semakin kecil dari pekerjaan kedisiplinan itu, dengan cara
bertahap mengembangkan pengendalian dan pengarahan diri sendiri itu pada
anak-anak. Di sekolah guru adalah orang tua kedua sebagai panutan
anak didiknya. Oleh sebab itu disiplin bagi seorang guru merupakan
bagian penting dari tugas-tugas kependidikan dalam Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM).
A. Membangun Sekolah Demokratis
1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah gabungan dari dua
kata yaitu demos dan kratos yang diambil dari
bahasa Yunani, demos berarti rakyat dan kratos berarti
pemerintahan. Jadi demokrasi dapat diartikan sebagai suatu pemerintahan dimana
rakyat memegang suatu peranan yang sangat menentukan (Wuryo, Kasmiran, dkk.
1980:112).
Menurut tahapannya dikenal dua tahap
demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung ( tim
penyusun,1993:118 ). Dalam demokrasi langsung rakyat ikut secara langsung dalam
menentukan pemerintahan. Hal ini terjadi pada tipe-tipe negara kota waktu zaman
Yunani kuno, yakni ketika rakyat berkumpul pada tempat tertentu untuk
membicarakan berbagai masalah kewarganegaraan. Pada masa modern ini cara
demikian tentu tidak mungkin lagi karena selain negaranya semakin luas dan
warganya semakin banyak, urusan-urusan kenegaraan juga semakin kompleks. Jadi
rakyat tidak lagi ikut dalam urusan pemerintahan secara langsung melainkan
melalui wakil-wakilnya yang ditentukan melalui pemilihan umum. Inilah yang
disebut demokrasi tidak langsung.Yang melaksanakan kekuasaan Negara demokrasi
adalah wakil-wakil rakyat yang terpilih, di mana rakyat yakin bahwa segala
kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh wakil rakyat dalam
melaksanakan kekuasaan negara.
Adapun ciri khas demokrasi adalah
sebagai berikut :
1) Adanya pembagian kekuasaan.
2) Adanya undang-undang yang
demokratis.
3) Adanya rule of law, bukan rule
of power.
4) Partai politik lebih dari satu.
5) Pers yang bebas.
6) Pemilu yang bebas.
Sedangkan pokok-pokok dalam
pelaksanaan demokrasi adalah sebagai berikut :
1) Kedaulatan tertinggi di tangan
rakyat.
2) Adanya pemerintahan perwakilan.
3) Bersumber pada persetujuan bebas
mayoritas rakyat.
4) Pelaksanaan hak-hak sosial dan
politik.
5) Kekuasan pemerintah yang terbatas
dan diawasi.
6) Penghargaan dan perlindungan
hak asasi manusia (HAM).
7) Tegaknya hukum bersamaan dengan
tegaknya keadilan.
2.
Nilai-nilai
Demokrasi
Henry B Mayo dalam bukunya
“Introduction to Demokratic Theory” merinci beberapa nilai yang terdapat dalam
demokrasi, yaitu :
1) Menyelesaikan persoalan secara damai
dan melembaga.
2) Menjamin terselenggaaranya perubahan
secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.
3) Menyelenggarakan pergantian pemimpin
secara teratur.
4) Membatasi pemakaian kekerasan sampai
taraf yang minimum.
5) Mengakui serta menganggap wajar
adanya keanekaragaman (diversity).
6) Menjamin tegaknya keadilan.
Nilai-nilai demokrasi dipercaya akan
membawa kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semangat egalitarian dibandingkan
dengan ideologi non-demokrasi. Menurut Dahl keuntungan pelaksanaan demokrasi
sebagai berikut :
1) Demokrasi menolong mencegah
tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik.
2) Demokrasi menjamin bagi warga
negaranya dengan sejumlah HAM yang tidak diberikan oleh sistem-sistem yang
tidak demokratis.
3) Demokrasi menjamin kebebasan yang
lebih luas bagi warga negaranya.
4) Demokrasi membantu rakyat untuk
melindungi kepentingan dasarnya.
5) Hanya pemerintahan yang demokratis
yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk
menggunakan kebebasannya untuk menentukan nasibnya sendiri yaitu untuk hidup di
bawah hukum yang mereka tentukan dan konsekwensikan sendiri.
6) Hanya pemerintahan yang demokratis
yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung
jawab moral.
7) Demokrasi membantu perkembangan
manusia lebih total.
8) Hanya pemerintahan yang demokratis
yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.
9) Negara-negara demokrasi perwakilan
modern tidak berperang satu sama lain.
10) Negara-negara demokratis yang
konsekuen terhadap kedemokratisannya cenderung lebih makmur daripada
Negara-negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.
Untuk dapat menjamin tetap tegaknya
nilai-nilai demokrasi tersebut maka perlu diselenggarakan lembaga-lembaga
sebagai berikut :
1) Pemerintah yang bertanggung jawab.
2) Lembaga perwakilan rakyat yang
menyalurkan aspirasi rakyat dan mengadakan pengawasan (kontrol) terhadap
pemerintah.
3) Pembentukan organisasi/partai
politik.
4) Pers dan media masa yang bebas untuk
menyatukan pendapat.
5) Sistem peradilan yang bebas untuk
menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.
3.
Pengertian
Sekolah Demokratis
Dalam pendidikan, ada nilai-nilai
seperti, tidak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama, dan bangsa.
Nilai-nilai ini ditanamkan agar hubungan antara sesama peserta didik dengan
gurunya saling menghargai dan menghormati.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak atau peserta didik untuk berfikir
dan memecahkan persoalan-persoalannya sendiri secara teratur, sistematis, dan
komprehensif serta menumbuhkan kekritisan, sehingga anak didik memiliki
wawasan, kemampuan, dan kesempatan yang luas. Tentunya dalam proses seperti itu
diperlukan sikap yang demokratis.
Menurut James A. Beane dan Michael
W. Apple, sekolah demokratis adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis
dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang secara umum mencakup dua aspek yakni
struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang
kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman
tentang praktik-praktik demokratik. Dengan kata lain sekolah demokratis adalah
sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik
demokratis itu terlaksana, seterti pelibatan masyarakat (stake holder dan user
sekolah ) dalam membahas program-program sekolah / madrasah, dan prosedur
pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik serta dapat
dipertanggung jawabkan implementasinya kepada publik.
4.
Prinsip-Prinsip
Demokrasi Dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan pasti ada
prinsip-prinsip demokrasi yang tertanam di dalamnya. Dalam prinsip tersebut
dapat dipahami bahwa ide dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat dipengaruhi
oleh fikiran, sifat, jenis masyarakat dimana mereka berada, karena dalam
kenyataannya, bahwa pengembangan demokrasi pendidikan itu akan banyak
dipengaruhi oleh kehidupan dan penghidupan masyarakat. Demokrasi dalam
pendidikan mempunyai prinsip-prinsip ini begitu bermakna dalam dunia
pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1) Keadilan dalam pemerataan kesempatan
belajar bagi semua warga negara dengan cara adanya pembuktian kesetiaan dan
konsisten pada sistem politik yang ada.
2) Dalam rangka pembentukan karakter
bangsa sebagai bangsa yang baik.
3) memiliki suatu ikatan yang erat
dengan cita-cita.
Menurut James A. Beane dan Michael
W. Apple, sekolah demokratis adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis
dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang secara umum mencakup dua aspek yakni
struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang
kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman
tentang praktik-praktik demokratik. Dengan kata lain sekolah demokratis adalah
sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik
demokratis itu terlaksana, seterti pelibatan masyarakat (stake holder dan user
sekolah) dalam membahas program-program sekolah/madrasah, dan prosedur pengambilan
keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik serta dapat dipertanggung
jawabkan implementasinya kepada publik.
Sedangkan dalam Islam sendiri
mempunyai pemahaman tersendiri mengenai demokrasi pendidikan yang bersumber
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadit’s. Di dalam Al-Qur’an antara lain terdapat dalam
surat as-syura ayat dua yang artinya sedang urusan mereka (diputuskan ) dengan
musyarah antara mereka-mereka.
Dari contoh ayat di atas dapat
dipahami adanya prinsip musyarah, persatuan dan kesatuan umat sebagai salah
satu prinsip demokrasi. Dalam hadist nabi Muhammad bersabda : menuntut ilmu
adalah wajib bagi setiap muslim (baik laki-laki maupun wanita)
Al-Qabisi adalah salah seorang
pemikir atau tokoh pendidikan Islam mengemukakan bahwa anak-anak yang masuk di
Kattab tidak ada perbedaan derajat dan martabat. Baginya pendidikan adalah hak
semua orang tanpa ada pengecualian.
5.
Pengembangan
Sekolah Demokratis Di Indonesia
Cara pengembangan sekolah demokratis
yaitu dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru
harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa, tanpa membedakan
antara yang sudah pintar dengan yang belum pintar, tidak membedakan antara yang
rajin dengan yang belum rajin, semua memperoleh perlakuan, walaupun bentuknya
mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuannya disaat liburan umum, sehingga kompetensinya
meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini telah memberikan
pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang
seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara yang mayoritas dengan
minoritas dalam sekolahnya.
Setelah lahirnya UU No. 22 tahun
1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004
yang meletakan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan,
serta UU No. 20 tahun 2003 yang memberikan penguatan pada paradigma pendidikan
demokratis serta mendorong optimalisasi peranserta masyarakat, pendidikan
memasuki era baru dengan semangat demokratis, karena undang-undang tersebut
disambut oleh daerah dengan memberi peluang pada sekolah/madrasah untuk
mengembangkan networking horizontalnya dengan stake holder dan user sekolah,
dalam proses mengembangkan perencanaan sekolah, pengembangan kurikulum maupun
penetapan berbagai kebijakan mendasar dari sekolah, tidak terkecuali sekolah
negeri, sementara pemerintah daerah hanya akan mengambil tugas dan kewenangan
fasilitatif, penyediaan sarana dan prasarana, pengajian dan pengembangan SDM
serta koordinasi antar daerah kabupaten/kota, dan pemerintah pusat hanya
pengembangan standar serta berbagai sistem yang memberikan jaminan kualitas
keluaran sekolah.
Implikasi besar dengan lahirnya UU
No. 33 Tahun 2004 dan UU No. 2003 adalah perubahan radikal dalam otoritas
pengembangan pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah pusat
melalui Depdiknasnya, kini terdelegasikan pada sekolah dan difasilitasi oleh
pemerintah daerah. Dan kini semangat perubahan radikal tersebut memperoleh
tempat yang sangat kuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang menegaskan dalam pasal
4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini
adalah penegasan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, artinya,
bahwa keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi
pendukungnya akan lebih besar dari pemerintah pusat.
Menurut James A. Beane dan Michael
W. Apple, menjelaskan bahwa kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya
membangun sekolah demokratis adalah :
1) Keterbukaan saluran ide dan gagasan,
sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2) Memberikan kepercayaan kepada
individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk
menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3) Menyampaikan kritik sebagai analisis
dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem, dan
berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4) Memperlihatkan kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5) Kepedulian terhadap harga diri,
hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6) Pemahaman bahwa demokrasi yang
dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga
demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup
manusia.
7) Terdapat sebuah institusi yang dapat
terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.
Inti dari teori James A. Beane dan
Michael W. Apple di atas adalah, sekolah demokratis itu akan terwujud jika
semua informasi penting dapat dijangkau semua stake holder sekolah/madrasah,
sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah atau madrasah,
berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan
ditempuh.
Menurut lyn Haas menjelaskan bahwa
sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yaitu
:
1) Pendidikan untuk semua, yaitu semua
siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh pelajaran sehingga
memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas, serta
memiliki basis skill dan keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta
sesuai pula dengan kebutuhan pada tenaga kerja.
2) Memberikan skill dan keterampilan
yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karna pasar menuntut setiap
tenaga kerjanya memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern,
kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan akses pada
pengetahuan.
3) Penekanan pada kerjasama, yakni
penekanan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang
lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran sehingga
mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama, karena tren pasar ke depan
adalah mengembangkan kerjasama, baik antra perusahaan, atau antara perusahaan
dengan masyarakat dan yang lainnya.
4) Pengembangan kecerdasan ganda; yakni
para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelijence
mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang
beragam, sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja.
5) Integrasi program pendidikan dengan
kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki kepekaan sosial.
Kelima point di atas memperlihatkan
adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progresiv, dan peka terhadap berbagai
kemajuan dan perkembangan teknologi di luar sekolah, sehingga jika kurikulum
dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh struktur birokrasi yang
kaku, sekolah bisa tertinggal oleh kemajuan, dan sekolah akan kehilangan relevansinya
dengan berbagai perubahan yang pada akhirnya akan ditinggalkan oleh stake
holdernya sendiri. Oleh sebab itu, argumen-argumen di atas memperkuat bahwa
model sekolah demokratis itu amat relevan untuk dikembangkan.
6.
Keunggulan
Sekolah Demokratis Yaitu :
a. Akuntabilitas, yakni bahwa
kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggungjawabkan
pada publik yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan
dan keahlian yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan
pengajaran di sekolah. Guru yang diangka harus yang memilliki keahlian dalam
bidang ilmu yang akan dijarkannya, memiliki keterampilan mengajar yang memadai,
serta memiliki loyalitas keguruan yang teruji. Kemudian menejemen sekolah juga
dapat dipertanggungjawabkan pada publik, dapat meminimalisir bias individual
dalam berbagai keputusan, dan promosi seseorang benar-benar didasarkan pada
keahlian dan pengalaman yang memadai, dan dalam konteks akuntabilitas juga,
sekolah demokratis selalu menjunjung tinggi collective judgement, yakni
keputusan diambil bersama-sama.
b. Pelaksanaan tugas guru senantiasa
berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa secara
individual. Berbagai kesulitan siswa akan menjadi perhatian guru, dan dengan
senang hati guru akan terus membantu sehingga siswa dapat menyelesaikan
berbagai kesulitannya.
c. Keterlibatan masyarakat dalam
sekolah, yaitu dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan merupakan refleksi
dan keinginan masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan
mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, dan akan responsif dengan berbagai
persoalan sekolah. Dengan demikian para guru bekerja juga akan merasa tenang
karena senantiasa bersama-sama dengan masyarakatnya, keputusan pimpinan sekolah
juga akan menjadi keputusan yang bulat, karena disepakati bersama oleh
masyarakatnya, dan sekolah akan selalu terkontrol oleh mekanisme yang diatur
dalam sistem penyelenggaraan sekolah tersebut.
Berbagai keuntungan tersebut bisa
menjadi perspektif untuk pengembangan sekolah ke depan, karena jika pendidikan
di Indonesia berkualitas, penyelesaiannya adalah perbaikan mendasar, yakni
kurikulum, bahan ajar dan guru sebagai pengajar.
7. Tujuan Pelaksanaan Demokrasi di
Sekolah
Seperti sebuah negara, sekolah juga
merupakan suatu organisasi, layaknya masyarakat mini yang memiliki warga dan
peraturan. Sekolah merupakan sebuah organisasi, yakni unit sosial yang sengaja
dibentuk oleh beberapa orang yang satu sama lain berkoordinasi dalam
melaksanakan tujuannya untuk mencapai tujuan bersama. Tujuannya yaitu mendidik
anak-anak dan mengantarkan mereka menuju fase kedewasaan, agar mereka mandiri
baik secara psikologis, biologis, maupun sosial. Dalam pendidikan demokrasi
menekankan pada pengembangan ketrampilan intelektual, ketrampilan pribadi dan
sosial. Dalam dunia pendidikan haruslah ada tuntutan kepada sekolah untuk
mentransfer pengajaran yang bersifat akademis ke dalam realitas kehidupan yang
luas di masyarakat.
Demokrasi di sekolah dapat diartikan
sebagai pelaksanaan seluruh kegiatan di sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi. Mekanisme berdemokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan
mekanisme dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, namun secara substantif,
sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam
perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah
sesuai dengan nilai-nilai Demokrasi Pancasila. Beane dan Apple (1995: 7) dalam
Rosyada (2004: 16) mengemukakan bahwa kondisi yang sangat perlu dikembangkan
dalam upaya membangun sekolah demokratis adalah sebagai berikut.
1) Keterbukaan saluran ide dan gagasan,
sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2) Memberikan kepercayaan kepada
individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk
menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3) Menyampaikan kritik sebagai hasil
analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem
dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4) Memperlihatkan kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5) Ada kepedulian terhadap harga diri,
hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6) Pemahaman bahwa demokrasi yang
dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi
harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7) Terdapat sebuah institusi yang dapat
terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis
Ciri-ciri organisasi sekolah
demokratis, sebagaimana dituliskan Rosyada (2004: 228-289) dary buku karangan
Tony Bush (48-50) adalah sebagai berkut:
1) Sangat beorientasi negatif, yakni
bahwa manajemen harus didasarkan pada kesepakatan, apapun progam yang hendak
dikembangkan dan diimplementasikan harus didasarkan pada kesepakatan, dan tidak
hanya menjadi values tapi juga sebagai sebuah keyakinan, bahwa
model nilah yang terbaik.
2) Pendekatan demokratis sangat layak
untuk organisasi dengan para anggota dari kalangan professional, yakni mereka
yang memiliki kemampuan teknis dan keterampilan, mereka memiliki otoritas dalam
keahliannya. Organisasi sekolah harus dikelola oleh kalangan-kalangan
profesional karena siswa memerlukan pembinaan dan pelayanan dari mereka yang memiliki
otoritas dalam bidangnya.
3) Penanaman nilai, kultur dan
kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi dilakukan oleh anggota organisasi itu
sendiri, yang sudah dimulai sejak dalam fase pendidikan dan tahun-tahun pertama
mereka bekerja.
4) Pengambilan putusan tentang berbagai
kebijakan penting dilakukan oleh sebuah komite dan tidak dilakukan secara
individual oleh seorang kepala dengan menggunakan otoritas kepimpinannya. Dan
semua unsur memiliki wakil dalam komite tersebut, yang harus mempertanggungjawabkan
keterlibatannya dalam komite terhadap konstituennya.
5) Semua putusan ditetapkan dengan cara
konsensus atau kompromi dan sedapat mungkin dihindari polarisasi organisasi
karena perbedaan pendapat dan pandangan. Perbedaan dalam proses harus diakhiri
dengan konsensus dan atau kompromi, walaupun terkadang harus menghargai
kecenderungan masyarakat.
Secara prinsip demokrasi tercipta
karena adanya saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Keadaan ini
menciptakan suasana kesetaraan tanpa sekat-sekat kesukuan, agama, derajat atau
status ekonomi. Dengan demikian manusia mempunyai ruang untuk mengekspresikan
diri secara bertanggung jawab. Situasi seperti inilah yang seharusnya dibangun
dalam dunia pendidikan, anak diajak untuk mengembangkan potensi diri.
8.
Pengembangan
Nilai-nilai Demokrasi di Sekolah
Membangun pribadi yang demokratis
merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam
pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan
dan suara untuk membangun Indonesia baru yang lebih demokratis di bawah
pemerintahan yang bersih, berwibawa dan reformatif justru banyak politisi
yang berkarakter oportunis, arogan dan mau menang sendiri, yang sangat
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengembangkan nilai
kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Padahal harus
diakui, mereka memiliki kualifikasi pendidikan formal yang tinggi. Fenomena ini
tentu sangat menarik untuk disimak, sebab ada kecenderungan asumsi, tinggi-rendahnya
tingkat pendidikan kurang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya
iklim demokrasi yang sehat.
Diperlukan upaya agar dunia
pendidikan mampu menaburkan benih-benih demokrasi kepada peserta didik dan
melahirkan demokrat-demokrat yang ulung, cerdas, dan andal. Beratnya
beban kurikulum yang harus dituntaskan telah membuat proses belajar mengajar
menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog dan berdebat, guru menjadi
satu-satunya sumber belajar. Akibatnya setelah lulus mereka menjadi asing di
tengah-tengah rakyat. Tidak mungkin out-put dari dunia pendidikan mampu
menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi
mereka dijauhkan dari ruang berdialog. Mustahil mereka bisa menghargai pendapat
sebagai salah satu esensi demokrasi kalau iklim belajarnya berlangsung monoton.
Sehingga dunia pendidikan perlu diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya
demokrasi bagi peserta didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat
sejati yang rendah hati, berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik moral
dan spiritual. Apalagi di era millennium ketiga yang kini diyakini akan
menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan akselerasi keluar masuknya
berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia, ranah
demokrasi tentu akan menjadi penentu citra, kredibilitas, dan akseptibilitas
bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia. Itu artinya, dunia
pendidikan dalam mencetak sumberdaya manusia yang bermutu dan profesional harus
menyiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki resistence yang kokoh di
tengah-tengah konflik peradaban.
Selain pengembangan nilai-nilai
demokrasi dalam pembentukan mental peserta didik sesuai nilai-nilai demokrasi,
demokrasi di sekolah juga mencakup proses pembelajaran untuk meningkatkan
kualitas hasil belajar. Hal ini diantaranya adalah untuk menyikapi persoalan
yang tentunya tekait dengan nilai-nilai demokrasi dalam hal ilmu pengetahuan,
mengenai industri saat ini yang sering menimbulkan pencemaran lingkungan.
Banyak pihak industri yang selalu berhadapan dengan kelompok-kelompok humanis
yang anti pencemaran dan pengrusakan lingkungan, sehingga pendidikan harus
merancang perubahan-perubahan ke depan yang tetap ditandai dengan kemajuan
sains dan teknologi, dengan peningkatan solidaritas internasional, dan
keseimbangan komitmen antara produktivitas, kemajuan sains dan teknologi, yang
pada gilirannya dapat mengembangkan sektor perekonomian, namun tetap
memperhatikan pemeliharaan lingkungan, dan misi kemanusiaan, sehingga mampu
menetralisir ketegangan-ketegangan sosial, dan mampu menjaga kelestarian alam
yang tidak semata menjadi kebutuhan seluruh umat manusia dengan keseimbangan
ekosistemnya, tapi juga akan diwariskan pada generasi mendatang.
9.
Implementasi
Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi dalam Proses Pembelajaran di Kelas
Kelas merupakan forum yang strategis
bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi.
Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, misalnya siswa dan
guru mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjaga kebersihan kelas,
kenyamanan kelas, terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang kondusif.
Tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi iklim
pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran apapun. Interaksi guru dan siwa
bukan sebagai subjek-objek, melainkan subjek-subjek yang sama-sama membangun
karakter dan jatidiri. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan
sendirinya tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang
strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar
demokrasi.
Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar
Dewantara mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang intinya berporos
pada proses pemberdayaan. Di sekolah guru senantiasa membangkitkan semangat
bereksplorasi, berkreasi dan berprakarsa di kalangan siwa agar kelak tidak
menjadi manusia-manusia yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian,
kelas akan menjadi magnet demokrasi yang mampu menggerakkan gairah siswa untuk
menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam
kehidupan sehari-hari.
10. Peran
Guru
Implementasi pengembangan
nilai-nilai demokrasi dalam proses pembelajaran di kelas tentu tidak lepas dari
peran guru. Terpenuhinya misi pendidikan sangat tergantung pada kemampuan guru
untuk menanamkan seting demokrasi pada siswa, dengan memberikan kesempatan
seluas-luasnya pada siswa untuk belajar. Menciptakan suasana yang hangat
di sekolah sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal
mungkin mereka belajar. Rosyada dalam bukunya Paradigma Pendidikan Demokratis
(2004: 19) menyatakan bahwa sekolah bukan menjadi tempat pertunjukan bagi guru
tetapi tempat bagi siswa untuk menambah dan memperkaya pengalaman belajarnya.
Oleh sebab itu, guru harus mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang
memberi peluang bagi siswa untuk belajar. Inilah makna lain dari sekolah
demokratis, yaitu sekolah itu untuk siswa bukan untuk guru dan kepala
sekolahnya. Sekolah harus menjadi second home bagi siswa,
mereka betah menghabiskan waktunya di sekolah, dengan belajar, berdiskusi,
menyelesaikan tugas-tugas kelompok, membaca, dan melakukan aktivitas lainnya.
Untuk mewujudkan KBM yang kondusif
secara umum guru harus memiliki capability danloyality,
yakni guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya,
memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan,
implementasi, sampai evaluasi. Memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal
terhadap tugas-tugas keguruan yang tidak hanya di dalam kelas. Seperti yang
telah dikutip oleh Rosyada (2004: 113), dari Gilbert H. Hunt dalam bukunya Effective
Teaching menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh
kriteria yaitu:
1) Sifat; guru yang baik harus memiliki
sifat-sifat antusias, stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat,
berorientasi pada tugas dan pekerja keras, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa
dipercaya/ fleksibel dan mudah menyesuaikan diri/ demokratis, penuh harapan
bagi siswa, tidak semata mencari reputasi pribadi, mampu mengatasi stereotipe
siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar siswa, mampu menyampaikan
perasaannya, dan memiliki pendengaran yang baik.
2) Pengetahuan; guru yang baik juga
memiliki pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan
terus mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya itu.
3) Apa yang disampaikan; guru yang baik
juga mampu memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua
unit bahasan yang diharapkan siswa secara maksimal.
4) Bagaimana Mengajar; guru yang baik
mampu menjelaskan berbagai informasi secara jelas, dan terang, memberikan
layanan yang variatif, menciptakan dan memelihara momentum, menggunakan
kelompok kecil secara efektif, mendorong semua siswa untuk berpartisipasi,
memonitor dan bahkan sering mendatangi siswa, memonitor tempat duduk siswa,
melibatkan siswa dalam tutorial atau pengajaran sebaya, menghindari kesukaran
yang kompleks dengan menyederhanakan sajian informasi, menggunakan beberapa
bahan tradisional, menunjukkan pada siswa tentang pentingnya bahan-bahan yang
mereka pelajari, menunjukkan proses berpikir yang penting untuk belajar/ berpartisipasi
dan mampu memberikan perbaikan terhadap kesalahan konsepsi yang dilakukan
siswa.
5) Harapan; guru yang baik mampu
memberikan harapan pada siswa, mampu membuat siswa akuntabel, dan mendorong
partisipasi orang tua dalam memajukan kemampuan akademik siswanya.
6) Reaksi guru terhadap siswa; guru
yang baik biasa menerima berbagai masukan, risiko, dan tantangan, selalu
memberikan dukungan pada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan
dengan siswa, bijaksana terhadap kritik siswa, menyesuaikan diri dengan kemajuan-kemajuan
siswa, pengajaran yang memperhatikan individu, mampu memberikan jaminan atas
kesetaraan partisipasi siswa, mampu menyediakan waktu yang pantas untuk siswa
bertanya, cepat dalam memberikan feed back bagi siswa dalam
membantu mereka belajar, peduli dan sensitif terhadap perbedaan-perbedaan latar
belakang sosial ekonomi dan kultur siswa, dan menyesuaikannya pada
kebijakan-kebijakan menghadapi berbagai perbedaan.
7) Management; Guru yang baik juga
harus mampu menunjukkan keahlian dalam perencanaan, memiliki kemampuan
mengorganisasi kelas sejak hari pertama dia bertugas, cepat memulai kelas,
melewati masa transisi dengan baik, memiliki kemampuan dalam mengatasi dua atau
lebih aktivitas kelas dalam satu waktu yang sama, mampu memelihara waktu bekerja
serta menggunakannya secara efisien dan konsisten, dapat meminimalisasi
gangguan, dapat menerima suasana kelas yang ribut dengan kegiatan pembelajaran,
memiliki teknik untuk mengontrol kelas, memberi hukuman dengan bentuk yang
paling ringan, dapat memelihara suasana tenang dalam belajar, dan tetap dapat
menjaga siswa untuk tetap belajar menuju sukses.
Guru sebaiknya juga menggunakan
model active learning atau belajar aktif, yaitu model
pembelajaran yang memberi peluang sangat luas bagi siswa untuk belajar dengan
mengurangi porsi guru untuk ceramah. Guru harus dapat memberikan penugasan yang
bermakna bagi siswa, baik untuk diskusi, penyelasaian tugas, menyelasaikan
masalah atau lainnya. Serta model cooperate learning (belajar
secara kooperatif yang tidak hanya belajar bersama, namun saling membantu)
melalui diskusi dalam kelompok-kelompok kecil, debat atau bermain peran.
Biarkan siswa saling membantu satu sama lain serta saling bertukar informasi
yang mereka dapatkan dari hasil akses informasinya. Melalui sebuah diskusi akan
terpupuk nilai-nilai demokrasi karena pelaksanaan diskusi sangat memungkinkan
siswa berinteraksi dengan siswa yang lain, belajar mengemukakan pendapatnya,
menghargai setiap pendapat dan tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain.
Selain itu guru juga harus dapat
membantu siswa befikir. Siswa perlu diajak kritis terhadap bahan pelajaran dan
juga masalah yang dihadapi. Pikiran kritis ini sangat penting adlam membangun
suasana demokratis di sekolah dan di masyarakat sekarang ini. Seperti yang
dikutip Suparno (36-37) dari Raths dalam bukunya Teaching for Thinking yang
memberikan beberapa cara konkrit yang dapat dibuat guru dalam membantu siswa
berfikir kritis antara lain:
1) Guru hendaklah mendengarkan gagasan
dan pemikiran siswa
2) Guru memajukan diskusi terbuka
dimana siswa bebas mengungkapkan pikirannya
3) Guru perlu memberikan waktu bagi
siswa untuk berfikir terlebih dahulu, apalagi bila mengajukan pertanyaan kepada
siswa
4) Guru memnupuk keyakinan sswa untuk
berani tampil dengan gagasannya yang otentik
5) Guru perlu memberikan umpan balik
yang memajukan pemikiran siswa, bukan yang mematikan
6) Ruang majalah dinding yang dapat
diisi dengan macam-macam gagasan siswa perlu dibuat
7) Siswa diberi kebebasan untuk mencari
data dan masukan dari sumber-sumber lain seperti perpustakaan atau internet.
Kadang ada guru yang merasa rugi
bila memberikan waktu berfkir bagi siswa karena akan memperlambat penyelesaian
bahan. Memeng secara sepintas sepertinya guru kehilangan banyak waktu, tetapi
sebenarnya guru untung besar. Karena dengan membiasakan siswa berfikir dan
memperoleh informasi sendiri, mereka selanjutnya mereka akan dapat belajar
sendiri tanpa harus dipaksa oleh guru. Apalgi pemikiran-pemikiran kritis mereka
yang dikembangkan itu dikemudian hari akan menjadi pemikiran dan kreativitas
yang besar.
Dalam menginternalisasikan
nilai-nilai demokrasi guru dapat menjadi sosok pemodelan, dimana segala
perilakunya dapat menjadi tauladan bagi siswa dalam pembentukan karakter
demokratis dalam dirinya. Jika dalam KBM di dalam kelas tidak beriklimkan
demokrasi, maka dalam diri siswa tidak akan tertanam sikap-sikap yang
mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
11. Peran Kurikulum (Mata Pelajaran)
Selain itu internalisasi nilai-nilai
demokrasi dapat disisipkan dalam kegiatan KBM misalnya pada mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan juga tidak menutup kemungkinan menanamkan
materi demokrasi pada mata pelajaran yang lain. Contohnya, SAINS dengan memberikan
pegetahuan berbasis lingkungan, sehingga tertanam sikap kecintaan terhadap
alam. Praktek pembelajaran dilakukan dengan materi yang substansial (konsep
teori yang sangat selektif) tetapi kaya dalam implementasi.
Di masa lalu pendidikan demokrasi
tidak berkembang. Hal ini dapat dicontohkan pada kasus PPKn/PKn yang sebelumnya
dikembangkan secara indoktrinasi, mengakumulasi pengetahuan yang kurang
bermakna, bersifat hegemonik, tidak partisipatoris, dan sering dikritik anti
realitas. Seharusnya PKn memuat nilai-nilai pluralisme dan membentuk karakter
bangsa, sehingga PKn harus menerapkan pendidikan multikultural (proses
transformasi cara hidup menghormati, toleran terhadap keanekaragaman budaya
yang hidup dalam masyarakatnya yang plural, tanpa diskriminasi). (Azra, 2002:
159)
12. Implementasi Pengembangan
Nilai-nilai Demokrasi di luar KBM
Menanamkan pengetahuan demokrasi
perlu disertai pengalaman hidup berdemokrasi yang tidak hanya dilakukan dalam
KBM, tetapi juga d luar KBM. Misalnya saja dalam bergaul dengan teman sebaya.
Pergaulan hidup dengan teman sebayapun perlu mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh. Tata cara pergaulan yang baik dapat meningkatkan kerukunan
hidup bersama. Oleh karena itu perlu dikembangkan sikap saling menghormati,
menghargai, tolong-menolong, tenggang rasa dan sikap positif lainnya. Dengan
bersikap demikian dapat dihindari terjadinya pertengkaran, percekcokan yang
membawa atau mengakibatkan timbulnya perkelahian atau sikap negatif lainnya,
sehingga dengan demikian terwujud pergaulan yang harmonis.
Saling menghargai dan menghormati
antarsesama manusia merupakan suatu keharusan karena manusia telah diciptakan
Tuhan dengan harkat dan derajat yang sama.Sifat saling menghormati ini
sangat sesuai dengan keadaan bangsaIndonesiayang beraneka ragam dan ini juga
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Budaya
menghormati ini perlu ditanamkan sejak kecil di dalam lingkungan keluarga yang
selanjutnya peran sekolahlah yang bertugas untuk mengembangkannya.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
mempunyai tugas yang banyak, yang salah satunya adalah mewariskan budaya-budaya
bangsa kepada geberasi muda seperti budaya saling menghormati antarsesama.
Budaya menghormati perlu disisipkan dan dikembangkan dalam setiap kegiatan di
sekolah baik dalam kegiatan belajar mengajar maupun di luar kegiatan belajar
mengajar. Untuk pengembangan sikap menghormati di dalam kegiatan belajar
mengajar telah dijelaskan di bagian depan selanjutnya di bagian ini akan
diberikan contoh menghormati di luar kegiatan belajar mengajar.
1) Menyapa guru dan teman saat
berpapasan.
2) Mengikuti upacara bendera dengan
khidmat.
3) Menggunakan tutur bahasa yang baik,
benar dan sopan.
4) Memprioritaskan musyawarah kelas
untuk memutuskan kebijakan-kebijakan berhubungan dengan kepentingan kelas.
5) Tidak membedakan teman.
Selain menghormati, sikap demokratis
yang perlu dimiliki adalah rasa tanggung jawab. Dalam hal pengambilan
keputusan, siswa harus dilatih memutuskan dan melaksanakan keputusan secara
bertanggung jawab. Dalam mengajarkan hal ini kepada siswa guru sebaiknya
memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari di dalam kelas, misalnya dalam
pemilhan ketua kelas. Setelah terpilih menjadi ketua kelas, selanjutnya ketua
kelas itu mengatur kelasnya masing-masing, misalnya :
1) Ketua kelas: mengadakan rapat kelas
yang dipimpin ketua kelas. Dalam rapat ketua kelas akan mendapat banyak saran,
pendapat, dan tidak tertutup kemungkinan pendapat tadi ada yang bertentangan
dengan pendapatnya. Pendapat tadi kemudian dibicarakan dalam rapat secara
musyawarah, dengan peretimbangan yang disepakati sejujur-jujurnya dan penuh
tanggung jawab melaksanakan keputusan yang diambil secara bersama itu.
2) Hasil keputusan tersebut harus
dipatuhi dan ditaati oleh setiap siswa dan keputusan yang berupa peraturan itu
harus dibuat secara tertulis, sehingga setiap siswa dapat mengetahui apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan. Sehingga apabila siswa melanggar mereka akan
melaksanakan sanksi tersebut secara konsekwen dan penuh kesadaran.
3) Setiap siswa harus mengetaui
tugasnya masing-masing, siapa yang bertugas merapikan meja, siapa yang bertugas
mengambil dan menyiapkan kapur, penghapus, dan sebagainya.
Selain itu guru juga harus menjadi
contoh dalam pengembangan sikap saling menghormati. Guru harus mampu
menunjukkan sikap menghormati sekalipun pada orang yang lebih muda. Misalnya
dalam menghadapi siswa yang melakukan kesalahan harus diberi kesempatan
melakukan pembelaan diri. Jangan memposisikan siswa sebagai pihak yang paling
bersalah sehingga harus menerima sanksi tanpa melakukan kontrak sosial bersama
siswa.
B.
Membangun
Sekolah Berdisiplin Moral
1.
Peranan
Sekolah Dalam Pembangunan Manusia Berkarakter Moral
Peranan pendidikan berkarakter moral
di sekolah pernah dilakukan oleh Berkowitz & Bier (2003). Mereka menyatakan
bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral mempengaruhi peningkatan motivasi
siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas-kelas yang secara komprehensif
terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku
negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Hal ini disebabkan
salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk pengembangan kepribadian
yang berintegritas terhadap nilai atau aturan yang ada. Ketika individu
mempunyai integritas maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self
efficacy) untuk menghadapi hambatan dalam belajar.
Beberapa tema-tema moral yang
berhubungan dengan kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006). Peserta
didik yang mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Mudah
memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang
diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah moral
yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan
termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, (d). Mampu
memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan
sosial. Oleh karena itu, negara-negara maju turut menekankan pendidikan
berkarakter moral tersebut sebagai soft-skill yang mengikuti
kompetensi pembelajaran. Dengan demikian, lulusan dunia pendidikan akan lebih
siap berkompetisi dalam era global saat ini.
Meskipun sekolah merupakan
lingkungan kedua bagi peserta didik dalam pembentukan karakter namun sekolah
merupakan komunitas untuk melakukan sharing nilai dengan guru,
teman sebaya dan sivitas akademika. Apalagi, fenomena kurikulum sekarang yang
sarat beban bagi peserta didik menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah
daripada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pemakalah
memberikan usulan terhadap peran sekolah dalam membangun manusia yang
berkarakter moral sebagai berikut :
a.
Menyediakan
pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan terhadap kasus/ fenomena.
Dalam
hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata
laksana ibadah (syari’at) tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam
menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama inilah yang menjadi bagian dari
pembentukan karakter moral peserta didik. Sebagai contoh, pendidikan agama
Islam tidak hanya mengajarkan syari’at sholat saja tapi nilai-nilai manfaat
yang diperoleh bagi manusia itu sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula
agama Kristen Protestan tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi
bagaimana menerapkan Etika Protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan
akhirat. Juga The Golden Role dalam ajaran agama Katholik agar
manusia menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa ahli pemikir
Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah
mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai
agama yang universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia
dengan lingkungan sosialnya (interpersonal). Tidak ada agama yang tidak
mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara tegas, Silberman (2005) menyatakan
bahwa ciri manusia yang religius adalah :
a. Mampu memahami Tuhan dan
melaksanakan semua ajaranNya. Pada elemen ini, manusia yang beragama dituntut
untuk memahami kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Memahami pemaknaan diri. Pada elemen
ini, manusia yang mengaku beragama harus memiliki pemahaman terhadap hakikat
diri, tujuan hidup, potensi diri dan pengaruh ajaran agama terhadap proses
pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai seorang Muslim maka ia tahu bahwa
tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi
persaudaraan sebagai sesama muslim dan ajaran Islam dijadikannya sebagai
identitas dirinya.
c. Meyakini dan memelihara hubungan
dengan mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam semesta. Sebagai manusia yang
beragama maka kita dituntut untuk membina hubungan dengan orang lain, mahluk
ghaib dan alam semesta.
d. Keyakinan terhadap hari depan, yaitu
keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia religius terhadap kehidupan masa
depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia, seperti kematian, alam kubur, hari
berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh karena itu, manusia yang
religius menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai investasi dalam kehidupan di
masa mendatang, termasuk kehidupan akhirat kelak.
Berdasarkan ciri manusia yang
religius atau mempunyai nilai-nilai agama tersebut maka sebenarnya sama dengan
tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan
intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada
kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik berdasarkan
pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut sebagai pembelajaran
berbasis masalah (problem based learning).
b.
Menyiapkan
guru, kakak kelas, sivitas akademika, alumni sebagai role model,
Definisi
pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya tindakan
terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka dibutuhkan figur
teladan dalam menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini sesuai
dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing
ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan
sikap dan tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan sosokdigugulan
ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya memberikan
pengajaran moral tanpa mendidik (memberi keteladanan moral) maka akan terjadi
kebingungan pada diri peserta didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang
bermoral. Ketika guru melakukan tindakan amoral, seperti pelecahan seksual,
kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka fenomena ini disebut sebagai moral
hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun melakukan tindakan
tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan alumni pun sebagai figur
teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni berkomitmen untuk
membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka aktivitas yang tidak
bermoral, seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi.
c. Menyediakan perangkat nilai dan
aturan yang jelas, rasional dan konsisten.
Sekolah
yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta didik
dalam memahaminya. Aturan yang jelas juga dimaksudkan agar peserta didik tidak
mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan celah tersebut untuk
pelanggaran. Selain itu, yang dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang
rasional ialah segala aturan tersebut bukan saja bertujuan untuk mengarahkan
atau melarang suatu tindakan tetapi lebih kepada penguatan alasan mengapa
aturan atau nilai tersebut ditegakkan. Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi
kepada peserta didik dan sivitas akademika agar memahami latar belakang
ditegakkannya nilai atau aturan tersebut. Rasionalitas atau alasan tentang penegakan
nilai moral tersebut perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan,
seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam
setiap tindakan. Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka
peserta didik akan menjalankan aturan dan nilai tersebut karena terdorong untuk
kebaikan mereka sendiri. Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/
mempunyai alasan yang tepat akan menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi
dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua
pihak diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama
(keadilan distributif).
d. Membangun sinergitas antara pihak
sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Sebagaimana
kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika tidak ada sinergi
antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan berkarakter
moral di lingkungan belajar namun hal ini tidak akan efektif jika tidak
didukung keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita
kembali merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut
sesungguhnya merupakan suatu PROSES. Maknanya, pendidikan berkarakter moral
merupakan transfer secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah
tentang ujian nasional (UNAS) mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih
menekankan kepada hasil suatu sistem dan bukan kepada proses. Padahal
sebenarnya pendidikan lebih menekankan kepada proses suatu sistem. Oleh karena
itu, disarankan agar pemerintah tidak membuat suatu kebijakan yang bertentangan
dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.
e.
Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan
intra, ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden curriculum.
Dalam kegiatan intra-kurikuler dan
ko-kurikuler, setiap mata pelajaran perlu memberikan pesan moral khusus
berkaitan dengan topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi tentang
reproduksi manusia perlu diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks
pra-nikah jika organ reproduksi belum siap digunakan. Jadi, tidak sekedar
pengetahuan seks tetapi juga menyisipkan pesan moral yang rasional.
Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak aktivitas yang
membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah Raga
dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin
Kejujuran” perlu diwujudkan.
f.
Menyajikan story
telling melalui multi media dengan melibatkan peran sebagai role
model karakter moral.
Menurut
Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang
tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh dalam suatu
cerita sebagai role model. Dengan demikian, story telling memiliki
kemampuan untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih
mudah menerima informasi melalui audio-visual. Oleh karena itu, disarankan story
telling disajikan dalam multi media sehingga menarik keterlibatan
afeksi dan kognisi peserta didik dalam menginternalisasi nilai moral yang
disampaikan. Sebagai contoh, story telling dengan tema budaya
lokal, seperti Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi
sehingga pesan
REFERENSI :
1.
Lickona,
T.(2002) Character Matters. Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi
Aksara. Lickona, T.(2002) Educating for Character.
2.
Terjemahan
oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara.
3.
Abidin,
Y. (2012). Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika
4.
Aditama
Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter: Solusi yang tepat untuk membangun
bangsa. Jakarata.
5.
BP
Migas dan Star Energy. Kemendiknas (2010a), Pengembangan Pendidikan Karakter
dan Budaya Bangsa, Jakarta:
6.
Kemendiknas
. Kemendiknas (2011), Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta
7.
Alexandria:
ASCD Samani, M. & Hariyanto, (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: Remaja Rosda Karya
Sumber Lain :
http://dedi26.blogspot.co.id/2013/06/pendidikan-karakter-bangsa.html
http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2014/04/konsep-dasar-pendidikan-karakter.html
http://wardconanstory.blogspot.co.id/2016/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_24.html
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2015/01/17/pengembangan-ruang-kelas-berkarakter/
http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/02/strategi-menciptakan-sekolah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar