Globucksisasi
dan Diplomasi Kebudayaan
Dengan mendirikan miniature
Amerika di cabang-cabangnya, Starbucks memungkinkan terjadinya proses-proses
globalisasi di ranah lokal berbagai penjuru dunia. Starbucks mempertemukan
orang-orang lokal dengan sebuah pengalaman asing (Globucksisasi: 40)
Saya
lupa kapan pertama kali makan ayam goreng di Kentucky Fried Chicken. Yang saya
ingat, bahkan hingga kini, saya selalu merasa minder,cemas,gugup, lagi kikuk
ketika ikut antri lalu makan disitu. Sama halnya ketika menghampiri gerai
Mcdonald di Pusat Grosir Cililitan (PGC) di sekitar tahun 2010 mungkin.
Oleh
permintaan seorang teman, saya hendak membeli burger untuk disantap di rumah.
Bahkan hingga kini selalu saja terselip rasa minder, cemas, gugup, dan kikuk
ketika diajak ke KFC, McDonald, dan Pizza Hut. Saya sepertinya mengidap sejenis
inferior complex dalam istilah psikologi. Perasaan seperti ini juga dialami
oleh Rahayu Kusasi, sarjana antropologi Universitas Indonesia yang menulis buku
Globucksisasi : Meracik Globalisasi Melalui Secangkir Kopi (Kepik Ungu, 2010).
Globucksisasi
adalah buku kecil yang menggunakan pendekatan otoetnografi (autho-etnography)
dalam memahami globalisasi kedai kopi starbucks. Sederhananya yang dimaksud
otoetnografi adalah satu pendekatan penelitian yang menjadikan pengalaman
subyektif-kultural peneliti sebagai bahan baku utama seturut tema/focus
penelitian yang dipilih. Peneliti adalah instrument kunci dan pengalamannya
yang menghubungkan dirinya ke dalam sistem-sistem besar seperti globalisasi
sebagai lingkup datanya. Rahayu menggunakan metode ini untuk masuk ke dalam
perjumpaangan sehari-harinya dengan kedai kopi Starbucks.
Metode
ini menuntun Rahayu untuk masuk ke dalam dunia Starbuck, menjadi unit yang
bekerja di dalamnya. Ia melamar dan bekerja sebagai barista (penyaji kopi yang
dilatih secara professional). Jadi Rahayu tidak menjumpai dunia starbucks
sebagai pelanggan yang sesekali mampir. Ia hadir di dalamnya sebagai pekerja
harian. Oleh karena itu ia memahami Starbucks sebagai pengalaman sehari-hari.
Dalam
buku itu, Rahayu menggambarkan salah satu ciri pokok Starbucks adalah sikap
kukuhnya untuk menjaga kemurnian dirinya. Mulai dari cita rasa, penyajian,
system self-service, hingga ‘tata bahasa’ dan setting ruangan. Ia menjaga
standar yang tunggal. Kemurnian itu bahkan dijaga hingga ke alat dan bahan baku
penunjang pekerjaan. Misalnya untuk sabun pel dan spidol saja harus diimpor.
Selain
itu, sepertinya Starbucks memang hadir untuk merawat jarak kelas (ekonomi) di
masyarakat konsumennya. Sebagaimana dikatakan Kusasi (hal 125) : Promosi
Starbucks sangatlah ekslusif sehingga orang yang mengenal Starbucks hanyalah
orang yang cukup ‘global’ saja. Bagi orang yang mengenal Starbucks dari
kilasan-kilasan media saja belum tentu berani untuk memasuki toko Starbucks
dengan percaya diri. Suasana toko bisa dibilang cukup mengintimidasi, sebab
Starbucks memiliki system penjualan yang berbeda dan menu yang sulit.
Banner-banner promosi yang ada di toko terasa sekali segmennya untuk
orang-orang yang sangat berkelas tinggi dan juga ‘sangat Amerika’. Penggunaan
kata-kata bahasa Inggris dalam iklan, pamflet, dan banner Starbukcs, bukanlah
bahasa Inggris yang sederhana, bahkan terkadang sifatnya ‘slang’ yang sangat
Amerika. Tak heran, katanya, jika kita ngopi di Starbuck Jakarta akan sama
terasa seperti sedang ngopi di Starbucks Seattle, Amerika Serikat, tanah
lahirnya. Dengan kata lain, Starbucks datang menawarkan pengalaman ngopi
Amerika ‘yang asli’. Pengalaman ngopi yang tidak menyerap unsur-unsur budaya
lokal (kecuali tenaga kerja).
Selain
itu, Starbucks juga mengumpulkan kopi-kopi terbaik di dunia. Ada kopi yang
berasal Amerika Latin, dari jenis Afrika dan juga dari jenis Asia-Pasifik.
Kopi-kopi ini menjadi bahan dari kopi yang akan disajikan di gerai Starbucks di
seluruh dunia. Dengan kata lain, Starbucks telah menjadi agen pengangkut yang
menyebarkan kopi-kopi terbaik (dalam versi mereka tentunya) ke seluruh dunia
sekaligus mengorganisir cita rasa manusia. Salah satu pembahasan yang kiranya
penting, paling kurang menurut saya, adalah pada bagian yang diberi judul
‘Menjadi Turis di Starbucks nan Eksotis’ (halaman 127).
Di
tema ini, Rahayu Kusasi menunjukan ada proses yang berjalan terbalik dalam
urusan konsumsi ruang eksotis. Jika zaman dulu konsumsi ruang eksotis ini
terjadi dari Barat ke Timur sebagaimana terlihat dari kisah-kisah perjalanan
juga dan kolonialisme dimana Timur difahami sebagai rumah bagi rupa-rupa
eksotisme, kini, para subject Orient (manusia dari Timur) yang berbalik untuk
melakukan hal sejenis. Tentu konsumsi ruang eksotis itu berlangsung tanpa
upaya-upaya ‘kolonisasi dengan bendera dan meriam’. Proses seperti ini, yang
secara mencolok bisa dilihat dari perkembangan industry turisme, juga bisa
dinilai sebagai proses ‘orientalisme terbalik’.
Secara
sederhana kita bisa maknai Orientalisme Terbalik atau bisa kita bilang
Orientalisme Tahap Dua itu adalah proses dimana subject Orient menjalani pengalamannya
berjumpa Barat yang dahulu menjumpainya. Bedanya, jika Orientalisme Tahap
Pertama dilahirkan dari kolaborasi banyak unsure seperti system pengetahuan,
militer, penjajahan, kekerasan, dan pembantaian, Orientalisme Tahap Dua atau
yang terbalik ini lebih dominan terjadi karena pemuasan hasrat konsumsi yang
eksotis semata. Belajar Pada Starbucks: Kuliner dan Diplomasi Kebudayaan Sisi
lain yang bisa kita gali dari buku kecil nan menarik itu adalah hubungan antara
Identitas dan karya Kuliner serta teknik penyajian yang membuatnya
terglobalisasi.
Starbucks,
termasuk juga McDonald dan Pizza Hut, telah menunjukan bagaimana pengalaman
mencecap kuliner tidak semata-mata soal rasa yang terkandung dalam masakan atau
bagaimana ia disajikan di meja makan. Tetapi juga bagaimana kuliner menjadi
sarana pengangkut nilai-nilai dari satu kebudayaan dimana kuliner itu ditemukan
dan dikembangkan terus menerus. Dengan keberhasilan menghadirkan kebudayaan
masyarakat melalui sajian kuliner, sebuah bangsa sejatinya sedang melakukan
‘diplomasi kultural’ terhadap dunia. Diplomasi kultural yang bukan saja
menyampaikan pada dunia bahwa ada kuliner-kuliner hebat di dunia non Barat
(Negara Maju), namun juga menggambarkan pencapaian karya kebudayaan yang hebat
dari konteks hidup yang begitu majemuk.
Dengan
diplomasi kultural melalui kuliner Nusantara misalnya, Indonesia bisa memainkan
peran sebagai bangsa yang juga mendorong satu tata kelola dunia yang tidak
boleh dimonopoli oleh satu atau beberapa Negara demi pemuasan syahwat ekonomi
misalnya. Termasuk juga diplomasi kebudayaan melalui kuliner dapat memainkan
fungsi sebagai ‘perlawanan cita rasa’ terhadap system dunia yang hendak merawat
kemenangan selera dan gaya hidup produk Global Monoculture nan Amerika. Hari
ini masyarakat dunia sudah tahu jika kebudayaan Indonesia telah melahirkan
beberapa kuliner yang sangat Timur seperti sate, nasi goreng atau rendang. Akan
tetapi sudahkah sate, nasi goreng dan rendang itu juga menawarkan pengalaman
yang lebih kaya tentang ‘berjumpa Indonesia’ dan tidak sekedar rasa Indonesia
saja ?. Tantangan inilah yang barangkali menjadi pekerjaan berat para penggiat
industri kuliner Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar