Kultur Sekolah
Kultur
sekolah yang
baik diharapkan akan berhasil meningkatkan mutu pendidikan yang
tidak hanya memiliki nilai akademik namun sekaligus bernilai afektif. Anwar Hasnun
(2010) mengemukakan bahwa kegagalan kepala sekolah dalam
mengelola sekolah dikarenakan kegagalan memanej kultur
sekolah dengan baik.
Ketika seseorang menyebut nama sebuah sekolah, kesan
pertama apa yang akan muncul dalam pikirannya ? Kesan ceria, kreatif, disiplin,
bersih, bersemangat, dan penuh prestasi membanggakan atau kesan kusam,
semrawut, kotor, jorok, loyo dan karenanya tidak ada satupun prestasi yang
dibanggakan ? Kesan itulah yang terbangun dari proses pembentukan kultur
sekolah.
Kultur sekolah menjadi
salah satu daya tarik konsumen untuk menggunakan jasa pendidikan yang
ditawarkan sekolah. Semakin positif kultur sebuah sebuah, maka konsumen
pendidikan akan semakin tertarik kepada sekolah tersebut. Dan yang terpenting,
kultur sekolah merupakan landasan dari tercapainya semua bentuk prestasi warga
sekolah.
Kultur sekolah adalah
serangkaian keyakinan, harapan, nilai-nilai, norma, tata aturan, dan rutinitas
kerja yang diinternalisasi warga sekolah sehingga mempengaruhi hubungan sejawat
dan kinerja warga sekolah dalam upaya mencapai tujuan sekolah. Kultur inilah
yang menjadi pembeda antara sekolah satu dengan lainnya.
Menurut gareth R. Jones
dan Jennifer M. George (2009), sebagai sebuah organisasi, sekolah ada yang
memiliki kultur kuat (strong) dan ada pula yang lemah (weak).
Ketika warga sekolah, dari kepala sekolah hingga bagian kebersihan, memiliki
komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai yang disepakati bersama maka sekolah
tersebut memiliki kultur yang kuat (strong). Nilai kedisiplinan,
misalnya, yang disepakati dan diterapkan bersama secara bertanggung jawab dan
penuh komitmen maka sekolah tersebut memiliki kultur yang kuat.
Sebaliknya, jika seluruh
warga sekolah atau sebagian warga sekolah tidak memiliki komitmen terhadap
implementasi nilai-nilai yang disepakati maka sekolah tersebut memiliki kultur
organisasi yang lemah. Sekolah tampak sewrawut karena warganya kurang disiplin
atau "sak geleme udele dewe" (bahasa Jawa). Dan prestasi
apapun akan sulit tumbuh di lingkungan sekolah yang tidak memiliki kemapanan
kultur positif.
Siapa yang
bertangggungjawab membangun kultur sekolah? Semua warga sekolah memiliki
kontribusi dalam mambangun dan "nguri-uri" kultur
sekolah, namun kepala sekolah sebagai manager puncak , dengan kewenangan dan
kekuasaannya yang lebih, memikul tanggungjawab terbesar dalam mendorong
terbentuknya kultur sekolah yang positif.
Sekolah yang memiliki
kultur disiplin, bersih, tertib, dan teratur pastilah dipandu oleh seorang
manager yang memiliki keberanian dan kedisiplinan tinggi serta sangat perhatian
terhadap detail-detail kebersihan dan ketertiban lingkungan sekolah.
Sebaliknya, sekolah yang semrawut, dimana warganya, guru dan siswanya, tidak
memiliki komitmen terhadap kedisiplinan dan ketertiban sekolah, dapat
dipastikan kepala sekolahnya adalah sosok yang tidak bermutu, bahasa Jawa-nya
"ingah-ingih" , "plendas-plendus", dan tidak
berwibawa karena dirinya sendiri tidak memiliki komitmen terhadap kultur
positif sekolah atau tidak mampu berdiri kokoh sebagai teladan.
Bagaimana kultur sekolah
yang positif terbentuk? Kultur sekolah harus dibangun di atas landasan ilmu dan
pemahaman yang memadai. Mengapa sekolah ini harus menerapkan kedisiplinan dalam
berbagai hal, misalnya, harus dipahami oleh semua warga sekolah. Oleh karena
itu tahapan sosialisasi menjadi langkah awal penanaman kultur, khususnya kepada
warga baru, guru atau siswa baru. Melalui tahapan sosialisasi, warga sekolah
mengawali proses internalisasi nilai-nilai dan norma yang dianut sekolah.
Tahapan berikutnya
adalah pemantapan melalui serangkaian kegiatan pembiasaan dengan keteladanan
piramid. Kepala sekolah menjadi tokoh utama keteladanan diikuti guru dan
karyawan sedangkan peserta didik menjadi followers yang
menyerap nilai-nilai positif dari perilaku para pemimpinnya.
Endingnya, kultur sekolah yang kuat membentuk wajah unik
sekolah. Ketika masyarakat menyebut Sekolah A, maka sudah terbayang gambaran
isi positif dari sekolah A tersebut. Sebaliknya, sekolah yang kulturnya lemah,
maka wajah "semrawut"lah yang terbayang di benak masyarakat.
Pengertian
Kultur Sekolah
Pengertian kultur sekolah menurut beberapa
ahli :
- Deal dan Kennedy (1999) mendefinisikan Kultur sekolah sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat.
- Hoy, Tarter, dan Kotkamp (Roach dan Thomas, 2004) budaya sekolah didefinisikan sebagai sebagai sebuah sistem orientasi bersama (norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi dasar) yang di pegang oleh anggota sekolah, yang akan menjaga kebersamaan unit dan memberikan identitas yang berbeda.
- Stchein (1992) kultur sekolah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan alhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan dan merasakan masalah-masalah tersebut.
- Stolp dan Smith (1995) budaya sekolah adalah pola makna yang terdiri dari norma-norma,nilai-nilai, kepercayaan, tradisi dan mitos yang dipahami oleh anggota-anggota dalam komunitas sekolah.
- Paterson (2002) budaya sekolah adalah kumpulan dari norma-norma, nilai-nilai dan kepercayaan, ritual-ritual dan seremonial, symbol-simbol dan cerita-cerita yang menghiasi kepribadian.
Dari definisi tersebut dikatakan bahwa budaya
sekolah memiliki unsur-unsur yang terdiri dari asumsi-asumsi dasar,
nilai-nilai, sikap dan norma yang dipegang oleh anggota-anggota sekolah dan
kemudian mengarah pada bagaimana mereka berperilaku serta akan menjadi
karakteristik sekolah mereka.
Pentingnya
Membangun Kultur Sekolah
Dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan
Salah satu persoalan penting dan genting dunia
pendidikan kita adalah bagaimana meningkatkan
mutu pendidikan di sekolah. Masyarakat kini semakin sadar bahwa pendidikan
adalah salah satu jembatan untuk meraih kehidupan masa depan yang lebih baik (better
education better life), pendidikan yang bermutu menjadi kebutuhan, tuntutan
dan harapan seluruh lapisan masyarakat.
Berbagai usaha meningkatkan mutu pendidikan
telah dilakukan oleh pemerintah, seperti pendidikan dan pelatihan guru,
pengadaan sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru
melalui lesson study dan sertifikasi guru, studi banding di
dalam maupun ke luar negeri, peningkatan kesejahteraan guru melalui tunjangan
sertifikasi dan sebagainya, tetapi fakta menunjukkan bahwa disebagian besar
sekolah semua usaha tersebut tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan mutu.
Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya, “Sebenarnya dimana letak
masalahannya?”
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga
aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni: proses
belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah.
(Zamroni, 2013). Peningkatan mutu sekolah sebagian besar hanya menekankan pada
aspek pertama, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar dan
sarana/prasarana, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah,
dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah. Sudah barang tentu
pilihan tersebut tidak terlalu salah. Namun, sejauh ini bukti-bukti telah
menunjukkan, bahwa sasaran peningkatan mutu pada aspek PBM dan sarana/prasarana
saja tidak cukup, faktor penentu mutu pendidikan ternyata tidak hanya dalam
wujud fisik saja, tetapi perlu dibarengi dengan pendekatan non fisik yakni
dengan membangun dan mengembangkan kultur sekolah.
(Djemari, 2004) mengemukakan bahwa
Stolp&Smith (1994) mendeskripsikan kultur sekolah sebagai pola makna yang
dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai, keyakinan, seremonial,
ritual, tradisi, dan mitios dalam derajat yang bervariasi yang ditunjukkan oleh
warga sekolah. Senada dengan pernyataan tersebut, Zamroni(2009) mengemukakan
bahwa kultur sekolah adalah norma-norma, nilai-nilai, keyakinan, sikap,
harapan-harapan, dan tradisi yang ada di sekolah dan diwariskan antar generasi,
dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa
dan mempengaruhi pola pikir (mindset), sikap, dan tindakan seluruh warga
sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang
muncul di sekolah.
Konsep kultur di dunia pendidikan merupakan
situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk berlangsungnya suatu
proses pembelajaran yangefektif dan efisien. Djemari(2004) menyatakan bahwa
kultur sekolah yang positif dapat memperbaiki kinerja sekolah, membangun
komitmen warga sekolah serta membuat suasana kekeluargaan, kolaborasi,
ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan bekerja keras, dan tidak mudah
mengeluh. School culture sangat vital perannya bagi sebuah
proses pendidikan, banyak anak yang memiliki bakat hebat, tapi karena kondisi
sekolahnya tidak mendukung, anak dimaksud tidak tumbuh optimal, bakatnya
terpendam, bahkan mati. Sebaliknya,anak yang kepintaran dan bakatnya
sedang-sedang saja, tapi karena lingkungan sekolahnya bagus, anak tersebut
tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses (Hidayat, 2010). Hal ini senada
dengan yang dikemukakan Zamroni (2010) bahwa: “Pembelajaran yang baik hanya
dapat berlangsung pada sekolah yang memiliki kultur positif. Kultur sekolah
yang sehat akan berdampak kesuksesan siswa dan guru dibandingkan dengan dampak
bentuk reformasi pendidikan lainnya. Kultur sekolah yang sehat dan positif
berkaitan erat dengan motivasi dan prestasi siswa serta produktivitas dan
kepuasan guru”.
1. Contoh Kultur Positif di sekolah:
- Warga sekolah memiliki keyakinan hanya mereka yang belajar keras dan sungguh-sungguh yang akan memperoleh prestasi tinggi
- Memegang teguh bahwa prestasi dan proses mencapainya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan
- Menjunjung tinggi nilai-nilai religius, norma sosial, etika dan moral
- Membangun jembatan antara visi, misi, dan aksi
- Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki kinerja dan etos kerja yang baik dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di sekolah
- Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki spirit corp dan team work yang tinggi
- Komitmen seluruh warga sekolah (Kepala Sekolah, Pendidik dan Tenaga kependidikan) untuk selalu belajar (belajar sepanjang hayat)
- Menghargai prestasi siswa
- Memiliki simbol-simbol yang menekankan penghargaan dan sangsi, sehingga mendorong pencapaian prestasi dan menghambat pelanggaran dan tidak memiliki prestasi
- Lingkungan sekolah yang bersih, rapi, sejuk, dan aman
2. Contoh Kultur Negatif di sekolah:
- Siswa memiliki keyakinan belajar asal-asalan apa adanya pasti naik kelas dan lulus.
- Siswa ingin meraih prestasi yang setinggi-tingginya dengan segala cara untuk mencapainya, sekalipun melanggar norma dan nilai (misalnya : Nyontek, bekerja sama dalam ulangan, plagiat dalam membuat tugas, dsb.).
- Siswa tidak antusias menerima tugas karena hanya akan membikin mereka harus belajar lebih banyak.
- Siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek dan hanya beberapa siswa yang selalu mengerjakan PR karena mereka yakin dengan belajar sebagaimana sekarang ini saja mereka akan naik kelas dan lulus mendapatkan ijazah. Ijazah dianggap sebagai sesuatu yang penting, tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai.
- Siswa malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik, tidak antusias dalam mengajar, dan tidak menguasai materi.
- Hasil karya siswa dan prestasi sekolah tidak dipajang sebagaimana mestinnya yaitu sebagai suatu kebanggaan yang dapat memberikan motivasi untuk yang lainnya.
- Guru sering melecehkan siswa dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak yang dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Oleh karena itu, sebagai balasannyasiswa tidak menghargai guru.
- Sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan menyalahkan siswa atas prestasinya.
- Kebijakan kepala sekolah bersifat pilih kasih.
- Menghindari kolaborasi dan selalu ada pertentangan.
- Mereka yang innovatif malah di kritik dan tidak disenangi.
- Diktator, komentator, Agitator, Spektator.
- Diantara warga sekolah tidak ada saling percaya dan selalu mencari kesalahan orang lain.
- Banyak siswa dan guru yang terlambat datang ke sekolah.
- Lingkungan sekolah yang kotor, membuang sampah tidak pada tempatnya.
Arah
Pengembangan Sekolah
Membangun dan melakukan perubahan kultur
sekolah tidak bisa melalui ceramah, slogan, atau himbauan saja (Zamroni, 2010).
Perlu adanya kesungguhan dan komitmen yang kuat yang dilaksanakan secara
konsisten dengan program-program aksi yang konkrit dengan strategi
pengkondisian, pembiasaan, dan keteladanan, baik melalui pendekatan struktural
maupun kultural. Pendekatan struktural denganmembuat kesepakatan berupa
regulasi (peraturan, tata tertib, dsb.) yang mengikatsiswa, guru, dan seluruh
warga sekolah lainnya, adanya program-program pembiasaan (habituasi)yang lambat
laun akan menjadi budaya/karakter, sedangkan pendekatan kultural melalui
interaksi dengan menanamkan nilai-nilai, sikap dan prilaku yang diintegrasikan
pada setiap mata pelajaran dan/ataumelalui kegiatan ekstra kurikuler,dan yang
terpenting dengan cara pembudayaan dengan keteladanan yang ditunjukkan oleh
kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya di sekolah.“Setiap sekolah
mempunyai kultur, tapi sekolah yang sukses hanyalah sekolah yang memiliki
kultur positif yang sejalan dengan visi dan misi pendidikan yang menjadi
harapan dan cita-cita dari seluruh warga sekolah” (Zamroni, 2010)
1. Arah Pengembangan Kultur Sekolah:
- Standar moral yang tinggi
- Tanggung jawab (kerja keras dan disiplin)
- Jujur
- Kebersamaan dan persaudaraan
- Sopan santun
- Bersih dan rapi
- Cinta tanah air
- Leadership & Enterpreneurship
- Positive Thinking
- Optimis, keyakinan akan berhasil
- I Can Do It type
- Sense of quality (memiliki budaya dan peka terhadap mutu)
- Sense of Improvement
- Selalu mau mencoba, tidak pernah menyerah
- Berpegang pada tujuan
- Pendidikan Karakter
2. Produk kultur sekolah yang positif (Djemari,
2009):
- Peningkatan kinerja individu dan kelompok yang berdampak pada kesuksesan siswa dan guru
- Peningkatan kinerja sekolah
- Peningkatan kualitas yang berkelanjutan
- Terjalin hubungan yang sinergi diantara warga sekolah
- Tugas dilaksanakan dengan perasaan senang
- Timbul iklim akademik
- Kompetisi
- kolaborasi
- Interaksi menyenangkan
Peran
Kepala Sekolah Dalam Membangun Kultur Sekolah
Kepala sekolah harus memahami kultur sekolah
yang ada sekarang ini, dan menyadari bahwa hal itu tidak lepas dari struktur
dan pola kepemimpinannya. Perubahan kearah kultur yang positif harus
dimulai dari kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah harus
mengembangkan kepemimpinan berdasarkan dialog, saling perhatian dan
pengertian satu dengan yang lain. Biarlah guru, staf administrasi bahkan siswa
menyampaikan pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa ini, mana segi
positif dan mana negatif, khususnya berkaitan dengan kepemimpinan kepala
sekolah, struktur organisasi, nilai-nilai dan norma-norma, kepuasan terhadap
kelas, kepuasan terhadap pelayanan dan produktivitas sekolah, Pandangan ini
sangat penting artinya bagi upaya untuk merubah kultur sekolah.
Kultur sekolah berkaitan erat dengan visi yang
dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan sekolahnya. Kepala sekolah yang
memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih
sukses dalam membangun kultur sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu
kolaborasi antara kepala sekolah, guru,staf administrasi danorang tua siswa.
Kultur sekolah akan baik apabila: a) kepala sekolah dapat berperan sebagai model,
b) mampu membangun kerjasama tim, c) belajar dari guru, staf, dan siswa, dan,
d) harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan. Kepala sekolah
dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik tersebut.
Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami
dan memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami
permasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala
sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat diperlukan dalam
menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi berlangsungnya proses
pendidikan yang bermutu.
REFERENSI :
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
- Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidiakn Lanjutan Pertama. 2002. Pendekatan Konsektual ( Contextual Teaching and Learning (CTL))
- Dimyati, Mudjiono.2006. Belajar dan Pembelajaran.Jakarta:Rineka Cipta.
- Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
- Sunardi Nur & Sri Wahyuningsih, Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT Grasindo, 2002, hal : 28
- Syamsu Yusuf & Nani Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta : Rajawali Press, cet -3, 2012.
- UU No. 20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional
- Wahyudin, Dinn. 2002. Pengantar Pendidikan. Jakarta:Universitas Terbuka
- Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, Jakarta : Kencana, cet-8, 2011, hal : 21
- Terry G.R. (1986). Principle of Management. Illinois Richard : D. Irwin, Inc. Homewood.
- The Liang Gie. (1978). Pengertian, Kedudukan, dan Perincian Ilmu Administrasi. Yogyakarta: Karya Kencana.
- Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
- Nurkolis. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Grasindo.
- Djemari, 2004; Pengembangan Kultur Sekolah, Materi Workshop, Yogyakarta
- Hidayat, Komarudin, 2010; Membangun Kultur Sekolah, http://www.uinjkt.ac.id
- Zamroni, 2010, Membangun Kultur Sekolah, Materi Workshop, Jakarta
- Zamroni, 2009; Panduan Teknis Pengembangan Kultur Sekolah, Depdiknas, Jakarta
- Zamroni, 2013; Paradigma Pendidikan masa depan,http://www.pakguruonline.pendidikan.net