Perang Transportasi Konvensional vs Online
Sebagian besar
masyarakat sangat kecewa dengan adanya demo, kekecewaan itu bukan hanya
dirasakan oleh masyarakat yang sudah terlanjur menikmati keuntungan dan manfaat
dari keberadaan transportasi online, tapi juga masyarakat umum yang menggunakan
transportasi darat lain. Aksi mogok yang berakhir rusuh ini mengakibatkan angkutan
umum lain tak bisa beroperasi dan sejumlah jalan utama mengalami kemacetan.
Kontroversi
keberadaan transportasi online sebenarnya mudah untuk dijelaskan secara logis
dengan menggunakan pertanyaan dan pernyataan sederhana. Siapa yang diuntungkan atas keberadaan transportasi online ?
Jawabnya adalah masyarakat, baik sebagai pengguna jasa maupun sebagai penyedia
(mitra) jasa transportasi online. Masyarakat pengguna jasa diuntungkan karena
tak perlu antri berdesakan di halte atau menunggu di pinggir jalan, naik mobil
angkot lusuh, kumuh, supirnya tidak berseragam, sopir tidak punya tanda
pengenal bahkan SIM, supir tidak ramah dan disiplin berlalu lintas. Dengan
modal jempol dan smartphone, transportasi yang dipesan datang menjemput hingga
ke depan pintu dapur rumah warga. Selain itu, masyarakat juga bisa turut serta
menjadi mitra (penyedia) jasa transportasi online.
Spketrum
konflik antara taksi konvensional dan taksi online sejatinya adalah konflik
antar kelas. Konflik tersebut bisa kita bagi menjadi 3 spektrum, yakni :
1. Konflik Pertama adalah
konflik antara pemilik modal dengan pekerja (pengemudi). Contoh: pengemudi Bluebird, Express dkk pasti benci dengan Bos Gojek, Bos
Grab dan Bos Uber. Sebaliknya, para pengemudi Gojek, Grab, Uber dkk juga tak
suka dengan arogansi koorporasi seperti Blue Bird, Express dkk. Para pengemudi
transportasi konvensional menganggap bahwa pengusaha transportasi online adalah
biang kerok dari menurunnya penghasilan mereka dengan hadirnya transportasi
online. Sebaliknya, para pengemudi transportasi online menganggap bahwa
pengusaha transportasi konvensional tak punya hak melakukan monopoli atas
peluang penyelenggaraan jasa layanan transportasi publik.
2. Konflik Kedua adalah
konflik antar sesama pemilik modal (kapitalis), yakni Bos Bluebird, Express dkk dengan Bos Gojek, Grab, Uber dkk. Bos
Bluebird, Express dkk beranggapan bahwa monopoli pasar transportasi publik yang
mereka kuasai tersaingi dan terancam bangkrut karena income-nya menurun
signifikan akibat kehadiran transportasi online yang menjanjikan kemudahan,
kenyamanan dan tentu saja ke-murah-an tarifnya.
3. Konflik Ketiga adalah
konflik antar sesama pengemudi Bluebird,
Express dan rekan – rekannya dengan pengemudi Gojek, Grab, Uber dkk. Aksi demo
yang berlangsung kemarin (Selasa, 22 Maret 2016) adalah contoh konflik antar
kelas pekerja (proletar, sudra, du’afa, marhaen, murba dll). Kelas pekerja
inilah yang paling dirugikan atas konflik yang terjadi di semua spektrum. Lihat
saja di media, siapa yang menjadi pelaku dan korban kerusuhan yang terjadi
kemarin? Bos-Bos nya paling hanya minta maaf atau malah lepas tangan dengan
mengatakan bahwa kerusuhan kemarin di luar kendali dan tanggungjawab mereka.
Namun, di luar
ketiga spektrum itu, ada satu spektrum konflik lagi yang sebenarnya menjadi
akar masalah transportasi publik di Indonesia. Yakni konflik antara Negara
dalam hal ini pemerintah dengan masyarakat. Respon positif masyarakat yang
sangat besar atas kehadiran transportasi online adalah sebagai bentuk dukungan
(atau lebih tepatnya: ejekan) bagi pemerintah yang gagal menyediakan
transportasi publik yang aman dan nyaman.
Memahami Persoalan Transportasi Online vs Konvensional
Perlu dipahami bersama bahwa arus kemajuan teknologi merupakan
sebuah keniscayaan yang mau tidak mau harus kita ikuti. Jasa transportasi
online merupakan jasa transportasi yang memanfaatkan kemajuan teknologi.
Teknologi diciptakan tujuannya untuk mempermudah segala aktivitas-aktivitas
manusia yang dilakukan sehari-hari.
Begitu juga halnya dengan jasa transportasi online. Transportasi online diciptakan dengan tujuan untuk mempermudah seseorang yang ingin bepergian. Sebagai contoh: mudah memesannya, efesien dan efektif. Ini merupakan sebuah terobosan baru yang patut diberi apresiasi.
Namun memang, aturan mengenai transportasi yang ada saat ini masih menggunakan aturan lama atau aturan yang tidak melihat dari segi kemajuan teknologi. Sehingga dengan otomatis penyedia jasa transportasi online akan terkesan melanggar aturan tersebut. Di sini dibutuhkan peran pemerintah selaku regulator (pembuat aturan) agar dapat memberi jalan keluar atau solusi yang baik.
Diharapkan kepada penyedia jasa transportasi berbasis online (Uber dan Grab Car), agar mau mengikuti aturan yang mengharuskan armadanya menggunakan plat berwarna kuning. Kemudian diharapkan kepada penyedia jasa transportasi konvensional, agar mau beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Karena kalau tidak mau terbuka dengan kemajuan teknologi, maka akan ditinggal jauh oleh para kompetitornya yang berbasis online.
Sebagai sebuah Contoh Kasus Transportasi On Line UBER
Untuk kesekian kalinya uber dan layanan transportasi online
sejenisnya ditolak dan dicekal, fenomena inu tidak hanya terjadi di Indonesia,
tetapi juga di beberapa negara lain. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah
penentang utama Uber/Grab Car berasal dari perusahaan taksi. Motifnya jelas,
keuntungan berkurang karena pangsa pasar mereka digerus oleh layanan
transportasi berbasis aplikasi online. Argumen penolakannya juga sama, bahwa
Uber, Grab Car, dan layanan sejenisnya ilegal, tidak aman, tidak mematuhi
aturan, dan malah merugikan.
Fenomena “Ubernomics” Di tengah perdebatan aspek legalitas dan keamana layanan transportasi online, sejumlah pengamat mencoba memperhitungkan dampak sosial-ekonomindari Uber/Grab Car. Dalam paper, The Social Cost of Uber, Brishen Roger (2015) berpendapat bahwa layanan Uber menurunkan biaya pencarian (search cost) baik untuk penumpang dan sopir. Penumpang dengan mudah membuka aplikasi dan mencari sopir yang sesuai, dan sopir pun tidak kesulitan mencari penumpangnya. Sopir tidak perlu berputar-putar di jalan mencari penupang, dan penumpang juga tidak perlu menunggu lama taksi di jalan.
Layanan transportasi online juga dapat mengurangi
problematika informasi asimetris. Adanya sistem rating driver membuat konsumen
dapat memilih pengemudi yang sesuai, sehingga proses pengambilan keputusan
konsumen mejadi lebih optimal. Selain itu, tarif yang ditetapkan diawal
mengurangi peluang terjadinya moral hazard oleh sopir. Penumpang cepat sampai
ke tujuan karena tidak ada insentif jika sopir mengambil jalan lebih jauh,
sementara para taksi konvensional/argo bisa lebih tinggi.
Secara umum, layanan online ini berdampak pada perekonomian.
Kita tahu perekonomian dibentuk oleh tenaga kerja dan modal. Optimalisasi dari
kedua hal itu dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pertama, terkait tenaga kerja, layanan online menyebabkan
seseorang, baik yang bekerja atau pun tidak, menjadi lebih produktif. Tidak
hanya menyediakan lapangan pekerjaan, layanan transportasi online juga membuat
seseorang pekerja kantoran bisa mendapat uang tambahan di waktu luangnya. Dan
insentif ini membuat orang mau bekerja lebih.
Kedua layanan online membuat utilisasi dari modal dan aset menjadi maksimal. Terkadang seseorang memiliki aset (seperti motor dan mobil), tetapi utilisasi aset tersebut sangat terbatas. Dalam magnum opus, The Mystery Capital, Hernando de Soto menekankan, kemiskinan di sejumlah negara disebabkan oleh rendahnya utilitas aset (properti). Adanya layanan transportasi online menyebabkan seseorang dapat mengoptimalisasi penggunaan aset, sehingga aset menjadi lebih produktif. Fenomena ini sedikit juga banyak terjadi pada perusahaan rental mobil. Sejak ada layanan online, mereka bisa menyewakan aset mereka (mobil) yang menganggur kepada sopir Uber atau Grab Car.
Distorsi Pasar
Sebagaimana umumnya, creative destruction, kekuatan layanan transportasi
online ini mampu mendistorsi pasar. Distorsi
pertama berasal dari pasar barang dan jasa, yang umumnya dikeluhkan oleh
sopir dan pengusaha taksi. Kehadiran Uber jelas merupakan alternatif baru
layanan transportasi untuk masyarakat. Selain harganya jauh lebih murah,
keamanan, dan kenyamanan juga terjaga. Tarif layanan Uber di Australia
rata-rata lebih rendah 20 persen dibandingkan layanan taksi konvensional
(Delloite, 2015).
Distorsi Uber pada pasar jasa akan menciptakan suprlus. Pertanyaannya adalah surplus tersebut siapa yang akan menikmati ? Dalam hal ini, pendapat saya, konsumenlah yang paling besar menikmati surplus ini. Selain menikmati harga murah, konsumen juga yang menikmati pelyanan yang relatif baik dan waktu tunggu yang lebih pendek.
Dalam laporanya, Delloite menyimpulkan bahwa keuntungan yang
diterima konsumen di Australia setelah adanya Uber mencapai 8,1 juta dollar AS.
Keuntungan tersebut berasal dari suprlus dari adanya perbaikan kualitas layanan
dan simpanan (saving) yang dinikmati karena mengganti ke layanan transportasi
lebih murah. Satu pertanyaan yang sebenarnya perlu dijawab dalam konteks pasar
barang dan jasa adalah apakah layanan Uber/Grab Car merupakan subtitusi atau
komplementer terhadap layanan taksi umumnya ?
Kehadiran Uber bisa menjadi saingan yang menggerus pasar taksi umum. Namun, perlu diingat dalam ekonomi kita kita mengenal term supply crates its own demand. Layanan Uber bisa saja menciptakan permintaan baru, Masyarakat yang awalnya memilih naik kendaraan pribadi atau angkutan umum lain, beralih menjadi konsumen layanan Uber/Grab Car. Di Australia, 61 persen penumpang Uber adalah konsumen baru layanan point to point transportation (Delloite, 2015). Artinya 61 persen penumpang adalah orang-orang yang memilih transportasi lain, seperti mobil pribadi atau transportasi publik, apabila tidak ada layanan transportasi online. Hal ini menujukan bahwa layanan online dapat menciptakan pasarnya sendiri.
Distorsi kedua berasal dari
tenaga kerja.
Maraknya layanan transpotasi online membuka peluang kerja yang cukup besar bagi
banyak orang. Permintaan tenaga kerja meningkat, dan hal ini tentu mempengaruhi
keseimbangan pasar tenaga kerja. Terlebih, untuk memasuki pasar tenaga kerja
online ini, seseorang tidak diwajibkan kualifikasi pendidikan khusus, sehingga
tenaga kerja tidak terampil (low-skilled labor) hingga tenaga kerja terampil
(high skilled-labor) bisa memasuki pasar ini.
Secara teori, efek selanjutnya dari meningkatnya permintaan tenaga kerja, dimana penawaran tenaga kerja diasumsikan tetap, adalah berubahnya tingkat gaji. Perusahaan yang membutuhkan karyawan harus menawarkan gaji yang lebih kompetitif agar mampu menarik tenaga kerja. Jika hal ini berlangsung secara masif, bukan tak mungkin kehadiran layanan transportasi online ini dapat menggeser tingkat gaji yang ditawarkan, khususnya untuk tenaga kerja tidak terampil.
Profiling dan Predatory Pricing
Tentu selama ini anda sangat familiar dengan Google atau
lebih popuer disebut “Mbah Google”, perusahaan ini menyediakan layanan
pencarian raksasa, elektonik mail secara gratis. Namun dari hal itu,
darimanakah google mendapat dana untuk mengelola perusahaannya jika semua
fasiitas dari google dapat dinikmati tanpa bayar. Jawabannya dari layanan Iklan
atau sponsor perusahaan yang berkerjasama dengan google. Saat kita melakukan
pencarian di google, akun kita biasanya akan berada dalam keadaan aktif,
kemudian situs apapun yang kita buka melalui google, dapat dilacak dan
ditelusuri oleh pihak manajemen google. Dari akses ini, pihak manajemen google
dapat mengetahui kegemaran atau kesukaan kita dari situs-situs yang kita buka,
kemudian dari sinilah google dapat menyuguhkan iklan atau sponsor produk
tertentu pada orang yang tepat.
Sama halnya google, Uber/Grab Car juga memiiki potensi seperti
ini. Akun kita bisa “dijual” untuk sponsor atau iklan sebuah produk. Bukan
hanya itu saja Uber/Grab Car juga berpotensi untuk melakukan Predatory pricing.
Predatoy pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku
usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan
utamanya untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah
pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang
sama. Maka dengan berjatuhannya taksi konvensional, Uber/Grab Car tidak
memiliki pesaing lagi, dan dapat dengan leluasa untuk menaikan tarif layanan
tranportasinya.
Persaingan yang Adil
Persaingan yang Adil
Pasar bergejolak, tentu pemerintah harus bersikap. Tugas
pemerintah adalah menciptakan lingkungan persaingan, pasar yang kondusif, serta
memberikan kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat. Selain aspek legalitas
dan layanan, pemerintah harus mulai merancang kebijakan ekonomi guna mengatasi
sejumlah permasalah yang mungkin timbul di kemudian hari.
Pertama, pemerintah harus menciptakan lingkungan persaingan
yang adil. Poin utama yang menjadi sasaran protes adalah perushaan transportasi
online tidak terbebani sejumlah kewajiban dan aturan. Kewajiban-kewajiban
tersebut adalah memakai pelat kuning, membangun pul taksi, meminta perizinan
dari dinas perhubungan, memiliki badan hukum atau usaha, memiliki jumlah
minimum kendaraan, penentuan tarif batas atas dan bawah. Sejumlah kewajiban
tersebut menjadi beban perusahaan taksi.
Karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang mana saja dari
kewajiban tersebut di atas perlu dipertahankan, dan mana yang harus dibebankan
kepada jasa transportasi online. Apakah pelat kuning kendaraan umum masih
diperlukan? Apakah penentuan tarif atas dan bawah masih relevan? Atau bukankah
lebih ideal jika pemeintah melepas saja mekanisme tarif ke pasar.
Kedua, pemerintah harus memkirkan bagaimana sistem jaminan sosial untuk para sopir layanan online. Satu hal yang pasti, hingga saat ini status karyawan dari para sopir tersebut masih menjadi perdebatan. Dalam hal ini, pemerintah harus berperan aktif. Bagaimana pun juga para sopir tersebut bekerja dan berpenghasilan dari layanan online, dan mungkin beberapa dari mereka membayar pajak. Maka pemerintah harus memikirkan perlindungan untuk mereka.
Kedua, pemerintah harus memkirkan bagaimana sistem jaminan sosial untuk para sopir layanan online. Satu hal yang pasti, hingga saat ini status karyawan dari para sopir tersebut masih menjadi perdebatan. Dalam hal ini, pemerintah harus berperan aktif. Bagaimana pun juga para sopir tersebut bekerja dan berpenghasilan dari layanan online, dan mungkin beberapa dari mereka membayar pajak. Maka pemerintah harus memikirkan perlindungan untuk mereka.
Sebagaimana umumnya kelas pekerja, para sopir juga
dikelilingi banyak resiko seperti dipecat, kecelakaan dengan resiko kecacatan
tetap, kehilangan pendapatan ketika pensiun, dan berbagai resiko lain. Untuk
itu pemerintah harus dapat menjadikan perusahaan penyedia jasa, agar sopirnya
terdaftar pada BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, asuransi bagi pengemudi dan penumpang. Di sejumlah
negara, layanan Uber sudah dipaksa mengasuransikan pengemudi dan penumpang
selama perjalanan. Baik pengemudi maupun penumpang memiliki resiko yang sama
selama perjalanan. Khusus untuk pengemudi, karena aset (mobil) biasanya mereka
miliki sendiri, pengemudi menanggung resko yang jauh lebih besar dibandingkan
sopir taksi pada umumnya. Karena itu, asuransi perjalanan dibutuhkan, dan ini
sebenarnya dapat ditanggung oleh perusahaan penyedia jasa online.
Keempat, membuat aturan baru terutama pajak yang harus
dibayarkan dari layanan taksi online ini. Dalam era maju ini, dalam banyak hal
peraturan perundangan kita selalu tertinggal dengan kemajuan teknologi,
sehingga segala bentuk perbaharuan akan dianggap ilegal. Sistem peraturan
menteri yang terkesan berdiri sendiri-sendiri pun harus dipadukan untuk
menciptakan birokrasi yang lebih baik.
Problem Sosial Transportasi On Line Model Ojek
Moda transportasi ojek berbasis
aplikasi atau online tengah menjadi fenomena di Jakarta. Di setiap sudut
Ibukota, kita dengan mudahnya dapat melihat para pengemudi ojek online yang
mengenakan seragam jaket dan helm dengan warna mencolok lalu lalang di jalan
raya mengantar pelanggan.
Menawarkan kemudahan dari
prosedur pemesanan dan kemampuan mengatasi kemacetan, ojek online kini menjadi
begitu populer. Sayangnya, popularitas itu ‘dinodai’ dengan beberapa
pelanggaran yang kerap dilakukan oleh para pengemudi ojek online.
Dirangkum dari acara diskusi
“Menelaah Aspek Hukum, Sosial, dan Ekonomi Fenomena Gojek : Modernisasi vs
Tradisi”, berikut ini lima jenis pelanggaran yang relatif sering dilakukan oleh
para pengemudi ojek online :
1. Memasuki Jalur Busway
Kepala Dinas Transportasi Kota
Jakarta, Ellen Tangkudung mengatakan dirinya seringkali melihat pengemudi ojek
online memasuki jalur khusus busway. Padahal, di setiap jalur busway terpampang
dengan jelas rambu larangan masuk bagi kendaraan lain selain busway.
Dia mengakui, pelanggaran memasuki jalur busway memang tidak hanya dilakukan oleh pengemudi ojek online, tetapi juga moda transportasi lainnya. Awalnya, kata Ellen, agak sulit membedakan pengemudi motor non-ojek dengan ojek, termasuk ojek online yang menerobos jalur busway.
Dia mengakui, pelanggaran memasuki jalur busway memang tidak hanya dilakukan oleh pengemudi ojek online, tetapi juga moda transportasi lainnya. Awalnya, kata Ellen, agak sulit membedakan pengemudi motor non-ojek dengan ojek, termasuk ojek online yang menerobos jalur busway.
“Kalau sekarang kan jadi gampang
tuh. Kalau kita melihat ada motor-motor di lintasan TransJakarta (busway), kan
kelihatan mana yang helm atau jaketnya ada tulisan GOJEK atau GRABBIKE,” ujar
Ellen.
2. Melawan Arus
Pelanggaran yang satu ini
mungkin menjadi jenis pelanggaran yang paling sering dilakukan oleh pengemudi
motor di jalan raya. Pengemudi motor biasanya berkendara melawan arus karena
mereka malas untuk memutar di tempat putaran yang semestinya. Ojek online pun
sering terlihat melakukan pelanggaran jenis ini.
Ellen menyayangkan ulah sebagian
pengemudi ojek online yang suka melawan arus. Menurut dia, melawan arus bisa
berujung bahaya. “Kalau begini kan nggak cuma membahayakan keselamatan dia,
tetapi kita yang ada di jalur yang bener juga bahaya,” keluh Ellen.
3. Tidak Memiliki SIM
Surat Izin Mengemudi (SIM)
adalah prasyarat paling utama bagi orang yang hendak mengemudikan kendaraan
bermotor. Tanpa SIM, maka siapapun dilarang mengemudikan kendaraan motor,
termasuk pengemudi ojek online. Ellen mengaku pernah mendapati seorang
pengemudi ojek online yang tidak memiliki SIM.
“Saya ketemu tuh ada yang nggak
punya SIM. Saya tanya, ‘syarat masuknya emang nggak harus punya SIM?’ Orang ini
jawab kalau dia nggak punya SIM. Karena enggan melanjutkan urusan, ya sudah
saya diamkan saja untuk saat itu,” tutur Ellen.
Merujuk pada UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(UU LLAJ), Pasal 77 ayat (1) tegas mengatur bahwa, “Setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi
sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan”.
Pasal 281 mengatur ancaman
pidana untuk pelanggaran atas kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat
(1) yakni maksimum empat bulan kurungan atau denda maksimum Rp1 juta.
4. Pakai Gadget Saat Berkendara
Sesuai dengan sebutannya, ojek
online sangat mengandalkan teknologi alat komunikasi seperti telepon seluler
yang digunakan untuk pemesanan oleh klien. Begitu pentingnya telepon seluler
sehingga pengemudi ojek online biasanya setiap saat mengeceknya, bahkan ketika
motor yang dikendarainya tengah melaju.
Perilaku menggunakan telepon di
saat berkendara jelas melanggar UU LLAJ, Pasal 106 ayat (1) menyatakan “setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan
wajar dan penuh konsentrasi.”
Bagi yang melanggar aturan tersebut,
dapat dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
Rp750 ribu.
5. Parkir Sembarangan
Tak seperti ojek konvensional
atau dengan istilah ojek pangkalan – yang memiliki area sendiri untuk
memarkirkan motornya seraya menunggu customer, ojek online harus mencari
sendiri tempat pemberhentiannya sendiri.
Lantaran tidak memiliki
pangkalan tetap, pengemudi ojek online umumnya berhenti atau bahkan memarkir
kendaraannya di pinggir jalan raya yang terpancang rambu “dilarang parkir” atau
“dilarang stop”.
Dalam acara diskusi, seorang
pengemudi GOJEK bernama Budi Kurniawan menjelaskan bahwa GOJEK tidak
menoleransi jika pengemudinya melakukan pelanggaran. Untuk itu, GOJEK memiliki
mekanisme sanksi.
“Gojek akan memberikan sanksi
mulai dari mengambil atribut, hingga memblok akun driver sehingga driver
tersebut tidak bisa mendapatkan order,” ujar Budi.
Selain itu, lanjutnya, untuk
pengawasan pun masyarakat dan customer dapat melaporkan pelanggaran tersebut
untuk ditindaklanjuti pihak Gojek. “Untuk customer, di akhir itu kan ada kolom
feedback. Kalau driver ugal-ugalan atau nggakpatuh aturan lalu lintas, bisa
dilaporkan saja,” Budi menyampaikan.
Apapun respon pemerintah
kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, sudah seharusnya berfokus dan
berpihak pada kepentingan terbaik bagi masyarakat, baik masyarakat sebagai
pengguna ataupun masyarakat sebagai pekerja jasa transportasi publik.
Dan diharapkan juga kepada pemerintah, agar ada solusi yang adil (win-win
solution) bagi para penyedia jasa layanan transportasi ini. Baik bagi
penyedia jasa transportasi konvensional maupun bagi penyedia jasa transportasi
berbasis online. Sehingga kedua-duanya bisa bersaing secara fair dan
sportif.
Sumber :
http://www.kompasiana.com/kangmaruf/solusi-transisi-taksi-konvensional-dan-online_56fb8bc8b593738e06aa7e1d
http://student.cnnindonesia.com/inspirasi/20160324114135-327-119458/memahami-persoalan-transportasi-online-vs-konvensional/
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d42e922a5a2/perlu-payung-hukum-bagi-transportasi-berbasis-aplikasi